Jumat, 25 Maret 2016

JELAJAH JEPANG. KYOTO: Perjalanan dari stasiun Hiroshima ke Kyoto dan Hutan Bambu Arashiyama

Hiroshima di subuh hari
Setelah check out, saya menggunakan eskalator ke lantai 1 Hotel Grandvia Hiroshima guna mengakses jalan tembus ke stasiun kereta Shinkansen di stasiun Hiroshima yang terhubung dengan hotel. Saya akan menggunakan Shinkansen yang berangkat jam 8 pagi ke stasiun Kyoto. Karena telah melakukan orientasi di stasiun Hiroshima semalam saat kembali dari Miyajima dan juga telah terbiasa dengan akses ke peron Shinkansen di Kansai dan Osaka, maka saya tidak menemukan kesulitan menuju peron Shinkansen stasiun Hiroshima. Sebagaimana biasa saya selalu antri di bagian gerbong non reservasi yang telah ditandai di peron. Saya langsung berdiri di antrian pertama ke gerbong nomor 4. Tak lama setelah itu, antrian mulai memanjang ke belakang dengan kehadiran para turis bule dan juga penunpang lokal yang dapat dibedakan dari fisik dan gaya pakaian mereka. Penumpang lokal selalu berpakaian rapi, termasuk jaket panjang atau jaket tebal berbagai warna, sepatu boot, syal dan topi berbagai bentuk. Orang Jepang selalu terlihat gaya dalam berpakaian, baik laki-laki mapun perempuannya. Gaya mereka seperti gaya orang-orang Eropa yang terlihat di film-film.

Kota Hiroshima di pagi hari
Saya memasuki gerbong setelah penumpang terakhir yang turun di stasiun Shinkansen keluar. Kereta tidak pernah berhenti lama di satu stasiun- mirip kereta Jakarta - Bandung atau sebaliknya yang berhenti di stasiun Jatinegara. Karena itu, semua penumpang selalu bergegas masuk dengan tertib saat penumpang terakhir keluar gerbong. Perjalanan Hiroshima - Kyoto ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam 15 menit. Shinkansen  berhenti di beberapa stasiun utama kota-kota yang dilewati, termasuk stasiun Shin Osaka yang telah saya kenal baik (lihat catatan jelajah Osaka sebelumnya).  Saya tiba di stasiun Kyoto sekitar jam 10.20 pagi. Stasiun Kyoto merupakan salah satu stasiun besar di Jepang. Stasiun ini dipenuhi toko, restoran dan juga mall. Dari peron Shinkansen, saya menggunakan eskalator ke dalam stasiun. Melalui petunjuk arah yang tertulis manual ataupun digital di langit-langit stasiun, saya mulai mencari loket penjualan karcis kereta lokal. Untuk itu, saya harus ke basement stasiun melalui suatu mall besar dalam stasiun tersebut. Keluar dari mall, saya berhadapan dengan lorong panjang selebar 10 meteran. Saya mulai mencari loker kosong untuk menitipkan koper kecil saya karena saya akan langsung menjelajah ke hutan bambu Arashiyama terlebih dahulu sampai sore atau malam baru akan ke hotel untuk check in.   Jejeran loker di lorong tersebut tersedia dalam 3 ukuran, yakni besar, sedang dan kecil dengan harga bervariasi antara 500-900 yen. Jejeran pertama loker sepanjang lorong yang saya susuri telah penuh sehingga saya terus berjalan ke sisi lain stasiun. Pada baris pertama juga penuh, saya terus berjalan menuju ujung lorong. Saat saya hampir tiba di ujung, saya melihat 2 loker berukuran sedang sepertinya kosong karena kunci loker tergantung di masing-masing loker. Saya bergegas menuju loker tersebut kuatir didahului orang lain. Di salah satu loker saya memasukan uang logam senilai 100 yen sebanyak 5 koin atau totalnya 500 yen (sekitar 60an ribu rupiah) agar saya bisa membuka pintu loker dan menyimpan koper saya didalamnya. Semua loker menggunakan uang logam. Jika tidak memiliki uang logam, maka uang kertas bisa ditukar di mesin penukar yang juga tersedia di sekitar jejeran loker. Setelah koper saya simpan dalam loker yang saya kunci, kuncinya saya simpan dalam salah satu laci ransel kamera yang selalu saya bawa dalam setiap perjalanan jelajah saya.


Kyoto Tower di malam hari
Selesai menyimpan koper, saya berjalan lurus ke ujung lorong lalu belok kiri menuju mesin penjualan tiket yang menempel di dinding menghadap eskalator ke lantai atas. Saya memencet tombol bahasa Inggris sehingga mesin menampilkan informasi berbahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Jepang yang sebelumnya terpampang di mesin tersebut. Dari informasi bahasa Inggris tersebut tersedia berbagai jenis tiket kereta, subway, metro dan juga bis. Saya membeli tiket terusan seharga 2000 yen (sekitar 260 ribu rupiah) untuk 2 hari yang berlaku di subway dan bis di seluruh Kyoto. Sesaat sebelum saya meninggalkan mesin penjualan tiket, terlihat sepasang turis bule celingukan di mesin sebelah saya. Informasi yang terpasang masih berbahasa Jepang. Saya membantu menunjukan cara mengubah bahasa Jepang ke bahasa Inggris dengan menunjukan tombolnya. Keduanya terseyum ramah dan mengucapkan terima kasih. Saya membalas lalu berbalik menuju eskalator berjarak 5 meteran dari mesin penjualan tiket. Saya memasukan tiket yang barusan saya beli ke lubang yang tersedia di pintu berpalang X. Lampu merah di palang berubah menjadi hijau memberi tanda ke saya berjalan melewati palang X. Tiket yang saya masukin ke mesin muncul di sisi sebelah pintu berpalang. Saya mengambil dan menyimpannya ke kantong terluar ransel guna memudahkan penggunaannya di stasiun ataupun bis. Saya berjalan lurus ke eskalator yang membawa saya kembali ke lantai satu di sisi lain bangunan stasiun. Saya memutuskan mengenyangkan perut terlebih dahulu sebelum mencari kereta JR ke Arashiyama. Setelah melihat-lihat berbagai restoran di lantai 1, saya berhenti di resto makanan cepat saji bernama Subway seperti Mc. D di Jakarta. Saya agak familiar dengan makanan resto cepat saji ini karena pengalaman di London saat perjalanan jelajah saya di kota tersebut pada tahun 2013 (baca catatan perjalanan di London).

Jalan depan stasiun Kyoto
Saat saya makan siang, sepasang perempuan dan laki-laki tersenyum dan menyapa saya menggunakan bahasa Inggris. Saat saya mengatakan dari Jakarta pembicaraan kami beralih ke bahasa Indonesia. Pasangan ini juga sedang menghabiskan beberapa hari di Kyoto menikmati musim gugur. Mereka lebih dahulu menyelesaikan makan siang mereka lalu pamit melanjutkan perjalanan. Saat saya menyelesaikan paket makan siang saya seharga 75ribu rupiah, saya membereskan meja saya dan memindahkan sampah makanan dan minuman saya ke tong sampah yang telah disediakan di resto tersebut. Semua orang yang makan siang di tempat tersebut membereskan meja masing-masing. "Pantas saja saat di Jakarta saya melihat 4 turis Jepang membereskan meja mereka saat selesai menikmati minuman dan cakes", pikir saya mengingat pengalaman bertemu beberapa turis Jepang di salah satu gerai kopi internasional di Jakarta beberapa bulan silam.

Jalan ke hutan bambu Arashiyama di pagi hari
Dari resto makanan cepat saji Subway, saya berjalan kembali ke bagian peron-peron kereta megikuti petunjuk digital dan juga non digital yang terpampang di langit-langit stasiun. Saya tiba di satu pelataran yang cukup luas yang membagi para penumpang ke beberapa arah. Jika berjalan lurus, saya akan menuju stasiun subway, jika ke kiri, saya akan menuju peron Shinkansen. Jika ke kanan, maka saya akan menuju peron kereta JR. Saya belok kanan menuju jejeran pintu-pintu berpalang. Karena saya akan masuk ke peron menggunakan JR Pass (baca catatan-catatan perjalanan sebelumnya di Osaka, Hiroshima dan Miyajima), maka saya berjalan ke loket JR yang dijaga seorang lelaki berjas dan bercelana warna biru dongker, kemeja putih bersama dasi dan topi dalam warna senada dengan jas dan celananya. Petugas piket menganggukan kepalanya membiarkan saya melewati pintu tanpa palang di samping loket saat saya menunjukan JR Pass. Mengikuti petunjuk arah yang ada, saya menuju eskalator di depan saya yang mengantar saya ke peron kereta yang berangkat ke stasiun Arashiyama.

Stasiun kereta JR Arashiyama
Waktu menunjukan jam 12.45 saat kereta JR yang saya tumpangi meninggalkan stasiun Kyoto menuju stasiun Arashiyama. Perjalanan sekitar 30an menit tersebut menampilkan landscape perkotaan Kyoto karena jalur kereta JR selalu berada di atas tanah sama seperti jalur kereta dan komuter di Jakarta. Stasiun Arashiyama merupakan stasiun di pinggir kota Kyoto sehingga masih sederhana. Kebanyakan stasiun di pinggiran kota mirip stasiun-stasiun komuter jalur Jakarta - Bogor, tanpa mall, resto, dan kios. Saya mengikuti penumpang lainnya berjalan keluar stasiun. Bedanya karena saya pengguna kartu JR, maka saya harus keluar melalui pintu tanpa palang di samping loket yang dijaga petugas piket seperti di stasiun-stasiun lainnya. Matahari sedang bersinar terik, namun udara terasa dingin.
Rickshaw dan pengemudinya
Arashiyama merupakan tempat pinggiran kota Kyoto dengan rumah-rumah penduduk yang tertata asri seperti di daerah perumahan Cibubur, Jakarta Selatan. Rumah, toko, kios dan resto tertata rapi sepanjang jalan yang saya lalui dari stasiun kereta JR Arashiyama ke hutan bambu Arashiyama. Selain hilir mudik ratusan orang sepanjang jalan yang sedang saya lalui, para pesepeda dan pengemudi rickshaw (becak khas Jepang dan India yang dikendalikan pengemudinya dengan cara ditarik sambil berlari atau berjalan) turut meramaikan jalan tersebut. Sekitar 500 meter dari stasiun Arashiyama, saya dan ratusan pejalan kaki lainnya tiba di pertigaan. Saya mengikuti para pejalan kaki tersebut belok kanan menyusuri jalan yang semakin ramai dan penuh di kedua sisinya. Hanya sedikit mobil yang kadang melewati jalan yang dikuasai para pejalan kaki, termasuk saya. Saya terus maju sambil sesekali memotret atau membuat video pendek suasana jalan yang saya lalui hingga tiba di pertigaan lain yang berjarak sekitar 500 meter juga dari pertigaan yang telah saya lewati. Di pertigaan ini terlihat satu kios es krim di sebelah kiri saya yang dipenuhi pembeli hingga harus antri beberapa puluh meter. Ribuan manusia seperti tumpah ruah di pertigaan ini bersesakan dengan kendaraan seperti bis, taksi dan mobil pribadi serta para pengemudi rickshaw. Saya berdiri beberapa saat mempelajari situasi lalu memutuskan belok kanan.

Hutan bambu Arashiyama
Saya menyeberang jalan mengarah ke gerbang kuil yang terletak di arah tusuk sate depan pertigaan.  Dari depan gerbang kuil saya berjalan terus mengikuti ribuan orang yang seperti merayap menyusuri jalanan tersebut. Puluhan kios souvenir dan resto-resto kecil berjejer sepanjang jalan yang sedang saya susuri hingga tiba di suatu gang  kecil dengan lebar sekitar 3 meter yang berjarak 200an meter dari pertigaan depan gerbang kuil. Mulut gang sangat penuh sesak dan dijaga petugas berpakain khusus yang mengatur lalu lintas orang, rickshaw dan juga mobil. Saya menduga gang tersebut merupakan jalan ke hutan bambu Arashiyama yang sangat terkenal di dunia karena hampir semua pejalan kaki masuk ke gang tersebut.  Saya belok kiri masuk ke gang tersebut berjalan mengikuti arus ribuan manusia dari berbagai bangsa yang sedang tumpah ruah di situ. Kedua sisi jalan tersebut penuh sesak sehingga harus berjalan sangat perlahan seperti merayap. Sesekali kerumunan manusia tersebut dibelah oleh para pengemudi rickshaw yang menarik kendaraannya membawa para penyewa menelusuri hutan bambu tersebut.  Sambil berjalan saya sempatkan memotret dan juga mengambil video. Ribuan pohon bambu yang tumbuh menjadi hutan di sepanjang jalan yang dilalui ribuan pengunjung tersebut berada dalam pagar setinggi 2 meteran sehingga pengunjung yang ingin memotret harus mencari cela di antara pagar.

Hutan bambu Arashiyama
Saya tiba di satu pertigaan di dalam hutan bambu tersebut. Jika saya lurus maka saya menuju suatu kuil Shinto yang terletak persis di sebelah kanan pertigaan tersebut. Saya belok kiri terus menyusuri jalan tanah dalam hutan bambu tersebut. Namun saya tidak dapat menikmati kawasan hutan bambu Arashiyama karena kehadiran ribuan pengunjung lainnya. Sudut pengambilan foto juga sangat sulit untuk mendapatkan frame tanpa adanya orang lain dalam foto. Jalan yang saya susuri agak mendaki setelah belok kanan di suatu tikungan. Panjang hutan bambu ini sekitar 2km dari mulut gang tempat saya masuk hingga berakhir di suatu tempat yang terhubung ke jalan raya lain di belakangnya.

Karena tidak pernah mendapatkan tempat memotret yang bagus, saya memutuskan balik arah meninggalkan hutan bambu Arashiyama dengan rencana akan kembali esok hari. Saya mengikuti arus manusia yang berjalan kembali ke ujung gang yang terhubung ke jalan  raya. Tiba di ujung gang saya belok kanan kembali menyusuri jalan yang telah saya lalui sebelumnya menuju hutan bambu tersebut. Saya tiba kembali di depan gerbang kuil Tenryuji di depan pertigaan. Saya masuk ke kompleks kuil dan memulai jelajah saya di kuil Tenryuji.

Bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...