Selasa, 21 Januari 2014

JJ EROPA BARAT: KELILING LONDON - ISTANA BUCKINGHAM

Tulisan Kedelapan

Brosur city sight seeing
Telah hampir jam 10.30 pagi waktu London saat saya menaiki bis City Sight Seeing di bagian Utara kawasan Trafalgar Square - sekitar 50 meter arah kanan Gedung Galeri Nasional. Hujan mulai menderas saat kaki saya melangkah ke dalam bis bertingkat 2 tersebut. Tiket saya tunjukan ke sopir yang hanya tersenyum sambil mengangguk. Pemandu yang duduk tepat di sebelah kanan pintu masuk membagikan peta dan juga mantel plastik transparan berwarna bening. Keinginan duduk di dek terbuka di atas tidak bisa dilaksanakan karena hujan masih sedang berlangsung. saya lalu mengambil tempat duduk di salah satu kursi kosong di dalam bis. Setelah semua calon penumpang memasuki bis, sopir menutup pintu dan menjalankan bis tsb. Pemandu yang duduk di dekat pintu masuk meraih microphone dan memperkenalkan dirinya, mengucapkan selamat datang kepada para penumpang baru dan mulai menjelaskan tempat wisata yang dituju. Saya mendengarkan sambil membuka peta warna merah di pangkuan saya untuk mengetahui tempat yang dijelaskan pemandu dan rute yang ditempuh. Tidak semua bis menggunakan pemandu yang menjelaskan secara langsung / live rute dan tempat wisata yang dilalui. Ketiadaan pemandu digantikan oleh rekaman - dimana penjelasan rekaman tersebut cocok dengan tempat-tempat wisata yang akan dilalui sebagai indikator manajemen pengelolaan tour tersebut sangat profesional.

Rute dalam peta dikelompokan dalam 3 warna untuk kunjungan ke tempat-tempat wisata berbeda dalam 3 kategori yang disebut orginal tour berwarna kuning, city sightseeing tour berwarna merah dan museum tour berwarna biru dongker. Di beberapa tempat, ketiga rute tersebut bertemu sehingga pengunjung bisa berpindah ke bis lain yang menempuh rute ke tempat wisata tertentu yang ingin dikunjungi di rute tersebut. Rute berwarna merah, yakni city sightseeing tour merupakan rute terbesar yang mencakup sebagian besar wilayah kota London.  Dalam peta juga tersedia keterangan atau legenda yang memudahkan pengguna mengetahui informasi-informasi penting terkait kunjungan, antara lain titik utama memulai tour, titik pertemuan antar rute, stasiun kereta bawah tanah, tempat-tempat wisata dan dermaga tempat naik kapal untuk menyusuri sungai Thames. Pada sudut kiri bawah peta juga tersedia informasi naratif tentang tempat-tempat hop on dan hop off menggunakan semua bis wisata tersebut dengan tiket yang saya miliki. Saat saya hitung masing-masing tempat wisata di tiga rute berbeda tersebut, ternyata jumlah tempat wisata yang akan dilalui bis dalam rute kuning hanya selisih 1 dengan bis rute warna merah. Rute warna kuning melalui 35 tempat wisata, sedangkan rute warna merah melalui 36 tempat wisata. Saya tidak terlalu mengetahui perbedaannya dalam pelaksanaan, karena saat berkeliling, saya ternyata bisa naik turun atau hop on dan hop off di berbagai halte tempat perhentian bis tersebut guna mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar / dekat halte-halte tersebut.

Brosur berisi informasi dan peta kota London
yang dilalui dann disinggahi bis city sight see in
Oleh karena masih hujan, saya lalu memutuskan untuk berkeliling saja terlebih dahulu alias tidak turun dari bis sejak pemberangkatan dari halte Trafalgar square sampai bis kembali lagi ke halte tersebut. Dengan demikian, saya bisa mengetahui kondisi kota sambil mempelajari peta lalu mengambil keputusan tempat wisata mana yang akan saya kunjungi - dimana saya bisa masuk gratis menggunakan London Pass yang telah saya miliki. Karena itu, setelah memperlajari peta, saya juga mempelajari buku saku London Pass - untuk menemukan titik-titik temu antara rute yang dilalui bis City Sight Seeing dengan tempat wisata London Pass - yang ternyata lumayan banyak sehingga saya harus memutuskan dengan cepat mengunjungi beberapa saja karena adanya keterbatasan waktu menggunakan bis tersebut maupun waktu masuk ke tempat-tempat wisata tersebut. Saat berkeliling, saya sempat juga berpindah ke dek atas bis ketika hujan reda dan hanya gerimis. Ternyata saya tidak sendiri, beberapa turis bule juga duduk di dek atas dengan memakai mantel dan juga payung. Saya pun menggunakan mantel plastik yang disediakan serta juga payung. Syukurlah angin tidak terlalu kencang, sehingga saya bisa duduk santai menggunakan payung dalam gerimis menikmati kota London yang mulai beranjak siang - sehingga kesibukan kota mulai terlihat. Saya tidak ingat sama sekali jalan kota yang saya lalui malam sebelumnya saat menggunakan bis umum mengunjungi kota tersebut. Walau duduk di dek atas, saya masih bisa mengikuti penjelasan pemandu melalui earphone warna merah yang juga telah disediakan bagi pengunjung. Jalan-jalan kota sangat bersih, namun tidak selebar jalan Sudirman-Thamrin di Jakarta. Walau demikian tidak terjadi kemacetan seperti yang setiap hari terjadi di Jakarta.

Dari halte di Trafalgar Square, bis mengarah ke Selatan melewati Royal Courts of Justice, St. Paul's Chatedral menyeberangi sungai Thames melalui London Bridge lalu berbelok ke kiri melewati City Hall lurus mengarah ke Tower Bridge lalu menyeberangi lagi sungai Thames melalui Tower Bridge tersebut lalu menyusuri jalan antara Tower Bridge dan Tower of London, berbelok ke kiri di salah satu sudut jalan depan Tower of London lurus melewati Shakespeare's Globe dan Tata Modern, menyeberangi sungai Thames lagi menuju Horse Guard's Parade dan Downing Street, House of the Parliament,  menyeberangi sungai Thames lagi mengarah Westminster Pier berbelok ke kiri melewati  Lambeth Palace, menyeberangi sungai Thames lagi di Lambeth Bridge mengarah ke Buckingham Palace, Victoria, Wellington Museum, melewati Hyde Park, lurus ke Marble Arc, berbelok ke arah Regents Park lalu berbelok di sudut Regents Park memasuki Oxford Street lurus ke Regent Street mengarah ke Eros Statute atau Piccadilly Circus lalu belok kanan sekitar 30 derajat mengarah Leicester Square untuk kembali memasuki kawasan Trafalgar Square - dengan total waktu sekitar 45 menit. Saya tidak turun saat bis tiba kembali di halte Trafalgar Square, saya memutuskan untuk mengunjungi kawasan istana Buckingham guna menonton prosesi pergantian pengawal istana yang telah dikenal dunia, terutama para turis yang pernah berkunjung ke London.

Prosesi pergantian pasukan pengawal istana 
Berbagai informasi di internet menyatakan bahwa prosesi pergantian pengawal istana dilakukan pada jam 11 siang. Saat saya tiba di depan istana yang telah dipenuhi ratusan turis, prosesi baru akan dimulai. Langit yang berawan tebal diiringi gerimis tak henti tidak menyurutkan keinginan ratusan turis menonton prosesi tersebut. Dengan menggunakan payung warna warni dan juga berbagai jenis mantel warna warni, para turis berjejal di depan pagar istana sampai dengan taman depan istana. Jalan yang akan dilalui para pengawal saat itu kosong dan diberi pagar penghalang / pembatas agar para turis / penonton tidak berjejal di jalan yang akan dilalui para pengawal tersebut. Prosesi pergantian diiringi musik drumband yang dimainkan para pengawal dalam seragam khas baju merah dan celana panjang hitam bersama topi tinggi berbulu warna hitam khas pasukan pengawal istana kerajaan Inggris. 2 pengawal mengendarai kuda di depan dan di belakang barisan pasukan pengawal dan drumband yang berjalan keluar istana melewati jalan depan istana lurus melewati taman yang dipenuhi turis dan penonton dalam gerimis yang terus menerus mengguyur kawasan tersebut. Pada saat prosesi berlangsung, para penonton seperti tersihir sehingga tidak ada sedikitpun suara terdengar. Demikian juga kendaraan pribadi dan taxi yang semuanya berwarna hitam berhenti di jalan depan istana. Hanya suara musik dan perintah komandan upacara yang terdengar diiringi bunyi gerimis yang jatuh di payung dan mantel para penonton. Tepuk tangan dan sorak para penonton baru terdengar saat prosesi selesai dimana para pengawal yang selesai tugas dikawal pengawal berkuda dan drumband keluar dari area tersebut. Para penonton lalu mulai membubarkan diri.

Depan Istana Buckingham
Saat kawasan depan istana mulai sepi, saya bertemu sekolompok turis Philipina yang meminta tolong diambil fotonya. Beruntunglah gerimis mulai reda walau belum berhenti sama sekali - namun payung dan mantel telah dapat dilepas untuk pengambilan foto.  Setelah mengambil beberapa foto para turis Philipina tersebut, saya lalu ganti meminta salah satu dari  mereka mengambil foto saya yang berpose di seberang jalan depan istana. Setelah selesai, saya beranjak mendekati gerbang istana yang tertutup rapat - yang mulai ditinggalkan para turis dan penonton. Gerbang dan pintu istana tertutup rapat - bahkan Ratu Elizabeth sedang berlibur musim panas di istananya di Irlandia demikian informasi yang saya peroleh di internet dari salah satu agen perjalanan yang menawarkan kunjungan ke dalam istana, karena dibuka untuk umum saat itu. Dengan membayar 19 pound atau sekitar 360.000 rupiah, para turis dapat memasuki area tertentu di dalam istana. Pintu masuk untuk kunjungan turis berbeda dengan pintu masuk ke istana untuk keluarga kerajaan dan tamu-tamu kerajaan. Turis yang telah membeli tiket online akan masuk melalui pintu gerbang di samping kanan yang berjarak sekitar 30 meter dari pintu gerbang istana. Penjualan dan pembelian tiket kunjungan ke istana juga di jual di tempat melalui loket khusus yang terletak sekitar 15 meter dari pintu masuk. London Pass yang saya miliki tidak berlaku untuk kunjungan ke dalam istana. Dan juga karena keterbatasan waktu, saya memutuskan hanya menyaksikan prosesi pergantian pengawal dan berfoto di depan istana. Jika membeli tiket yang cukup mahal tersebut, maka saya akan menghabiskan sekitar 2 - 3 jam menikmati istana sebagaimana pengalaman saya di istana raja dan ratu Spanyol di Madrid. Padahal hari semakin siang, sedangkan London Pass belum sempat saya gunakan dan juga masih banyak tempat wisata di kota itu yang masih harus dikunjungi.

Gerimis mulai turun lagi, saya lalu bergegas kembali ke halte bis City Sight Seeing. Beruntunglah ada pohon besar berdaun lebat yang menaungi halte tersebut sehingga saya tidak perlu mengenakan mantel dan menggunakan payung lipat yang selalu saya bawa dalam ransel. Karena saya melihat banyak turis duduk di tembok pembatas halaman satu gedung di belakang pohon tersebut dengan pedestarian, saya pun ikut duduk sambil mengamati turis berbagai bangsa dari berbagai negara yang lalu lalang ke arah istana maupun sebaliknya. Saya kembali membuka peta dan buku panduan London Pass mencari tempat wisata lain yang akan saya kunjungi menggunakan kartu London Pass. Saya lalu memutuskan mengunjungi the Big Ben - impian masa kecil yang membuat saya selalu ingin ke kota ini suatu hari - yang akhirnya bisa dipenuhi.

BERSAMBUNG

Rabu, 15 Januari 2014

JJ KE EROPA BARAT. LONDON: City Sight Seeing dan London Pass

Tulisan ke delapan

Setelah sarapan gaya Inggris - biasa dikenal dengan nama English breakfast, saya pun keluar hotel untuk berkeliling kota London. Kawasan sekitar sedang diguyur gerimis. Karena saya selalu membawa payung lipat, maka gerimis tidak menjadi masalah saat itu. Dengan menggunakan payung, saya memutuskan berjalan kaki dari hotel ke stasiun North Greenwich untuk menumpang Underground atau Tube atau kereta bawah tanah ke pusat Kota London. Saya lalu menyeberangi perempatan depan hotel, berjalan sebentar lalu menyeberangi lagi satu perempatan tidak jauh dari halte bis pertama saat saya turun dari bis di hari kedatangan saya di kawasan tersebut. Setelah menyeberang perempatan, saya hanya perlu berjalan lurus sekitar 5 menit menuju stasiun.

Gerimis telah berhenti saat saya tiba di stasiun. Hari ini saya merencanakan pergi terlebih dahulu ke kantor London Pass, yakni semacam karcis harian yang dikelola oleh suatu agen turis di London. Pengguna karcis ini dapat masuk secara gratis ke berbagai tempat yang telah memiliki kerjasama dengan agen tersebut. Penggunanya juga tidak perlu masuk dalam antrian biasa untuk masuk ke tempat-tempat wisata - berfungsi seperti fast track pass di Universal Studio Singapura - yang pernah saya gunakan saat berkunjung ke tempat wisata tersebut tahun 2010 silam. Saya membeli London Pass mengikuti saran di salah satu buku wisata tentang London yang diberikan seorang teman. Saya lalu mencari karcis tersebut melalui google yang ternyata sangat mudah ditemukan. Layaknya website penjualan lainnya, website London Pass juga mempromosikan sejumlah kemudahan bagi pengguna jika membeli terlebih dahulu secara online - walau sebenarnya dapat dibeli juga di tempatnya di London. Oleh karena penukaran bukti pembelian online dengan karcis baru akan mulai dilakukan jam 10 pagi, maka saya memutuskan menghabiskan waktu terlebih dahulu di sekitar stasiun North Greenwich - dengan mengunjungi kawasan O2 yang terletak di belakang bangunan stasiun.

Sebelum beranjak ke area O2 di belakang bangunan stasiun, saya berhenti sejenak di dalam gedung stasiun mengamati bangunan tersebut. Langit bangunan terletak sekitar 20 meter dari lantai tempat saya berdiri - seperti lasimnya bangunan-bangunan di Eropa. Pintu-pintu kaca tembus pandang memudahkan lalu lintas masuk keluar penumpang Underground. Di atas pintu-pintu kaca tersebut dipasang dinding-dinding kaca yang juga tembus pandang hingga menyentuh atap. Suasananya lenggang mungkin karena masih terlalu pagi. Pengalaman pertama saya pergi ke Itali dan Spanyol pada tahun 2011 menunjukan bahwa aktivitas luar rumah baru dimulai pada jam 9 pagi ke atas. Hanya ada satu kios subway yang menjual makanan cepat saji seperti hotdog dan sejenisnya serta minuman ringan. Kios ini terletak di dekat pintu masuk sebelah kanan. Terlihat juga beberapa bilik - mungkin kantor-kantor urusan Underground - yang masih dalam keadaan tertutup.

Kawasan Arena O2 di belakang stasiun North Greenwich
Saya lalu meneruskan langkah saya ke belakang. Saya langsung berhadapan dengan suatu hamparan luas sekitar 20 meter lebar dan 50 meter yang terletak diantara stasiun dan bangunan O2. Tiang-tiang beton berbentuk kerucut berwarna coklat pucat berjejer di samping kiri pintu luar stasiun menuju bangunan Arena O2. Tiang-tiang tersebut beratap kaca tembus pandang selebar sekitar 1 meter. Bagian tengah tiang-tiang tersebut dihiasi berbagai iklan dalam pigura. Sekitar 1 meter ke kiri dari tiang-tiang tersebut berdiri semacam pagar tertutup yang juga dihiasi berbagai iklan. Saya berjalan melewati tiang-tiang tersebut menuju ke tengah hamparan kosong dimana terdapat satu tugu berbentuk spiral kontemporer yang meruncing ke atas berwarna abu-abu pucat. Di sebelah kiri tugu tersebut terdapat cafe, lalu sekitar 10 meter ke kiri dari cafe tersebut terletak Arena O2. Sedangkan di sebelah kanan tugu terletak 1 bangunan modern warna biru langit berdinding kaca yang sepertinya berfungsi sebagai bangunan perkantoran karena saat saya masih berada di area tersebut, banyak orang berpakaian jas dan dasi berjalan keluar dari bangunan stasiun menuju ke bangunan modern tersebut.

The O2 arena merupakan suatu stadion multi fungsi berbentuk tenda perkemahan warna putih pucat atau abu-abu dengan 12 tiang warna kuning menembus atapnya - seperti tiang-tiang kapal berwarna kuning dilihat dari jauh. Dibangun pada tahun 2003 dan selesai pada tahun 2007 yang digunakan sebagai arena konser musik, maupun olahraga terutama pada tahun 2012 untuk Olimpik dan Paraolimpik musim panas. Stadion ini dapat menampung penonton hingga 20 ribu orang dan merupakan stadion terbesar kedua di London. Setelah puas melihat-lihat dan mengambil beberapa foto arena dan foto diri, saya lalu berjalan kembali ke stasiun untuk berangkat ke pusat Kota London.

Tak lama menunggu, kereta yang dinanti tiba. Setelah para penumpang yang turun keluar, saya dan para calon penumpang lain yang menunggu di peron melangkah masuk dan mengambil tempat duduk di bangku-bangku kosong yang masih tersedia. Sesuai petunjuk online penukaran bukti pembelian dengan tiket London Pass harus dilakukan di kantor agen tersebut, maka saya harus bertukar kereta di stasiun Green Park, berganti dari Jubilee line ke Piccadilly line arah Cockfosters. Saya lalu turun di stasiun Leicester Square, yakni stasiun kedua setelah Green Park. Pemandangan di luar stasiun sangat berbeda dengan di North Greenwich. Jalan yang berseliweran di antara gedung-gedung. Sesuai petunjuk online yang telah saya print dan pegang, saya lalu berbelok ke arah kiri menyusuri pedestarian yang langsung berbatasan dengan deretan bangunan berbagai bentuk dan gaya. Jalan depan saya ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor, namun tidak macet seperti Jakarta. Jalannya juga tidak selebar jalan Sudirman - Thamrin di Jakarta. Tidak ada jembatan penyeberangan yang mengganggu pemandangan seperti di Jakarta. Kota sepertinya telah mulai sibuk beraktifitas, karena selain kendaraan juga banyak turis dan warga London yang lalu lalang. Para turis yang lalu lalang kelihatan dari gaya pakaian harian, bercelana pendek dan berkaus oblong serta beberapa memegang peta. Punggungnya menyandang tas ransel beraneka bentuk dan warna.

Setelah berjalan sekitar 25 meter dari stasiun, saya melihat seorang karyawan bis wisata City Sight Seeing berdiri di sampaing bis menggunakan seragam yang sama warnanya dengan bis wisata tersebut, yakni dominan warna merah. Tiket bis wisata ini telah saya beli melalui internet seharga 28 pound atau sekitar 532.000 rupiah per hari.  Bis ini mulai beroperasi sejak jam 8.30 pagi sampai jam 4.30 atau jam 5 sore, tergantung paket wisata yang diambil - yang terdiri dari original package, full sight seeing package (termasuk kapal / boat menyusuri Sungai Thames) dan Museum Package. Tiketnya berlaku selama 24 jam, artinya jika digunakan pertama kali pada jam 12 siang misalnya, maka tiket tersebut masih dapat digunakan sampai dengan jam 12 siang esok harinya.

London Pass dan City Sight Seeing merupakan 2 agen wisata berbeda. City Sight Seeing menjual tiket wisata berkeliling London menggunakan bus-bus wisata berwarna dominan merah dengan aksen garis melintang kuning di bagian depan dari atap ke badan bis. Bis-bis ini sama seperti bis penumpang umum di London adalah bis bertingkat 2 dengan atap terbuka. Biasanya dikenal dengan istilah hop on dan hop off,  karena pemegang karcis / tiket dapat naik turun di halte mana saja sesuai kebutuhan dalam sesuai paket waktu yang dibeli.  Sedangkan London Pass menjual tiket untuk kunjungan ke tempat-tempat wisata di London yang telah memiliki kerjasama dengannya. Tiket London Pass juga dapat digunakan untuk mendapatkan diskon di restoran dan toko tertentu di London. Dengan menggunakan City Sight Seeing  maka turis dapat turun dan naik di berbagai halte yang telah ditentukan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat-tempat wisata yang dikunjungi. Saya disarankan menggunakan bus ini oleh seorang kenalan warga negara Inggris asal India. Kami bertemu saat dia melakukan penelitian tentang program Padat Karya di Jawa Barat dan Jawa Timur, dimana saya menemani dia sebagai penterjemah. Atas saran kenalan tersebut, saya lalu membeli tiket online City Sight Seeing di www.hop-on-hop-off-bus.com.  Bukti pembelian harus ditukar di tempat-tempat penukaran di London - yang ternyata sangat mudah ditemukan karena para karyawannya tersebar di berbagai halte bus City Sight Seeing maupun tempat-tempat tertentu untuk penjualan dan pembelian serta penukaran tiket yang dibeli online. Para karyawan menggunakan seragam yang sewarna dengan bus wisata City Sight Seeing,  yakni warna merah dengan aksen kuning. Bus yang sama juga ada di kota-kota lain di Eropa. Hanya berbeda sama belakangnya. Misalhnya City Sight Seeing London untuk bis yang beroperasi di Kota London. City Sight Seeing Madrid untuk bis yang beroperasi di kota Madrid. Semua tiket bisa dibeli online melalui internet ataupun membeli langsung di atas bis atau di kios-kios penjualan yang tempat-tempat strategis pinggir jalan di kota-kota utama Eropa.

Pada awalnya saya hanya ingin bertanya dimana tempat penukaran tiket bis City Sight Seeing.  Perempuan muda yang memakai seragam City Sight Seeing yang sedang berdiri di samping bis wisata warna merah tersebut lalu bertanya apakah saya telah membeli tiket?. Saya jawab bahwa saya telah membeli secara online. Perempuan itu lalu meminta bukti pembelian sambil menjelaskan bahwa saya dapat menukarkan bukti tersebut dengan tiket ke dia. Setelah menerima bukti yang saya sodorkan, perempuan itu lalu menscan bukti tersebut yang menghasilkan tiket yang bisa langsung diprint dari mesin scan yang dipegangnya. Sambil menyerahkan tiket dan peta rute, halte dan tempat-tempat wisata yang dilalui ke saya, perempuan itu berpesan agar saya menyimpan tiket tersebut dengan baik karena akan diperiksa oleh sopir ataupun karyawan City Sight Seeing yang ada di setiap bis wisata saat saya akan naik ke bis-bis tersebut. Perempuan itu juga menjelaskan bahwa tiket yang saya beli sudah termasuk pengunaan kapal menyusuri sungai Thames secara gratis. Dia lalu bertanya apakah saya mau langsung menggunakan kapal atau mau menggunakan bis terlebih dahulu. Jika ingin menggunakan kapal saat itu, maka saya dipersilahkan naik ke bis yang tersedia di situ yang akan mengantar semua turis ke tempat naik kapal. Saya menjawab bahwa saya ingin menggunakan bis terlebih dahulu untuk melihat-lihat kota London dan mungkin saya akan menggunakan kapal di sore hari setelah puas keliling kota. Perempuan itu lalu mengarahkan saya ke Trafalgar Square untuk menunggu bis City Sight Seeing  Sebelum berlalu, saya menanyakan tempat penukaran tiket London Pass. Perempuan itu menjawab bahwa tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat kami. Saya hanya perlu berjalan lurus sedikit lagi melewati teater lalu menyeberang karena tempat penukaran tiket terletak di seberang jalan. Kami saling mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan lalu saya berjalan lagi menyusuri pedestarian di depan saya.

Sekitar 50 meter kemudian, saya melihat kios berbentuk silinder dengan atap topi baja tersebut diseberang jalan di sebelah kanan saya. Kelihatannya banyak turis hilir mudik di tempat tersebut terlihat dari gaya pakaian dan bawaannya. Saya lalu menyeberang ke bangunan tersebut. Ternyata loket penukarannya ada di bawah tanah. Saya lalu masuk dan menuruni tangga besi yang tersedia di situ. Ruangan yang didominasi warna putih dengan lebar sekitar 3 x 4 meter persegi tersebut dipenuhi para turis yang datang sendiri, berpasangan maupun berkelompok. Di sebelah kiri saya tersedia 4 loket penukaran yang dijaga 4 perempuan  berkaos putih. Tersedia juga 1 sofa yang terletak di antara loket terakhir sebelah kanan saya dengan tangga dan pintu keluar. Berhadapan dengan loket-loket penukaran tiket tersebut berjejer lemari yang memamerkan sekaligus menjual berbagai souvenir Kota London. Saya ikut mengantri hingga tiba di depan salah 1 loket. Bukti pembelian online saya serahkan ke petugas yang lalu menukarnya dengan 1 tiket dan 1 buku saku petunjuk tempat-tempat wisata yang dapat dikunjungi gratis menggungakan London Pass. Tiket dalam bentuk cetakan warna biru tua dengan tulisan London Pass telah diberi pembungkus plastik transparan yang juga telah diberi tali gantungan sehingga bisa digantung saja di leher saat jalan-jalan di kota tersebut - seperti kartu pengenal karyawan di kantor-kantor yang menempati gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Dengan menggunakan London Pass, turis tidak perlu membeli tiket masuk ke paling tidak 10 tempat wisata terkenal di Kota London, antara lain Tower of London, Westminster Abbey, Windsor Castle, London Bridge dan St. Paul's Cathedral. Harga tiket dipaketkan dalam 1 hari atau 2 hari atau 3 hari dan juga 6 hari. Makin banyak hari, makin murah harganya. Contoh harga untuk 1 hari untuk 1 orang dewasa adalah 47 pound atau sekitar 893.000 rupiah. Sedangkan harga untuk 2 hari untuk 1 orang dewasa adalah 66 pound atau sekitar 1.254.000 rupiah.

Belakang tempat penukaran tiket London Pass
Setelah keluar dari tempat penukaran tiket London Pass, saya lalu mengambil jalan ke kanan mencari Trafalgar Square untuk  menunggu bis City Sight Seeing yang akan saya tumpangi berkeliling London. Jalan dan lingkungan sekitar yang saya lalui mulai ramai dengan lalu lalang berbagai orang dari berbagai suku bangsa. Saya menyempatkan diri berhenti sejenak membaca buku saku London Pass sambil berfoto di satu patung yang terletak sekitar 20 meter arah kanan dari kantor penukaran tiket London Pass. Setelah itu, saya berjalan terus menyusuri pedestarian hingga sekitar 100 meter dari tempat penukaran tiket London Pass, saya tiba di suatu ruang publik yang disebut Trafalgar Square. Saya berdiri sejenak memperhatikan kesibukan di sekitar tempat tersebut.  Ruang publik tersebut berbentuk bujur sangkar yang dikitari jalan raya di 3 sisi, yakni Timur, Barat dan Selatan. Sisi Utara dimana saya berdiri merupakan pedestarian - sehingga tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor maupun sepeda - yang berada di antara Gedung Galeri Nasional dan Trafalgar Square. Di tengah-tengah ruang publik tersebut berdiri suatu tugu berwarna putih kekuningan atau kuning pucat setinggi belasan meter. Pada puncak tugu tersebut berdiri salah satu patriot Inggris yang dikenal sebagai Wakil Admiral Nelson sehingga area tugu tersebut dikenal sebagai Nelson Column / Kolom Nelson / Tugu Nelson. Tugu tersebut diapit oleh 4 singa perunggu di masing-masing sisinya. Di square tersebut juga terdapat 2 kolam air mancur.

Dalam www.wikipedia.org ditulis Trafalgar Square didisain oleh William Wilkins yang juga mendisain Galeri Nasional yang dibangun pada tahun 1932-1938 di kawasan tersebut. Desain Trafalgar Square disetujui Kantor Perbendaharaan Kerajaan pada tahun 1937 untuk dibangun. Namun Wilkins meninggal pada April 1840. Rencana baru yang diajukan oleh Charles Barry disetujui dan pembangunan Square tersebut dimulai Juli 1840. Paralel namun terpisah dari rencana pembangunan Trafalgar Square, di tahun 1838, panitia kenangan terhadap salah satu pahlawan Inggris bernama Horatio Nelson mendekati pemerintah untuk mengusulkan pembangunan monumen Nelson di kawasan tersebut sebagai suatu peringatan terhadap kemenangan Inggris dalam perang melawan Prancis di Trafalgar. Usulan tersebut disetujui sehingga diadakan suatu kompetisi desain yang dimenangkan oleh William Railton. Pembangunan Kolom Nelson dimulai pada tahun 1840 bersamaan dengan pembangunan Trafalgar Square yang didesain oleh Charles Barry. Tanpa mengetahui sejarah ini, saya pasti berasumsi bahwa tugu dan patung merupakan bagian dari Square tersebut. Sedangkan Galeri Nasional dimana saya berdiri di depannya pada saat tersebut dibangun terpisah. Ternyata pada rencana awal justru sebaliknya yang terjadi, Galeri Nasional dibangun terlebih dahulu menyatu dengan Trafalgar Square. Selain 2 kolam air mancur, kolom Nelson bersama 4 singa pengawal, di ruang publik ini juga terdapat 2 patung Jenderal Kerajaan Inggris, yakni Sir Charles James Napier dan Sir Henry Havelock. Sir James Napier adalah komandan tentara kerajaan Inggris di India yang ditunjuk pada tahun 1842 pada usia 60 tahun. Pada masa kepemimpinannya, Inggris menduduki Provinsi Sindh (Pakistan). Patungnya didesain oleh George Cannon Adams pada tahun 1855. Sir Henry Havelock juga merupakan salah satu Jendral Kerajaan Inggris yang bertugas di India mulai tahun 1823 lalu berpindah ke Birma dan kemudian Afganistan. Patungnya didesain oleh William Behnes dan dibangun tahun 1861.

Trafalgar Square
Sambil mengamati Trafalgar Square tersebut, saya juga memperhatikan berbagai kendaraan yang melewati kawasan tersebut, termasuk bis-bis City Sight Seeing untuk mengetahui letak halte pemberhentian dan keberangkatan - yang terletak sekitar 50 meter sebelah kanan tempat saya berdiri menghadap ke Tugu Nelson sekaligus membelakangi Galeri Nasional. Seorang turis Cina (sepertinya) meminta saya mengambil beberapa potret dirinya dengan latar belakang Trafalgar Square. Saya juga meminta dipotret oleh turis tersebut sebagai kenang-kenangan. Setelah mengambil beberapa foto kawasan tersebut, saya meneruskan perjalanan menelusuri pedestarian tersebut ke arah kanan lurus melewati gedung Galeri Nasional menuju ke halte bis City Sight Seeing. Di dekat halte tersebut juga berdiri 2 laki-laki karyawan bis wisata Big Bus Tour yang menawarkan tiket. Saya hanya tersenyum sambil menunjukan tiket bis City Sight Seeing yang saya pegang. Mereka mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan beralih ke orang lain yang berdiri di daerah tersebut. Gerimis mulai menderas sehingga saya membuka payung yang selalu saya bawa untuk melindungi kepala dan badan. Kota ini sepertinya selalu dikunjungi hujan padahal saat itu bulan Agustus. Tidak lama menunggu, satu bis City Sight Seeing berhenti dan menurunkan penumpangnya. Saya pun bergegas naik bersama turis lainnya. Kami menunjukan tiket masing-masing ke karyawan bis City Sight Seeing yang sedang berada di atas bis tersebut untuk memandu tour tersebut.

BERSAMBUNG

Sabtu, 04 Januari 2014

JJ KE EROPA BARAT. LONDON: Kawasan Greenwich

Tulisan Ketujuh


Halte Bis di  samping belakang hotel 
22 Agustus 2013 sekitar jam 6 sore - matahari masih bersinar terang pada saat itu sampai dengan22 sekitar jam 8 malam di London - saya turun ke resepsionis menanyakan nomor bis dan rute ke Taman Greenwich, tempat beberapa obyek wisata yang ingin saya kunjungi hari itu. Saya diberitahu untuk naik bis nomor 108 di halte yang terletak di belakang hotel. Sesuai arahan staf hotel, saya lalu berjalan ke luar hotel, berbelok ke arah kanan menuju bagian belakang hotel lalu berjalan menyusuri jalan raya. Saya melihat beberapa sepeda dikendarai melewati pedestarian yang sedang saya susuri sehingga saya mengingatkan diri sendiri untuk waspada. Saat saya tiba di perempatan belakang hotel, saya menyeberang dan berjalan lurus sampai menemukan halte yang diinformasikan oleh staf hotel. Saya lalu nongkrong di halte teresebut menunggu bis nomor 108. Ada beberapa bis yang berhenti menurunkan penumpang - yang dari warna kulitnya menunjukan mereka adalah orang-orang Afrika - yang mungkin saja merupakan warga negara Inggris atau hanyalah pekerja migran. Sepertinya mereka baru pulang dari tempat kerja dan turun dalam kelompok 3 atau 4 orang. Saya menduga daerah sekitar merupakan tempat tinggal para pekerja migran atau orang-orang Afrika yang menjadi warga negara setempat. Halte tersebut juga menyediakan papan informasi nomor-nomor bis dengan rute yang dilalui. Model informasi yang sama saya temukan di Roma. 


Sekitar 5 menit menunggu saya melihat bis nomor 108 sedang menuju ke arah halte. Saya lalu berdiri menunggu bus tersebut berhenti. 2 orang perempuan Afrika berambut tebal bergelombang memakai tanktop bergincu merah menyala turun dari bus, setelah itu saya lalu bergegas naik, menempelkan kartu Oyster di tempat yang disediakan lalu masuk dan menaiki tangga ke lantai atas. Bis yang saya tumpangi juga sepi, namun tidak kosong. Saya memilih duduk di kursi sebelah kiri paling depan lantai atas untuk memudahkan saya mengekplorasi dan menikmati panorama sepanjang jalan. Tak lupa saya menyiagakan kamera di pangkuan saya sehingga sesewaktu dapat segera digunakan memotret obyek-obyek menarik sepanjang jalan. Saya juga menghidupkan GPS melalui aplikasi Tripomatic yang telah saya download ke iphone saya dari apple store. Ini merupakan aplikasi berbayar yang menyediakan informasi berbagai tempat wisata di kota-kota seluruh dunia, termasuk Jakarta. Informasi yang disediakan cukup lengkap, termasuk lokasi, rute dan juga GPS yang menunjukan jarak pemakai dari lokasi atau tempat wisata yang akan dikunjungi. Dengan membayar 145.000 rupiah, saya dapat mengunduh aplikasi tersebut selamanya serta menggunakannya sesuai kebutuhan. Aplikasi ini ternyata sangat membantu saya selama perjalanan saya di Eropa Barat, karena dapat digunakan tanpa jaringan internet.

Dengan menggunakan Tripomatic, maka saya dapat memantau jarak bis dengan lokasi wisata yang akan saya kunjungi. Bulatan kecil berwarna biru di aplikasi Tripomatic tersebut menunjukan rute yang dilalui bis sekaligus apakah semakin dekat atau jauh dari lokasi wisata. Sekitar 5 menit memantau GPS di Triptomatic, saya melihat bahwa saya telah melewati Taman Greenwich yang menjadi tujuan saya, karena tanda di GPS menunjukan bis yang saya tumpangi mulai menjauhi taman tersebut.  Saya lalu melangkah ke lantai bawah menyiapkan diri untuk turun saat bis berhenti di halte berikutnya. Saat bis berhenti, saya lalu melangkah turun dan berjalan kembali menyusuri jalan yang telah dilalui bis yang saya tumpangi tersebut. Tak lama berselang saya melihat suatu halaman luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Banyak kelompok orang berada dalam halaman tersebut dengan berbagai aktivitas seperti nongkrong, berjalan ataupun berdiri maupun berfoto. Saya terus berjalan sampai menemukan pintu gerbang terbuka yang menghadap ke jalan dalam arah yang lurus dengan pintu suatu bangunan tinggi dalam kompleks tersebut. Saya lalu melangkah masuk dan menyusuri jalan berbatu kecil-kecil warna putih selebar 2 meter yang membentang dari pintu gerbang sampai dengan pintu bangunan. Saya lalu mengecek informasi yang tersedia di Triptomatic yang menunjukan bahwa saya berada dalam kompleks Old Royal Naval College.

Depan Old Royal Naval College 
Website Old Royal Naval College menginformasikan bahwa College tersebut didesain oleo Sir. Christopher Wren. Aslinya bangunan ini digunakan sebagai tempat pengungsian para pelaut tua dan terluka pada tahun 1690an. Bangunan ini terletak di sisi Istana Greenwich yang menjadi tempat tinggal favorit Raja Henry VIII. Mulai tahun 1874, bangunan ini menjadi tempat pelatihan elit bagi para pejabat kelautan Inggris. Sejak tahun 2010, bangunan ini dibuka bagi masyrakat umum, termasuk para turis untuk berkunjung dan mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang sejarah kelautan Inggris. Lantai dasar bangunan dibuka bagi publik pada jam 8 pagi - 6 sore, sedangkan tempat-tempat pertunjukan dalam bangunan dibuka pada jam 10 pagi sampai dengan jam 5 sore tanpa biaya atau tiket masuk. Karena saya tiba di kompleks tersebut telah melewati jam buka, maka saya hanya dapat mengeksplorasi bagian luar dan sekitarnya. Di sebelah kanan bangunan dalam kompleks yang sama berdiri megah kompleks bangunan Museum Kelautan / Maritim Museum. Di sebelah kirinya dalam kompleks lain yang dibatasi pagar besi, berdiri Istana Greenwich.


Maritim Museum dilihat dari Taman Greenwich

Setelah mengambil beberapa foto di depan bangunan menggunakan triport, saya lalu berjalan ke sisi kanan bangunan menyusuri jalan berbatu sambil menikmati suasana senja yang romantis dan tidak terlalu ramai. Di kiri dan kanan jalan masuk dan keluar terhampar taman berumput yang terlihat dirawat dengan sangat baik. Beberapa pengunjung duduk santai di beberapa bangku yang tersedia bahkan ada yang duduk berselonjor di pinggir jalan atau di atas rerumputan. Walau banyak orang lalu lalang di area tersebut, namun tidak terlihat penuh karena luasnya kompleks sekitar situ. Saya terus menyusuri jalan depan yang lalu berbelok ke belakang dari samping kanan bangunan College tersebut. Di kiri dan kanan jalan samping College terlihat kumpulan bunga-bunga warna merah yang telah mekar penuh sehingga makin memperindah kompleks tersebut. Di samping belakang College terdapat lorong terbuka dengan pilar-pilar sebesar satu pelukan orang dewasa. Lorong tersebut menghubungkan bangunan College dengan Meseum Kelautan yang berjarak sekitar 50 meter. Saya terus berjalan melewati lorong tersebut lalu tiba di jalan yang terletak memanjang di belakang bangunan-bangunan tersebut. Jalan tersebut sekaligus menjadi batas antara kompleks Naval College dan Museum Kelautan dengan Taman Greenwich yang terletak di depan saya.


Penanda waktu dunia
Saya tiba di satu bentang hamparan rumput dan pepohonan berdaun rimbun yang sangat luas yang membentang setelah bentang jalan di belakang College dan Museum Kelautan. Inilah Greenwich Park yang sangat luas. Berbagai orang dengan berbagai aktivitas sedang berlangsung di taman tersebut. Bermain bola, jalan dan lari sore atau hanya duduk berselonjor di rerumputan taman maupun yang bercengkrama di bangku-bangku taman. Taman dilengkapi jalan-jalan apik di berbagai sudut yang memudahkan akses ke taman tersebut. Saya menyeberangi jalan dan masuk ke taman menyusuri jalanan yang tersedia mencari-cari lokasi Greenwich Meridian atau lebih dikenal di pelajaran sekolah sebagai GMT (Greenwich Meridian Time). Kiri dan kanan jalan dijejeri pepohonan berdaun lebat yang menyegarkan saat dilalui.  Semakin lama jalan yang saya lalui semakin menanjak. Mengikuti arah GPS di Triptomatic saya terus berjalan mengikuti jalan tersebut yang menunjukan bahwa saya semakin mendekat ke tujuan. Di ujung taman, jalanan yang saya susuri bertemu jalan lain yang mengitari taman tersebut ke kiri dan ke kanan, satu lagi lurus di hadapan saya yang kelihatannya mulai mendaki. Pada perempatan di ujung taman tersebut tersedia semacam dangau yang dilengkapi bangku. Terlihat sepasang perempuan dan lelaki duduk bersanding rapat dan berbicara mesra sambil sesekali berciuman. Saya hanya melirik sekilas sambil berjalan lurus ke depan mulai menyusuri jalan mendaki selebar 1 - 1,5 meter. Kanan jalan yang saya lalui adalah bukit dengan berbagai jenis pohon, sedangkan sisi kirinya dipagari besi. Sekitar 15 menit kemudian, saya tiba di ujung jalan yang saya susuri berakhir di puncak suatu bukit . Patung / tugu GMT berada dalam 1 kompleks dengan the Royal Observatory dan patung Yuri Gagarin. Karena waktu kunjungan telah lewat, maka kompleks tersebut telah ditutup. Walau demikian, para pengunjung masih bisa bergaya dan berfoto di 2 lokasi di luar pagar kompleks, yakni di samping kiri pintu masuk serta pagar sebelah kiri dimana terdapat tugu pembagi dunia ke dalam dua kutub, Utara dan Selatan. Tugu berbentuk dua pintu berwarna putih abu yang melekat di pagar batu bata kompleks tersebut ramai menjadi tempat foto sehingga pengunjung harus antri untuk mendapatkan giliran foto dengan berbagai gaya. Selain kompleks tersebut juga terdapat taman kecil yang melingkari satu pohon besar yang dilengkapi tempat duduk dimana para pengunjung melepaskan lelah dan menikmati pemandangan lembah di bawah bukit, yakni Taman Greenwich, kompleks Museum Kelautan, the Naval College serta berbagai bangunan lain yang menjulang di kejauhan.
Tugu pembagi dunia ke Kutub Utara dan Selatan

Website The Royal Observatory menyatakan bahwa Observatory tersebut merupakan tempat / rumah
Tugu GMT
bagi waktu utama Greenwich (Greenwich Mean Time) dan dunia (Prime Meridian of the World). Bangunannya didisain oleh Sir Christopher Wren - yang juga mendesain the Royal College) - pada tahun 1675 atas instruksi Raja Charles II. Di halaman Observatory dapat ditemukan garis waktu Meridian (Meridian Line) dan Patung Yuri Gagarin yang adalah orang pertama dari Rusia (Cosmonot) yang berjalan-jalan di ruang angkasa. Patungnya didirikan pada bulan Maret 2013 yang didedikasikan sebagai peringatan atas upaya manusia menjelajahi ruang angkasa. Bangunan Observatory terdiri atas tiga lantai, yakni lantai dasar, lantai 1 dan lantai 2 dengan tema berbeda untuk dinikmati pengunjung, antara lain galeri waktu, planetarium dan teleskop 28 Inci. Tema utama yang dapat dinikmati adalah astronomi atau luar angkasa dan kelautan. Keduanya terkait erat dalam penjelasana manusia melalui laut. Sama seperti nenek moyang bangsa kita yang juga mengandalkan benda-benda langit pada masa lampau untuk berlayar dan juga menentukan musim menanam.



Di atas bis menuju Kota London dari Greenwich
Seharusnya malam telah menggelapkan daerah sekitar, karena waktu telah menunjukan jam 7 lewat, namun matahari masih bersinar seperti jam 5 sore di Jakarta. Setelah selesai berfoto dan puas berkeliling kawasan sekitar, saya lalu melangkah balik sambil mengambil foto sepanjang jalan. Saat kembali menuju jalan raya, saya memilih rute berbeda setelah tiba di perempatan jalan yang terletak di ujung Taman Greenwich. Saya mengambil arah kiri lalu menyusuri jalan tersebut sambil memperhatikan berbagai aktivitas yang masih sedang berlangsung di kawasan tersebut. Sekitar 10 menit kemudian saya tiba di gerbang masuk keluar taman. Sekitar 2 meter sebelum gerbang tersedia papan informasi taman tersebut. Depan gerbang taman terdapat pertigaan yang salah satunya melewati taman tersebut - yang sepertinya membagi Taman Greenwich menjadi dua bagian. Saya terus berjalan lurus menyusuri jalan depan saya. Di kiri saya berjejer berbagai restoran 2 atau3 lantai bertembok bata merah. Sedangkan sebelah kanan saya merupakan kompleks Istana Greenwich.

Tiba di jalan raya, saya mengambil arah kanan menuju halte tempat saya turun sebelumnya. Saya lalu naik ke salah satu bis yang berhenti di halte tersebut. Kali ini saya tidak bertanya nomor dan rute, karena saya hanya ingin menuju ke pusat kota untuk menikmati malam disana. Setelah melewati beberapa halte dimana penumpang menjadi makin sedikit, sopir tiba-tiba menghentikan bis dan menginformasikan ke penumpang untuk berganti bis. Seperti kelakuan kopaja dan metromini di Jakarta juga neh pikir saya. 5 penumpang tersisa, 3 diantaranya perempuan lalu turun di halte tersebut. Saya lalu mengajak ngobrol dua perempuan tua yang ditanggapi salah seorang dengan ramah. Temannya lebih banyak diam. Perempuan yang saya ajak ngobrol menginformasikan beberapa nomor bus lain saat saya beritahu akan ke pusat kota untuk sightseeing. Kami lalu bersama-sama naik ke bis berikut yang tiba di halte tersebut. Prosedur yang sama dilakukan, yakni menempelkan kartu Oyster ke tempat yang telah disediakan. Ternyata para perempuan itu sama seperti saya memilih duduk di lantai atas. Namun saya memilih duduk di bagian  depan guna menikmati jalan yang dilewati. Sekitar 1 jam kemudian bis telah tiba di pusat kota. Tepat di
Suasana di luar gerbang Taman Greenwich
tengah suatu jembatan di Sungai Thames terlihat kerlap-kerlip lampu London Eye bersama lampu-lampu kota yang menghiasi seantero kota. Kedua perempuan tua itu telah turun di suatu tempat. Sementara saya tetap nongkrong di atas bis sampai bis tiba di pemberhentian akhir di ujung lain kota London - yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Saya turun bersama penumpang tersisa lalu menyusuri jalan berlawanan arah dari jalan yang telah dilalui bus - dengan tetap waspada terhadap sepeda yang lalu lalang, teurtama di lampu-lampu merah.

Salah satu area dalam Taman Greenwich 
Sekitar 3 menit kemudian saya tiba di jalan utama yang dipenuhi jejeran restoran dan berbagai jenis toko, termasuk beberapa kios souvenir. Saya akhirnya memutuskan masuk ke salah satu kios souvenir yang dijaga oleh seorang lelaki muda India. Saya beli gantungan kunci, magnet kulkas dan bola salju (snow ball) khas London tentunya seperti miniatur bis tingkat berwana merah dan miniatur big ben. Saat masih memilih milih souvenir,  kantong kemih saya memberi sinyal untuk kencing. Saya lalu bertanya ke penjaga kios apakah saya bisa meminjam toiletnya, namun ternyata tidak bisa. Dengan ramah penjaga toko menginformasikan ke saya agar ke restoran Mc Donald yang memiliki toilet. Saya lalu berterima kasih dan setelah transaksi selesai, saya pun berjalan keluar menyusuri jalan mencari restoran Mc. D - yang tidak saya temukan. Saat tiba di depan stasiun kereta bawah tanah di sebelah kiri jalan yang saya susuri, saya memutuskan masuk untuk mencari toilet di stasiun tersebut. Namun ternyata saya tidak menemukan satu toilet pun di dalam stasiun, namun saya melihat panah penunjuk arah ke restoran Mc.D. Saya lalu keluar dari pintu samping stasiun mengikut arah panah tersebut. Sampai di luar saya melihat restoran Mc. D yang terletak di seberang jalan sekitar 25 meter dari stasiun. Oleh karena jalan yang akan saya seberangi merupakan jalan satu arah, maka saya hanya memperhatikan sisi kanan saya lalu menyeberang ke Restoran Mc. D saat jalan sepi. Sebelum menyeberang, mata saya sempat menangkap tulisan toilet berbayar di dekat stasiun. Namun saya tetap memutuskan untuk menyeberang ke Mc. D sekalian karena ingin makan malam. Tiba di dalam restoran saya harus antri karena di depan saya telah antri 4 pembeli lain. Sambil antri mata mencari toilet yang ternyata terletak di basement. Saya lalu meninggalkan antrian beranjak ke toilet di basement. Setelah selesai kencing saya kembali ke atas lagi, namun antrian semakin panjang sehingga saya memutuskan mencari makan di tempat lain.

Keluar dari restoran saya menyeberang kembali ke arah stasiun dan berjalan menyusuri jalan depan stasiun sampai tiba di satu perempatan. Di sebelah kiri perempatan tersebut berdiri satu toko serba ada bernama subway. Saya lalu memutuskan menyeberang ke toko tersebut untuk melihat-lihat dan berbelanja yang saya butuhkan, terutama air minum. Di toko tersebut saya lalu membeli biskuit, sandwich dan juga air mineral. Harga air mineral ternyata cukup mahal, yakni 2 pound  atau sekitar 36.000 rupiah untuk ukuran 1liter. Toko ini menerapkan sistem self service, termasuk urusan kantong belanja, scan harga belanjaan dan pembayaran dilakukan di mesin-mesin yang berjejer dekat pintu keluar masuk. Beberapa staf berseragam biru hanya memperhatikan. Karena saya kesulitan dengan scanning barang belanjaan, salah satu staf menghampiri dan memberikan bantuanya. Saya lalu memasukan pembayaran cash ke mesin tersebut. Kembalian keluar dengan sendirinya karena nilai uang kertas yang saya masukin ke mesin lebih banyak dari harga barang yang saya beli. Selesai urusan pembayaran, saya melangkah keluar toko dan menyeberang lagi mencari halte terdekat lalu menunggu bis di halte tersebut. Karena saya akan kembali ke hotel, maka saya hanya perlu menunggu bis nomor yang sama, yakni 108. Sekitar 5 menit menunggu, bis yang saya tunggu-tunggu pun tiba. Saya lalu melangkah masuk saat pintu depan terbuka. Prosedur pembayaran menggunakan kartu Oyster saya lakukan lagi. Saya kemudian melangkah ke lantai atas lagi. Ternyata bis cukup penuh sehingga saya lalu mencari tempat duduk di tengah karena bagian depan telah diduduki orang lain. Tiba di seberang halte tempat saya naik sore tadi, saya turun lalu menyeberang dan menyusuri jalan kembali ke hotel. Hampir jam 12 tengah malam saya tiba kembali di kamar hotel.

salah satu area Taman Greenwich


BERSAMBUNG



Jejak Menjejak di Manokwari Irian Jaya Barat

Ini posting JADUL tahun 2007 yang selama ini hanya tersimpan di draf. Saat bongkar2 baru sadar kalo posting ini belum dipublikasikan..
==============================

Sudah 7 hari saya berada di kota Manokwari – ibukota Provinsi Irian Jaya Barat - yang adalah provinsi pemekaran dari Provinsi Papua. Kota Manokwari dikenal juga sebagai Kota Injil bagi Tanah Papua. Menurut cerita, Agama Kristen berkembang di Papua berawal dari penyebaran injil pertama kali di Manokwari - yang dibawa oleh seorang penginjil asal Belanda - yang mendarat di Pulau Mansinam - suatu pulau kecil di depan Kota Manokwari.

Hari pertama menjejak bumi Manokwari mengingatkan saya kepada dua kota yang pernah menjadi bagian kehidupan ku, yakni Kupang di tahun 80an dan Dili di tahun 90an. Kota Manokwari terletak di pinggir laut dan dikelilingi kawasan perbukitan hijau. Kadang di sore hari, asap mengepul dari kawasan perbukitan tersebut karena pembersihan dan pembakaran lahan oleh para petani.

Di kawasan kota sendiri sering terlihat penduduk membakar sampah di halaman rumahnya. Kondisi yang tidak pernah saya temukan di Jakarta. Saat ini, kota Manokwari sedang berbenah. Berbagai fasilitas swasta, pemerintah dan juga umum sedang diperbaiki ataupun dibangun baru. Banyak bangunan baru bermunculan seiring dengan geliat kota karena kehadiran banyak orang baru, seperti saya di kota tersebut. Kawasan pertokoan di Sanggeng seperti kawasan pertokoan di Jl. Kanaan Kuanino, Kupang.

Rumah-rumah penduduk yang berjejer di tepi pantainya mengingatkan saya pada jejeran rumah di kawasan Becora, Dili, ataupun di pantai Oeba dan Kampung Solor di Kupang. Agak berbeda dengan kawasan pertokoan di kota Jayapura, kawasan pertokoan di Manokwari terlihat bersih. Di sore hingga malam hari banyak penjual buah menggelar dagangannya di emperan-emperen toko, namun segera setelah itu kawasan tersebut dibersihkan oleh mereka. Biaya hidup di kota ini lumayan mahal, namun masih murah jika dibandingkan dengan kota Jayapura – yang pernah saya singgahi selama 2 minggu sebelum menuju Manokwari. Harga 1 buah mangga harum manis 500 gram Rp. 7.000 di toko buah sementara di pasar dapat diperoleh dengan harga Rp. 5.000. Mangga yang sama di Jayapura berharga Rp. 10.000. Harga 1 paket ayam goreng (ayam goreng, nasi, sambal dan lalapan) Rp. 15.000 sementara harga 1 paket ikan bakar (1 ikan bakar, nasi, sambal dan lalapan) berkisar Rp. 25 – 50.000. Sewa mobil per hari Rp. 500.000, angkot Rp. 2.000, sedangkan ojeck Rp. 3000 harga dasar, selanjutnya tergantung jarak antar.

Kaki ku menjejak bumi Irian Jaya Barat pada tanggal 1 Desember 2006. Saat roda pesawat Merpati yang menggunakan Boeing 737 – 200 menjejak bandara, mata ku menangkap kumpulan pempohonan dan rerumputan hijau di sekitar bandara yang juga terletak di tepian pantai seperti letak Bandara Ngurah Rai di Bali. Bandar udara kota Manokwari masih sangat sederhana walau telah memiliki kapasitas menerima pendaratan pesawat Boeing 737-200 yang saya tumpangi dari Jayapura.

Saat wajah ku nongol di pintu keluar pesawat, angin lembut dan kesegaran udara bersih langsung menyapa hangat dan membelai tubuh ku seperti mengucapkan salam selamat datang. Kaki ku melangkah dan menapak pasti bumi Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat yang akan menjadi bagian dari hari-hari hidup ku sebagai Program Officer UNDP untuk Provinsi Irian Jaya Barat.

Kaki ku menjejak dan menapak pasti menuju terminal kedatangan. Di ruang bagasi sejumlah porter yang berbaur dengan penjemput hingga para sopir taxi pribadi telah menunggu mendapatkan secerca rejeki dari para penumpang pesawat. Seorang lelaki tinggi kurus berwajah garang berkumis hitam tebal tersenyum kepada ku sambil menawarkan jasanya. Saya hanya mengangguk dan menyerahkan boarding pass yang ditempeli bagasi tag. Ternyata lelaki tersebut adalah seorang supir taksi pribadi pengganti temannya – yang sedang sembahyang Jumat. Tak lama kemudian bagasi yang hanya sedikit didorong masuk oleh para petugas lalu diambil alih oleh para porter, supir dan para penjemput. Supir taxi merangkap porter saya lalu mengangkut koper-koper saya ke mobilnya sambil ngobrol. Dia menawarkan hotel Metro sebagai tempat penginapan saya, saya katakan kantor UNDP Jayapura telah booking hotel Soribo sebagai penginapan saya selama berada di Manokwari. Dia hanya mengangguk lalu kami bercakap-cakap di mobil tentang berbagai topik lainnya.

Dari supir itu, sekilas saya mendapatkan gambaran tentang kota Manokwari. Setelah check in, istirahat beberapa menit, mandi lalu berganti pakaian, saya minta diantar ke kantor Bappeda. Ternyata kantor tersebut telah tutup sehingga saya tidak menemukan seorang staf pun sehingga saya minta diantar ke kantor Sekretaris Daerah. Di kantor tersebut, saya hanya bertemu sekretaris pribadi Sekda – yang lalu menginformasikan kepada saya bahwa urusan UNDP dan IFAD mission akan melalui BAPPEDA Provinsi. Saya hanya mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari tempat tersebut. Karena masih merupakan provinsi baru, maka kantor-kantor pemerintahan provinsi masih sangat sederhana.

Hampir semua kantor pemerintah menempati bangunan panjang seperti barak militer yang disekat-sekat untuk berbagai instansi. Misalnya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi berada pada satu bangunan. Sama halnya dengan Kantor BAPPEDA yang sharing dengan KPUD Provinsi dan Kesatuan Bangsa (Kesbang). Karena tidak bisa menemui seorang pejabat pun, saya lalu meminta diantar ke kantor Capacity2015 – yang merupakan satu proyek kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia. Di kantor tersebut saya juga hanya bertemu seorang staf administrasi – yang tinggal di dalam kantor tersebut. Setelah ngobrol beberapa menit, saya lalu mencoba mengontak satu konsultan proyek tersebut – bernama Mey. Kami janjian untuk bertemu sore hari tersebut. Saya lalu minta diantar ke hotel Fajar Roon untuk bertemu salah satu staf ILO dari Jayapura – untuk mendiskusikan tindak-lanjut dari suatu kerjasama UNDP – ILO yang telah disepakati sebelum saya menjadi PO UNDP untuk wilayah Irian Jaya Barat. Setelah bertemu dan berdiskusi sekitar 30 menit, kami lalu menyepakati beberapa hal sebagai tindak-lanjut teknis pelaksanaan kerjasama tersebut, terutama terkait pada rencana seminar kebijakan ketenaga-kerjaan di provinsi Irian Jaya Barat. Setelah itu kami bersama melakukan perjalanan ke kantor Capacity2015. Wakil ILO ingin melihat langsung kantor tersebut yang rencananya akan menjadi kantor bersama Cap2015 dengan UNDP dan ILO. Di kantor tersebut, kami juga hanya bertemu staf administrasi tersebut.

Saya lalu menelpon Mey untuk mengabarkan keberadaan kami di kantor-nya. Tak lama kemudian dia datang dan kami berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk rencana kantor bersama. Pada dasarnya dia tidak berkeberatan karena hampir semua konsultan proyek tersebut lebih banyak berada di kantor-kantor pemerintah untuk memfasilitasi berbagai kegiatan – dari pada di kantor. Namun, keputusan penggunaan kantor berada pada manajer proyek di Jakarta.

Tiada terasa kegelapan malam telah menjejak mayapada. Kami lalu pamit dan beranjak balik ke penginapan masing-masing guna sejenak mengistirahatkan fisik dan batin. Saat mentari Timur tersenyum bahagia, ku tinggalkan peraduan hotel untuk mempersiapkan diri bagi aktivitas hari itu.

Tiada terasa telah seminggu saya berada di kota Manokwari sebagai pos kerja ku untuk bulan-bulan yang akan datang. Kesibukan bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah, para konsultan dari Universitas Papua (UNIPA) sampai dengan berkeliling mencari rumah / kamar yang layak sebagai tempat tinggal ku di Manokwari telah mengisi hari-hari ku di kota ini.

Berbagai aktivitas tersebut telah mempertemukan ku dengan berbagai orang – yang secara bertahap mengakrabkan ku dengan denyut kehidupan kota Manokwari dan seluk-beluknya. Sebagai perintis kantor UNDP di kota Manokwari, saya masih harus melakukan semuanya sendiri – mulai dari bertemu para pejabat pemerintah, konsultan independen, booking hotel, mobil bagi para tamu UNDP hingga urusan tiket perjalanan para tamu tersebut harus saya tangani dengan baik. Hanya bermodalkan pengalaman kerja masa silam, HP serta dana operasional penggunaan mobil, saya mengorganisir semua kegiatan tersebut yang cukup melelahkan namun sangat mengairahkan serta memberi kepuasan batin saat semuanya berjalan dengan baik.

Sejak pertama menapaki kota Manokwari, saya langsung menyukai kota ini dan penduduknya. Orang-orang di kota ini sangat ramah. Saat bertemu di jalan, mereka selalu tersenyum dan menyapa “selamat pagi / siang / malam”. Orang-orangnya sangat senang membantu orang lain. Sepertinya mereka selalu welcome terhadap siapapun. Sikap yang sama ditunjukan juga oleh para pejabat pemerintah yang saya temui. Murah senyum, memiliki selera humor yang tinggi serasa menjadi bagian integral dari kehidupan mereka setiap hari.

Dialek bahasa Indonesia mereka hampir sama seperti dialek bahasa Indonesia di kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut memudahkan saya memahami percakapan sehari-hari mereka karena latar-belakang keluarga dan sosial saya yang berasal dari kota Kupang tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA) pada tahun 1992 silam.

Di lingkungan sosial setempat, awalnya saya selalu disangka orang Jawa, apalagi dialek bahasa Jakarta yang saya gunakan dalam percakapan sehari-hari. Saat mereka mengetahui saya orang Rote yang lahir besar di Kupang, semua komunikasi langsung berjalan lancar. Saya dianggap bagian dari mereka…. Ha ha ha ha Saat ini saya menempati satu kamar kost di rumah satu keluarga campuran Cina – Makassar dan Manado. Bapak kost saya adalah keturunan Cina – Makassar sementara Ibu kost saya orang Sangir. Keluarga ini memiliki berbagai macam usaha, termasuk kost-kost-an dan katering. Saya mendapatkan kamar kost tersebut melalui jaringan pertemanan saya dengan ibu Hanike – seorang dosen dan tenaga ahli di Universitas Papua (UNIPA). Saya bertemu dia saat project Gender Mainstreaming UNDP mengadakan dialog publik di Jayapura beberapa minggu silam. Saat telah berada di Manokwari beberapa hari, saya lalu menelpon dia memberitahu keberadaan saya di kota tersebut serta sedang mencari tempat tinggal. Dia lalu menyatakan kesediannya untuk membantu. Untuk itu, dia meminta waktu 1 hari mencarikan tempat tinggal (rumah ataupun kamar) sampai akhirnya saya mendapatkan kamar di keluarga tersebut diatas.

Kamar yang saya tempati cukup luas sekitar 5 x 5 m2 yang telah dilengkapi fasilitas AC, kamar mandi dan WC, lemari, tempat tidur lengkap hingga meja kerja dan layanan pembersihan kamar dan laundry. Makan pagi, siang dan malam juga disiapkan, tergantung kebutuhan saya. Seperti tinggal di hotel berkualitas layanan bintang 3, dengan harga yang jauh lebih murah .

BERSAMBUNG : Merenda Hari Mennghadapi Masalah

NAPAK TILAS SUATU LAMARAN KERJA

Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama amaat ya? hhehehhe
=========================

Setelah melalui suatu rangkaian seleksi ketat selama sekitar 4 bulan, akhirnya saya menjadi staf UNDP untuk Program Pembangunan Papua (Papua Development Program / PDP) dalam posisi sebagai Program Officer untuk wilayah Provinsi Irian Jaya Barat.


Pengalaman pribadi saya lolos seleksi di UNDP telah menggugurkan berbagai rumor dan gosip yang mampir ke telinga saya tentang praktek-praktek KKN saat rekruitmen di lembaga tersebut. Nyatanya saya lolos seleksi walau tidak mengenal seorangpun di lembaga tersebut. Mungkin saja ada orang lain yang mengalami sebaliknya dari pengalaman saya saat melamar ke lembaga tersebut - yang lalu menimbulkan berbagai gosip dan rumor tentang KKN saat rekruitmen di lembaga tersebut. Namun untuk pengalaman pribadi saya, harus saya nyatakan bahwa saya lolos seleksi melalui suatu proses yang cukup selektif, independen dan obyektif, karena saya tidak memiliki hubungan ataupun mengenal para anggota panel juri yang menginterview saya melalui teleconference.

Saat saya diberitahu melalui email bahwa saya merupakan salah satu applicant yang terpilih untuk diinterview, saya kaget karena telah lupa akan aplikasi saya ke UNDP. saya lalu memeriksa semua file yang tersedia di rumah namun tidak menemukan file lamaran ke UNDP. Akhirnya saya mencoba melalui website UNDP untuk mencari no kode posisi pekerjaan yang saya lamar sebagaimana tertulisa pada email pemberitahuan tentang interview yang akan dilakukan. Di website UNDP saya masuk ke bagian vacations lalu menelusuri berbagai situs internal yang terkait pada lowongan kerja. Menggunakan nomor referensi tersebut, saya akhirnya menemukan job yang saya lamar berisi berbagai persyaratan dan kualifikasi yang dibutuhkan. setelah membaca sekilas, saya akhirnya putuskan untuk print out dokumen tersebut guna dipelajari sebagai persiapan interview.

Interview melalui teleconference dilakukan oleh 4 orang, yakni Pak Paul, Pak Handoko, Ibu Yanti dan Pak Haryo. Orang-orang yang belum pernah saya dengar namanya ataupun kenal wajahnya. Setelah menandatangi kontrak barulah saya diperkenalkan dengan mereka satu demi satu, kecuali Pak Handoko - yang hingga saya menulis catatan harian ini belum pernah saya temui.

Kurang lebih seminggu setelah interview teleconference tersebut, saya menerima email bahwa saya termasuk salah satu kandidat yang dipertimbangkan. Untuk itu saya harus mengisi form personal history yang dikirimkan melalui email yang sama. Di form tersebut saya juga harus menyertakan nama dan alamat lengkap dari minimal 3 referensi yang bisa memberi informasi tentang kompotensi saya. Saya lalu mengirim 4 referensi yang lalu dihubungi bagian HRU UNDP Indonesia di Jakarta dan diminta mengisi format referensi yang disediakan. Setelah syarat dan prosedure tersebut dilalui, sekitar 1 minggu kemudian saya dikirimi draf kontrak dan berbagai persyaratan lainnya yang harus dipelajari dan dinegosiasikan jika perlu. Komunikasi dilakukan melalui email menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi UNDP. Setelah saya setuju dengan semua persyaratan yang diajukan, seminggu kemudian bagian HR menelpon saya untuk memberitahukan tanggal penandatanganan kontrak di kantor UNDP - Jakarta.

Hari pertama tanggal 1 November 2006, saya datang ke kantor UNDP Indonesia di Jakarta. Kedatangan saya ke kantor tersebut langsung berhadapan dengan security prosedure yang cukup ketat. Setelah melalui prosedur tersebut saya lalu bertemu bagian HR untuk menanda-tangani kontrak kerja selama 1 tahun yang berlaku efektif pada tanggal 1 Nov 2006 s/d 31 Okt 2007. Selesai urusan kontrak saya langsung dihadapkan ke bagian security untuk mengikuti security training. Di ruangan security saya berhadapan dengan komputer selama 4 jam untuk mempelajari berbagai bahan training yang tersedia di komputer sekaligus mengikuti ujian akhir guna mendapatkan sertifikat lolos training safety and security UNDP sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum berangkat ke tempat tugas saya di ibukota Provinsi Irian Jaya Barat - Manokwari. Saat akan menandatangani kontrak, saya langsung terkejut melihat my duty station is Manokwari. Setahu saya, saya melamar untuk duty station di Jayapura ibukota Provinsi Papua, bukan Manokwari ibukota Provinsi Irian Jaya Barat. Person in charge dari bagian HR memberitahu saya bahwa hal tersebut telah tercantum di draf kontrak yang telah dikirim pada saya 1 minggu sebelumnya. Menyadari bahwa saya yang tidak teliti mempelajari draft kontrak tersebut, saya akhirnya menandatangani kontrak tanpa komentar lagi. Setelah mendapatkan sertifikat security saya lalu dipertemukan dengan kepala keamanan UNDP untuk mendapatkan briefing singkat tentang situasi keamanan di Indonesia dan tempat tugas saya. Selesai briefing saya dipertemukan dengan bagian admin keamanan untuk dibuatkan ID Card sebagai pas masuk keluar kantor UNDP Indonesia di Jakarta sekaligus sebagai tanda pengenal saat saya berada di tempat tugas. Tiada terasa, jam demi jam telah berlalu. Pagi telah menggapai senja saat saya mendapatkan ID card. Dari bagian keamanan saya dipertemukan dengan bagian admin PDP di MSU UNDP. Sekali lagi bagian admin PDP MSU mengecek semua prosedur yang telah saya lalui, lalu membolehkan saya pulang karena hari telah sore dan jam kerja resmi UNDP sampai jam 5 sore telah lewat beberapa menit. Tentu saja, saya diingatkan untuk kembali esok hari.

Saat senyuman surya kembali menyapa bunda pertiwi, saya pun meninggalkan peraduan menapaki lantai memulai hari baru sebagai seorang pembawa ember. Fungsi dan peran ku penggali saluran pipa (baca Catatan Harian Warung Ceker), yakni sebagai manajer dan supervisor penggali saluran pipa Warung Ceker telah ku alihkan ke mitra bisnis Warung Ceker dan juga seorang karyawan yang diangkat sebagai supervisor - saat mengetahui bahwa saya akan menjadi karyawan / alias pembawa ember lagi. Tekat untuk memperkuat dan memperluas bisnis Warung Ceker telah memotifasi saya untuk kembali bekerja sebagai pembawa ember oleh karena omset penjualan Warung Ceker yang masih sedikit berbanding terbalik dengan kebutuhan untuk memperkuat bisnis tersebut. Hari kedua kehadiran ku di contry office UNDP tetap mengikut prosedur keamanan yang sama. Namun karena kali ini saya telah memiliki ID card sebagai bagian dari keluarga UN Indonesia, maka secara pribadi saya merasa bahwa para security menjadi lebih ramah, walau tetap saja menerapkan prosedur yang sama seperti saat telapak ku menapak di kantor tersebut. Hari kedua, saya tidak lagi dikawal dari pagi sampai sore oleh escort sebagaimana hari pertama yang selalu dikawal oleh seorang anggota satuan keamanan kantor UNDP. Hari kedua tersebut, saya hanya ditemani oleh Hermin (bag admin MSU-PDP) untuk kegiatan tertentu saja, seperti mengikuti briefing IT dan intra training. Setelah itu saya mempersiapkan sendiri segala keperluan saya, terutama melengkapi berbagai persyaratan administrasi sebelum meninggalkan Jakarta ke tempat tugas di Manokwari. Pada hari itu, saya dipertemukan dengan Mr. Paul Sutmuller yang adalah Programme Coordinator UNDP - yang menginterview saya melalui teleconference, Mz. Yanti yang adalah Program Manager - yang juga menginterview saya melalui teleconference, Mz. Jiah dari China yang adalah Head of Office. Setelah berbasa basi dan diskusi singkat, mereka kembali ke kesibukannya masing-masing, saya juga kembali mengurus berbagai hal administratif. Satu diantaranya adalah Medical Check Up ke klinik Medikaloka di salah satu gedung yang terletak di kawasan Kuningan.

Saat selesai medical check up hari telah sore, saya putuskan untuk menginformasikan ke bagian admin (Hermin) bahwa saya tidak kembali lagi ke kantor. Dari klinik tersebut saya menuju ke Gerai Warung Ceker di mal Ambasador. Saya sempatkan diri untuk berkunjungan dan ngobrol dengan karyawan sekaligus berjualan - meski masih menggunakan pakaian kantor. Tentu saja ID Card telah saya sembunyikan di dalam kantong kemeja saya :).

Pada hari ketiga sebagai karyawan, saya masih datang ke contry office untuk menyelesaikan berbagai keperluan admin sekaligus memperkenalkan diri kepada beberapa orang yang bertanggung-jawab terhadap implementasi beberapa program di Papua yang menjadi wilayah kerja saya. Saat bertemu Programme Coordinator sehari sebelumnya, saya dipesan untuk mengenal sebanyak mungkin orang-orang di country office agar suatu hari nanti saat melakukan komunikasi terkait pada urusan program, maka minimal saya mengetahui dengan siapa saya berkomunikasi, beberapa diantaranya adalah dengan Sinta - yang adalah Program Officer Gender Mainstreaming, Ari - yang adalah Program Officer HIV/AIDS serta Keiko - yang adalah seorang JPO asal Jepang yang akan tugas belajar selama 4 bulan di Papua. Di country office ini saya bertemu berbagai orang dari berbagai bangsa. Karena itu bahasa Inggris merupakan bahasa sehari-hari yang juga merupakan bahasa resmi di kantor. Karena keterbatasan bahasa Inggis saya, maka saya masih kagok gaul dengan orang-orang kantor. Namun semakin lama, saya akhirnya menjadi lancar juga berbahasa Inggris. kemampuan speaking dan listening saya berkembang dengan sendirinya, karena situasi keseharian. Apalagi saat berada di lapangan, dimana beberapa kolega saya berasal dari negara lain sehingga komunikasi harus dilakukan dalam bahasa Inggris membuat saya mulai terbiasa walau kadang masih belepotan :)

Tiada terasa senja kala kembali merengkuh hari-hari kerja saya sekaligus mengakhiri kesibukan saya di contry office lalu menjejakan saya kembali menghirup polusi udara Jakarta saat menapak ke luar gedung perkantoran di Jl. Thamrin. Saat sang Dewi Malam tersenyum hangat, saya telah nangkring di gerai Warung Ceker Mal Ambasador. saat-saat meninggalkan bisnis Warung Ceker semakin dekat, karena itu saya selalu menyempatkan diri untuk hadir di gerai Warung Ceker. Gerai di Kalimalang terlalu jauh untuk dikunjungi di sela-sela kesibukan baru saya sebagai karyawan pembawa ember, karena itu saya dan mitra bisnis saya mengatur jadwal kerja giliran para karyawan di gerai guna memungkinkan saya bertemu dan ngobrol dengan mereka sebelum saya meninggalkan tempat tugas menuju pos saya di tanah Papua nun jauh di ufuk Timur negeri tercinta.

Bersambung ke Bagian 2 : Menapak Jejak Tanah Papua

Jumat, 03 Januari 2014

JJ EROPA BARAT. LONDON: Kota Para Ratu, Raja, Pangeran dan Putri

Tulisan Keenam.

Akhirnya pesawat Emirates yang saya tumpangi mendarat di terminal 3 Airport Heathrow London sekitar jam 3 sore setelah menempuh 8 jam perjalanan dari Dubai. Airport Heathrow terletak sekitar 18 kilometer dari pusat kota London. Walau airport ini melayani sekitar 200.000 penumpang yang datang dan pergi setiap hari, ternyata terminal 3 tidak terlalu ramai, bahkan terasa sepi banget karena begitu luasnya area terminal dibandingkan dengan jumlah penumpang yang turun dari Emirates. Dari airport ini menuju pusat kota London tersedia beberapa pilihan transportasi seperti taxi, bus dan kereta. Kereta adalah alat transportasi tercepat menuju pusat kota atau sebaliknya dari pusat kota ke airport. Untuk itu tersedia 3 jenis pilihan kereta, yakni Heathrow Express, Heathrow Connect dan Tube.

Heathrow Express merupakan kereta tercepat dari airport ke stasion Paddington di pusat kota London sebagai stasiun akhir atau stasiun transit. Waktu tempuh kereta ini dari terminal 1 atau 3 ke stasiun Paddington dan sebaliknya adalah sekitar 15 menit, sedangkan dari terminal 5 adalah 20 menit. Selain cepat, ongkosnya juga lebih mahal, seperti kata orang ada uang ada barang :). Harga tiket sekali jalan adalah 16.50 pound atau sekitar 300.000 rupiah. Pilihan kedua adalah Heathrow Connect dengan waktu tempuh lebih lama dari airport ke Paddington, yakni sekitar 30 menit dengan harga tiket yang lebih murah, yakni 8.50 pound atau sekitar 160.000 rupiah sekali jalan atau 16.50 pound PP. Jenis kereta ini akan berhenti di beberapa stasiun yang dilalui dari airport ke Paddington, namun tidak semua stasiun di jalur tersebut akan disinggahi. Pilihan termurah dari segi biaya namun terlama dari segi waktu adalah Tube.Tube merupakan kereta bawah tanah dengan berbagai jalur dalam warna berbeda di peta rute-rute yang dilaluinya. Untuk itu, jika memilih menggunakan Tube, maka pelajari terlebih dahulu rute dan stasiun terdekat ke hotel.  Karena sebelum berangkat, saya telah melakukan riset, maka saya telah memilih menggunakan Tube. Salah satu pekerja magang di kantor yang berasal dari Korea Selatan namun pernah kuliah di London juga sangat menyarankan saya menggunakan Tube, bahkan dia memberikan kartu Oysternya untuk dapat saya gunakan saat tiba di London. Harga tiket sekali jalan adalah 5 pound. Namun untuk pengguna kartu Oyster - kartunya berwarna biru tua dan muda dengan strip putih dan lebih tipis jika dibandingkan dengan kartu comuterline Jakarta ataupun Octopus Hongkong - biaya sekali jalan adalah 4.50 pound atau sekitar 80.000 rupiah. Jarak Heathrow ke tempat tujuan saya di Greenwich ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam dengan 1 kali ganti kereta.


Setelah pengambilan bagasi yang ternyata sangat cepat, saya hanya perlu berjalan mengikuti para penumpang lain ke luar bangunan terminal. Tidak ada pemeriksaan bagasi sebagaimana yang dilakukan di bandara Soekarno Hatta misalnya. Di luar bangunan terminal juga tidak seramai terminal kedatangan Soekarno Hatta di Jakarta yang biasanya dipenuhi para penjemput, sopir, calo, pedagang hingga copet. Oleh karena telah melakukan riset dan telah memutuskan menggunakan Tube sebagai alat transportasi dari airport ke pusat kota London, maka setiba di luar bangunan terminal, saya hanya mencari petunjuk tertulis yang mengarahkan saya ke Tube. Petunjuk tersebut tertulis jelas dengan panah pengarah yang terletak sekitar 5 meter dari pintu keluar. Dengan penuh keyakinan saya berjalan melewati petunjuk tersebut yang mengarah ke lorong bawah tanah menuju stasiun Tube tentunya. Lorong yang saya lalui tidak terlalu ramai jika saya bandingkan dengan lorong-lorong MRT di Hongkong ataupun Singapura. Karena saking sepinya lorong yang saya lalui dari bangunan terminal 3 ke tempat tunggu Tube, saya jadi kuatir saya sedang salah jalan. Namun saya terus saja berjalan menyusuri lorong tersebut. Ternyata pilihan saya benar, karena saya lalu melihat mesin-mesin penjualan tiket Oyster yang berjejer di sebelah kiri lorong yang akan saya lalui.

Karena saya telah dibekali dengan tiket Oyster, maka saya tidak perlu membeli tiket baru lagi. Di lokasi tersebut terdapat 3 mesin penjualan yang bentuknya seperti mesin-mesin ATM. Area sekitar mesin-mesin tersebut juga sepi pembeli sehingga saya memiliki keleluasaan waktu untuk mengamati dan membaca informasi yang tersedia di berbagai tombol. Mesin warna biru tersebut dilengkapi berbagai tombol pilihan berbahasa Inggris tentunya :). Saya lalu menekan tombol top up kemudian mengikut instruksi selanjutnya. Mesin tersebut menyediakan 2 pilihan pembayaran, yakni cash dan kartu. Jika memilih cash dalam jumlah tertentu, maka setelah tombol dipencet, uang dalam jumlah yang telah dipilih sebelumnya dimasukan berupa koin atau kertas. Setelah itu, masukan kartu Oyster yang telah dimiliki ke tempat kartu yang tersedia untuk diproses lebih lanjut oleh mesin. Setelah selesai proses, kartu akan keluar dengan sendirinya. Prosedur yang sama berlaku juga untuk pembelian kartu baru. Bedanya adalah pada tombol beli / buy dan top up. Jika telah memiliki kartu, maka tombol top up yang dipilih lalu masukan berapa besar top up yang akan diambil. Setelah memasukan jumlah, maka duit atau kartu kredit/debit dimasukin ke mesin untuk proses lanjutan, kemudian kartunya juga sehingga top up langsung masuk ke kartu tersebut. Pemilik kartu bisa melihat berapa jumlah kredit yang tersedia di kartunya setelah proses top up selesai dilakukan. Kartu ini juga bisa digunakan di bis umum di seluruh kota London - sama seperti tiket kereta di kota Roma, Paris dan kota-kota lain di Eropa Barat yang dapat digunakan untuk kereta dan bis umum, tidak untuk bis wisata.

Setelah selesai urusan top up Oyster sebesar 15 pound, saya meneruskan perjalanan menelusuri lorong tersebut sampai saya tiba di pintu masuk ke ruang tunggu Tube yang dihalangi palang.  Di pintu masuk tersebut, tersedia 2 pilihan arah, yakni ke kiri atau ke kanan dengan informasi nama stasiun utama / akhir untuk berganti. Karena saya telah melakukan riset online, maka tanpa ragu saya memilih arah kiri yang tertulis Paddington station - untuk selanjutnya berganti ke North Greenwich. Di dalam area ini tersedia juga loket penjualan tiket dan informasi, tepat saat melewati penghalang jalan masuk. Karena telah memiliki Oyster card, maka saya hanya melewati jejeran loket informasi dan penjualan tiket yang terletak di sebelah kanan saya dan berjalan terus ke arah eskalator yang saya gunakan ke tempat tunggu Tube di bawah tanah. Hanya sekitar 2 menit berdiri menunggu dengan koper sedang dan 1 tas ransel, Tube yang saya tunggu tiba. Saya lalu masuk melalui pintu yang terbuka secara otomatis pintu terbuka lalu saya masuk karena tidak ada orang yang keluar melewati pintu tersebut.

Gerbong kereta dalam keadaan sepi, sehingga saya bisa duduk sambil memangku ransel dan meletakan koper di depan kaki saya agar tidak menghalangi penumpang lain yang keluar masuk. Ternyata pembawa koper bukan hanya saya. Di gerbong yang saya tumpangi ada 4 penumpang lain yang juga membawa koper yang ternyata lebih besar dari milik saya.  Jika 2 pembawa koper duduk berhadapan, maka hanya tersisa celah sempit sebagai tempat lewat penumpang. Kursi-kursi pada gerbong yang saya tumpangi adalah sofa warna biru dengan aksen kotak-kotak warna ungu dan merah maroon. Semakin jauh dari airport yang artinya semakin dekat ke pusat Kota, kereta makin penuh sehingga hawa dalam gerbong mulai panas dan pengap. Saya lalu melepaskan jaket yang saya pakai sejak dari Airport. Kereta berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Karena itu saya menyempatkan diri melongok stasiun-stasiun tsb dari cela-cela penumpang yang berdiri. Beberapa stasiun yang dekat ke aiport terletak di atas tanah, bukan bawah tanah sehingga kadang kereta melewati jalur atas tanah yang menyajikan alam pedesaan London dengan rumah-rumah batanya yang khas disinari matahari sore  yang masih terang benderang seperti jam 2 siang di Jakarta, padahal pada saat tersebut, jam saya telah menunjukan hampir jam 5 sore.

Sesuai dengan petunjuk online untuk penggunan Oyster card (www.tlf.gov.uk/journeyplanner), saya berganti kereta di stasiun Green Park lalu mengambil Jubelee line yang menuju stasiun North Greenwich. Pada saat saya mencari informasi online melalui web www.tlf.gov.uk, maka informasi pertama yang secara otomatis muncul adalah penggunaan kereta Heathrow Express terlebih dahulu ke Paddington lalu ganti ke Tube di stasiun Paddington ambil Bakerloo line kemudian ganti lagi di stasiun Bakerstreet. Dari segi waktu lebih cepat namun lebih mahal dan juga berganti 2 kali. Saya lalu mencari-cari lagi informasi lain di web yang sama dengan cara hanya membuka pilihan menggunakan Tube dari Heathrow ke North Greenwich. Cara lain adalah dengan membuka peta jalur Tube yang tersedia online (pengguna iphone dan ipad dengan mudah dapat download gratis aplikasinya). Dari peta tersebut dapat ditelusuri rute yang akan dilalui Tube sampai ke stasiun tertentu tempat bertemunya kereta dari jalur / line berbeda. Dari kedua cara tersebut, akhirnya saya menemukan rute dan stasiun bertukar kereta yakni Green Park karena tidak ada kereta bawah tanah yang dapat langsung dari Heathrow Airport ke North Greenwich station. Pergantian di stasiun Green Park tidak terlalu sulit, karena tersedia eskalator untuk perpindahan jalur di tempat berbeda. Akhirnyas sekitar jam 5 sore, saya tiba di stasiun North Greenwich.

Satu bulan sebelum keberangkatan, saya telah melakukan komunikasi email dengan pihak Hotel Holiday Inn Express Greenwich yang saya pilih untuk menginap di London. Selain karena merupakan tempat penjemputan Expat Explorer, hotel ini juga dekat dengan lokasi-lokasi wisata yang ingin saya kunjungi di kawasan Greenwich, yakni terutama Greenwich Meridian, Old Royal Naval College, Cutty Sark, National Maritime Museum, Royal Observatory dan Taman Greenwich. Greenwich Meridian. Sejak kecil saya penasaran melihat Greenwich Meridian dan Big Ben di London karena pelajaran sekolah SD tentang pembagian waktu dunia oleh orang-orang Inggris. Dalam komunikasi email tersebut, saya menanyakan jenis transportasi yang saya gunakan dari stasiun ke hotel. Pihak hotel membalas email saya bahwa saya dapat menggunakan bus nomor 422 yang tersedia di luar stasiun lalu turun di halte pertama dari stasiun karena halte tersebut terletak di depan hotel. Waktu tempuh bis dari stasiun ke hotel adalah sekitar 3 menit. Pembayaran ongkos bis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni kartu atau cash. Ongkos sekali jalan adalah 2 pound, demikian informasi yang saya terima dari pihak hotel.

Oleh karena Tube merupakan kereta bawah tanah - sehingga dikenal dengan nama undergound saja di London - maka tentunya keluar dari kereta masih harus berjalan beberapa menit lagi menuju pintu keluar di atas tanah. Selain tangga, di stasiun North Greenwich juga tersedia lift dan eskalator yang dapat digunakan dari dalam tanah menuju pintu keluar. Karena hanya ada 1 pintu keluar, saya tidak kebingungan harus memilih arah saat keluar dari kereta. Kondisi yang berbeda dengan stasiun kereta dan bis di Kota Amsterdam dan Madrid - yang membuat saya kebingungan dan salah memilih jalan keluar sehingga harus jalan memutari stasiun ke tempat tujuan.  Tidak jauh dari pintu keluar stasiun Greenwich tersedia halte bus di pinggir jalan. Saya pun nongkrong bersama orang-orang lain yang juga sedang menunggu bus masing-masing. Area yang terletak diantara stasiun dan jalan raya merupakan kawasan terbuka yang tertata rapi sehingga banyak orang yang nongkrong di sekitar area tersebut. Beberapa kelompok turis Korea atau China lewat juga di kawasan tersebut, mungkin mereka juga sedang berkeliling karena tidak sedang membawa koper atau barang-barang lain seperti orang yang baru turun dari kereta untuk menginap di daerah tersebut.


Sambil menunggu bus, saya mengamati daerah sekeliling stasiun yang sangat datar dan sepi. Tidak ada ojek, bajaj dll sejenis seperti yang terdapat di stasiun Manggarai, Sudirman dan Tanah Abang. Langit sedang mendung, udara terasa basah dan segar diiringi angin sepoi, namun suasana masih terang benderang seperti jam 3 sore di Jakarta, padahal waktu telah menujukan pergerakan jarum jam ke arah pukul 6 sore. Hanya hilir mudik manusia masuk keluar stasiun mapun yang naik dan turun bis. Tak lama kemudian bus dengan nomor 422 pun tiba. Sebelum menaikan penumpang, bus tersebut menurunkan penumpang di lokasi lain berjarak sekitar 10 meter dari halte tempat penumpang naik. Penumpang yang naik bus ini tidak terlalu banyak, sehingga tempat duduk kosong masih tersedia. Saya perhatikan setiap penumpang yang naik menempelkan kartu ke tempat yang telah disediakan. Saya hanya mengikuti cara mereka dengan menempelkan kartu Oyster saya. Setelah tidak terlihat lagi penumpang lain yang naik, sopir lalu menutup pintu dan menggerakan bis menjauhi halte. Semua bis di London hanya memiliki 1 warna yakni merah hati. Identifikasi rute dan halte yang disinggahi berdasarkan pada nomornya. Sepertinya hanya 1 jenis bis, yakni jenis besar seperti bis 213 rute Grogol - Kampung Melayu. Semua bis berwarna merah hati 2 tingkat, bersih luar dalam dan tidak penuh sesak seperti bis-bis di Jakarta. Karena saya sedang membawa koper, maka saya memilih duduk di bawah, tidak naik ke lantai 2 yang memungkinkan saya dapat menikmati landscape London dengan lebih leluasa. Saya baru melakukannya setelah check in dan menyimpan koper serta ransel saya di hotel.

Sambil duduk, saya melongok-longok keluar memperhatikan halte tempat saya akan turun. Tidak terlalu jauh dari stasiun, ternyata sekitar 3 menit kemudian, bis tiba di halte yang diinformasikan oleh pihak hotel. Penumpung bis yang akan turun, tinggal menekan tombol bel yang tersedia dekat kursi jika tiba di halte tujuan. Karena saya belum terbiasa (di Jakarta biasanya teriak saja saat ingin turun atau kondektur yang malah meminta kita siap-siap dengan meneriakan nama halte, seperti mesjid, gereja, bonjol, tosari dll. Beruntunglah di halte tersebut ada penumpang lain yang akan naik sehinga bis berhenti. Namun karena bis akan menaikan penumpang, maka hanya pintu depan yang terbuka karena penumpang harus naik dari pintu depan dan turun melalui pintu belakang. Melihat pintu depan terbuka, saya lalu berjalan ke arah depan menggerek koper dan ransel saya. Penumpang perempuan yang akan naik lalu memberikan tempat bagi saya untuk lewat terlebih dahulu dan turun. Saya menuduga, para penumpang dan sopir pasti ngomongin saya karena turun melalui pintu depan. Cuek saja, kata saya dalam hati, yang penting saya tiba di hotel dan tidak tersesat karena salah turun halte.

Kawasan sekitar halte tersebut juga sepi. Saya berhenti sejenak sambil melempar pandangan kesana sini. Hotel terletak sekitar 20 meter sebelah kiri belakang halte. Satu-satunya bagunan menjulang tinggi berlantai 8 atau 9 di kawasan tersebut hanyalah hotel tersebut yang terletak di perempatan jalan sehingga sangat mudah ditemukan. Perjalanan dari halte ke hotel juga sangat nyaman dan mudah. Tidak ada PKL, parkir liar mobil ataupun motor, tidak ada pengemis dan lainnya seperti di jalan-jalan Jakarta. Pedestarianya bersih dan bagus sehingga koper hanya perlu ditarik sambil jalan menuju hotel. Saya harus menyeberangi jalan untuk masuk ke hotel. Untuk itu, saya menekan tombol yang tersedia di tiang lampu lalu lintas sambil menunggu warnanya berubah hijau dengan tanda orang berjalan sebagai tanda bagi penyebrang. Saya tidak berani menyeberangi jalan tersebut walau pada saat itu jalannya sepi. Saya mengingatkan diri sendiri bahwa saya berada di negeri orang sehingga harus berperilaku sopan agar tidak memalukan bangsa dan negara asal.

Pintu hotel terbuka dan tertutup secara otomatis karena sepertinya menggunakan sensor panas tubuh mendeteksi kehadiran seseorang. Meja resepsionis terletak di lantai 1 yang dapat diakses menggunakan tangga atau lift. Saya memilih lift tentunya karena barang-barang bawaan saya akan merepotkan jika saya memilih menggunakan tangga. Di meja resepsion, saya disambut 2 staf hotel perempuan dan laki-laki berseragam putih biru. Saya menyerahkan print out booking saya bersama passport dan kartu kredit ke para staf tersebut. Dialeg Inggrisnya bagus dan unik, tidak seperti dialeg bahasa Ingriss yang digunakan orang2 Indonesia (yang sudah sangat fasih sekalipun) ataupun orang Australia, Amerika dan Singapura misalnya. Mengalun indah saat mereka berbicara yang membuat saya terpesona. Saya hanya berkata dalam hati "ya karena bahasanya sendiri sehingga pasti bagus pengucapannya". Setelah registrasi selesa, saya menerima kembali passport dan kunci kamar. Saya berjalan ke arah lift di sebelah kanan, menekan tombol lalu masuk saat pintu lift terbuka. Lift menggunakan kartu akses, yakni kunci kamar yang harus dicolokin ke lubang yang tersedia dalam ruang lift. Setelah kartu dimasukin, maka tombol lantai tujuan yang ditekan akan nyala mengindikasikan lantai tersebut dapat diakses tamu hotel.

Tiba di kamar, saya mendapatkan tempat tidur yang tidak sesuai dengan pesanan online saya. Saya lalu menelpon resepsionis mengatakan ketidak-setujuan saya terhadap kamar tersebut dan meminta gantinya. Resepsionis meminta maaf dan berjanji segera mencarikan kamar pengganti sesuai pesanan saya, yakni kamar dengan tempat tidur besar - bukan 2 tempat tidur kecil sebagaimana lazimnya kamar twin sharing di hotel. Sekitar 5 menit kemudian, seorang karyawan perempuan muncul dan mempersilahkan saya pindah ke kamar lain. Kamar yang ternyata lebih luas karena selain tempat tidur besar, di kamar tersebut juga tersedia 1 tempat tidur sofa yang sedikit lebih kecil dari tempat tidurnya. Semuanya minimalis dan didominasi warna putih sehingga kesannya sangat bersih dan rapi. Karyawan hotel menanyakan apakah saya membutuhkan juga tempat tidur sofanya, saya iyakan saja sehingga dia lalu menyiapkan tempat tidur tersebut yang saya gunakan berganti-ganti selama 3 hari saya nginap di hotel tersebut.

Saya duduk dalam kamar sambil mengawasi staf hotel yang sedang menyiapkan tempat tidur sofa. Saya mengajak staf tersebut ngobrol untuk mencari informasi bis, rute dan jarak dari hotel ke tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi sore hingga malam nanti -  yang dengan ramah dilayani oleh dia. Setelah tempat tidur sofa selesai disiapkan, staf tersebut lalu pamit yang saya iyakan sambil memberikan tip. Setelah itu, saya lalu mengisi perut dengan biskuit dan 1 apel lalu mandi dan berganti baju kemudian turun ke resepsionis menanyakan nomor bus yang dapat saya gunakan menuju Taman dan Museum GMT. Resepsionis menginformasikan kepada saya untuk naik bus 108 di halte yang terletak di belakang hotel. Setelah  mengucapkan terima kasih, saya pun melangkah keluar mengikuti petunjuk staf hotel.

BERSAMBUNG



JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...