Sabtu, 23 September 2017

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote 
Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tepi Pantai ini dihalangi satu pulau karang kecil berjarak sekitar 750an meter di sebelah kanan saat saya berdiri menghadap pantai. Karena itu, gelombang laut di lokasi ini cukup bersahabat. Saat perahu masih berjarak 500an meter dari tepi pantai, dua marinir telah melompat dan berenang ke pantai. Saya hanya berdiri memperhatikan mereka berenang lalu kadang berhenti dan bercanda di dalam laut. Perahu Pak Ardin terus mengayun perlahan menuju pantai sampai dasarnya menyentuh pasir sehingga perahu tak bisa maju lagi. Satu demi satu para prajurit turun. Para prajurit marinir dan tentara masing-masing membawa dus atau kantung atau karung perbekalan mereka yang dibawa dari Pulau Rote. Yani turun terlebih dahulu lalu saya. Saat kaki saya menjejak pasir, air laut masih setinggi paha. Saya berjalan perlahan menuju pantai sambil memperhatikan sekeliling kami. Hanya rombongan kami yang berada di pantai ini. Di pantai berdiri 1 pondok kecil beratap daun tanpa dinding. Para-para setinggi dada orang dewasa menjadi tempat duduk beberapa prajurit yang menunggu semua penumpang meninggalkan perahu. Di sebelah pondok dalam jarak sekitar 10an meter berdiri papan Selamat Datang di Pulau Ndana. Papan berwarna oranye dengan tulisan warna kuning tersebut mejadi satu-satunya penanda keberadaan manusia di Pulau tersebut.

Barak para prajurit di Pulau Ndana
Beberapa prajurit muncul dari setapak yang menghubungkan pantai dan barak. Mereka menjemput teman-teman mereka sekaligus mengambil alih barang-barang bawaan ke barak. Saya mengajak rombongan kami foto-foto terlebih dahulu di depan papan Selamat Datang barulah melanjutkan perjalanan kami ke barak yang berjarak sekitar 500an meter dari pantai. Sambil jalan, saya ngobrol dengan Dwi, salah satu marinir yang menyambut kami di pos singgah mereka di Oeseli, Pulau Rote. Sambil ngobrol, mata saya tak lepas dari lingkungan sekitar yang sangat sepi dan adem. Ruang kosong antara barak dan pantai berupa lapangan terbuka yang hanya ditumbuhi rerumputan warna coklat etinggi betis. Padang rumput berwarna coklat tersebut menjadi obyek foto yang sangat indah.

Setapak ke lokasi Patung Jenderal Soedirman
Saat hampir tiba di barak, Dwi menunjuk Patung Jenderal Sudirman di sebelah kanan kami yang sepertinya berada dalam satu garis lurus dengan pulau karang di pantai. "jika mo maen ke situ silahkan ikut saja jalan ini", kata Dwi sambil menunjuk setapak di samping kanan depan barak. Saya mengucapkan terima kasih lalu mengajak Yani belok kanan menuju setapak melanjutkan perjalanan kami ke kompleks Patung Jenderal Sudirman untuk menikmati sunset yang hampir tiba. Dalam perjalan, kami bertemu 3 marinir yang juga berjalan ke arah setapak tersebut dari setapak lain di belakang barak. Kami saling bersalaman dan ngobrol ngarol ngidul tentang berbagai hal. Ketiga marinir tersebut menuju pos pemantau yang berdekatan dengan Patung Jenderal Sudirman yang berjarak sekitar 500an meter dari barak. Saat hampir tiba di tempat tujuan kami, ketiga marinir tersebut mengambil jalan ke kiri sedangkan saya dan Yani ke kanan ke arah Patung Sudirman. "ntar mampir ke tempat kami ya mas", kata marinir yang terliat lebih senior dari 2 temannya. "siap pak", balas saya dengan senyum ramah.

Senja bersama Jenderal Soedirman
Saya dan Yani tiba di area Patung Jenderal Sudirman yang dipagari pagar besi berbentuk persegi setinggi pinggang saya. Kami membuka gerbang yang tidak terkunci lalu masuk ke dalam kawasan berpagar dan berlantai semen. Kami duduk mengamati patung setinggi sepuluan meter tersebut sambil mengeluarkan kamera dan memasang kaki tiga. Selanjutnya kami mulai sesi foto :) sambil berjalan mengitari patung dan melihat-lihat lebih dekat.  Matahari terus melangkah perlahan ke arah barat diiringi semilir bayu senja. Setelah puas foto dari berbagai sudut, saya duduk menikmati sunset yang telah terbentuk sempurna di horison barat. Warna jingga itu secara berlahan menghilang dalam pelukan ufuk meninggalkan bias-bias kemerahan semata. Lukisan indah goresan Sang Ilahi terciptan di tempat ini. Setelah puluhan tahun hanya menyimpan cerita ibunda tentang Pulau Ndana, akhirnya kaki saya menjejak pulau yang dulunya menjadi wilayah kekuasaan Manek (Kepala Suku) Nusak Thie dari marga / fam Messakh - marga ibu dari garis ayahnya. Pulau yang kemudian menurut cerita telah diserahkan Manek Thie ke Pemerintah Negara Republik Indonesia - yang lalu menjadikannya sebagai pos terdepan di bagian terselatan wilayah Negara Republik Indonesia.

Sunset di Pulau Ndana
Saat mentari telah sempurna menghilang di haribaan horison, saya dan Yani keluar dari kompleks Patung Sudirman dan menutup kembali gerbang. Kami masih sempat memanfaatkan sisa cahaya sore - yang dikenal kalangan fotografer sebagai blue light. Kami bergantian foto di sekitar prasasti berwarna putih yang menjadi tempat peringatan pembangunan Patung dan  juga informasi lainnya tentang Pulau Ndana. Setelah itu, kami beralih ke pos pemantauan yang tidak jauh dari lokasi Patung. Dua dari tiga prajurit yang berjalan bersama saya dan Yani dari setapak hingga ke area Patung Sudirman - menyambut kami dengan ramah. Pos ini dilengkapi kamar tidur, ruang tamu, dapur, kamar mandi dan toilet. Saya permisi ke kamar mandi terlebih dahulu untuk cuci muka dan kaki. Saat saya kembali ke ruang tamu, 2 gelas teh hangat telah terhidang di atas meja.

Dipan prajurit yang menjadi tempat tidur saya malam ini
Malam telah sempurna saat saya dan Yani meninggalkan kedua prajurit di pos tersebut. Kami berjalan dalam kegelapan malam ditemani suara jangkrik, kodok, serangga malam hingga burung malam. Berjuta bintang menghiasi langit Pulau Ndana menemani perjalanan saya dan Yani kembali ke barak para prajurit bangsa yang menjaga pulau ini. Dua prajurit sedang duduk santai sambil merokok dalam keremangan malam di suatu gundukan kecil di luar barak. Saya dan Yani berjalan menghampiri mereka, berjabat tangan, mengenalkan diri dan duduk ngobrol bersama mereka beberapa saat. Setelah itu, saya dan Yani berpindah ke teras terbuka di bagian samping belakang. Kami bergabung dengan beberapa prajurit yang sedang bercanda sambil ngopi dan merokok ditemani musik dangdut. Prajurit Dwi, satu dari para marinir yang bertemu kami di Oeseli serta bersama-sama menggunakan perahu Pak Ardin ke Pulau Ndana mengajak kami masuk ke dalam barak dan menunjuk 2 tempat tidur yang telah disediakan bagi saya dan Yani untuk istirahat malam. Saya mengucapkan terima kasih lalu mulai bersiap untuk mandi. Tentu saja, saya harus mandi karena badan terasa lengket akibat tersiram air laut sepanjang perjalanan Oeseli - Ndana sore tadi.

Barak para prajurit 
Sambil menyiapkan perlengkapan mandi, saya mengamati barak para prajurit yang menjaga pulau ini. Barak ini merupakan suatu aula terbuka yang diisi tempat tidur dan lemari sederhana para prajurit di kedua sisinya. Tempat tidur yang terbuat dari kayu (dipan) berukuran lebar sekitar 90 cm berjejer di kiri dan kanan barak membentuk lorong panjang di tengah. Antar dipan berjarak sekitar 1 meter. Beberapa dipan dilengkapi kelambu gantung, termasuk dipan tempat saya akan tidur malam ini. Di depan masing-masing dipan terdapat lemari sederhana dari kayu berwarna kecoklatan setinggi 2 meter dengan lebar sekitar 75cm yang warnanya senada dengan warna dipan. Mungkin satu paket, duga saya.

Dari ujung samping belakang barak, saya berjalan melewati lorong menuju ruang tengah - melewati kamar komandan yang tertutup - di pagi hari, saya berkenalan dengan sang komandan yang masih muda bernama Arjuna La Ode. Di ruang tengah saya keluar melewati pintu kiri menuju tempat mandi di belakang barak. Beberapa prajurit masih mandi, sedangkan beberapa sedang duduk-duduk dan ngobrol di bangku kayu di bawah naungan pohon besar di belakang kamar mandi. Saya dan Yani bergabung sambil menunggu prajurit yang sedang mandi selesai. Kamar mandi sederhana dengan lebar sekitar 2x2 meter tersebut tidak berpintu. Air mandi dipompa dari sumur di belakang kamar mandi lalu dialirkan melalui pipa-pipa ke dalam 2 ember bak besar di dalam kamar mandi tersebut. Saya dan Yani bergantian memompa air untuk kami masing-masing dan mandi secara bergiliran. Beruntung, lampu di tempat tersebut sangat tamaran sehingga saya tidak risih saat harus mandi bugil di kamar mandi yang tak memiliki pintu.

Makam malam 
Selesai mandi, saya kembali ke barak dan duduk ngobrol dengan beberapa prajurit di teras samping belakang diiringi musik dangdut, kopi dan rokok. Karena saya tidak minum kopi dan merokok, saya hanya menemani mereka ngobrol ngalor-ngidul. Bosan di tempat tersebut, saya mengajak Yani pindah tempat. Kami berjalan ke teras depan yang menghadap jalan setapak ke pantai yang kami lalui sore tadi saat tiba. Di teras ini seorang prajurit senior sedang ngobrol dengan beberapa anggota rombongan dari Bank NTT yang telah tiba sore tadi. Karena mereka tiba duluan, mereka  mendapatkan kamar tidur bagi tamu yang disediakan di barak tersebut. Saya dan Yani bergabung mendengarkan obrolan mereka dan sesekali ikut bertukar cerita. Namun yang lebih banyak bercerita atau menjadi tokoh malam ini adalah prajurit senior yang menemani kami. Obrolan kami terhenti, saat  makan malam dihidangkan. Prajurit senior yang menemani kami pamit meninggalkan kami. Kami semua berpindah ke tikar yang telah digelar di ruang tamu. Di atas tikar tersebut telah terhidang nasi panas, ikan bakar, potongan timun, kecap yang telah diberi irisan cabe dan bawang serta kerupuk.

Selesai makan malam, kami masih sempat ngobrol ngarol-ngidul tentang pengalaman jelajah masing-masing. Dua anak muda laki-laki dari Bank NTT merupakan para penjelajah seperti saya. Mereka sangat suka menghabiskan waktu menjelajah NTT. Mereka juga suka banget snorkeling sehingga saya hanya mendengarkan cerita-cerita mereka tentang perjalanan jelajah mereka menikmati pesona keindahan NTT. Kulit mereka berwarna hitam gelap karena sering terbakar matahari saat snorkeling. Suatu ketika mereka akan keliling Indonesia dan juga dunia, pikir saya sambil mendengar cerita-cerita mereka. Obrolan kami berakhir karena kantuk mulai membuat kami menguap bergantian dan pelupuk mata mulai terasa berat. Saya dan Yani pamit kembali ke bagian belakang barak yang menjadi tempat istirahat kami malam ini.

Kami masuk melalui pintu samping yang berseberangan dengan pintu samping ke arah kamar mandi, 2 prajurit terlihat terlelap di lantai hanya beralaskan bantal lusuh :(. Saya merasa bersalah karena mungkin saya dan Yani telah mengambil tempat tidur mereka malam ini. Melewati lorong, saya menyapa beberapa prajurit yang terlihat sedang menyiapkan diri untuk istirahat malam. Beberapa prajurit masih asyik ngobrol ditemani kopi, rokok dan musik dangdut di bagian teras belakang samping. Saya menurunkan kelambu dan mulai berbaring mencoba melelapkan diri guna menyiapkan tenaga bagi jelajah esok hari. Musik dangdut dan suara ketawa para prajurit di teras samping belakang mengantar saya ke dalam kelelapan tidur di malam gelap itu. Saya terbangun subuh hari karena kepanasan. Sekeliling telah sepi, para prajurit telah terlelap di tempat masing-masing. Saya membuka jendela membiarkan angin subuh Pulau Ndana menyejukan tubuh saya. Saya kemudian berusaha tidur lagi hingga akhirnya kembali terlelap.

Siap menyambut kunjungan Panglima pagi ini
Saya terbangun oleh kesibukan para prajurit yang menyiapkan perlengkapan masing-masing karena akan ada kunjungan Panglima pada hari ini. Kicauan burung dan udara segar pagi hari menghadirkan sensasi kesegaran pada tubuh dan pikiran saya. Saya cuci muka dan kumur-kumur - menggunakan air di botol aqua yang selalu saya bawa - melalui jendela barak dekat tempat tidur saya. Setelah itu, saya merenggangkan tubuh lalu berjalan ke luar barak. Saya mulai menyusuri setapak samar-samar yang tertutup rerumputan. Saya berjalan menuju pantai di bagian Utara karena ingin menjelajah hutan di bagian tersebut yang terlihat dari barak. Saya berjalan melewati padang rumput yang masih berhiaskan embun pagi. Matahari pagi mulai perlahan keluar dari peraduannya menyinari alam sekitar. Saat sinarnya bertemu embun pagi yang menggantung lembut di ujung-ujung daun rerumputan, perpaduan keduanya menghasilkan kristal-kristal pelangi yang hilang saat embun tersebut menguap karena sinar matahari semakin kuat.

Lautan rumput 
Sekitar 2km menyusuri padang rumput, saya memutuskan kembali ke barak karena hutan kecil yang ingin saya jelajahi  ternyata masih jauh. Hutan tersebut terlihat dekat dari barak, namun ternyata jarak pandang dengan jarak jalan berbeda ukuran. Saya teringat peringatan seorang prajurit semalam agar tidak berjalan sendiri di Pulau Ndana. Saat balik, saya tidak kembali ke barak. Saya berjalan lurus menuju setapak yang mengarah ke pantai tempat perahu dan boat berlabuh menurunkan dan menaikan penumpang. Saya ingin memotret pulau karang dekat pantai yang kemarin saya lihat saat kami tiba di pantai. Saya juga ingin menyusuri dan menjelajahi keindahan pantai itu karena belum saya lakukan karena hari telah menjelang malam saat saya, Yani dan para prajurit tiba kemarin di lokasi tersebut.

Jalan ku masih panjang dan lama 
BERSAMBUNG.


Minggu, 09 Juli 2017

JELAJAH INDONESIA. PULAU ROTE DAN NDANA: Menjejaki Tanah Para Leluhur

Perjalanan Oeseli ke Pulau Ndana
Awalnya, saya merencanakan perjalanan jelajah ke Pulau Sumba, yakni salah satu pulau besar di Provinsi NTT yang terkenal dengan budaya megalitik, kontras bentang alam bagian Timur dan Barat serta acara tahunan Pasola. Namun, rencana perjalanan jelajah tersebut bertepatan dengan rencana reuni 30 tahun SMA Negeri I, Kupang, Angkatan 86. Beberapa teman SMA mengajak saya ikut reuni dan karena telah hampir 30 tahun tidak bertemu beberapa teman dekat SMA, saya akhirnya mengubah rencana perjalanan jelajah Sumba menjadi perjalanan pulang kampung halaman di Kupang, ibukota provinsi NTT. Walau demikian, karena semangat menjelajah telah diniatkan, maka saya mengkombinasikan perjalanan ke reuni dengan jelajah daerah tertentu dekat Kupang dengan periode yang lebih pendek, karena harus membagi hari cuti dengan kunjungan ke rumah orang tua dan keluarga, reuni serta perjalanan jelajah. Setelah mencari berbagai informasi, akhirnya saya memutuskan untuk menjelajah Pulau Rote di bagian terselatan Indonesia yang merupakan tanah para leluhur saya dari garis ayah dan ibu.

Menggunakan pesawat Garuda, saya berangkat ke Kupang 4 hari sebelum tanggal reuni SMANSA 86. Karena kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan berjarak lumayan jauh dari Kota Kupang, yakni sekitar 2-3 jam perjalanan menggunakan mobil, maka saya menginap dan istirahat semalam di rumah adik perempuan saya di Desa Oesao, Kabupaten Kupang. Esok hari barulah saya melanjutkan perjalanan ke kampung halaman. Setelah menghabiskan 2 hari di kampung, saya kembali ke kota Kupang guna  mengikuti rangkaian acara reuni SMANSA 86 yang diagendakan berlangsung selama 3 hari. Untuk itu, saya menginap di salah satu penginapan di kota Kupang. Walau saya memiliki banyak keluarga dari pihak ayah dan ibu di Kota Kupang, namun saya memilih menginap di penginapan dengan pertimbangan tidak perlu merepotkan keluarga. Penginapan yang saya pilih terletak di dekat Pantai Tode, namanya. Dengan menginap di penginapan ini, saat saya bangun pagi, saya hanya perlu menyeberang jalan menuju tepian pantai untuk  menikmati matahari terbit menyibak kabut pagi diiringi deburan ombak yang menghempas tebing-tebing pantai. Di sore hari saat rehat beberapa jam dari acara reuni, saya menjelajah Pantai Namosain yang berjarak sekitar 3km dari penginapan saya. Di Namosain, saya dapat menikmati saat-saat berlalunya matahari digantikan malam. 

Akhirnya acara reuni yang penuh kegembiraan selesai dengan acara puncak berupa malam ramah tamah bersama para guru kami yang masih hidup dan tamu undangan lainnya serta pelantikan pengurus organisasi SMANSA 86. Sekitar 1 jam setelah selesai makan malam, saya kabur diam-diam kembali ke penginapan karena saya butuh istirahat guna memulai perjalanan jelajah saya di pagi hari ke Rote dan Ndana. Akses transpotasi ke Pulau Rote dapat menggunakan ferry, kapal cepat dan pesawat. Saya memilih menggunakan kapal cepat dengan pertimbangan lebih cepat tiba di tempat tujuan, namun masih dapat menikmati keindahan alam selama perjalanan Kupang - Rote. Dengan waktu tempuh yang lebih pendek, yakni sekitar 2 jam, maka harga tiket kapal cepat lebih mahal dari tiket ferry yang butuh waktu tempuh selama 4 jam dari Pelabuhan Bolok ke Pelabuhan Pantai Baru kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan mobil atau sepeda motor selama 30-45 menit dari Pantai Baru ke Ba'a yang adalah ibukota Kabupaten Rote-Ndao. 

Sekitar jam 6 pagi, angkutan kota yang saya pesan melalui staf hotel telah menjemput saya untuk diantar ke Pelabuhan Tenau yang menjadi tempat kapal cepat menurunkan dan mengangkut penumpangnya. Saat saya tiba di pelabuhan, loket tiket belum buka sehingga saya mampir ke salah satu warung kelontong yang telah buka. Warung ini juga menjual minuman seperti teh dan kopi bagi para pengunjung. Saya duduk di salah satu bangku di teras kios yang dilengkapi meja panjang. Saya memesan segelas teh panas lalu menikmati teh tersebut dengan santai sambil menunggu loket tiket dibuka. Bosan menunggu di warung, saya melangka ke wilayah terbuka tepi pantai yang bersebelahan dengan dermaga tempat kapal ferry dan kapal-kapal lainnya bersandar. Saya menjelajah sambil memotret dan menikmati pesona langit biru nan bersih menaungi ayunan gemulai lautan biru sekitar perlabuhan yang mengayun perlahan kapal-kapal dan perahu-peruhu nelayan di dermaga dan  pantai sekiarnya. Setelah puas menikmati alam sekeliling dermaga dari tempat terbuka tersebut, saya kembali ke warung meneruskan cicipan kenikmatan teh hangat. 

Sekitar jam 9, saya melihat gerbang dekat loket mulai dipadati para calon penumpang. Saya menghabiskan teh dan membayar lalu beranjak meninggalkan warung tersebut menuju loket tiket. Saat saya tiba, para calon penumpang berbagai usia telah berkerumun di depan loket. Tidak ada antrian tertib seperti antri di ATM atau tempat-tempat lain di Jakarta. Semuanya berkerumun dan berdesak-desakan satu sama lain dengan bau yang campur aduk tentunya :). Saya pasrah saja dan bergabung dengan kerumunan tersebut. Secara perlahan saya bergerak mengikuti gerakan kerumunan di depan mendekati loket tiket. Beberapa turis bule dengan tas ransel besar juga ikut bergabung di kerumunan saat saya menoleh sejenak mengamati seberapa besar kerumunan para calon penumpang di depan loket tiket tersebut. Hanya seorang petugas laki-laki yang melayani penjualan tiket. "Saya harus membiasakan diri dengan kerumunan seperti ini agar tidak kesal" pikir saya. "Ini Kupang bung, bukan Jakarta", saya mengingatkan diri sendiri sambil tersenyum kecut dan terus bergerak perlahan ke depan loket mengikut gerakan kerumunan para calon penumpang. Beruntunglah tidak ada saling dorong dan sikut.

Tangan-tangan perempuan dan laki-laki yang sedang memegang uang di depan loket secara bersamaan masuk melalui lubang loket sambil mengayun-ayunkan duit ke meja petugas. Petugas dengan sabar mengambil uang tersebut satu per satu dan menyerahkan kembaliannya bersama tiket. Saya akhirnya tiba di depan loket dan melakukan hal yang sama dengan calon penumpang lainnya. Setelah mengantongi tiket, saya berusaha keluar dari kerumunan dan masuk ke ruang tunggu. Terminal ini memiliki dua ruang tunggu yakni 1 di dalam gedung dan 1 di luar gedung. Saya berjalan mengikuti para calon penumpang ke ruang tunggu terbuka di luar. Ruang tunggu ini hanya diberi atap seng dan jejeran bangku. Seorang petugas menginformasikan kapal cepat tersebut akan berangkat jam 10 pagi sedangkan saya tidak melihat ada kapal cepat di dermaga. "Sebentar lagi kapalnya tiba", kata petugas saat saya mengutarakan rasa penasaran saya.

Beberapa bule yang saya lihat di loket tiket telah juga berada di ruang tunggu. Satu di antara mereka sepertinya berjalan sendiri. Kebetulan dia duduk di samping saya sehingga kami akhirnya ngobrol menghabiskan waktu. Namanya Nick, bekerja di kantor perwakilan KLM di Surabaya. Bahasa Indonesianya lumayan lancar karena telah berada di Indonesia selama 2 tahunan. Waktu cuti dan liburannya dihabiskan dengan menjelajah berbagai tempat di Indonesia. Ini merupakan waktu pertama dia ke Pulau Rote. Tujuannya adalah Pantai Nemberala untuk berselancar. Kami bertukar cerita tentang perjalanan jelajah kami masing-masing sampai kapal cepat tiba.

Suasana dalam dek bawah kapal cepat 
Selesai menurunkan para penumpang dari Pulau Rote, kami dipersilahkan naik. Satu demi satu meniti jembatan kecil selebar 50an cm yang mengubungkan kapal dengan daratan. Dengan hati-hati saya melangkah masuk ke dalam kapal yang memiliki 2 dek. Saya mencari-cari nomor kursi saya yang ternyata berada di samping lorong sehingga memudahkan saya keluar mengeksplorasi bagian dalam dan luar kapal. Tepat jam 10 pagi, kapal cepat yang saya tumpangi bergerak perlahan meninggalkan Pelabuhan Tenau di Kupang menuju Pelabuhan Ba'a di Rote. Seorang petugas kapal membagikan air mineral gelas dan sepotong roti dalam bungkusan plastik. Setiap penumpang mendapatkan 1 gelas air mineral dan 1 roti. Saya menyimpan jatah saya ke dalam ransel, lalu bergerak ke buritan kapal. Saat saya membuka pintu yang memisahkan buritan luar dengan dalam, saya melihat sejumlah penumpang sedang duduk memenuhi bagian terbuka ini. Di bagian ini juga terdapat warung kecil yang menjual indomie dan kopi mix sasetan. Saya memesan indomie untuk menghangatkan perut saya yang hanya terisi teh panas pagi tadi di warung kelontong di Pelabuhan Tenau.

Perjalanan Tenau (Kupang, Timor) ke Ba'a (Rote)
Selesai menikmati indomie, saya mulai mengeklporasi wilayah sekitar yang dilalui kapal. Sebelah kanan saya terhampar Pulau Semau, sedangkan di sebelah kiri saya masih terhampar garis pantai Pulau Timor. Setelah melewati Selat Puku Afu dimana kapal cepat agak oleng karena hempasan gelombang (Selat ini terkenal ganas yang telah menenggelamkan banyak sekali kapal kayu), pemandangan berganti dengan garis pantai Pulau Rote di kiri dan lautan lepas di kanan. Saat kapal melaju melewati garis pantai wilayah Rote Tengah yang memperlihatkan Batu Termanu, saya sempatkan selfie dengan latar belakang Batu Termanu yang merupakan salah satu legenda orang-orang Termanu yang merupakan para leluhur saya dari pihak ayah.  Saya tetap berada di buritan luar menikmati
Batu Termanu di Rote Tengah 
keindahan landscape tanah para leluhur saya hingga kapal hampir merapat di Pelabuhan Ba'a. Jejeran rumah diantara pepohonan sebagai penanda kota kecil yang terus mengeliat. Jejeran rumah berjejer dari tepi pantai hingga bukit-bukit yang berada di sekitar lokasi tersebut. Mercusuar warna putih terlihat mencolok di pelabuhan saat kapal cepat yang saya tumpangi mulai merapat ke dermaga. Mercusuar tersebut telah ada sejak era Belanda dan masih bertahan hingga saat saya menginjakan kaki di Pelabuhan Ba'a. "Saya harus foto dengan latar belakang mercuar tersebut", kata saya dalam hati.

Mercusuar dan Pelabuhan Ba'a, Rote
Saya mengikuti para penumpang lainnya turun melalui jembatan kecil yang menghubungkan kapal dengan dermaga. Puluhan orang berdiri di dermaga, mungkin para penjemput, pikir saya sambil berjalan ke luar dermaga mengikuti para penumpang lain. Saat saya telah menempuh setengah perjalanan menuju gerbang keluar, Deny yang adalah adik sepupu saya dari pihak ayah menelpon. Deni menanyakan posisi saya, saat saya bilang hampir tiba di gerbang, Deny mengatakan mobil yang akan saya sewa selama berada di Rote telah menjemput. Mobil tersebut disopiri pemiliknya yang adalah rekan kerja Deny. Deny menginformasikan bahwa pemilik mobil telah berada di dermaga dekat kapal. Saya sampaikan ke Deny agar menyampaikan ke pemilik mobil untuk bertemu di depan gerbang saja karena saya telah dekat gerbang. Tiba di gerbang, saya mencara tempat teduh guna menghindari sengatan matahari yang cukup terik di siang hari sekitar jam 1. Tak lama menunggu, saya bertemu pemilik mobil yang mengambil alih koper saya dan berjalan duluan menuju mobil. Saya minta diantar ke restoran atau warung terlebih dahulu untuk mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan.

Menu makan siang di Ba'a 
Sekitar 15an menit kemundian kami telah tiba di warung.... Denny telah menunggu di warung tersebut karena telah diinformasikan oleh temannya. Setelah menghabiskan waktu bersama selama 30an menit menghabiskan nasi campur masing-masing bersama es teh manis, saya pamitan ke Denny kemudian melanjutkan perjalanan bersama Yani Tulle (laki-laki) yang bertindak sebagai sopir, teman dan fotografer selama perjalanan jelajah saya di Pulau Rote. Dari warung, saya dan Yani bertolak ke pom bensin terlebih dahulu. Setelah bensin terisi penuh, mobil dipacu ke daerah Rote Barat Daya atau yang dikenal dengan nama Rote Tii. Tujuan perjalanan kami saat ini adalah pantai Oeseli di wilayah Rote Barat Daya.

Pantai Batutua
Dalam perjalanan, Yani menawari saya mampir ke pantai Batutua, ibukota kecamatan Rote Barat Daya yang juga merupakan daerah asal ibu saya. Dengan senang hati, saya mengiyakan ajakan Yani. Kami tiba sekitar 1 jam kemudian dihitung dari waktu kami meninggalkan warung makan di kota Ba'a, ibukota Kabupaten Rote Ndao. Setelah memarkir mobil, saya dan Yani turun dan berjalan ke pantai. Kami berdua menyusuri pantai yang sangat sepi. Hanya terlihat sekelompok anak kecil sedang mandi dan bermain di pantai yang kami susuri. Melihat saya menenteng kamera, anak-anak tersebut dengan tertawa gembira berteriak minta difoto. Dengan senang hati, saya berhenti beberapa saat memotret mereka lalu mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan menyusuri pantai hingga saya dan Yani tiba di dermaga yang masih dalam tahap pembangunan. Pantai dan dermaga ini menjadi obyek foto-foto saya. Setelah menghabiskan 1 jam di tempat ini, saya dan Yani melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan semula, yakni Pantai Oeseli.

Perjalan ke Batutua
Dalam perjalanan Batutua - Oeseli, Yani menceritakan keindahan Pulau Ndana - yang saya telah tahu sedikit informasinya dari cerita-cerita orang tua dan juga dari internet. Cerita-cerita Yani membuat saya tertarik menjelajah pulau ini. Saya mengajak Yani mencari perahu nelayan yang dapat menyeberangkan kami ke pulau tersebut sehingga Yani mengarahkan mobil ke pelabuhan rakyat Desa Oeseli.  Setelah menempuh perjalanan sekitar 30an menit dari Batutua, kami tiba di satu kampung nelayan yang menjadi pembatas dengan pelabuhan rakyat di belakang kampung tersebut. Yani memarkir mobil di jalan depan masjid kecil yang terletak di sebelah kiri kami. Di tempat ini, saya kemudian mengetahui adanya pos para marinir dan tentara yang menjaga Pulau Ndana. Kami mencari informasi perahu nelayan ke seorang lelaki tua yang tiduran di satu bangku kayu di tetiris luar masjid. "Harganya 1 juta rupiah PP ke Pulau Ndana" kata si pak tua, saat saya menanyakan harga sewa perahu untuk mengantar dan menjemput kami. Lelaki tersebut bangun dan berjalan ke arah berlawanan dari jalan yang telah kami lalui sambil mengajak kami mengikuti dia. Kami tiba di satu rumah tembok yang dikeliling pagar dari pelepah kelapa kering. Yani membuka gerbang dan masuk, diikuti oleh saya. Sedangkan pak tua mengambil jalan samping dan masuk ke dalam kompleks melalui pintu lain di samping rumah pemilik perahu.

Landscape Batutua
Pemilik perahu menyambut kami di depan rumahnya. Setelah saling mengucapkan salam sambil jabatan tangan, kami diajak masuk ke ruang tamu berukuran sekitar 3 x 3 meter. Setelah duduk dan memperkenalkan diri, saya menanyakan ongkos antar jemput sekaligus tawar menawar dengan pemilik perahu bernama Ardin. Akhirnya, saya dan Pak Ardin sepakat di harga 500 ribu rupiah antar jemput Oeseli - Pulau Ndana. Dari obrolan kami, saya mengetahui asal usul pak Ardin, yakni dari Bulukumba di Sulawesi Selatan. Pak Ardin telah tingal di Oeseli puluhan tahun. "Kita harus minta izin ke pos  terlebih dahulu", kata pak Ardin. "Dimana", tanya saya. "Dekat masjid, jawab pak Ardin sambil mengajak saya dan Yani ke pos jaga.

Oeseli 
Kami tiba di "pos jaga" para penjaga Pulau Ndana yang merupakan satu rumah sangat sederhana seluas 30an meter persegi. Rumah beratap seng, berdinding pelepah dan berlantai semen tersebut sepertinya agak miring. Dua orang pria bermuka "gelap dan sangar" dan berkaca mata hitam pekat menyambut kami di halaman pos yang tidak berpagar tersebut. Hanya potongan rambut dan badan mereka mengindikasikan mereka orang-orang terlatih di militer. Gaya pakaian dan rumah yang menjadi pos atau lebih tepat disebut rumah singgah tersebut tidak menunjukan adanya tanda-tanda militer sama sekali. Pak Ardin menjelaskan maksud kedatangan kami ke pos tersebut. Setelah menanyakan nama dan asal, satu dari kedua pria yang berkumis tebal, bermana Dwi menginformasikan ke kami bebarapa hal terkait perjalanan ke Pulau Ndana dan izin bagi para pengunjung, termasuk bermalam di barak militer di pulau yang menjadi pos sekaligus pusat komando penjaga perbatasan paling selatan Indonesia. "Kami juga akan berangkat ke pulau sore ini, namun masih menunggu dua anggota yang sedang ambil bekal ke  Ba'a", lanjut Dwi, laki-laki berkumis tebal tersebut. "Kalo begitu, kami jalan-jalan aja dulu", kata saya. "Ok pak, tinggalin nomor telp aja, ntar saya telpon kalo anggota kami telah tiba", balas teman Dwi. Saya meminta Yani meninggalkan nomor HPnya, lalu kami berdua pamit untuk mengisi waktu menjelajah pantai Oeseli di sisi lain.

Oeseli 
Yani mengarahkan mobil ke luar dari kampung nelayan tersebut. Saat tiba di suatu pertigaan, mobil belok kiri menyusuri jalanan kampung beraspal kasar selebar 2 meteran dengan lubang di sana sini. Kami melewati  deretan rumah-rumah penduduk yang dipagari menggunakan pelepah pohon nira (disebut pohon tuak di Timor dan Rote). Sekitar 15 menit mengarungi jalan rusak tersebut, kami tiba di semacam savana terbuka. Yani membelokan mobil ke kiri menyusuri jalan tanah berwarna coklat yang tercetak jelas di savana tersebut. Beberapa sapi dan kuda terlihat merumput di situ. Kami terus melaju ke kawasan pantai yang telah terlihat dari jalanan saat Yani belok kiri. Saat kami tiba, satu kelompok keluarga sedang lesehan di bawah bayangan karang besar yang memiliki lubang seukuran badan 3 - 4 orang dewasa berdiri berjejer. Lubang ini menjadi semacam pintu yang harus dilewati pengunjung agar tiba di pantai di sebelah karang besar tersebut. Keluarga ini sedang lesehan di beberapa helai tikar pandan sambil menikmati makanan dan minuman. Saya menyapa selamat siang sambil tersenyum dan mengangguk ka arah mereka serta mengucapkan permisi melewati  mereka ke belakang karang besar tersebut.

Oeseli 
Selain pasir pantai bersih berwarna khaki, pantai ini juga dihiasi jejeran karang abu-abu gelap yang tersebar sepanjang pantai. Pantai ini terhalang gugusan karang besar yang menjadi tempat istirahat keluarga yang telah dilewati saya dan Yani. Beberapa pengunjung sedang bermain air dan pasir serta berfoto di garis pantai yang sedang saya amati dan nikmati. Pulau Ndana yang menjadi tujuan kami sore ini terlihat di kejauhan. Air biru jernih berpadu buih-buih putih ombak saling berkejaran lalu menghempas ke pantai tempat saya sedang duduk menikmati semilir angin laut yang seperti mendinginkan panas terik matahari sekitar jam 3 siang. Langit biru cerah dihiasi sebaran awan-awan putih bersih menciptakan lukisan alam luar biasa yang tak dapat digambarkan secara sempurna melalui tulisan dan foto. Puas menikmati sisi pantai ini, Yani mengajak saya pindah tempat ke sisi lain karang karang tersebut.
Oeseli
Saya harus melangkah hati-hati karena karang-karang yang berada di bawah pasir bisa melukai kaki saya kapan saja. Saat kami sedang menikmati pantai sebelah, Yani menerima telpon dari salah seorang marinir. Mereka meminta kami segera kembali ke kampung nelayan, karena teman mereka telah tiba sehingga semuanya siap berangkat ke Pulau Ndana.

Saya dan Yani kembali ke mobil dan melaju kembali ke pelabutan rakyat Pantai Oeseli di belakang kampung nelayan yang telah kami tinggalkan sekitar 2  jam silam. Saat tiba, para marinir dan tentara sedang bersiap-siap ke pantai. Saya berganti celana pandek dan juga sandal. Kami meninggalkan sepatu dan koper di mobil.

Oeseli
Saya hanya membawa 1 kaos, pakaian dalam, celana panjang dan perlengkapan mandi yang semuanya saya masukin ke tas jinjing yang selalu saya siapkan di koper. Yani membantu membawa tas tersebut ke perahu, sedangkan saya membawa tas kamera dan tripod. Para marinir dan tentara telah mendahului kami dan menunggu di atas perahu pak Ardin yang saya sewa PP. Mereka malah berteriak-teriak agar kami mempercepat langkah kami. Saya dan Yani berlari-lari kecil hingga tiba di tepi pantai lalu mulai masuk ke air setinggi mata kaki yang terus meninggi sampai paha saat kami mencapai perahu. Tas kamera dan pakian kami simpan ke ruangan kecil di atas perahu yang menjadi penyekat antara bagian tengah hingga anjungan dengan Pak Ardin sebagai pengemudi perahu. Plastik-plastik bahan pangan, termasuk sayuran juga di taruh dalam ruangan kecil tersebut. Semua penumpang perahu, termasuk saya dan Yani duduk lesehan di atas perahu di bagian tengah hingga anjungan. Dwi dan seorang temannya malah berdiri di anjungan.

Bersama para marinir dan tentara menuju Pulau Ndana
Saat perahu melaju meninggalkan pantai, ombak menghempas-hempas dari depan, kiri dan kanan. kadang air laut tampias masuk ke dalam kapal, terutama di bagian terbuka yang ditempati penumpang. Beruntung, saya telah menyiapkan diri dengan baik sehingga HP telah saya masukan ke kantong khusus berbahan plastik tebal yang saya beli di salah satu toko asesoris HP di Jakarta. Para marinir dan tentara bercanda, bernyanyi dan kadang seperti berbicara ke saya. Namun, saya tidak bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan karena kebisingan suara motor perahu yang terus membelah lautan dari Oeseli menuju Pulau Ndana. Hempasan gelombang semakin kuat sehingga ciptratan air yang masuk ke perahu juga semakin banyak dan tinggi. Kami mulai basah kuyup, namun para tentara dan marinir
Oeseli - Ndana
terus bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Awalnya saya kuatir dengan hempasan gelombang-gelombang besar bersama siraman air yang masuk ke perahu. Namun melihat para marinir dan tentara yang tenang-tenang saja, saya akhirnya ikut tenang dan mulai menikmati perjalanan kami. Mungkin karena tekanan kami yang duduk bersandar ke dinding kaca ruangan kecil yang menjadi tempat penyimpanan barang-barang kami terlalu kuat, kaca tersebut pecah berantakan. Saya dan 3 marinir yang bersandar ke dinding kaca tersebut hanya menoleh sesaat lalu menggeser tubuh kami agak menjauh dari dinding yang telah bolong tersebut. Sampai saya kembali dari Pulau Ndana ke Oeseli, Pak Ardin tidak minta ganti rugi atas kaca yang pecah tersebut. Padahal saya telah siap memberikan ganti rugi tersebut jika diminta :).

Karang depan Pulau Ndana dilihat dari Pantai Oeseli
Perahu nelayan milik Pak Ardin terus melaju membelah lautan Hindia yang memisahkan Pulau Rote dan Pulau Ndana.  Gelombang warna biru gelap terus bergulung-gulung tak henti. Makin ke tengah, gelombang semakin tinggi dan ganas.  Perahu terangkat dan terhempas sedalam 2-3 meter bersama semburan air laut bagaikan hujan deras menyirami semua yang ada dalam perahu, termasuk saya yang duduk diantara para marinir dan tentara. Para marinir dan tentara tak peduli karena telah terbiasa. Mereka terus asyik bercanda satu sama lain, sementara saya hanya duduk diam menunggu kapan kami tiba di tempat tujuan. Keahlian Pak Ardin mengendalikan perahu dalam cengkeraman gelombang sangatlah luar biasa. Walau Pulau Ndana telah terlihat, namun ternyata perjalanan kami harus memutari seperempat pulau ke pantai berpasir landai yang cocok untuk pendaratan.

Bersambung...



 

Minggu, 09 April 2017

JELAJAH DUNIA. BEIJING : Taman Tiantan, Kuil Surga (Temple of Heaven) dan Stadion Olimpiade Beijing

Temple of Heaven / Kuil Surga di Taman Tiantan
Bangun pagi merupakan suatu keharusan saat jelajah kemana pun. Saya bangun saat masih subuh. Karena di Beijing mulai memasuki musim dingin, suhu berkisar 0 derajat celcius, karena itu saat tidur saya menghidupan pemanas ruangan sehingga ruangan menjadi hangat. Walau dingin, saya harus mandi sebelum keluar menjelajah karena kemungkinan saya akan balik ke hotel di sore atau malam hari. Hotel menyediakan air panas sehingga saya bisa mengguyur badan dengan air hangat setelah itu saya memakai pakaian dalam khusus untuk musim dingin baru memakai jins, kaos dan jaket bersama kupluk dan juga syal.

Temple of Heaven / Kuil Surga di Taman Tiantan
Saat keluar dari hotel, suasana sekitar masih sepi. udara dingin langsung menyergap muka yang tidak tertutup sehelai benangpun. Tubuh tetap terasa hangat karena 3 lapis baju dan 2 lapis celana yang saya pakai. Saya menyeberang jalan ke toko kecil yang buka 24 jam karena saya ingin beli bekal makanan dan minuman. setelah itu saya kembali menyeberang ke arah hotel lalu berjalan menuju stasiun Dongsi menyusuri pedestarian yang masih sepi. Stasiun juga masih sepi saat saya tiba di dalamnya. Akses ke Taman Tiantan dimana Kuil Surga berada adalah melalui stasiun subway Tiantandongmen. Karena jalur subway ke stasiun ini melewati stasiun Dongsi, maka saya tidak perlu berganti subway. Saya menuju jalur 5 di stasiun Dongsi menunggu subway ke arah stasiun Ciqu sebagai stasiun akhir. Tak lama menunggu, subway telah tiba. Setelah penumpang keluar, saya melangkah masuk dan duduk di salah satu kursi kosong. Mungkin masih pagi sehingga subway belum terlalu penuh. Selain peta elektronik rute subway di HP yang menjadi harta perjalanan dan jelajah saya selama di Beijing, di atas pintu-pintu subway juga terpampang rute dan nama-nama stasiun yang dilewati subway. Karena itu, saya dengan mudah tiba dan turun di stasiun Tiantandongmen.

Temple of Heaven / Kuil Surga di Taman Tiantan
Tantangan saat keluar dari stasiun subway adalah menemukan arah jalan yang benar ke Taman Tiantan dan Kuil Surga (Temple of Heaven). Di luar stasiun tidak ada petunjuk apapun karena itu saya belok kanan lalu berjalan menyusuri pedestarian sambil celingukan ke kiri dan kanan. Kabut tipis membayang di sekitar saya karena sepertinya lokasi dimana saya berada cukup jauh dari hiruk pikuk kota. Beruntung saya bertemu seorang pemuda yang berjalan berlawanan arah alias sedang berjalan menuju stasiun. Saya menyapa pemuda tersebut sambil tersenyum lalu menunjukan foto dan nama Kuil Surga dalam huruf dan bahasa Cina yang telah saya simpan di HP. Menggunakan bahasa tubuh, pemuda itu mengajak saya berjalan mengikuti dia karena ternyata dia juga menuju ke tempat yang sama. Kami berjalanan melewati stasiun Tiantandongmen lalu belok kanan menyusuri pedestarian yang masih sepi dan berkabut. Sekitar 150 meter dari belokan, kami tiba di depan gerbang Taman Tiantan yang dijaga seorang petugas laki-laki memakai topi dan jaket panjang tebal berwarna abu-abu. Pemuda yang bersama saya menunjukan loket tiket di sebelah kanan yang berjarak sekitar 30an meter dari gerbang. Saya berjalan ke loket tiket yang telah buka. "How much?, tanya saya ke petugas perempuan yang berjaga di dalam loket. "28", jawab petugas tersebut. Saya menyerahkan uang 50yuan lalu menerima selembar tiket dan uang kembalian. Pemuda yang berjalan bersama saya dari stasiun telah menghilang ke dalam Taman yang ditutupi kabut tebal. Saya berjalan ke gerbang lalu menyerahkan tiket ke petugas yang kemudian mengizinkan saya masuk melewati palang-palang stainless setinggi pinggang saya.

Taman dan setapak menuju Temple of Heaven / Kuil Surga
Udara dingin disertai kabut memicu rasa ingin kencing karena sepertinya kantung kemih saya telah penuh. Mata saya mencari-cari petunjuk keberadaan toilet yang saya temukan berada di sebelah kanan saya dalam jarak 10an meter. Papan petunjuk arah berwarna coklat tua dengan tulisan hitam diatas bahan seng tersebut ditanam ke tanah setinggi pinggang saya. Bahan, model dan warna yang sama dengan petunjung-petunjuk arah yang saya temukan di tempat-tempat jelajah lain yang telah saya kunjungi alias semuanya dibuat seragam di seluruh Beijing. Dari petunjuk arah itu saya tahu bahwa Kuil Surga masih berjarak 750 meter dari gerbang Utara tempat saya membeli tiket. Taman dipenuhi pepohonan rindang dan rerumputan hijau yang dibelah jalan berukurang cukup lebar. Beberapa orang tua laki-laki dan perempuan berjalan masuk ke Taman lalu berpencar menyusuri jalan-jalan tanah dalam Taman.  Di sebelah kiri saya dekat gerbang terdapat jejeran kios-kios yang belum buka. Seorang tukang sampah berjalan lewat sambil mendorong gerobak berisi dedaunan dan ranting-ranting tua. Karena masih berkabut, saya harus memotret menggunakan tripod. Kamera saya pasang di tripod lalu mulai memotret berbagai obyek dan momen sambil berjalan menyusuri jalan utama ke arah Selatan. Sekitar 300 meter dari gerbang, saya melihat bangunan toilet di sebelah kiri berjarak 40an meter dari jalan utama dalam Taman yang sedang saya susuri. Toilet terlihat cukup bersih saat saya tiba di dalam. Saya melihat seorang lelaki tua mengambil tissu dari tempat tissu yang disediakan di bagian dalam pintu masuk. Saya juga mampir mengambil tissu lalu meneruskan ke jejeran urinor di bagian dalam.

Tempat kongkow para orang tua di Taman Tiantan
Saya kembali ke jalan utama dalam Taman setelah selesai dari toilet. Saya tiba di suatu bangunan panjang yang dipenuhi para orang tua laki-laki dan perempuan. Mereka duduk atau berdiri dalam kelompok-kelompok 4-6 orang dengan berbagai aktivitas seperti main kartu, merenda, melukis dan lain-lain. Kabut masih tebal dan udara masih sangat dingin. Para orang tua tersebut mengenakan jaket-jaket tebal aneka warna. Sambil memotret, saya terus berjalan melewati lorong panjang bangunan tersebut menuju bagian seberang yang terhubung ke bagian lain Taman Tiantan. Sekitar 50 meter dari ujung lorong bangunan, saya belok kanan menyusuri jalan setapak dalam Taman. Sesekali saya bertemu satu atau dua orang tua yang sedang jalan pagi dalam taman. Saya terus berjalan menyusuri setapak sekaligus mengeliling tembok luar kuil dari Utara ke Barat lalu ke Selatan mencari pintu masuk ke dalam kompleks Kuil Surga. Taman ini dihampari rumput hijau dan pepohonan hijau sehingga kabut pagi seperti enggan pergi.

Gerbang Timur menuju Kompleks Temple of Heaven
Semburat warna kuning di langit mengarahkan saya ke bagian Timur sebelah luar kompleks Kuil. Saat saya tiba di bagian Timur, gerbang di sisi ini juga belum buka. Puluhan orang berbagai usia sedang melakukan aktivitas masing-masing sambil menunggu gerbang dibuka pada jam 8 pagi. Sisi Timur sepertinya menjadi gerbang masuk utama ke bagian dalam kompleks Kuil. Dari gerbang yang masih tertutup terhampar pelataran dari semen selebar 10an meter dan memanjang puluhan meter membelah Taman Tiantan di sisi ini. Saya berkenalan dengan 3 orang turis Cina yang tidak bisa berbahasa Inggris sehingga kami berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh. Awalnya mereka meminta saya memotret aksi-aksi mereka di depan gerbang. Setelah itu saya meminta mereka memotret saya, terutama pose andalan saya, yakni levitase / melayang. Saya memberikan contoh cara mengambil
Gerbang Timur menuju Kompleks Temple of Heaven
foto levitase yang bagus, lalu saya mulai bergaya dan satu dari para turis itu memotret saya. Setelah itu, kami sama-sama melihat hasilnya sambil ketawa-ketawa. Melihat hasil foto levitase saya yang cukup bagus, mereka juga meminta saya memotret mereka dengan gaya levitase. Turis laki-laki ingin kami melanjutkan komunikasi menggunakan media sosial, namun karena mereka hanya bisa memahami huruf Cina dan saya hanya bisa huruf Latin, akhirnya upaya kami melanjutkan komunikasi dan bertukar foto melalui media sosial seperti FB gagal total.

Bagian dalam Temple of Heaven
Tepat jam 8pagi, gerbang dibuka petugas. Saya dan teman-teman baru saya bergegas ke arah gerbang sehingga bisa masuk lebih dahulu dari yang lain agar bisa mendapatkan foto-foto bagus. Saya meneyerahkan tiket ke petugas yang memasukan tiket tersebut ke lubang persegi di tiang penghalang lalu mencabut tiket itu dan menyerahkan kembali ke saya saat saya berjalan melewati palang pintu. Saya bergegas melewati gerbang dan tiba dibagian dalam kompleks kuil yang bagian depannya mulai ramai. Setelah mengambil beberapa foto dari ketinggian gerbang masuk, saya menuruni tangga lalu belok kanan menuju bagian Utara yang terlihat masih sangat sepi. Para pengunjung lainnya berkerumun dan berfoto-foto di bagian depan atau di sisi Timur. Saya berlari-lari kecil ke bagian Utara untuk foto-foto lalu berjalan ke arah Barat mengambil beberapa foto. Setelah menghabiskan sekitar 40an menit di bagian Utara dan Barat dalam berbagai pose foto, saya mendaki tangga di sisi Barat menuju bangunan Kuil. Saya terus berjalan ke arah Timur yang menjadi bagian depan Kuil Surga. Sama seperti tempat-tempat lainnya di Beijing, pengunjung tidak dapat masuk ke dalam Kuil karena pintunya diberi pagar setinggi 150an cm. Saya berdesakan dengan pengunjung lain mengintip dan memotret bagian dalam Kuil Surga yang ditopang tiang-tiang berbentuk selinder dengan motif tertentu yang penuh warna, terutama merah, biru dan kuning. Puas mengamati dan memotret bagian dalam Kuil dari depan pintu yang diberi penghalang, saya meninggalkan tempat tersebut berputar ke kiri berjalan menyusuri bagian luar kuil dari sisi Timur ke Selatan lalu ke Barat dan ke Utara. Saya menuruni anak-anak tangga di sisi Utara lalu melintasi halaman kuil yang cukup luas berjalan menuju gerbang Utara.

Lorong penghubung menuju Gerbang Utara 
Keluar kompleks kuil, saya berjalan menyusuri pelataran beratap yang menghubungkan Gerbang Utara dengan bangunan panjang tempat para orang tua berkumpul dan melakukan berbagai aktivitas di Taman Tiantan. Setelah menyusuri pelataran yang terhubung ke Gerbang Utara sekitar 50 meter, saya belok kiri dan berjalan sekitar 30an meter hingga kembali ke gedung panjang tempat para orang tua sedang bercengkerama. Suasana semakin ramai dengan para perempuan dan laki-laki tua yang terus asyik dalam group-group kecil. Mereka tak mempedulikan saya yang berdiri mengamati dan sesekali memotret aktivitas mereka. Puas mengamati dan memotret, saya berjalan perlahan meninggalkan bangunan panjang tersebut kembali menyusuri setapak dalam Taman Tiantan. Saya berjalan kembali ke Gerbang Utara tempat saya masuk, karena gerbang inilah yang paling dekat dengan stasiun subway Tiantandongmen.

Stasiun metro / subway 
Di stasiun Tiantandongmen, saya menggunakan subway jalur 5 kembali ke stasiun Dongsi. Di Dongsi saya turun dan berganti kereta ke stasiun Nanluo Guxiang yang berjarak 1 stasiun dari Dongsi. Di stasiun Nanluo Guxiang, saya turun dan berganti subway di jalur 8. Saya menuju Stadion Olimpiade Beijing atau dikenal juga dengan nama Stadion Sarang Burung karena konstruksi bangunannya yang berbentuk sarang burung. Sebagaimana informasi yang telah saya kumpulkan dari internet, saya turun di stasiun Olympic Sport Center. Stasiun ini memiliki 2 pintu keluar dan masuk yang semuanya menuju Stadion Sarang Burung. Saya menaiki tangga hingga tiba di luar stasiun dimana saya langsung berhadapan dengan suatu pelataran yang sangat luas yang hanya dihalangi oleh suatu bangunan persegi seperti tempat pemeriksaan tiket. Di belakang saya sekaligus belakang stasiun juga terhampar halaman luas yang ditanami pepohonan berdaun kuning berbaris dalam jarak tertentu. Saya berjalan menuju bangunan persegi tersebut lalu masuk dan mengamat-amat apakah saya harus membeli tiket masuk?. Saya berdiri sejenak sambil mengamati para pengunjung lain hanya lewat begitu saja. Beberapa petugas berseragam berada dalam bangunan tersebut, namun sepertinya mereka hanya mengamati aktivitas pengunjung di pelataran luas yang terhubung ke stadion dalam jarak ratusan meter dari bangunan tersebut. Saya berjalan melintasi bangunan tersebut dan keluar di pelataran seluas ratusan meter yang terhubung ke bangunan Stadion berwarna abu-abu dof. Stadion terlihat megah dan modern dari konstruksinya yang terlihat seperti anyaman baja membentuk sarang burung raksasa yang bagian tengahnya berbentuk cekungan seperti perahu.

Stadion sarang burung Olimpiade Beijing
Saya berjalan lebih dekat mencari posisi yang tepat untuk mendapatkan foto-foto yang saya inginkan. Puluhan orang melintas pulang pergi namun kawasan sekitar terlihat lenggang saking luasnya pelataran yang terhubung ke Stadion. Setelah puas foto-foto, saya berjalan ke taman di sebelah kiri saya saat saya berdiri membelakangi stasiun subway. Taman ini ditanami puluhan pohon berdaun kuning dalam pola berbaris dengan jarak tertentu antara satu pohon dengan pohon lainnya. Taman ini menjadi pembatas sekaligus penghalang antara halaman terbuka yang barusan saya tinggalkan dengan jejeran puluhan toilet di sebelah taman. Setelah foto-foto di taman tersebut, saya berjalan ke salah satu toilet. Saat pintu terbuka, saya sangat terkejut karena toilet tersebut sangat jorok. Bergegas saya meninggalkan toilet tersebut mencoba toilet lain yang bersih. Selesai dari toilet, saya kembali ke taman dan duduk di bangku semen yang ada dalam taman tersebut. Saya mengamati dan menikmati
Mural dalam stasiun subway Olympic Sport Center
lingkungan sekitar sampai menyadari polusi udara di sekitar saya mulai memburuk terlihat dari makin tebalnya kabut yang menggantung di sekitar saya dan Stadion. Sebelum meninggalkan pelataran yang terhubung ke Stadion, saya sempatkan foto-foto dengan maskot olimpiade Beijing yang berjarak sekitar 100 meter dari bangunan tempat pengunjung harus lewati menuju pelataran yang terhubung ke Stadion. Setelah itu saya berjalan ke arah bangunan dan keluar dari pintu pagar di sisi kanan bangunan. Semua pengunjung yang keluar dari pelataran akan keluar dari pintu ini sedangkan untuk masuk melewati bagian dalam gedung. Saya kembali ke stasiun subway menunggu subway yang menuju ke stasiun  Nanluo Guxiang. Sambil menunggu subway, saya sempatkan foto-foto di mural hitam putih di dinding stasiun. Dari stasiun Olympic Sport Center, saya menggunakan subway kembali stasiun Dongsi di jalur 6 setelah berganti subway di stasiun Nanlui Guxiang. Saya kembali ke hotel untuk beristirahat untuk melanjutkan jelajah saya ke jalan Wangfujing yang telah pernah saya kunjungi 2 hari lalu. Sore nanti saya akan menelusuri mall dan juga gang-gang di Wangfujing untuk mencari souvenirs, terutama snow ball dan magnet kulkas untuk diri sendiri maupun untuk teman-teman.

Pelataran antara Taman dan Stadion sarang burung Olympiada Beijing
Bersambung

Minggu, 05 Maret 2017

JELAJAH DUNIA. BEIJING: Jalan Wangfujing / Wangfujing Street

Tempat nginap selama di Beijing
Setelah beristriahat sekitar 2 jam di kamar hotel Beijing 161 Wangfujing yang menjadi tempat
menginap saya selama di Beijing, saya mandi dan keluar hotel menyusuri jalan Dongsi South / Dongsi Selatan menuju jalan Wangfujing yang terletak sekitar 2 km dari penginapan saya. Keluar dari pintu hotel, saya disambut udara dingin malam yang sangat menusuk karena suhu ) derajat celsius di Beijing saat ini. Jaket jeans bersama kupluk dan syal sangat membantu mengusir hawa dingin. Saya belok kanan lalu menyeberang jalan gang depan hotel berjalan sekitar 30an meter lalu belok kiri menyusuri trotoar jalan Dongsi Selatan yang cukup lebar karena selain digunakan para pejalan kaki, kadang pesepeda juga menggunakan pedestarian ini. Berbeda dengan trotoar di seberangnya yang telah memisahkan para pengguna jalan ke 3 kelompok, yakni trotoar bagi para pejalan kaki, jalur khusus bagi para pesepeda dan motor serta jalan bagi mobil.

Trotoar yang saya lalui dipenuhi jejeran toko yang menjual berbagai barang, terutama HP dan pakaian musim dingin. Sesekali saya melihat restoran kecil menyelip diantara toko-toko tersebut. Saya berjalan terus hingga sampai di suatu pertigaan yang dari google map di HP yang telah saya unduh di hotel, pertigaan di depan saya ini terhubung ke jalan Wangfujing yang menjadi tujuan jelajah saya malam ini. Saat lampu menyala hijau bagi para pejalan kaki, saya ikut menyeberang bersama pejalan kaki lainnya. Sampai di seberang, saya memilih berjalan menyusuri ruang terbuka antara jalan raya di sebelah kanan  dan jejeran toko di sebelah kiri. Bagian ini agak gelap karena hanya diterangi cahaya lampu dari toko-toko yang masih sedang buka. Pada beberapa bagian pelataran tersebut ada pengerjaan seperti pemasangan kabel dan lain-lain sehingga saya harus berpindah ke selasar jejeran toko sepanjang jalur yang sedang saya susuri. Sekitar 20 menit dari pertigaan yang saya seberangi tersebut, saya tiba di jalan Wangfujing yang terang benderang. Kondisinya berbeda jauh dari jalan tamaram yang barusan saya lewati.

Pedestarian Wangfujing
Wikipedia menulis "Jalan Wangfujing merupakan satu dari tempat belanja terkenal di Beijing, Cina yang berlokasi di Distrik Dongcheng. Kebanyakan kawasan utama jalan ini merupakan pedestarian / jalan bagi para pejalan kaki dan sangat terkenal dengan tempat belanja bagi para turis dan juga penduduk setempat. Pada pertengahan masa pemerintahan Dinasti Miang, kawasan ini telah menjadi kawasan komersial. Pada era pemerintahan Dinasti Qing, 10 kawasan perumahan bagi para keluarga bangsawan dan pangeran Cina dibangun di kawasan tersebut segera setelah ditemukannya sumur yang dipenuhi air berasa manis. Karena itulah, tempat tersebut dinamakan 'Wang Fu' atau Perumahan Para Pangeran, 'Jing' atau Sumur. Di kawasan ini dapat ditemukan banyak makanan eksotik".

Pedestarian Wangfujing
Saya berdiri beberapa saat mengamati suasana sekitar di perempatan jalan yang barusan saya susuri dimana jalan ini bertemu dengan jalan Wangfujing. Seorang laki-laki muda bersama istrinya yang sedang menggendong anak perempuan mereka melintas di depan saya. Melihat saya berdiri mengamati daerah sekitar, si laki-laki menyapa saya menggunakan bahasa Inggris. Saya senang sekali mendapatkan orang Cina yang bisa berbahasa Inggris sehingga kami saling bertukar sapa dan mengobrol sejenak. Namun, ternyata laki-laki ini seorang penjual jasa pembuatan nama Cina para turis atau penduduk setempat yang ingin menggunakan jasanya. Nama-nama tersebut bisa dilukis di tubuh berbentuk tato atau bisa ditulis di cincin ataupun kalung. Laki-laki tersebut dengan ramah mengajak saya mampir ke tempat tinggalnya yang katanya tidak terlalu jauh dari perempatan tersebut. Laki-laki itu menawari saya pembuaan nama saya dalam huruf Cina yang tentunya saya kemudian harus membayar jasa tersebut. Saya dengan tegas menolak dan mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu tidak memaksa, dengan ramah dia mengucapkan selamat menikmati Beijing kemudian bersama istri dan anaknya berlalu dari perempatan. Mereka berjalan ke arah jalan yang telah saya lewati sebelumnya saat berjalan ke arah jalan Wangfujing dari hotel.

Katedral Beijing di Wangfujing
Saya belok kiri menyusuri pedestarian yang sangat bersih dan lebar selebar jalan bagi kendaraan di sebelahnya, yakni sekitar 10an meter. Gedung-gedung bertingkat berupa mall, perkantoran hingga barisan butik dan pertokoan berjejer di kiri dan kanan Jalan Wangfujing. Cahaya lampu dari gedung dan juga lampu jalan yang berjejer sepanjang pedestarian tersebut menerangi jalan Wangfujing sehingga saya seperti berjalan di dalam suatu gedung yang terang benderang. Saya berjalan perlahan menikmati suasana malam Jalan Wangfujing. Saya tiba di satu bagian yang sepertinya terpisah dari bagian lain di Jalan Wangfujing. Cahaya lampu di bagian ini sangat tamaram dan berasal dari jejeran bangunan pertokoan di seberang jalan. Bagian ini agak ditinggikan sekitar 1 meter dimana diatasnya berdiri kokok Katedral Beijing. Bangunan Katedral berjarak sekitar 100an meter dari Jalan Wangfujing dimana bagian depannya yang terbuka dan luas tersebut terhubung langsung ke Jalan Wangfujing. Karena telah malam, pintu-pintu Katedral telah tertutup sehingga saya hanya bisa menikmati keindahan luarnya di malam hari yang seperti berwarna keemasan. Banyak pejalan kaki yang juga mampir dan foto-foto dengan latar bangunan Katedral yang terlihat indah tersebut. Setelah puas mengambil beberapa foto, saya menuruni anak-anak tangga pelataran terbuka Katedral lalu kembali menyusuri Jalan Wangfujing yang terang benderang.

Pedestarian Wangfujing
Saya terus berjalan hingga tiba di suatu kawasan dimana sekelompok perempuan dan laki-laki sedang asyik menari menggunakan kipas diiringi lagu berbahasa Mandarin dari player portable yang diletakan di atas pedestarian tempat mereka sedang menari dengan riang. Kostum dan kipas yang digunakan para penari tersebut berwarna warni. Langkah-langkah mereka maju dan mundur lalu ke kiri dan ke kanan kemudian berputar sambil kipas dibuka dan ditutup dalam berbagai gaya. Kadang di dada, di atas kepala atau bahkan di kaki sambil melakukan gerakan mengangkat sebelah kaki atau menunduk. Gerakan mereka sangat energik, serempak dan indah. "wah tontonan gratis, kata saya dalam hati lalu duduk di salah satu bangku kayu berwarna krem yang terpasang di pinggir pedestarian seperti pembatas antara jalan bagi kendaraan dan jalan bagi para pejalan kaki. Bangku-bangku ini dipasang berjejer dalam jarak tertentu yang menjadi tempat duduk bagi para pejalan kaki yang ingin menikmati suasana Wangfujing. Saya menikmati sajian tarian gratis tersebut sambil duduk di bangku kayu tanpa merasa terganggu oleh para pejalan kaki lain yang juga sedang  hilir mudik di tempat tersebut memakai pakaian-pakaian musim dingin berupa jas atau jaket tebal dan panjang sampai ke betis atau lutut.

Pedestarian Wangfujing
Sekitar 30an menit menikmati pertunjukan tarian gratis di pedestarian jalan Wangfujing, saya meneruskan perjalanan menyusuri lagi jalan Wangfujing. Saya tiba di perempatan kedua yang berjarak sekitar 500an meter dari perempatan pertama tempat saya bertemu penjual jasa pembuatan nama menggunakan huruf Cina. Salah satu jalan di perempatan ini ditutup bagi kendaraan. Hanya para pejalan kaki yang berseliweran di jalan dengan lebar sekitar 30an meter tersebut - yang diapit deretan bangunan toko, mall dan perkantoran. Jalan ini menghadap ke arah saya jika saya terus berjalan lurus sehingga saya menyeberang ke jalan tersebut dan berbaur dengan para pejalan kaki lainnya. Bagian ini mengingatkan saya akan pusat bisnis Ginza di Tokyo, Jepang yang saya jelajahi tahun 2015 dimana sebagian jalan utama selebar 30an meter juga ditutup dan diperuntukan bagi para pejalan kaki serta seniman jalanan dilengkapi berbagai kafe. Kurang lebih sama seperti Jalan Champs-Elysees di Paris, Perancis yang pernah saya kunjungi dan jelajah di tahun 2013 atau Jalan La Rambla di Barcelona, Spanyol yang telah saya jelajahi di tahun 2013 saat menjelajahi berbagai tempat di 8 negara Eropa Barat (lihat catatan perjalanan di Paris dan Barcelona). Jelajah saya di jalan Wangfujing berakhir di stasiun metro Wangfujing yang berbatasan dengan jalan lain yang cukup ramai oleh lalu lalang kendaraan. Di seberang pedestarian yang saya susuri terdapat 2 gang utama yang menjadi tempat para PKL menjual camilan makanan khas Beijing dan juga berbagai souvenir. Karena hari telah cukup larut, saya memutuskan akan menjelajahi kedua gang tersebut esok hari saja.

Katedral Beijing di Wangfujing
Setelah puas menikmati suasana sekitar, saya menyeberang lalu mulai menyusuri kembali Jalan Wangfujing ke arah kedatangan saya, namun di sisi berbeda hingga saya tiba kembali di perempatan tempat saya bertemu laki-laki penjual jasa pembuatan nama dalam tulisan Mandari tersebut. Saya menyeberangi perempatan jalan tersebut lalu kembali menyusuri jalan yang agak tamaram itu kembali ke hotel. Saya mampir di satu toko roti yang masih buka guna membeli roti sebagai persiapan bekal esok hari perjalanan jelajah ke Taman Tiantan dan Kuil Heaven / Temple of Heaven di sisi lain Beijing. Waktu menunjukan hampir jam 10malam waktu Beijing saat saya duduk dalam salah satu restoran di seberang jalan depan hotel. Saya  menikmati makan malam saya ditemani sebotol beer sebelum kembali ke kamar. Minum beer sebetol akan membantu melelapkan saya melewati malam sehingga bisa bangun subuh dalam kondisi segar dan siap melanjutkan jelajah ke Kuil Heaven, Stadion Olimpiade atau yang dikenal dengan nama stadion sarang burung lalu sekali ke Jalan Wangfujing untuk berbelanja souvenir dan makanan eksotiknya.

Bersambung...

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...