Jumat, 08 Mei 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung

Bersama anak sekolahan di depan Batu Batikam
"Foto-foto", teriak anak-anak SD berseragam pramuka ke saya saat mereka berhamburan memasuki kawasan cagar budaya Batu Batikam di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Sambil tertawa lebar, saya meminta mereka berkumpul di prasasti batu alam yang dikenal sebagai Batu Batikam dalam legenda Minang. Saya meminta bantuan ibu penjaga tempat wisata tersebut memotret saya dan sekumpulan bocah yang tersenyum, tertawa dan berceloteh gembira. Jangan tutupin batunya, kata perempuan itu yang kemudian sibuk mengatur para bocah yang berebutan ingin foto bersama. Selesai berfoto dengan para bocah lelaki, saya menawarkan foto bersama antar anak-anak itu bersama para gurunya yang menemani mereka saat itu. Semua mengiyakan sehingga saya menjadi fotografer mereka mengabadikan momentum kunjungan saya dan mereka ke tempat tersebut.

Batu Batikam 
Batu Batikam berada dalam satu kompleks cagar budaya yang terletak di Kampung / Jorong Dusun Tuo, Desa / Nagari Lima Kaum, Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Kompleks cagar budaya seluas 1.800 meter persegi tersebut terletak di pinggir jalan raya yang terhubung ke lokasi Istana Pagar Ruyung.  Batu Batikam merupakan suatu batu andesit berwarna abu-abu gelap berbentuk hampir segitiga dengan lubang di tengahnya. Legenda setempat menceritakan bahwa lubang tersebut merupakan hasil tusukan / tikaman keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang sebagai tanda mengakhiri pertikaian antara Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan saudara tirinya bernama Datuak Katamanggungan. 

Konon, Datuak Parpatiah Nan Sebatang dan Datuak Katamenggungan berasal dari rahim ibu yang sama dengan ayah yang berbeda. Ayah Datuak Parpatiah Nan Sebatang merupakan seorang aristokrat atau cerdik pandai, sedangkan ayah Datuak Katamanggungan adalah seorang otokrat atau raja berpunya. Kedua pemimpin tersebut bertengkar hebat pada masa hidup mereka karena berbeda pendapat tentang cara mengatur rakyat. Datuak Parpatiah menginginkan pengaturan yang demokratis, sedangkan Datuak Katemanggungan menginginkan pengaturan yang hirarkis atas ke bawah. Untuk
Anak-anak dan para guru mereka 
mengakhir pertengkaran sekaligus mencegah terjadinya perkelahian antar kedua bersaudara tersebut, keduanya bersama para tokoh adat lainnya melakukan musyawarah dan menyepakati pengaturan rakyat melalui penerapan dua sistem yang demokratis dan hirarkis secara bersama-sama pada suku masing-masing, yakni Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kesepakatan tersebut dimateraikan dengan cara menikam batu andesit menjadi prasasti / tanda peringatan bagi para keturunan mereka sampai dengan saat ini. Kesepakatan penerapan dua sistem pengaturan tersebut tercermin juga pada atap rumah gadang, yakni bagi suku yang menerapkan pengaturan hirarkis, atap rumahnya dibuat bertumpuk-tumpuk, sedangkan suku yang menerapkan pengaturan demokratis, atap rumahnya tidak dibuat bertumpuk. Saya  mendapatkan informasi tambahan tentang perbedaan atap rumah gadang (betumpuk dan tidak bertumpuk) suku-suku Minang dari guide di istana Pagar Ruyung. 

Di area Batu Batikam juga terdapat puluhan batu berbentuk kursi - menurut ibu penjaga situs, kursi-
Kursi-kursi batu mengelilingi Batu Batikam
kursi batu tersebut merupakan tempat duduk para datuk dan tokoh adat lainnya yang mengikuti musyawarah perdamaian Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan Datuak Katamanggungan. Di bagian belakang agak ke kiri dari jejeran prasasti batu peninggalan era neolitikum tersebut terdapat satu pohon beringin besar berdaun rimbun yang telah berusia ratusan tahun. Ranting dan daun-daun pohon beringin itu membentuk semacam kanopi / atap yang melindungi jejeran kursi batu dan Batu Batikam dari sinar matahari.
Kuburan Lima Kaum
Selain itu, dalam jarak sekitar 50an meter dari jejeran prasasti batu tersebut ke arah kiri terdapat 5 kuburan batu yang dikenal sebagai kuburan Lima Kaum yang menjadi nama Nagari / Desa yang menjadi lokasi cagar budaya Batu Batikam. Konon kelima kuburan tersebut merupakan kuburan keturunan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katemanggungan. Sejarah dan cerita legenda Batu Batikam dan Kuburan Lima Kaum tertulis pada papan informasi yang terpasang dekat prasasti Batu Batikam dan juga di belakang papan nama cagar budaya Batu Batikam. Memasuki kawasan cagar  budaya ini tidak dipungut bayaran alias gratis. Namun saya memberikan donasi sebesar 20ribu ke perempuan penjaga yang telah merawat dan memelihara kawasan cagar budaya tersebut sehingga terlihat bersih, apik dan adem. Cagar budaya Batu Batikam tidak menyediakan tempat parkir, karena itu mobil saya dan Jasman serta 3 angkot yang digunakan rombongan anak SD bersama guru mereka diparkir berjejer di tepi jalan di luar kompleks cagar budaya tersebut.

Berpose di bawah pohon beringin berusia ratusan tahun
Setelah menikmati kawasan cagar budaya Batu Batikam dan legendanya sekitar 40 menit, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Dari lokasi Batu Batikam, mobil berjalan lurus menyusuri jalan beraspal mulus dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Nagari Lima Kaum ke lokasi istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas. Kami tiba sekitar jam 11.30 siang di jalan depan pagar istana. Jasman menurunkan saya di depan loket karcis di samping gerbang kompleks. Jasman membelokan mobil ke kanan menyeberangi jalan depan pagar istana ke tempat parkir di seberang jalan. Di tempat parkir tersebut bejejer puluhan kios souvenir yang membentuk huruf U. 

Depan istana Pagar Ruyung
Saya menghampiri loket tiket dan menyerahkan 20ribu rupiah ke perempuan muda berjilbab yang menjaga loket. Saya menerima tiket seharga 7ribu rupiah dan uang kembalian 13ribu rupiah. Saya berjalan ke pintu gerbang yang dijaga 4 security berseragam safari lengan pendek warna hitam. Saya menyerahkan tiket ke salah satu security yang menyobeknya menjadi dua lalu menyerahkan 1 sobekan ke saya sebagai bukti. Setelah meninggalkan para security lalu mulai memotret istana yang terlihat berdiri megah puluhan meter di dalam kompleks seluas 3,5 hektar. Saya terus berjalan melewati beberapa tangga dari gerbang menuju istana. Sebelum tiba di istana, saya dihampiri 2 badut - yang mana satu diantaranya mengenakan replika pakian adat perempuan Minang. Kedua badut ini menawarkan foto bersama dengan bayaran 5ribu rupiah untuk 3 foto.
Depan Istana Pagar Ruyung
Why not, pikir saya yang langsung mengiyakan ajakan mereka. Kami meminta seorang tukang foto keliling memotret kami bertiga yang bergaya di depan istana. Selesai dipotret, saya menyerahkan selembar 10ribu rupiah ke salah satu dari mereka dan meminta mereka membagi duit tersebut. Saya terus melangkah hingga tiba di tangga bangunan istana. Semua pengunjung diwajibkan melepaskan alas kaki di tangga istana. Saya melepaskan sepatu dan kaos kaki yang kemudian diambil seeorang petugas dan memasukannya ke dalam satu kantong plastik berwarna kehijauan. Untuk jasa tersebut, pengunjung diminta memberikan donasi sekedarnya dengan cara memasukan uang ke kotak donasi yang disediakan di tangga tempat sandal dan sepatu ditinggalkan. Donasi diberikan saat telah selesai mengunjungi istana lalu keluar mengambil sepatu atau sandal yang ditinggalkan dalam plastik yang dijaga 2 orang laki-laki. 

Istana Pagar Ruyung yang dibangun tahun 2007
Istana Pagar Ruyung merupakan bangunan berbentuk rumah panggung 3 lantai. Di depan pintu masuk lantai pertama tersedia meja registarasi yang dijaga 2 perempuan muda berjilbab. Saya menghampiri mereka dan mengisi buku tamu di atas meja yang dijaga kedua perempuan tersebut. "apakah bapak mau menggunakan jasa guide", tanya salah satu perempuan. Seperti melihat keraguan saya, temannya menambahkan "gratis pak, tidak perlu bayar lagi". Melihat saya tersenyum dan mengangguk, seorang laki-laki berpakaian rapi serta berkacamata menghampiri saya. Kami bersalaman dan berkenalan satu sama lain. Yose, kata laki-laki tersebut, Jo, balas saya. Kita mulai
Kamar istrahat Raja 
dari sisi ini, kata Yose mengarahkan saya ke sisi kiri lantai 1 istana. Kita berada di lantai 1 istana yang terdiri dari 3 lantai, lanjut Yose. Ruang di depan kita merupakan ruang istrahat raja, kata Yose menunjuk ke kamar di depan kami yang pintunya ditutupi 7 lapis kain dari depan pintu kamar hingga ke dalam. Lapisan-lapisan kain tersebut memiliki makna budaya terkait sejarah keberadaan kerajaan dan suku-suku di ranah Minang. Semua warna berbalut warna dan motif keemasan yang sangat dominan dalam budaya Minang.

Dari kamar istirahat raja, kami berpindah ke kamar tidur raja dan melanjutkan ke jejeran kamar-kamar anak perempuan raja yang telah bersuami hingga tiba di kamar bundo kanduang yang berhadap-hadapan / berlawanan arah dengan kamar istirahat dan kamar tidur raja. Semua kamar tersebut berjejer membentuk huruf U dimana pada sisi kiri istana ditempati raja, tengah ditempati anak-anak perempuan yang telah berkeluarga dengan urutan kamar anak sulung dekat ke kamar raja hingga anak perempuan termuda yang dekat ke kamar bundo kanduang. Di bagian tengah-tengah dari jejeran kamar anak-anak perempuan terletak singgasana berupa bantalan-bantalan kursi
Jejeran kamar anak perempuan yang telah menikah
yang diberi tirai di sisi kiri dan kanannya. Singgasana hanya ditempati oleh bundo kanduang, bukan raja karena sistem kekerabatan matrialkat / garis perempuan dalam adat Miang, kata Yose. Saya hanya mengangguk-angguk. Dimana kamar anak laki-laki, tanya saya ke Yose. Anak laki-laki tidak tinggal di istana. Semua anak laki-laki tidur dan beraktifitas di surau, jelas Yose. 

Kita ke lantai 2, ajak Yose. Kami menaiki tangga kayu berwarna coklat ke lantai 2. Berbeda dengan pengaturan di lantai 1, lantai 2 berbentuk aula tanpa kamar-kamar. Lantai 2 diperuntukan bagi anak-anak perempuan yang belum bersuami. Di ruangan inilah mereka melakukan aktivitas hariannya seperti menenum, bercengkrama,  makan dan minum. Dari lantai 2, kami
Singgasana Bundo Kanduang
meneruskan penelusuran ke lantai 3 yang mana ukuran ruangannya terlihat lebih kecil dari ruangan di lantai 2 dan lantai 1. Dalam ruang berdinding papan - yang telah diukir motif dan dicat warna-warna khas Minang, yakni hitam, merah dan kuning - terdapat pajangan beberapa pusaka kerajaan seperti tombak, pedang, senapan dan juga pistol buatan Belanda sebagai simbol adanya interaksi antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Belanda pada masa lalu. 3 kursi berwana coklat yang terbuat dari paduan rotan dan kayu terlihat mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kayu dan marmer putih. Menurut Yose, ketiga kursi tersebut merupakan replika tempat duduk 3 raja yang mengurus rakyat dan wilayah Minang, yakni Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadah. Ketiganya akan bertemu, berdiskusi dan mengambil keputusan-keputusan penting di lantai 3 istana yang menjadi tempat kediaman Raja Alam. Raja Adat dan Raja Ibadah tinggal di tempat lain di wilayah berbeda dalam wilayah kekuasaan kerajaan Pagar Ruyung. 

Dari lantai 3 kami kembali ke lantai 2. Sebelum turun ke lantai 1, saya berhenti sejenak di salah satu jendela lantai 2 untuk memotret pemandangan bukit dan sawah di belakang istana. Yose terus menemani saya. Itu contoh rumah gadang Koto Piliang dan Bodi Chaniago - 2 suku utama yang
Replika meja dan kursi rapat Raja Alam, Adat dan Ibadah
menjadi cikal bakal suku-suku di tanah Minang. Apa perbedaan kedua rumah adat tersebut, tanya saya. Atap yang disebut gonjong kedua rumah gadang itu berbeda. Atap bertumpuk seperti itu, kata Yose - sambil menunjuk rumah gadang dengan atap bertumpuk - merupakan lambang sistem pemerintahan adat secara hirarkis atau berjenjang dari atas ke bawah. Di sebelahnya, rumah gadang tanpa atap bertumpuk yang merupakan cerminan sistem pemerintahan demokratis di tanah Minang. Informasi Yose mengingatkan saya pada cerita ibu penjaga situs budaya Batu Batikam.

Kami melangkah meninggalkan lantai 2 ke lantai 1 melanjutkan kunjungan dapur yang terletak di bangunan terpisah di belakang istana. Dapur dan istana dihubungkan oleh semacam jembatan terbuka
Replika rumah gadang atap bertumpuk 
yang menjadi lorong atau koridor. Dapur terbagi menjadi 2 bagian, yakni tempat memasak di sebelah kanan saya atau sebelah kiri istana serta tempat menyiapkan makanan matang sebelum diantar ke dalam istana. Kedua bagian ini dipisah oleh lorong yang tersambung dengan jembatan/lorong ke istana. 

Dari dapur kami kembali ke depan guna keluar dari bangunan istana sekaligus saya mengambil kembali alas kaki yang saya titipkan di tangga masuk depan istana. Yose masih terus menemani saya dan menginformasikan bahwa di bawah lantai 1 disediakan sewa pakaian adat seharga 35ribu
Dapur istana
untuk pemotretan di dalam istana maupun kompleks istana. Karena saya tertarik ingin mencoba, Yose terus menemani dan mengantar saya ke kolong istana yang pintunya terletak di bawah tangga masuk ke istana. 

Istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat merupakan replika dari istana asli kerajaan Pagar Ruyung. Istana asli yang disebut Istana Si Linduang Bulan berada di bukit Batu Patah. Dalam sejarahnya, Istana Si Linduang Bulan juga telah mengalami beberapa kali pembangunan karena dibakar pada zaman perang melanda kerajaan Pagar Ruyung. Istana yang hancur dibangun lagi pada tahun1750, 1804 dan 1869. Istana yang telah dibangun kembali tersebut terbakar lagi pada tahun 1961. Pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat memprakarsai
Depan istana Pagar Ruyung
pembangunan replika istana tidak jauh dari replika kedua yang ada saat ini. Replika pertama yang dibangun tahun 1974 -1975 tersebut terbakar pada tahun 2007, sehingga Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun replika baru yang disebut Istana Basa Pagar Ruyung yang sedang saya kunjungi saat ini. Saya menghabiskan 1 jam 20 menit di istana Pagar Ruyung mendapatkan pelajaran berharga tentang ranah Minang, mencoba pakaian adatnya lalu berkeliling memotret diri yang dilakukan oleh seorang tukang foto keliling di kompleks istana tersebut. Saya menutup kunjungan saya di istana
Depan istana Pagar Ruyung
Pagar Ruyung dengan mengambil sepatu saya sekaligus memberikan donasi ke kotak yang disediakan di tempat saya dan para pengunjung lain meninggalkan alas kaki mereka.

Bersambung ke Perjalanan ke Bukit Tinggi dan Jam Gadang..





Kamis, 07 Mei 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Air Terjun Lembah Anai dan Danau Singkarak.

Di air terjun Lembah Anai 
Biaya per hari 400 ribu rupiah diluar bensin, makan dan rokok sopir. Jika nginap, nambah 125ribu untuk penginapan sopir, demikian harga yang diminta Windi, sopir mobil yang saya hubungi saat mencari mobil yang dapat saya gunakan dari Padang ke beberapa tempat wisata di Sumatera Barat selama 2 hari. Bagaimana kalo 500ribu per hari sudah termasuk bensin, saya mencoba bernegosiasi, namun tidak berhasil sehingga saya harus menerima harga yang diberikan Windi. Windi merupakan seorang sopir di Padang yang direkomendasikan teman saya. Harga tersebut ternyata lebih murah dari harga yang ditawarkan sopir yang mengantar saya dari Airport Padang ke hotel Sofyan Inn Rangkayo Basa - yang menjadi tempat menginap saya selama berada di Padang. Kami sepakat berangkat dari Hotel Sofyan Inn pada jam 7 pagi menuju Air Terjun Lembah Anai, mampir makan di Sate Mak Syukur, melanjutkan perjalanan ke Danau Singkarak lalu ke Batu Angke, Batu Batikam selanjutnya
Lembah Anai
ke Istana Pagar Ruyung kemudian makan siang dan melanjutkan perjalanan ke Bukit Tinggi untuk beristrahat lalu melanjutkan lagi di esok hari dari Bukit Tinggi.

Saya telah menunggu di lobby hotel pada jam 7 pagi. Namun, Windi belum muncul saat jam saya telah menunjukan angka 7.15. Saya mengirim SMS menanyakan posisi Windi lalu menerima balasan bahwa Windi tidak jadi mengantar saya karena ada urusan lain sehingga perannya digantikan oleh orang lain bernama Jasman. Melalui SMS yang sama, Windi memberikan informasi nomor telpon Jasman yang bisa saya hubungi. Saya menelpon Jasman namun tidak diangkat sehingga saya mengirim SMS dalam nada kecewa dan kesal ke Windi. 3 menit kemudian Windi membalas SMS saya menginformasikan bahwa Jasman sedang dalam perjalanan ke Hotel. Jam telah menunjuk angka 7.23, namun Jasman belum tiba sehingga saya kembali menelpon
Jalanan Kota Padang
ke nomor yang diberikan Windi. Kali ini telpon tersebut diangkat dan dijawab bahwa posisinya telah dekat dengan hotel. Saya tidak punya pilihan, hanya menunggu dalam kekesalan karena Windi mengganti orang lain tanpa informasi ke saya sebelumnya.

Jasman tiba sekitar jam 7.30 pagi. Wajahnya terlihat kusut sehingga saya tidak tega mengomeli sopir pengganti Windi yang akan menemani saya selama 2 hari perjalanan ke beberapa tempat di Sumatera Barat. Walau masih kesal, namun saya menahan diri mengingat keselamatan perjalanan kami berada ditangan Jasman. Koper saya diambil alih dan ditaruh ke bagasi di belakang. Saya menyimpan ransel kamera di deretan kursi bagian tengah. Saya duduk menemani Jasman di depan. Kami meninggalkan hotel jam 7.40 pagi alias telah terlambat 40 menit dari waktu keberangkatan yang saya sepakati dengan Windi hari kemarin. Saya mengambil inisiatif mengajak Jasman ngobrol ringan sepanjang perjalanan dari hotel mengarah ke luar kota Padang, termasuk menanyakan tempat kami mengisi bensin sebagaimana kesepakatan saya dan Windi. Dari obrolan ringan tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa Jasman adalah ayahnya Windi. Windi merupakan anak tunggal. Jasman menggantikan Windi, karena Windi harus mengurus penjualan mobil lain yang akan dilihat pembeli pada hari ini.

Air terjun Lembah Anai
Jalanan kota Padang yang kami lalu masih lenggang, rapi dan bersih. Mungkin karena masih pagi di hari Sabtu. Jalanan dihiasi rimbunan pepohonan, terutama di kanan yang menjadi pembatas dengan arah sebaliknya di sebelah kanan saya. Sampai di satu tempat, Jasman membelokan mobil ke kiri jalan menuju suatu tempat pengisian bahan bakar yang terletak tidak jauh dari jalan tersebut. Saya membayar 235ribu untuk pengisian full tanki yang diminta Jasman ke penjual. Selesai mengisi bensin kami melanjutkan perjalanan ke Lembah Anai yang berjarak 1,5 jam perjalanan mobil dari Padang. Meninggalkan Kota Padang, mobil memasuki kawasan Kabupaten Padang Pariaman. Jalanan yang semula rapi, bersih dan mulus sekarang berganti agak bergelombang dan berdebu. Pinggiran jalan
Air terjun Lembah Anai
yang semula didominasi bangunan ruko dan pemukiman mulai berganti pemandangan alam berupa kebun, sawah dana perbukitan apalagi saat kami akan memasuki lembah Anai. Pemandangan didominasi jejeran bukit hijau karena tutupan kerimbunan hutan.

Air terjun lembah Anai terletak di tepi jalan utama Padang Pariaman - Bukit Tinggi. Jasman memarkir mobil di tepi jalan berjejer dengan mobil-mobil lain yang telah tiba terlebih dahulu. Puluhan meter dari air terjun tersebut berjejer kios penjual makanan dan minuman sampai dengan gerbang ke kompleks air terjun. Seorang lelaki bisu sedang duduk di atas kursi plastik usang depan gerbang. Di depannya terletak kotak donasi yang telah terisi dengan uang kertas bernilai beragam. Saat saya melangkah melewatinya tanpa memberikan donasi, pria itu kelihatan sebal dan berteriak-teriak seperti memberitahu orang-orang sekitar situ. Sambil tersenyum dan menggunakan isyarat, saya menginformasikan kepada pria tersebut bahwa donasi akan saya berikan setelah keluar dari lokasi air terjun. Saya terus melangkah menapaki jalanan selebar 1 meteran yang
Air terjun Lembah Anai
bagian kanannya dipagari pagar pembatas dengan jalan raya. Bagian kirinya lebih tinggi sekitar 50cm dari jalan tersebut. 2 pedagang batu akik - seorang laki-laki dan seorang perempuan - terlihat sedang membuka lapak dagangan disitu. Saya tersenyum dan mengangguk sambil berjalan melewati mereka hingga tiba di lokasi air terjun. Hawa sejuk sangat terasa saat saya tiba dekat lokasi air terjun. Puluhan orang, baik perempuan maupun laki-laki, dewasa dan anak-anak terlihat sedang beraksi di lokasi tersebut, termasuk bergaya dan berfoto. Beberapa tukang foto setempat terlihat berseliweran menawarkan jasa mereka sambil menunjukan hasil-hasil pemotretan sebelumnya. Saya tidak tahu apakah ada yang menggunakan jasa mereka atau tidak. Namun saat saya berada di lokasi tersebut, terlihat masing-masing orang atau group sibuk dengan kameranya.

Kenalan di air terjun Lembah Anai
Saya mengambil beberapa foto lalu meminta seorang tukang foto keliling memotret diri saya menggunakan kamera saya tentunya. Setelah itu saya turun ke sungai mencoba merasakan dinginnya air terjun yang mengalir ke sungai di bawahnya. Selesai mencuci tangan dan muka, saya mengambil posisi lagi untuk memotret. Saya meminta seorang lelaki yang sedang menemani 2 perempuan berjilbab untuk memotret diri saya lagi. Setelah itu saya memotret mereka menggunakan kamera meraka dan juga kamera saya. Kami lalu berkenalan dan bertukar nomor telpon guna mengirim hasil foto saya melalui fasilitas WA tentunya. Saya menikmati suasana sejuk tempat tersebut sekitar 20 menit kemudian beranjak meninggalkan lokasi saat satu kelompok berjumlah puluhan orang terlihat berjalan beriringan memasuki lokasi. Sampai di gerbang, saya memberikan donasi ke kota donasi yang dijaga pria bisu tersebut. Setelah membeli air mineral dan biskut di salah satu kios depan gerbang, saya dan Jasman memasuki mobil dan bergerak meninggalkan lokasi air terjun lembah Anai.

Rumah makan 

Mobil meliuk-liuk di jalan berkelok-kelok yang mulai mendaki. Sekitar 15 menit dari lokasi air terjun, pemandangan alam mulai berganti rumah-rumah penduduk beratap tanduk kerbau khas rumah Minang. Mobil dibelokan ke pinggir jalan sebelah kiri memasuki lokasi rumah makan Sate Mak Syukur. Teman saya merekomendasikan mampir menikmati sate padang di rumah makan ini. 20 menit merupakan waktu tempuh dari air terjun lembah Anai ke sate Mak Syukur. Jejeran mobil terlihat diparkir di halaman rumah makan tersebut mengindikasikan ramainya pengunjung. Saya dan Jasman memasuki rumah makan dan
Unti di rumah makan Sate Mak Syukur
mencari tempat duduk kosong yang masih ada. Seorang pelayan laki-laki menghampiri kami dan menanyakan pesanan kami. Saya meminta 2 porsi sate dan air mineral. Jasman meminta jus alpukat. Selain kerupuk, kami juga disuguhi sejenis makanan tradisional yang terbungkus daun berminyak. Namanya Unti, kata Jasman. Terbuat dari campuran tepung beras, gula dan kelapa yang dimasak menggunakan air kelapa sehingga pembungkusnya kelihatan berminyak, lanjut Jasman. Sambil menunggu sate dihidangkan, saya mencoba Unti yang tentu saja enak rasanya walau berminyak.

Sate dihidangkan dalam piring yang telah dilapisi daun pisang. Saya mencicipi sate panas tersebut secara perlahan guna merasakan sensasi kenikmatannya - yang memang benar-benar berbeda dengan sate-sate padang yang telah pernah saya cicipi di berbagai tempat di Jakarta. Ternyata benar kata teman saya, sate Mak Syukur sangat empuk, gurih dan enak. Dengan harga 20ribu rupiah per porsi, lidah saya telah bisa merasakan sensasi kenikmatan sate padang di wilayah asalnya. Saya dan Jasman
Sate Mak Syukur
menghabiskan waktu sekitar 30 menit di rumah makan ini lalu melanjutkan perjalanan kami ke Danau Singkarak di Kabupaten Solok. Mobil melaju meninggalkan rumah makan sate Mak Syukur. Sekitar 5 menit dari rumah makan, mobil belok kanan menyusuri jalanan ibukota salah satu kecamatan di Tanah Datar. Menurut Jasman, jika kami langsung ke Bukit Tinggi, maka kami harus mengambil jalan lurus, tidak belok kanan. Saya hanya mengiyakan saja sambil menikmati pemandangan silih berganti dari tempat duduk saya di dalam mobil yang melaju melewati jalanan mulus yang sedang kami lalui.

20an menit kemudian saya mulai melihat danau kebiruan berselimut kabut berjarak ratusan meter di sebelah kanan jalan yang sedang kami lalui. Danau seperti berada dalam suatu kuali raksasa yang terbentuk dari jejeran berbukitan hijau. Airnya terlihat sangat tenang dan diam tanpa riak. Sekitar 10 menit kemudian, kami mulai mendekati pinggiran danau yang dikelilingi pemukiman. Kanan dan kiri jalan yang kami lalui dijejeri rumah toko yang menjual aneka barang dagangan, termasuk makanan dan hasil
Danau Singkarak
bumi. Karena tidak melihat tempat rekreasi tepi danau yang digunakan masyarakat umum, maka mobil kami terus menyusuri jalan raya di tepi danau mencari tempat ideal menikmati danau Singkarak, termasuk memotret. Mobil melewati jembatan yang kerangkanya terbuat dari baja abu-abu yang terlihat mengkilap diterangi matahari siang. Sungai di bawah jembatan mengalirkan air danau keluar yang digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mengairi persawahan, kata Jasman. Saya hanya mengangguk-angguk menanggapi informasi tersebut. Danau Singkarak terletak di wilayah 2 kabupaten, yakni Solok dan Tanah Datar, kata Jasman. Danau ini merupakan hulu 2 sungai (batang), yakni Ombilin dan Anai dengan luas 108,7 km2.

Danau Singkarak 
Mobil kami terus melaju perlahan melewati suatu belokan setelah jembatan hingga tiba di suatu hamparan kosong yang tidak diokupasi pemukiman. Seorang lelaki sedang duduk merenung di suatu tempat duduk beton di bawah kerimbunan satu pohon Ketapang di tepi danau. Saya berjalan ke lokasi tersebut lalu mengangguk sambil tersenyum dan berkata permisi ke lelaki itu. Lelaki itu tersenyum balik dan mengangguk. Saya mencari posisi dan mulai memotret, kemudian menyapa lelaki itu dan ngobrol santai sambil duduk di sisi lain beton tersebut. Saya meminta Jasman memotret kami berdua lalu meminta lelaki tersebut memotret saya dan Jasman. Saat kami ngobrol-ngobrol, lelaki itu
Kenalan di tepi Danau Singkarak 
menginformasikan ke kami posisi ideal memotret danau Singkarak, yakni dari atas bukit atau dekat jembatan. Setelah puas menikmati danau Singkarak yang hening dan terlihat bersih, saya dan Jasman pamit melanjutkan perjalanan. Mobil berputar balik dan bergerak ke arah jembatan yang telah kami lalui. Sebelum melewati jembatan, Jasman membelokan mobil ke kenan menyusuri jalan mendaki di sebelah jembatan. Kami mengikuti saran si lelaki tepi danau Singkarak, yakni mencari posisi ideal di perbukitan atas danau guna memotret danau dari ketinggian. Tiba di tempat yang terasa ideal, saya meminta Jasman menghentikan mobil lalu saya mulai memotret lalu kembali ke mobil dan bergerak lagi mencari tempat lain. Setelah beberapa kali dan merasa cukup, saya mengajak Jasman melanjutkan perjalanan ke Batu Angke, Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung. Saat mobil tiba di atas jembatan, sekali lagi saya meminta Jasman berhenti, saya turun dan mulai memotret danau dari atas jembatan. Sambil memotret saya merasa jembatan bergoyang / bergetar ketika dilewati mobil sehingga saya cepat-cepat menyelesaikan pemotretan.
Bersama Jasman di tepi Danau Singkarak

Sekali lagi mobil kami melewati jembatan lalu belok kanan sekitar 10 meter dari jembatan. Kami tidak balik menyusuri jalan yang telah dilalui sebelumnya dari lembah Anai. Kami mengambil jalan berbeda menuju Batu Angke dan Batu Batikam di Kabupaten Tanah Datar.

=======================================
Bersambung ke Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung





JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...