Minggu, 06 Maret 2016

JELAJAH INDONESIA. JAWA TENGAH: Gua Maria Kereb Ambarawa, Vihara Buddhagaya Watugong, Klenteng Sam Poo Kong

Bunda Maria di Gua Maria Kereb
"Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA) atau yang dikenal dengan Gua Kerep bukanlah nama yang asing lagi di telinga umat Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS). Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, nama Gua Kerep juga mulai diakrabi oleh umat dari berbagai keuskupan di Indonesia.
Lokasinya cukup strategis, tak jauh dari jalan raya Semarang - Magelang, yakni di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Dari arah Semarang, GMKA cuma berjarak 900 meter dari jalan raya Semarang. Bagi peziarah yang baru pertama kali berkunjung ke gua ini, cukup mengikuti petunjuk papan nama yang berada di seberang jalan depan Terminal Ambarawa. Atau tepatnya di sebelah kanan SD Pangudi Luhur Ambarawa atau sebelah Timur SMP Pangudi Luhur Ambarawa kemudia ke arah utara", www.guamariakerep.org.

Matarahari sedang bersinar terik saat kami tiba di tempat parkir yang cukup lenggang di kompleks GMKA yang sangat tenang. Kompleks GMKA terbagi 2 oleh jalan raya yang memisahkan tempat parkir, gedung pertemuan dan Patung Bunda Maria di atas tugu setinggi sepuluan meter di sebelah kiri jalan berhadapan dengan taman hijau di kanan jalan.
Lukisan hari-hari akhir Yesus
Setelah memotret dari kejauhan guna mendapatkan foto keseluruhan Bunda Maria bersama tugu penopangnya, saya berjalan mendekat sambil terus memotret hingga tiba di pagar pembatas terbuka dekat tugu. Tugu penopang Bunda Maria terbagi atas tiga bagian, yakni bagian bawah berupa bangunan bulat berhias lukisan hari-hari terakhir Yesus bersama para murid dan pengikutnya. Bagian kedua berupa tiang-tiang yang menopang suatu wadah berbentuk mangkuk. Bagian ketiga adalah wadah mangkuk berisi susunan bebatuan yang dikeliling para mailaikat kecil sebagaimana tertulis dalam Alkitab.
Penyaliban Yesus di lukisan dinding tugu penopang Bunda Maria Kereb
Seorang  ibu muda bersama anak laki-lakinya sedang asyik memotret diri di tempat tersebut menggunakan tablet. Saya menawari jasa memotret ibu dan anaknya bersama-sama sebagai kenangan kehadiran mereka di GMKA. Selesai gantian memotret, saya meneruskan langkah ke tugu yang dikitari taman kecil. Saya berjalan mengeliling bagian bawah tugu menikmati keindahan dan keelokan lukisan hari-hari akhir Yesus hingga penyalibanNya.

Diorama air dan anggur
Selesai menikmati lukisan dan taman di bawah tugu penopang Bunda Maria, saya berjalan kembali melewati tempat parkir menuju taman hijau dan sejuk di seberang jalan. Selain rerumputan dan pepohonan, taman juga dihiasi kolam kecil dan berbagai diorama kehidupan Yesus dan para muridnya serta juga kutipan-kutipan ayat Alkitab yang ditulis pada lempengan-lempengan batu. Dua perempuan muda sedang duduk merenung menikmati semilir angin di tepi kolam kecil berisi diorama pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis. Dari kolam tersebut saya berpindah ke lempengan batu bertuliskan ayat Alkitab. Selesai membaca ayat Alkitab dan berfoto di
Lempengan baru bertuliskan ayat Alkitab di GMKA
lempengan batu tersebut, saya berjalan lurus lalu belok kiri menuju diorama Yesus memegang roti dan ikan merupakan gambaran dari perumpaan 5 roti dan 2 ekor ikan yang digunakan Yesus memberi makan 5000 orang sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Baru.  Saya terus mengeliling taman hijau tersebut sambil mampir di diorama-diorama perjalanan kehidupan Yesus yang tersebar di berbagai sudut  taman tersebut. Setelah menikmati sejenak semilir angin di ujung akhir Taman dan merenung di depan diorama Yesus bersama para muridnya di kapal dalam danau, saya putar balik berjalan menyusuri sisi kanan taman diorama menuju taman doa di sisi kanan melewati sepasang orang tua muda bersama anak lelaki berusia 6 tahunan yang masih asyik berfoto. Selain tempat doa dengan patung kecil Bunda Maria, di Taman Doa terdapat diorama proses penyaliban Yesus di sisi kanan tempat doa serta
Lempengan baru bertuliskan ayat Alkitab di GMKA
Yesus yang sedang tersalibkan menghadap tempat doa. Di area sembahyang juga disediakan air yang dialirkan melalui kran yang dapat digunakan umat dan pengunjung untuk membasuh muka ataupun minum. Airnya terasa dingin ketika saya gunakan membasuh muka, tangan dan minum. Setelah itu saya melangkah hati-hati ke lokasi sembahyang merenung dan berdoa beberapa saat. Puluhan umat terlihat sedang khusuk berdoa, ada yang berlutut ada yang duduk di bangku-bangku kecil yang telah disediakan di tempat tersebut.  Dari lokasi sembahyang tersebut, saya  berjalan kembali ke lokasi parkir. Sebelum keluar dari Taman Doa, saya mampir dan memberikan donasi ke kotak donasi yang telah disediakan pengelola di samping pintu keluar Taman Doa. Sebelum tiba di tempat parkir, saya melewati beberapa kios souvenir yang menjual souvenir dan pernak-pernik sembahyang. Setelah mengeliling seluruh kompleks Gua Maria Kereb Ambarawa, saya menjadi tahu bahwa kompleks tersebut terdiri dari tiga bagian, yakni bagian berisi Patung Bunda Maria, gedung  pertemuan?, parkir dan kios-kios sovenir sebagai suatu kesatuan yang berada di salah satu sisi jalan. Bagian kedua adalah Taman Diorama dan bagian ketiga adalah Taman Doa.

Depan Pagoda Avaloketisvara
Dari Gua Maria Kereb Ambarawa, saya meneruskan perjalanan ke Vihara Buddhagaya Watugong di Ungaran. Tujuan saya ke Vihara Watugong adalah mengunjungi Pagoda Avaloketisvara atau Pagoda Metakaruna yang artinya cinta dan kasih sayang. Setelah itu saya akan menuju Klenteng Sam Poo Kong di Kota Semarang. Saya tiba di kompleks Vihara sekitar jam 3 sore. Vihara dan Pagoda dibangun dalam kompleks seluas 2,25 hektar di pinggir jalan Semarang-Solo sehingga akses ke lokasi ini sangat mudah. Pengunjung dan umat hanya perlu memberikan donasi secukupnya saat memasuki kawasan yang terletak di depan Markas Kodam IV Diponegoro, Watugong, Ungaran. Setelah Udin memarkir mobil di tempat parkir yang cukup lenggang - hanya ada 4  mobil lain yang sedang parkir - saya keluar dan berjalan ke arah Pagoda yang berjarak puluhan meter dari tempat parkir. Saya mendaki beberapa tangga sebelum mencapai pelataran utama Pagoda. Sebelum tangga menuju Pagoda - di sebelah kanan saya - terdapat pohon Bodhi dengan  patung Budha berwarna keemasan dalam pose bersila di bawah pohon. Sebagaimana aturan pada kuil-kuil di seluruh dunia, umat dan pengunjung harus melepaskan alas kaki, maka saya melepaskan sepatu sebelum mencapai pelataran utama Pagoda. Panas lantai keramik terasa menyengat saat telapak kaki saya menapaki tangga di
Dewi Kwan Im di ruang utama lantai dasar Pagoda
siang terik tersebut. Asap dan harum dupa sembahyang seperti sedang menyambut saya saat tiba di depan ruang sembahyang di lantai dasar Pagoda. Ruang sembahyang ini menghadap lurus ke tangga naik dan turun bagi umat ataupun pengunjung. Tangga dari arah pelataran Pohon Bodhi atau sebaliknya dibagi dua oleh pagar pembatas yang berawal dan/atau bermuara pada wadah pembakar dupa berjarak beberapa anak tangga dari pelataran utama Pagoda - mungkin untuk umat atau pengunung yang naik dan turun. Karena saat saya berada di lokasi tersebut sedang sepi, maka saya bebas memilih sisi kiri atau kanan untuk naik dan turun.

Saya menunduk memberi hormat pada Dewi Kwan Im yang duduk bersila didampingi beberapa patung kecil dan peralatan sembahyang di ruang utama. Saya meminta izin mengamati dan memotret
Di bawah Pohon Bodhi 
arsitektur dan interior ruang utama dari sisi luar. Setelah itu, saya perlahan berjalan mundur lalu belok kiri memutari lantai dasar Pagoda yang memiliki empat ruang lain berisi berbagai pose Dewi Kwan Im. Pagoda Avaloketisvara yang didominasi warna merah dan kuning pada atap dan warna putih pada dindingnya adalah bangunan berbentuk segi delapan bertingkat tujuh setinggi 45 meter. Patung Dewi Kwan Im berada di setiap lantai menghadap empat penjuru mata angin sebagai simbol menyebarkan cinta dan kasih sayang bagi semua makluk di empat penjuru. MURI pada tahun 2006 menobatkan Pagoda ini sebagai
Dewi Kwan Im di salah satu ruang pendamping
bangunan tertinggi di Indonesia. Di sebelah kiri ruang sembahyang, pengelola menjual pernak-pernik sembahyang dan juga souvenir. Setelah berkeliling menikmati dan memotret keindahan Pagoda, saya menghampiri rak penjualan souvenir yang dijaga dua lelaki muda. Setelah mengamati jejeran souvenir sambil bercakap-cakap dengan para penjaga, saya memilih dan membeli 1 paket miniatur berwarna keemasan seharga 110.000 rupiah berisi miniatur Dewi Kwan Im, Panglima We Do dan Dewa Kongcu.  Selesai belanja souvenir, saya pamit ke para penjaga lalu menuruni tangga. Sepatu saya pegang hingga anak tangga terakhir di pelataran Pohon Bodhi. Ranting-ranting Pohon Bodhi dihiasi ratusan kain merah berbagai ukuran berisi tulisan kaligrafi China berwarna kuning emas. Setelah berpose dan memotret beberapa kali di lokasi tersebut, saya kembali ke tempat parkir.

Klenteng Sam Poo Kong 
Sekitar jam 4 sore saat saya dan Udin tiba di parkiran Klenteng Sam Poo Kong di Semarang. Pagar tinggi memisahkan areal parkir dengan kompleks Klenteng. Saya berjalan menghampiri loket karcis membeli tiket masuk dari seorang gadis berparas China memakai baju warna merah dengan motif burung hong dan naga berpotongan gaya China sebagaimana saya lihat di film-film China. Setelah melewati petugas pemeriksa tiket, saya masuk ke dalam kompleks Klenteng yang cukup luas. Di depan saya berjarak 50an meter dari pintu masuk terdapat bangunan terbuka berwarna merah dengan atap berukir khas Tiongkok. Bangunan ditopang puluhan tiang berukuran sepelukan orang dewasa didominasi warna merah dan abu-abu semen berukir.
Gerbang di samping patung Sam Poo Kong
Bangunan ini memiliki pelataran terbuka seperti panggung menghadap ke dua kompleks bangunan kuil berjarak puluhan meter dipisahkan lapangan terbuka berbentuk huruf U seperti mengurung bangunan dan pelataran terbuka tersebut. Saya menaiki tangga menuju lantai dasar bangunan dan pelataran terbuka yang dibangun dalam ketinggian 3-5 meter dari permukaan tanah. Dari pelataran bangunan terbuka di ketinggian tersebut saya bisa mengamati keseluruhan kompleks dalam Klenteng. Selain 2 bangunan kuil di depannya, di sebelah kanan terdapat bangku-bangku di bawah pepohonan rindang tempat ratusan orang sedang duduk santai menikmati kesejukan sore hari. Di
Patung Sam Poo Kong
sebelah kiri di ujung kompleks terdapat patung raksasa Sam Poo Kong bersisian dengan gerbang berwarna merah dengan pintu raksasa berwarna coklat gelap yang sedang tertutup rapat diapit 2 pintu kecil di sisi kiri dan kanannya. Puluhan pengunjung terlihat berpose di lokasi tersebut. Setelah puas mengamati dan memotret keindahan arsitektur bangunan dan pelataran terbukanya, saya menuju sisi kiri lalu turun melalui tangga di sisi tersebut. Saya berjalan ke patung Sam Poo Kong dan pintu gerbang raksasa guna melihat lebih dekat sekaligus memotret.

Saya menghabiskan 1 jam di dalam kompleks Klenteng Sam Poo Kong. Senja mulai turun di Semarang saat saya dan Udin keluar dari tempat parkir menuju Lawang Sewu. Rencana jelajah tempat-tempat di Semarang saya susun seperti memakan bubur panas. Saya memulai dari lokasi terjauh di luar Kota Semarang lalu bergerak mendekati kota hingga berlabuh di hotel mengistirahatkan tubuh di malam hari. Saya masih punya dua tempat lain untuk dikunjungi di Semarang sebelum istirahat malam lalu melanjutkan perjalanan ke Dieng di Kabupaten
Banguan dan panggung terbuka dalam kompleks Klenteng Sam Poo Kong
Wonosobo pada esok harinya. Karena belum malam, saya meminta Udin mengantar saya ke Gedung Lawang Sewu sebelum menuju hotel untuk check in. Rencananya setelah check in, mandi dan ganti pakaian, saya akan menjelajah Kota Lama Semarang sekalian mencari makan malam di kawasan tersebut.

Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...