Jumat, 04 Maret 2016

JELAJAH JEPANG: MIYAJIMA

Dari Pintu Utara stasiun Hiroshima, saya naik 1 lantai menggunakan eskalator ke pelataran peron
Depan gerbang Torri Kuil Miyajima
Shinkansen lalu sedikit belok kiri menuju pintu berpalang ke pelataran sisi Selatan. Jika saya berjalan lurus melewati pintu berpalang di depan, maka saya masuk ke peron kereta Shinkansen. Namun karena saya akan ke Miyajima menggunakan kereta lokal, maka saya menuju pintu bagian Selatan bangunan terminal. Saya menunjukan kartu JR Pass ke seorang petugas yang berjaga di loket samping pintu berpalang lalu saya keluar melalui jalan di samping loket yang tidak berpalang bagi para pengguna JR Pass. Lima meter dari pintu berpalang, saya belok kiri dan berjalan lurus ke arah Selatan. Di langit-langit stasiun dan juga di ujung bangunan bagian Selatan tersedia petunjuk digital ke berbagai arah. Karena saya akan ke Miyajima, maka saya belok kanan turun menggunakan eskalator ke peron kereta lokal yang akan berangkat ke stasiun Miyajimaguchi yang berjarak sekitar 30 menit perjalanan kereta dari stasiun Hiroshima. Saat saya sedang turun menggunakan eskalator, saya telah melihat papan penunjuk arah peron kereta ke Miyajimaguchi yang berada di sebelah kanan. Saat kaki saya menapak di lantai bawah tanah, saya langsung bergegas ke kereta yang terlihat penuh.
Selat pemisah Miyajimaguchi dan Pulau Itsukushima
"Miyajimaguchi?", tanya saya ke seorang lelaki yang berdiri di dalam gerbong depan pintu kereta. Lelaki tersebut mengangguk sehingga saya bergegas masuk ke dalam gerbong. Tak lama kemudian kereta bergerak meninggalkan stasiun Hiruoshima. Menggunakan aplikasi google online di HP, saya memantau rute perjalanan kereta dan stasiun-stasiun yang disinggahi sebelum tiba di stasiun Miyajimaguchi. Google map menunjukan 2 jalur kereta yang dikelola 2 perusahaan kereta berbeda dimana salah satunya adalah adalah Japan Rail (JR) yang sedang saya gunakan Pass-nya keliling Jepang. JR Pass merupakan fasilitas berbayar yang disediakan perusahaan kereta JR bagi pengunjung dari negara lain. Pass ini harus dibeli di negara asal sebelum tiba di Jepang. Di beberapa stasiun yang
Daratan Miyajimaguchi di kala senja
disinggahi kereta, penumpang mulai berkurang sehingga saya mendapatkan tempat duduk di samping seorang ibu tua berhadapan dengan seorang ibu paruh baya dan anak lelakinya. Saya tersenyum dan mengangguk ke si ibu yang membalas ramah.

Pengalaman ke Minoo park di Osaka membuat saya kuatir terlambat tiba di kuil Miyajima yang tutup pada jam 5 sore waktu Jepang. Sekitar 30an menit menempuh rute stasiun Hiroshima - Miyajimaguchi, kereta tiba di stasiun. Saya turun lalu mengikuti petunjuk arah yang terpampang jelas menunjuk ke pelabuhan ferry. Saya harus berjalan kaki sekitar 10 menit dari stasiun Miyajimaguchi ke dermaga
Gerbang masuk ke dermaga Ferry non JR
tempat kapal ferry menaik-turunkan penumpang setiap 5-10 menit. Akses ke dermaga harus melalui lorong bawah tanah dari stasiun. Untuk itu tersedia pilihan menggunakan tangga atau lift. Saya memilih menggunakan tangga menuju dan keluar dari lorong. Saat keluar dari lorong saya telah berada di seberang jalan yang melintas di depan stasiun JR Miyajimaguchi. Berbagai kios berjejer rapi menjual berbagai souvenir dan juga makanan kecil, terutama kue-kue berbentuk daun maple berbagai ukuran dan warna. Saya terus berjalan menyeberangi jalan menuju dermaga ferry.

Di ujung jalan dekat pelabuhan terdapat cabang jalan ke kiri atau ke kanan. Karena saya melihat ratusan orang berjalan ke arah saya dari sisi kanan, maka saya memilih berjalan ke sisi kiri yang lebih sepi dengan asumsi sebelah kiri adalah tempat naik sedangkan kanan untuk turun. Sebelum masuk melewati gerbang menuju gedung pelabuhan, saya sempatkan berfoto di depan pintu gerbang dengan meminta seorang lelaki paruh baya yang sedang berdiri di lokasi tersebut. Kami berdua berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat karena si lelaki tidak bisa berbahasa Inggris, namun dengan ramah memotret saya di depan gerbang pelabuhan. Sebelum melewati gerbang, saya sempatkan mampir ke toilet umum di sebelah kanan saya saat saya
Pelabuhan Ferry Miyajimaguchi
menghadap ke gerbang masuk bangunan terminal. Dari toilet saya buru-buru melewati gerbang dan berlari kecil ke dermaga. Tiba di loket pemeriksaan tiket yang dijaga 2 petugas, saya mengeluarkan dan menunjukan JR Pass ke mereka. Sambil tersenyum, seorang lelaki paruh baya yang sedang menjaga loket bersama temannya mengatakan ke saya bahwa ferry JR berada di sisi sebelah alias di sisi kanan saya di pertigaan jalan yang telah saya tinggalkan. Dermaga di sisi kiri yang saya tempuh saat ini merupakan dermaga ferry non JR. Saya mengucapkan "arigato" sambil mengangguk lalu bergegas balik arah dan berlari kecil melewati jalan yang barusan saya lalui menuju gerbang keluar dan masuk. Dari gerbang saya berjalan lurus sekitar 10an meter lalu belok kiri menuju dermaga ferry JR yang berjarak sekitar 100an meter dari pelataran gerbang.

Aktifitas senja di selat Miyajimaguchi
Saya antri di belakang calon penumpang lain yang telah terlebih dahulu berada di tempat tersebut. jalan masuk dan keluar penumpang dibagi 2 dan dibatasi tali temali sebesar ibu jari kaki orang dewasa. Para penumpang yang turun dan meninggalkan ferry berjalan di sebelah kanan saya, sedangkan para penumpang yang akan naik, termasuk saya berada di sebelah kiri. Tak menunggu lama, ferry dari pulau Itsukushima tiba dan menurunkan penumpangnya. Seorang petugas berdiri menghadap ke para calon penumpang mengawasi tali pembatas yang terpasang rapi di tempatnya. Seorang lainnya berdiri mengawasi para penumpang yang turun dan meninggalkan ferry. Setelah penumpang terakhir menginjakan kaki di daratan, petugas yang mengawasi para calon penumpang membuka tali penghalang mempersilahkan para calon penumpang berjalan dan memasuki ferry yang baru saja kosong. Saya berjalan santai menuju ferry lalu naik ke geladak atas yang terbuka sehingga memudahkan para penumpang mengeksplorasi pemandangan di kiri dan kanan kapal. Saat semua penumpang telah masuk ferry, pintu ditutup lalu kapal bergerak meninggalkan pelabuhan. Kapal ferry bercat putih ini sangat bersih walau baru saja ditinggalkan para penumpang yang telah turun beberapa menit lalu di dermaga Miyajimaguchi. Bangku-bangku kayu dan kursi-kursi fiber berwarna oranye menyediakan tempat duduk yang cukup nyaman bagi para penumpang yang ingin duduk.

Gerbang Torri Kuil Miyajima dari atas kapal Ferry
Semilir angin sore menjelang malam terasa kuat di geladak atas saat kapal ferry secara perlahan menyeberangi selat yang memisahkan daratan Miyajima dengan pulau Itsukushima. Saya berpindah dari satu sisi ke sisi lain untuk mendapatkan foto berbagai obyek yang berada di daratan maupun di selat seperti kapal-kapal yang sedang berseliweran, benda lain yang terlihat seperti bagan / alat penangkap ikan secara tradisional di Indonesia, langit senja yang sedang memerah dan berawan, suasana pelabuhan, bangunan-bangunan di sisi daratan Miyajima, bayangan kelabu kerimbunan pepohonan di daratan Itsukushima dan gerbang Torri kuil Itsukushima yang terlihat di kejauhan seperti muncul dari dalam laut. Saat kapal ferry bergerak perlahan menuju dermaga lalu berhenti dan pintu mulai terbuka, petugas berseragam putih melempar tali kapal ke daratan. Tali tersebut diambil dan diikatkan ke tiang besi oleh petugas lain di darat guna menahan kapal tetap berada di tempatnya saat penumpang turun dan naik. Para calon penumpang yang akan pulang ke daratan Miyajimaguchi telah antri dalam barisan panjang yang dipagari tali sebagai pembatas dengan area jalan yang akan dilalui penumpang yang turun.

Gerbang Torri Kuil Miyajima dari Pulau Itsukushima
Saat pintu kapal terbuka sempurna, saya keluar dan berjalan bersama penumpang lain menuju bangunan terminal berjarak puluhan meter dari kapal ferry. Dari bangunan terminal saya keluar mengikuti jalur jalan yang telah disediakan menuju kuil Miyajima. Tak ada mobil, motor ataupun sepeda terlihat berseliweran di jalan tersebut. Toko, kios dan hotel terlihat berjejer di sebelah kanan jalan  jalan tanah seller 8an meter yang sedang saya susuri. Sedangkan sebelah kiri adalah tanggul beton sebagai pembatas daratan dan lautan. Saya berpapasan dengan para pengunjung siang hari yang berjalan ke pelabuhan ferry akan kembali ke daratan Miyajima. Jalan dibuat memanjang mengikuti garis pantai ke bangunan kuil Miyajima.
Pagoda dan Kuil Miyajima
Puluhan rusa jinak berkeliaran di jalanan yang dilalui ratusan manusia dari berbagai bangsa. Satu dua rusa mecoba mendekati saya saat saya berhenti untuk memotret beberapa obyek di lokasi yang sedang saya lalui. Sekitar 1km dari pelabuhan, saya tiba di belokan menuju kuil Miyajima. Gerbang Torri yang sedang terendam air pasang berada di sebelah kanan saya saat saya berdiri menghadap kuil. Saya terus menerus memotret dan meminta tolong pengunjung lain memotret diri saya mengabadikan kunjungan saya ke kuil yang telah sangat terkenal di dunia para penjelajah maupun wisatawan. Malam mulai turun saat saya berjalan ke gerbang bangunan kuil. Seorang lelaki berkimono sedang menyapu halaman saat saya melewati gerbang menuju loket karcis di sebelah kanan gerbang. Loket karcis yang masih buka dijaga seorang petugas kuil berkimono putih bersih. Saya menyerahkan 300yen kemudian menerima sepotong karcis. Petugas mengingatkan saya bahwa kuil akan tutup 30menit lagi. Saya mengangguk lalu berjalan ke dalam bangunan kuil yang telah menyalakan lampu-lampunya karena malam hari telah tiba.

Kuil Miyajima
Bangunan kuil Itsukushima atau lebih terkenal sebagai kuil Miyajima merupakan kuil Shinto yang didominasi warna merah dengan aksen putih dan hitam di beberapa bagian. Seluruh bangunan terbuat dari kayu, termasuk lantainya. Kuil dibangun mengikuti kontur tanah tepi pantai berbentuk U dan L menjorok ke atas laut dalam suatu teluk kecil. Saat air laut pasang, bangunan kuil terlihat mengapung. Gerbang Torri yang sangat terkenal di dunia wisata terlihat berjarak seratusan meter dari bangunan kuil. Gerbang Torri terlihat masih mengapung karena air laut masih sedang pasang. Bangunan kuil sangat tamaram, bahkan di beberapa lokasi terlihat gelap karena lampu-lampu kertas khas Jepang tidak bisa menerangi seluruh area. Saya berjalan hati-hati mengamati arsitektur kuil yang terlihat kokoh dan sederhana namun sangat elok. Saya tiba di pelataran terbuka yang berada dalam satu garis lurus dengan gerbang Torri.

Dari pelataran ini saya bisa melihat dan memotret sebagian bangunan kuil termasuk Pagoda yang menjulang di belakang Kuil. Setelah itu saya berjalan ke ujung pelataran yang dibatasi tugu
Kuil Miyajima
berwarna abu-abu setinggi 2 meter. Gerbang Torri, Tugu dan Ruang Sembahyang dalam Kuil berada dalam satu garis lurus imajiner. Di kiri saya terlihat satu bangunan kecil terbuat dari kayu dalam kondisi gelap. Di belakangnya dalam jarak 10an meter, beberapa petugas berseragam kimono putih sedang menjaga kios kecil menjual souvenir dan pernak-pernik kebutuhan sembahyang. Saya berjalan ke Tugu dan antri dengan pengunjung lain menunggu giliran foto di Tugu dengan latar gerbang Torri. Sayangnya setelah mencoba beberapa kali, saya  menyerah karena hasil pemotretan selalu buram disebabkan ketiadaan tiang penyangga kamera / treepot sebagai alat bantu menahan kamera dalam pemotretan minim cahaya seperti saat ini.


Ruang sembahyang Kuil Miyajima
Dari lokasi tugu, saya berjalan kembali ke bangunan utama menyusuri jalan yang telah saya lewati menuju gerbang masuk. Saat tiba di ujung bangunan berhadapan dengan halaman dan gerbang, loket karcis dan juga gerbang telah ditutup. Tak ada seorang pun terlihat di lokasi tersebut agar saya bisa menanyakan pintu keluar. Karena itu, saya berjalan kembali ke arah pelataran melewati bangunan dan ruang sembahyang terus ke kios penjualan souvenir menanyakan jalan keluar dari kompleks kuil. Petugas menunjuk ke sebelah kiri bangunan kuil atau sebelah kanan saya saat bicara berhadapan dengan petugas. Saya
Kuil Miyajima
mengucapkan terima kasih sambil mengangguk kemudian berjalan ke kiri melewati lorong-lorong kuil yang sangat tamaram hingga tiba di pintu keluar yang berbatasan dengan ruang terbuka di luar kompleks kuil. Setelah berjalan sekitar 20an meter dari gerbang keluar di bagian samping belakang kuil, saya tiba di pertigaan yang sangat sepi. Saya ingat gerbang masuk dan loket karcis berada di sebelah kiri sehingga saya belok kiri menyusuri jalan tanah selebar 3 meteran. Sebelah kanan saya berjejer bangunan khas Jepang yang telah menutup rapat pintu dan jendelanya karena udara malam yang makin dingin. Di sebelah kiri saya terdapat sungai kecil dengan air mengalir yang sangat jernih sehingga saya dapat melihat dasar sungai dalam tamaram lampu jalan.  Saya terus berjalan mengikuti kontur jalan yang agak mendaki
Kuil Miyajima
mengitari kompleks samping dan belakang kuil hingga saya tiba di jalan depan gerbang masuk kuil. Dari situ saya terus berjalan kembali menyusuri jalanan yang telah saya lewati saat berkunjung ke kuil. Saya melewati beberapa orang yang sedang menyusuri jalan yang sama, termasuk sepasang kekasih yang mengenakan kimono dengan sandal terompah. Keduanya berjalan sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap dalam bahasa yang tak saya kenal. Lelakinya terlihat seperti orang Jepang, sedangkan perempuannya bertampang bule. Di beberapa lokasi sepanjang tepi pantai terlihat masih ada pengunjung yang bertahan  menikmati keindahan malam Itsukushima dan keelokan gerbang Torri yang sedang bermandikan cahaya lampu. Saya sempat memotret satu speed boat yang sedang melintas dekat gerbang Torri.

Pemukiman di belakang Kuil Miyajima
Saya terus berjalan menyusuri jalan pulang ke terminal pelabuhan guna menunggu kapal ferry kembali ke Miyajimaguchi. Jalanan yang saya susuri terlihat mulai sepi dalam dinginnya malam. Saya masuk ke bangunan terminal, menunjukan JR Pass ke petugas yang berjaga di pintu lalu berjalan terus ke arah pelabuhan. Saya antri di belakang pengunjung lain yang telah terlebih dahulu antri menunggu kapal kembali ke Miyajimaguchi. Prosesi yang sama seperti kedatangan saya ke Itsukushima kembali diulangi guna pulang ke Miyajimaguchi  hingga tiba dan menghabiskan malam di Hiroshima.
Berbagai jenis rasa kue mapel di Miyajimaguchi
Saat berjalan kembali ke stasiun dari dermaga ferry. Saya mampir di salah satu kios membeli kue daun maple rasa coklat dan vanilla untuk mengisi perut yang telah keroncongan. Saya tiba di stasiun Hiroshima sekitar jam 10 malam. Karena hotel terletak di samping stasiun Hiroshima, maka saya hanya perlu waktu 7 menit jalan kaki dari peron kereta JR di Selatan ke hotel Grandvia di Utara stasiun. Air hangat hotel terasa menyegarkan tubuh sebelum tertidur dalam kelelapan malam Hiroshima. Sebelum meninggalkan Hiroshima menuju Kyoto pada jam 8 pagi keesokannya, saya sempatkan memotret subuh hari di jalan dan perempatan dekat hotel yang sangat sepi dan sangat dingin di musim gugur menjelang musim dingin di Jepang.

Gerbang Torri Kuil Miyajima di malam hari
Bersambung..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...