Minggu, 18 Desember 2016

JELAJAH DUNIA. TEMBOK BESAR CINA / THE GREAT WALL: Beijing - Huairou - Mutianyu

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Sejak di Indonesia, saya telah memutuskan akan menjelajah Tembok Besar Cina / the great wall  di bagian Mutianyu. Menurut informasi internet, bagian ini lebih sepi dari bagian lain bernama Badaling yang telah bisa langsung dicapai menggunakan kereta. Untuk mencapai Mutianyu tersedia 3 pilihan tranportasi, yakni menggunakan taksi dengan biaya cukup mahal, menggunakan bis yang lebih murah atau menggunakan bis lalu berganti menggunakan minivan alias 2 jenis kendaraan. Biaya menggunakan bis langsung dari Beijing ke Mutianyu lebih murah dibanding dua lainnya. Namun saya mendapatkan kesulitan menemukan tempat saya akan naik bis ini. Sedangkan menggunakan taxi sangat mahal, sehingga saya memutuskan menggunakan bis dari terminal di stasiun Dongshimen yang saya telah ketahui seluk-beluknya daripada menggunakan bis di terminal yang saya masih harus cari-cari lokasinya. Dengan menggunakan bis dari terminal di stasiun subway Dongshimen, saya akan turun di kota Huairou untuk melanjutkan perjalanan menggunakan minivan dari kota tersebut ke Mutianyu. 

Informasi di stasiun metro Dongshimen
Sebagaimana biasa, karena saya selalu ingin mendapatkan foto-foto bagus di tempat-tempat jelajah saya, maka saya telah bangun jam 5 pagi menyiapkan diri menuju Tembok Besar bagian Mutianyu pagi ini. Keluar dari hotel sekitar jam 5.30 pagi, saya menyeberang jalan menuju toko 24 jam seperti alfamart ato indomart di Jakarta. Saya beli 2 bakpao dan coklat batangan serta air mineral sebagai bekal makan di jalan karena hotel tidak menyediakan makan pagi. Biasanya saya bisa membeli roti atau sandwich di hotel, namun bagian penjualan baru buka jam 7pagi. Dari toko, saya kembali menyeberang ke arah hotel lalu belok kiri menyusuri pedestarian yang membawa saya ke stasiun subway / metro Dongsi. Dari stasiun Dongsi, saya naik metro line 6 arah Lucheng. Di stasiun Chaoyangmen (1 stasiun dari Dongsi), saya turun dan ganti kereta ke jalur 2 menuju stasiun Dongshimen yang berjarak 2 stasiun dari Chaoyangmen. Turun di stasiun Dongshimen, saya hanya perlu mengikuti petunjuk berupa tulisan dan panah menuju terminal bis yang tersambung dengan stasiun tersebut. Saya naik turun eskalator dan berjalan menyusuri lorong-lorong stasiun metro Dongshimen menuju terminal. Stasiun Dongshimen juga menjadi stasiun naik dan turun kereta airport / airport express sehingga saya lebih mengenal seluk beluk stasiun ini karena sejak tiba di Beijing, saya telah menggunakan kereta dari airport internasional Beijing. Untuk  mencapai terminal bis menuju Mutianyu, saya berjalan melewati lorong-lorong panjang, termasuk melewati lorong masuk ke stasiun kereta airport express. Suasana dalam stasiun bawah tanah ini mulai ramai karena hari semakin terang. Dari arah sebaliknya di lorong panjang menuju terminal bis, ratusan orang yang baru turun dari metro ataupun bis berjalan berlawanan arah untuk selanjutnya berpencar ke berbagai jalur sesuatu tujuan masing-masing. Untungnya, jalur berlawanan arah dipisah pagar setinggi kepala saya sehingga saya tidak perlu bertabrakan dengan ratusan orang tersebut. 


Eskalator dari terminal bis ke dalam stasiun metro / subway
Terminal bis terletak di atas tanah sehingga saya menapaki beberapa anak tangga lalu melanjutkan dengan eskalator. Di atas tanah, terminal dibagi ke 2 arah berbeda, yakni Utara dan Selatan atau kiri dan kanan saya. Karena saya telah mempelajari informasi di internet, maka saya memilih arah kiri / Utara yang bersebelahan dengan restoran cepat saji Mc Donald. Terminalnya sangat sepi, tidak banyak orang lalu-lalang di tempat tersebut. Saat kembali dari Mutianyu baru saya menemukan alasan kenapa terminal terlihat sepi, karena tempat tersebut hanya untuk calon penumpang yang akan naik bis. Tempat menurunkan penumpang adalah di halte yang berada di luar bangunan terminal yang berjarak sekitar 200 meter jalan kaki menuju stasun subway Dongshimen yang tersambung ke terminal bis Dongshimen. Terminal berbentuk pelataran yang didalamnya diberi nomor-nomor bis ke tujuan berbeda melalui lorong-lorong berbeda. Pagar-pagar pemisah berupa tiang-tiang besi sebesar tangan orang dewasa dengan tinggi sekitar 1meter, lebar 75cm. Pagar-pagar tersebut membentuk lorong panjang menuju ujung pelataran dimana bis-bis akan berhenti sesuai nomor masing-masing untuk menaikan penumpang. 

Salah naik bis nomor 918, harusnya naik 916
Saya langsung menuju lorong bertuliskan angka 918, yakni nomor bis yang akan saya tumpangi menuju Huairou lalu berganti menggunakan minivan menuju Mutianyu. Di ujung lorong yang saya susuri terdapat papan hijau bertulisan putih tentang nomor bis 918 dan rute-rute yang ditempuh dalam bahasa Cina. Karena bis yang akan saya tumpangi telah menunggu di ujung lorong, saya langsung naik lalu menempelkan Beijing smart card (baca catatan sebelumnya tentang Perjalanan Jakarta-Beijing) di alat pembaca kartu yang terpasang di tiang sebelah sopir. Setelah itu saya melangkah ke dalam dan duduk di salah satu kursi kosong di bagian depan. Bisnya berwarna hijau strip putih di bagian luar. Bagian dalamnya sangat bersih dan menggunakan AC. Sopir bis memakai jas dan pantolan serta topi berwarna biru tua. Tak butuh waktu lama, bis yang saya tumpangi mulai berjalan meninggalkan terminal dengan hanya 10 penumpang, termasuk saya. Karena saya duduk di depan, maka saya bisa memperhatikan lalu lintas yang cukup sepi di jalan-jalan yang sangat lebar dan bersih serta halte-halte tempat bis-bis berhenti menurunkan dan menaikan penumpang. Saat mata saya berpaling ke dalam bis dan mulai memperhatikan lebih teliti, saya sadar telah salah naik bis. Sesuai informasi internet, bis yang saya tumpangi akan menuju kota Huairou sebagai tujuan akhir. Nama tersebut tidak saya temukan pada informasi tertulis tentang rute dan halte-halte yang disinggahi bis hingga tujuan akhir. Informasi ini tertulis dalam 2 bahasa, yakni Inggris dan Cina yang tertempel di langit-langit bis di atas kepala penumpang. Saya memeriksa informasi internet yang telah saya simpan di HP. Bis yang seharusnya saya tumpangi adalah nomor 916, bukan 918. 

Depan pintu barak para prajurit di Tembok Cina
Saya tetap tenang sambil menunggu bis berhenti di halte sehingga saya bisa turun. Setelah melewati beberapa halte, bis akhirnya berhenti di satu halte berjarak sekitar 3 km dari terminal Dongshimen. Setelah turun saya melihat-lihat informasi nomor-nomor bis dan rute yang tertempel di halte tersebut. Saya melihat nomor 916 tertulis di salah satu papan informasi, namun informasi rute tertulis dalam bahasa Cina :). Saat saya melihat bis 916 hanya melewati halte tempat saya berdiri saat itu, maka saya memutuskan kembali ke stasiun metro Dongshimen menggunakan subway yang akan lebih mudah bagi saya daripada menggunakan bis. Saya berjalan ke arah kanan menuju tempat menyeberangan. Seorang perempuan muda bersepatu hak tinggi dengan blaser khaki dan rok setinggi lutut berwarna senada dengan blasernya sedang berdiri menunggu lampu hijau untuk menyeberang. Saya berdiri antri di belakang perempuan ini lalu ikut menyeberang saat lampu berwarna hijau. Sampai di seberang, saya belok kiri menuju stasiun subway yang berjarak sekitar 10 meter. Tiba di pintu stasiun saya menuruni tangga-tangga menuju bagian dalam stasiun yang terletak di dalam tanah. 

Bagian dari Tembok Besar Cina di Mutianyu
Setelah berganti 2 kali, saya akhirnya tiba kembali di stasiun Dongshimen. Sekali lagi saya menyusuri lorong2 dan naik melalui eskalator hingga tiba kembali ke pelataran terminal lalu memilih jalur nomor bis 916. Saat saya tiba di ujung lorong, bis telah menunggu. Seorang perempuan dan 2 laki-laki memakai blaser biru dengan topi berwarna senada berada di ujung lorong ini. Cekungan persegi empat di ujung lorong berukuran 1x1 meter dilengkapi 1 kursi dan 1 meja kecil. "Mereka mungkin petugas terminal" duga saya. "Ni hao ma", sapa si perempuan. "Ni hao", balas saya. Perempuan itu melanjutkan menggunakan bahasa Cina yang tentunya tidak saya pahami. Saya balas menggunakan bahasa Ingggris. "Want to take a faster bus?", tanya perempuan itu mengubah percakapan ke dalam bahasa Inggris. "Why not", balas saya. Perempuan itu lalu menulis nomor bis 805 sambil mengatakan bis tersebut sangat cepat. Beruntunglah saya teringat penipuan yang dilakukan terhadap seorang perempuan bule yang menceritakan pengalamannya di situs "lonely planet". "No, thanks", kata saya ke perempuan itu dan kedua temannya. Perempuan itu masih berusaha meyakinkan saya untuk menggunakan bis yang direkomendasikan dia. Namun saya meninggalkan mereka dan bergegas menaiki bis 916 yang masih parkir. 

Suasana pagi dalam stasiun Dongshimen
Bis 916 menunggu cukup lama di tempat tersebut, jika saya bandingkan dengan bis nomor 918 sebelumnya. Beberapa menit saya telah berada dalam bis, saat salah satu petugas laki-laki yang satu kelompok dengan perempuan itu masuk ke bis menghampiri saya. "Want to use minivan?, only 30yuan", kata laki-laki itu ramah. "how about 20yuan", tanya saya bernegosiasi". "25", balasnya. "No, 20". Saya bersikukuh karena membaca informasi di internet bahwa tiap penumpang hanya perlu membayar 20yuan dari Huairou ke Mutianyu. "Alright, let's get off", kata laki-laki tersebut menyetujui 20yuan. "What," tanya saya. "20 yuan only from Beijing to Mutianyu?, tanya saya ingin memastikan. "Yes" balas laki-laki tersebut sambil mengajak saya turun. Saya sadar sedang memasuki perangkap penipuan lain. Para penumpang lain yang semuanya penduduk setempat hanya memperhatikan percakapan saya dengan si petugas laki-laki itu. Saya duga mereka tidak mengerti bahasa Inggris seperti umumnya penduduk di Beijing. Karena itu saya tidak beerharap mendapatkan bantuan mereka. Saya teringat informasi internet tentang penipuan menggunakan minivan yang akan membawa korbannya berputar-putar sekitar Bejing lalu diperas untuk membayar biaya yang sangat mahal. "No, thanks, I thought it is from Huairou to Mutianyu", kata saya ke lelaki itu. "No?, tanya lelaki itu menegaskan. "No, thanks" kata saya tegas sambil menggeleng-geleng. Lelaki itu beranjak turun mendengar saya bersikukuh tidak akan menggunakan minivan yang ditawarkannya dari Beijing ke Huairou. 

Informasi nama-nama halte di langit-langit bis
Setelah lelaki itu turun, sopir menutup pintu bis lalu bis bergerak meninggalkan terminal. Bis cukup penuh. Setelah keluar dari kota, bis memasuk jalan tol yang padat sehingga bis berjalan perlahan-lahan. Kemacetan yang mengingatkan saya akan Jakarta. Saya mengisi waktu dengan memperhatikan informasi digital yang ditayangkan dalam bahasa Inggris dan Cina tentang halte-halte yang disinggahi bis. Informasi tertulis nama halte juga tertempel di langit-langit bis. Walau tertulis dalam 2 bahasa, namun informasi digital di depan bis hanya memuat nama halte dalam bahasa Cina sehingga saya tidak tahu nama halte tempat saya akan turun sebagaimana yang telah saya peroleh dari internet. Informasi di internet menyatakan untuk ke Mutianyu, saya bisa berganti minivan di halte ke 15 dari terminal Dongshimen. Namun karena jarak cukup jauh, saya kadang lupa sudah halte keberapa saat bis berhenti. Karena itu, saya mencoba cara lain, yakni memotret informasi tertulis di langit-langit bis lalu membandingkan dengan informasi digital di depan. Informasi tertulis di langit-langit bis ditulis menggunakan pola penulisan Cina,  yakni dari atas ke bawah, sedangkan di informasi digital ditulis menggunakan pola latin, yakni horisontal dari kiri ke kanan. Setelah foto nama2 halte di internet saya buat horisontal supaya sama dengan pola informasi digital di depan bis, saya bisa menemukan halte-halte tempat bis berhenti hingga tiba di halte ke 15 di Kota Huairou. Dari halte ini terdapat 2 pilihan menuju Mutianyu, yakni menggunakan minivan atau bis. Untuk menggunakan bis, para calon penumpang harus menyeberang karena bis-bis tersebut berada di seberang jalan. 

Suasana Kota Huairou - transit ke Mutianyu
Saat saya turun bersama penumpang lain yang ternyata berasal dari Jakarta juga, para sopir minivan telah menunggu dan menawarkan penggunaan minivan dengan bayaran 20yuan per orang sekali jalan. Hanya ada 1 orang yang bisa berbahasa Inggris di antara para sopir tersebut. Orang ini bertindak sebagai jurubicara antara kami dengan para sopir minivan. Sepertinya mereka mengatur antrian / giliran pengantaran sehingga tidak terjadi rebutan antar sopir. Setelah jurubicara memastikan kami akan menggunakan minivan dengan bayaran 20 yuan per orang,  jurubicara itu menyerahkan kami (saya dan 4 penumpang lain asal Indonesia sepakat menggunakan 1 minivan) ke seorang sopir lelaki berusia paruh baya yang tidak bisa berbahasa Inggris. Karena itu, saya berinisiatif menanyakan ke jurubicara bagaimana cara kami kembali ke Huairou. Jurubicara mengatakan bahwa minivan bisa menunggu dengan harga yang sama yakni 20yuan dari Mutianyu ke Huairou. Sopir menutup pintu minivan saat kami semua telah berada di dalam minivan lalu menghidupkan mesin mobil. Sebelum minivan bergerak meninggalkan daerah tersebut, sopir membagikan brosur wisata Tembok Besar bagian Mutianyu yang berisi informasi rute dan tempat-tempat penting seperti loket penjualan tiket, halte shuttle bus, pintu masuk sekaligus pemeriksaan tiket, terminal kereta gantung / cable car dll. Jarak tempuh minivan dari Kota Huairou ke Mutianyu sekitar 25menit menyusuri jalan bagus, luas dan sepi. Setelah keluar dari kota, minivan menyusuri jalan yang kiri kanannya dijejeri pepohonan di kontur geografis perbukitan yang terus mendaki. Sekitar 10 menit keluar dari pool minivan di Kota, Huairou, sopir menunjuk Tembok Besar yang terlihat di kejauhan. Saya mengintip sambil mengangguk-angguk karena toh kami tidak bisa bercakap-cakap dengan sopir yang hanya bisa berbahasa Cina. 

Sopir minivan di tempat parkir di Mutianyu
Tiba di tempat parkir, saya dan teman-teman baru saya harus menggunakan bahasa isyarat lagi dengan sopir bahwa dia dan minivan akan menunggu kami di tempat tersebut. Kami juga diminta membayar biaya parkir sebesar 5yuan ato sekitar 10ribu rupiah. Tempat parkir ini sepertinya dikelola penduduk setempat, karena masih sangat sederhana berupa suatu kompleks yang lahannya masih tanah dan dibiarkan apa adanya. Saya menyerahkan uang 5 yuan pembayaran parkir ke seorang perempuan tua yang rambutnya telah memutih. Keduanya sopir dan penjaga lahan parkir tersebut berbicara dalam bahasa mereka. Perempuan itu menerima uang sambil senyum kecil dan mengangguk sehingga saya pun tersenyum dan mengangguk membalas keramahannya. Sebelum meninggalkan tempat parkir, saya meminta sopir berdiri di samping minivan lalu memotret sopir dan minivan untuk memudahkan saya dan teman-teman baru saya menemukan minivan atau sopir saat balik dari Tembok Besar. Selesai foto, ternyata kami tidak berjalan sendiri ke loket tiket. Sopir berjalan menemani kami ke loket penjualan tiket di dalam suatu kompleks yang telah tertata rapi. Kompleks ini berjarak sekitar 500an meter dari tempat parkir. Kami berjalan menyeberangi 2 jalan raya yang memisahkan kompleks parkir dengan kompleks pejualan tiket dan jalan masuk ke Tembok Besar.  Kami tiba di depan gerbang masuk yang sangat lebar dengan tulisan Cina besar berwarna kuning emas di atasnya. Di sebelah kanan tulisan tersebut terdapat tulisan latin berukuran lebih kecil berupa ucapan selamat datang di Mutianyu. Udara terasa membekukan sehingga saya mengambil dan mengenakan sarung tangan agar terasa sedikit hangat. 

Depan gerbang masuk ke Tembok Besar di Mutianyu
Setelah melewati gapura, saya sempatkan ke toilet yang berada dalam satu bangunan di sebelah kiri gerbang masuk. Toiletnya luas dan sangat bersih dibandingkan dengan kondisi toilet di Fragrant Hill yang telah saya jelajahi. Selesai dari toilet, saya keluar dan berjalan sekitar 70an meter ke loket karcis. Loket karcis berada dalam suatu bangunan tersendiri yang sangat besar. Hanya ada beberapa orang di sekitar loket, salah satunya adalah sopir minivan kami. Ternyata jurubicara para sopir yang kami temui di kota Huairou telah tiba di tempat ini sehingga menjadi perantara bahasa antara kami dengan sopir soal waktu tunggu. Selain menjual tiket masuk ke Tembok Besar, loket ini juga menjual tiket kereta gantung atau cable car. Pengunjung diberi pilihan menggunakan cable car atau jalan kaki ke Tembok Besar yang terletak di puncak jajaran pegunungan. Untuk balik ke halte bis, pengunjung bisa memilih menggunakan cable car, jalan kaki atau perosotan :). Saya memilih naik dan turun menggunakan cable car saja karena jika hanya sekali jalan, harganya 80yuan, jika PP harganya 100yuan. Selain tiket masuk dan cable car saya juga harus membeli tiket bis PP yang akan mengantar para pengunjung PP dari halte naik ke halte dekat tempat pemeriksaan tiket. Jadinya saya membeli 3 tiket berbeda untuk bisa masuk ke Tembok Besar, yakni tiket bis, tiket kereta gantung / cable car dan tiket masuk. 

Denah kompleks Tembok Besar di Mutianyu
Setelah mengantongi tiket, saya sekali lagi bertemu sopir kami untuk menyepakati lamanya waktu tunggu, yakni 3 jam. Kami perkirakan 3 jam sebagai waktu maksimum jelajah Tembok Besar, tanpa memperhitungkan waktu tempuh dari loket tiket hingga tiba di atas Tembok Besar yang ternyata cukup jauh. Dari loket tiket, saya belok kanan masuk ke dalam kompleks melalui gapura kedua yang besarnya seukuran gapura pertama, namun berwarna coklat dengan ukuran lebih besar tinggi dari gapura pertama. Di gapura berwarna coklat tersebut tertera tulisan Mu Tian Yu dalam bahasa Cina dan Latin. Kawasan ini sangat luas dan sepi. Mungkin karena masih pagi sehingga masih sedikit pengunjung yang tiba di tempat ini. Jalan dalam kompleks cukup bagus dan tertata rapi. Para penjual cindera mata, makanan ringan dan juga minuman berjejer di sebelah kanan jalan berjarak sekitar 100 meter dari gerbang masuk. Saya dan teman-teman saya mampir membeli makanan ringan dan minuman lalu meneruskan perjalan ke halte bis. Setelah melewati jejeran para PKL, resto dan juga kios, kami tiba di halte bis. Untuk mencapai halte, para pengunjung harus melewati jalan yang dibuat berputar-putar yang dibatasi pagar-pagar stainless setinggi pinggang
Bis-bis yang antar dan jemput para pengunjung di Mutianyu
orang dewasa. Di ujung lorong-lorong berputar tersebut, berdiri seorang laki-laki pemeriksa tiket berseragam biru dongker. Saat tiba di depan petugas tersebut, saya menyerahkan semua tiket yang saya pegang. Petugas mengambil tiket bergambar bis yang disobek satu sisi lalu dikembalikan ke saya. Saya melangkah melewati palang disebelah kanan petugas lalu belok kiri di belakangnya mengikuti lorong yang telah dibuat berakhir di suatu tempat berjarak 20an meter di sisi kiri petugas pemeriksa tiket. Di ujung lorong ini, saya antri di belakang 4 calon penumpang lain yang telah lebih dahulu tiba. Tak lama antri, salah satu bis yang berjejer di dalam kompleks yang cukup luas itu keluar dari antrian dan berjalan ke arah kami. Saat bis berhenti dan membuka pintunya, kami bergegas masuk dari depan dan tengah. Saya memilih duduk di bangku terdepan di sebelah kanan belakang sopir atau di depan pintu masuk. Posisi ini membuat saya dapat menikmati pemandangan luar secara utuh hingga kami tiba di halte penurunan. Jarak tempuh dari halte naik ke halte turun sekitar 3km. Walau demikian, saya melihat beberapa pengunjung - dugaan saya orang setempat - memilih berjalan kaki menyusuri jalan yang terus mendaki hingga tiba di tempat pemeriksaan tiket masuk. 

Tempat pemeriksaan tiket masuk ke Tembok Besar
Sekitar 10an menit dari halte naik, bis menurunkan para penumpangnya di halte turun yang juga terlihat lenggang karena masih sedikitnya pengunjung di tempat tersebut. Saya mengikuti pengunjung lain keluar dari bis lalu berjalan lurus ke jalan setapak berjarak 20an meter dari halte kemudian belok kiri menyusuri jalan selebar 5 meter yang terbuat semen. Jalan ini membawa para pengunjung dari halte bis ke tempat pemeriksaan tiket berjarak 100an meter. Tempat pemeriksaan tiket dijaga seorang perempuan paruh baya berambut pendek ikal yang mengenakan seragam berupa jas panjang berwarna biru dongker. Pintu pemeriksaan tiket dibagi ke 2 jalur yang dihalangi palang-palang stainless. Tiket diletakan petugas perempun tersebut ke mesin pembaca lalu mempersilahkan saya masuk. Melewati tempat pemeriksaan tiket, saya dan pengunjung lainnya masih harus berjalan ke tempat cable car yang berjarak sekitar 100 meter. Jalan terus mendaki, namun udara dingin dan suasana sejuk membuat perjalan ke tempat cable car tidak terasa melelahkan. Ruang terbuka antara tempat pemeriksaan tiket dengan tempat cable car cukup luas sekitar 1/4 lapangan sepak bola yang sebagian digunakan sebagai tempat parkir yang juga terlihat lenggang. Di sebelah kanan berjarak sekitar 10 meter terdapat jalan bertangga-tangga bagi para pengunjung yang memilih jalan kaki ke Tembok Besar berjarak beberapa kilo meter di puncak-puncak gunung. Jalan yang sama digunakan pengunjung yang turun dari cable car menuju jalan keluar di samping tempat pemeriksaan tiket lalu melanjutkan ke halte bis.  

Cable car 
Jalan ke terminal cable car berada di sebelah kiri  tempat parkir dan berada di ketinggian lantai 2 bangunan tembok bertingkat 2 dan bercat putih. Saat masuk ke ruang terminal cable car, saya melihat seorang petugas laki-laki berjaga di tempat ini. Cable car berbentuk seperti telur raksasa warna oranye bisa diisi 4 orang dewasa. Setelah penumpang masuk, pintunya menutup perlahan secara otomatis. Setelah itu kotak telur raksasa ini berjalan perlahan hingga melewati satu alat setinggi pinggang orang dewasa yang dijaga petugas laki-laki tersebut. Tempat ini berada di sebelah kiri saat saya duduk menghadap ke arah Tembok Besar. Setelah melewati alat ini, kotak telur raksasa yang saya tumpangi mulai berjalan kencang menuju puncak bukit melewati hamparan lembah yang ditumbuhi semak belukar dan pepohonan berdaun berwarna-warni, terutama kuning dan merah.  

Dalam cable car 
Saat cable car tiba di atas, pintu terbuka perlahan secara otomatis. Seorang petugas berjaga di terminal atas sekalian membantu menurunkan penumpang karena cable car tidak berhenti total. Saat tiba di terminal, cable car jalan sangat perlahan agar para penumpang bisa turun setelah pintu terbuka otomatis di sisi sebelah kiri. Selesai menurunkan penumpang, cable car  terus berjalan lurus sekitar 10 meter kemudian berputar ke kanan menuju tempat calon penumpang naik lalu kembali meluncur ke terminal bawah mengantar para pengunjung yang telah selesai berkunjung atau kembali dari Tembok Besar. Setelah keluar dari cable car, saya berjalan lurus melewati pintu berpalang stainless. Tiba di luar, saya belok kanan berjalan sejauh 10an meter dari pintu terminal cable car lalu belok kiri menyusuri setapak bertangga yang terbuat dari semen yang diapit pagar setinggi 5 meteran di sebelah kiri dan setinggi pinggang saya di sebelah kanan. Setapak ini terbagi ke 2 bagian yakni bertangga-tangga dan tanpa tangga yang mungkin untuk para pengguna kursi roda. Setapak dengan panjangsekitar  50 meter dari terminal cable car membawa saya ke suatu pelataran terbuka di kiri saat saya tiba di puncak tangga jalan setapak yang saya susuri. Di sisi kanan saya terpampang Tembok Besar yang akan saya kunjungi. Di pelataran ini tersedia bangku-bangku panjang bagi pengunjung yang ingin mengaso sejenak menyiapkan tenaga menuju Tembok Besar atau bagi yang telah selesai jalan-jalan. Satu tugu berwarna antara pink dan coklat dengan tulisan "national tourist attraction of Mutianyu Great Wall" dalam bahasa Cina dan Inggris dibangun di pelataran ini. Saya mengambil beberapa foto, termasuk foto diri saya lalu berjalan ke tembok besar yang berjarak 10an meter di belakang tugu. 
Setapak dari terminal cable car ke Tembok Besar


Di pelataran depan Tembok Besar 
Ada 2 jalan masuk ke atas Tembok Besar dari belakang Tugu. Jalan masuk pertama langsung naik melalui beberapa anak tangga lalu masuk melalui celah tembok selebar 1 meteran yang dibuat bagi para pengunjung masuk dan keluar. Jalan kedua di belakang Tugu adalah menyusuri bagian luar dinding tembok melalui setapak dari semen bertangga-tangga mengikuti kontur tanah perbukitan sepanjang beberapa ratus meter hingga tiba di pintu masuk ke Tembok Besar. Saya dan hampir semua pengunjung memilih menggunakan jalan masuk pertama. Setelah meloloskan badan saya melewati celah antar tembok, saya menapakan kaki di atas Tembok Besar Cina. Dalam catatan wikipedia, bahan-bahan Tembok Besar Cina terbuat dari batu atau batako atau bata atau kayu. Bagian ini sepertinya terbuat dari bata berwarna abu-abu dan kehitaman yang mungkin telah berubah warna karena lamanya waktu. Tembok di Mutianyu merupakan bagian dari keseluruhan Tembok Besar Cina sepanjang 21.196km yang dibangun dari Timur ke Barat. Lebar tembok berkisar 5 - 9 meter dengan tinggi sekitar 3 - 5 meter sehingga membentuk semacam lorong raksasa tanpa atap. Dalam jarak tertentu terdapat menara, pos jaga dan barak prajurit yang semuanya terbuat dari bata. Menurut Wikipedia, Tembok Cina mulai dibangun pada abad ke 7 Sebelum Masehi (SM) di bagian tertentu - yang kemudian mulai intensif pembangunannya pada tahun 220 - 206 SM di masa pemerintahan kaisar pertama Cina bernama Qin Shi Huang. Pembangunan besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan Dinasti Ming. 

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Saya berjalan perlahan-lahan menikmati keindahan puncak-puncak gunung dan lembah dari atas tembok. Tembok di bagian Mutianyu lebih sepi pengunjung dibandingkan bagian Badaling, demikian informasi yang saya peroleh dari internet. Namun, kondisi pagi ini tidak sepi-sepi amat. Selalu ada pengunjung yang datang dan pergi melintas di atas Tembok. Dari pintu masuk, saya belok kiri terus berjalan perlahan menikmati suasana dan udara dingin. Jaket, syal, topi dan sarung tangan membantu menghangatkan tubuh saya. Saya tiba di pos jaga atau menara pengawas berukuran sekitar 4x4 meter terbuat dari bata. Banyak coretan dalam pos yang menempel ke tembok. Di bagian kanan terdapat pintu menuju balkon selebar 1 meter sepanjang pos. Pengunjung bisa menikmati pemandangan lembah dan jejeran gunung dari balkon ini, termasuk mengambil foto-foto bagus ke arah bagian luar tembok yang telah saya lewati yang berada pada posisi lebih tinggi atau ke bagian berlawanan yang berada di posisi lebih rendah lalu menanjak kembali ke pos lain. Selesai mengambil foto di pos ini, saya melanjutkan perjalanan menyusuri tembok. Keluar pos, saya menuruni anak-anak tangga menuju bagian lebih rendah lalu berjalan menuju pos lain berjarak 500an meter dari pos yang baru saja saya tinggalkan. 

Pos jaga sekaligus menara pengawas
Saya tiba di pos kedua yang berjarak sekitar 1km dari celah masuk ke Tembok Besar. Pos ini lebih besar dan sepertinya barak para prajurit jaga di zaman dulu. Pintu dan jendelanya berbentuk kubah tebal sekitar 50an cm - sama seperti pos yang telah saya tinggalkan. Dari pintu masuk terdapat lorong tembus ke bagian sebelahnya. Di sebelah kanan lorong ini  terdapat beberapa ruangan - mungkin ruang tidur, dapur dan perlengkapan para prajurit zaman dulu. Di bagian belakang bangunan barak sebelum pintu keluar kembali ke Tembok, terdapat tangga selebar 75cm ke atas barak. Saya menaiki tangga ini lalu keluar melalui "lubang" berukuran sekitar 1meter x 70cm dan tiba di suatu pelataran terbuka selebar 50an M2 di atas barak. Pelataran ini dikeliling tembok setinggi dada orang dewasa serta lubang-lubang berjarak sekitar 1 meter satu sama lain - seperti lubang angin di rumah-rumah penduduk di Indonesia. Karena pelataran ini berada di ketinggian, maka saya bisa melihat jauh sekaligus mengambil beberapa foto menarik dari tempat ini. Puas foto, saya turun dengan sangat hati-hati karena harus melewati "lubang" / atau pintu masuk dan keluar pelataran di atas barak. Saya keluar barak, menuruni anak-anak tangga lalu melanjutkan perjalanan saya menyusuri jalan / lorong di atas Tembok Besar sambil sesekali berhenti mengambil foto lalu melanjutkan lagi perjalanan saya. Tembok dibangun mengikuti kontur tanah yang naik dan turun serta berbelok-belok mengikuti kontur puncak gunung dan bukit. Tembok dibangun diatas puncak-puncak bukit dan gunung di daerah tersebut sebagai pembatas dengan daerah luar tembok yang konon katanya merupakan daerah negara lain pada masa lalu. Saya tidak tahu apakah bagian luar Tembok saat ini masuk bagian wilayah Cina atau tidak.  

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Setelah berjalan sekitar 3km, saya memutuskan balik karena hari semakin siang dan juga rombongan kami berjanji ke sopir minivan akan menghabiskan sekitar 3 jam saja di atas Tembok Besar. Saat tiba di celah masuk dan keluar pengunjung, saya memutuskan berjalan terus menyusuri bagian sebelah kanan celah / pintu masuk dan keluar yang belum saya susuri karena saat masuk saya langsung mengambil jalan ke kiri. Saya tiba di bangunan semacam barak memiliki beberapa ruang dengan pintu dan jendela berbentuk kubah - seperti barak sebelumnya yang telah saya lihat. Beda dengan barak sebelumnya, barak ini memiliki atap dan tidak memiliki tangga ke bagian atas alias tidak punya pelataran atas seperti barak sebelumnya. Setelah mengambil beberapa foto, saya kembali melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekitar 2km, saya memutuskan kembali ke pintu/celah masuk dan keluar untuk pulang.  Tiba kembali ke pelataran yang ada Tugunya, saya berjalan lurus menuruni beberapa tangga menuju toilet yang terletak dalam satu bangunan di ujung luar pelataran. Keluar dari toilet saya belok kanan menuruni tangga-tangga semen hingga tiba kembali di bangunan terminal cable car. Saya masuk ke terminal cabel car melalui pintu lain yang terletak di sebelah kanan dalam jarak 5 meteran dari pintu keluar. Bagian ini ini dijaga seorang perempuan paru baya memakai jas tebal panjang berwarna biru gelap. Saya menyerahkan karcis masuk ke perempuan itu yang lalu menaruh ke mesin pembaca tiket kemudian menyerahkan kembali ke saya. Saya melangkah maju sekitar 7 meter dari perempuan penjaga lalu masuk ke kotak cable car terdekat yang berjalan perlahan di sisi kanan saya. Tiba di terminal bawah, para pengunjung keluar ke sisi yang berlawanan dengan pintu masuk saat naik. Saya keluar lalu berjalan perlahan melalui jalan bertangga-tangga yang terbuat dari semen. Jalan ini menyambung dengan setapak naik dan turun bagi pengunjung Tembok Besar yang jalan kaki. 

Salah satu jendela di barak prajurit
Tiba di tempat bis, saya naik dari pintu depan dan duduk di kursi depan dekan pintu - sama seperti saat datang. Bis menunggu penumpang lain  sekitar 10an menit lalu bertolak kembali ke tempat antar jemput dekat. Turun dari bis, saya dan para pengunjung lain berjalan melalui jalan di bagian belakang tempat naik dan turun yang dipisahkan oleh pagar besi setinggi dada orang dewasa. Kami melewati para penjual buah-buahan basah dan kering yang berjarak sekitar 30an meter dari para penjual souvenir. Saya mampir ke toilet di bangunan tinggi yang memisahkan para penjual souvenir dengan antrian ke loket pemeriksaan tiket bis. Selesai dari toilet, saya mampir ke beberapa penjual souvenir. Saya menawar dan membeli maknet kulkas, snow ball / bola salju yang berisi air dan beruang panda di dalamnya. Sayangnya snow ball ini diambil pihak security bandara Beijing karena saya simpan di ransel kamera yang saya bawa ke kabin. Menurut petugas, show ball tersebut berisi cairan yang dilarang peraturan penerbangan untuk dibawah ke kabin. Saya hanya berhasil membawa snow ball ukuran kecil melewati security sebagai oleh-oleh yang selalu saya bawa ke rumah dalam perjalanan jelajah saya ke negara-negara lain. 

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Melewati para penjual souvenir, saya mampir di satu restoran cukup besar di daerah tersebut. Di dalam restoran tersebut saya bertemu anggota rombongan lain yang sedang makan siang. Karena kami telah telat - hampir 4 jam, saya hanya membeli kue pai yang saya makan sambil jalan bersama rombongan ke tempat penjualan tiket - tempat sopir minivan akan bertemu kami. Saat kami tiba, sang sopir tersenyum ceria sambil memberi bahasa isyarat kami telah menghabiskan waktu selama 4 jam. Saya dan anggota rombongan berbicara satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia "sepertinya dia mo minta tambah bayar karena kita melewati waktu yang disepakati". "Kita bayar sesuai pembiacaraan awal saja yakni 40yuan PP, ga usah nambah, demikian kami sepakat dan saling mengingatkan satu sama lain. 

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Perjalanan kembali ke pool minivan di Kota Huairou berlangsung lancar. Karena jalan sepi, kami tiba kembali di pool sekitar 20an menit dari tempat parkir di Mutianyu. Saat sopir membuka pintu minivan bagi kami turun, dengan senyum ramah dia meminta tambah bayar, namun saya menggeleng sambil senyum dan menyerahkan uang pembayaran yang telah dikumpulkan anggota rombongan ke saya. Sopir tidak memaksa hanya menggeleng sambil tersenyum. Walau kami tidak menambah pembayaran, sopir tetap ramah dan menunjukan ke kami halte bis di seberang jalan untuk menunggu bis 916 express kembali ke Beijing. Saya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Cina sambil menjabat tangan sopir sebagai salam perpisahan lalu berjalan menyeberang bersama rombongan saat lampu menyala hijau pagi para penyeberang. Kami hanya menunggu sekitar 5 menit saat bis 916 berhenti. Satu demi satu kami naik dan mencari tempat duduk masing-masing di dalam bis yang belum terlalu penuh. Seorang kondektur muda - seusia anak SMA klas 1 di Indonesia - membantu sopir mengatur para penumpang. Kondektur berseragam hitam, termasuk topinya. Kondektur ini berbicara ke saya dalam bahasa Cina yang saya balas menggunakan bahasa Inggris karena kami sama-sama tidak mengerti apa yang sedang saling kami komunikasikan. Mengentahui saya bukan orang Cina, kondektur muda ini semakin ramah dan berusaha bercakap-cakap, namun akhirnya menyerah karena kami tidak  bisa berkomunikasi. Saya mengajak dia foto berdua namun dengan bahasa isyarat dia menolak sambil menunjuk ke depan. Saya menerka maksudnya mungkin kuatir ditegur sopir bis. 

Lorong dalam barak prajurit
Beruntung saya bertemu dan telah berkomunikasi menggunakan senyuman, anggukan dan gelengan dengan kondektur muda yang ramah tersebut. Karena saat turun, saya lupa dimana menyimpan "Beijing smart card" saya yang berlaku sebagai alat pembayaran bis. Setelah mencari-cari sekitar 5 menit, namun tidak menemukan kartu tersebut, akhirnya si kondektur mempersilahkan saya turun tanpa menempel kartu saya ke mesin pembaca kartu di pintu belakang. Anggota rombongan lain telah turun terlebih dahulu dan menunggu di halte. Setelah turun, saya mengatakan saatnya berpisah di halte tersebut. Kami saling berjabatan tangan lalu berpisah. Mereka berjalan duluan ke stasiun metro, sementara saya masih mencari-cari kartu pembayaran saya karena saat akan masuk ke stasiun metro, saya harus menggunakan kartu tersebut. Jika kartu tersebut jatuh dalam bis, maka saya harus beli kartu baru. Akhirnya saya menemukan kartu tersebut terselip dalam salah satu kantong ransel kamera. Setelah menemukan kartu dan menyimpan di kantong jaket sehingga gampang diakses, saya berjalan menyusuri trotoar sepanjang 20an meter lalu belok kanan menyusuri jalan yang dipisahkan pagar setinggi 2 meteran. Pagar ini memisahkan terminal bis di sebelah kiri saya dengan bangunan stasiun metro / subway di sebelah kanan. Setelah berjalan sekitar 200an meter, saya tiba di restoran Mc. Donald di depan pintu masuk ke terminal bis sekaligus ke stasiun metro.  

Bangunan terminal cable car 
Menggunakan eskalator, saya turun ke dalam stasiun metro. Setelah mengambil tas kamera yang melewati mesin Xray, saya kembali berjalan menyusuri lorong, turun tangga, menyusuri lorong lagi lalu turun tangga lagi hingga tiba di peron tempat saya menunggu metro ke jalur 4 lalu akan turun dan ganti metro ke jalur 6 menuju stasiun Dongsi. Seperti sebelumnya, saya akan turun di stasiun Dongsi dan keluar menuju hotel Beijing 161 Wangfujing sebagai tempat penginapan saya selama berada di Bejing. Hari telah sore saat saya tiba di hotel. Saya memutuskan beristirahat hingga malam tiba, lalu mandi dan ganti pakaian untuk selanjutnya keluar dan berjalan kaki dari hotel ke jalan Wangfujing yang terletak beberapa blok atau sekitar 2 km dari hotel  saat saya cek menggunakan google map

Bersambung...   












Senin, 21 November 2016

JELAJAH DUNIA. BEIJING: Fragrant Hills

Bagian dalam Hotel Beijing 161 Wangfujing
Setelah beristirahat sekitar 1 jam di kamar, saya mandi kemudian ganti pakaian lalu keluar hotel untuk mulai menjelajah. Tujuan jelajah saya hari ini adalah Fragrant Hill untuk menikmati perubahan warna-warni daun pepohonan di musim gugur sebagaimana yang saya lihat di internet. Dari internet pula saya mendapatkan informasi bagaimana akses ke Fragrant Hills yakni menggunakan subway kemudian disambung dengan bis. Karena saya hanya mengandalkan akses wifi di hotel untuk mendapatkan informasi online selama berada di Beijing, maka sebelum berangkat saya mempelajari terlebih dahulu rute dan stasiun subway tempat saya akan turun untuk ganti subway hingga tiba di stasiun terakhir. Setelah siap, saya meninggalkan hotel. Keluar dari pintu depan hotel, saya belok kanan menyusuri jalan gang sejauh 20an meter lalu belok kanan lagi menyusuri pedestarian jalan utama South Dongsi menuju stasiun Dongsi yang berjarak sekitar 200an meter dari belokan tersebut.

Di stasiun Dongsi saya menuju line 6 guna menumpang
subway ke stasiun Ping'anli lalu akan berganti subway / metro ke line / jalur 4 yang berakhir di stasiun Anheqiao North. Di jalur ini saya akan turun di stasiun Beigongmen yang berjarak 12 stasiun
Turun disini untuk ganti bis ke Fragrant Hills
dari Ping'anli atau satu stasiun sebelum stasiun Anheqiao North. Dengan waktu tempuh sekitar 30an menit, metro yang saya tumpangi tiba di stasiun Beigongmen. Sesuai informasi internet, saya keluar melalui pintu keluar / exit A. Saat tiba di luar stasiun, saya melihat di sebelah kiri saya terbentang jalan raya yang cukup lebar dan tidak terlalu ramai dilalui kendaraan. Kebanyakan kendaraan yang lalu lalang adalah bis-bis besar yang terlihat baru dan bersih. Pintu keluar ke jalan hanya ada satu sehingga memudahkan saya memilih jalan keluar untuk melanjutkan ekplorasi mencari halte bis yang akan saya tumpangi ke Fragrant Hills. Saya memilih arah kanan dari depan pintu stasiun subway lalu jalan lurus menyusuri pedestarian yang dibatasi oleh pagar setinggi dada orang dewasa dengan jalan bagi sepeda atau motor lalu jalan bagi mobil. Tidak jauh dari gerbang stasiun terdapat satu kompleks yang dipenuhi bis-bis besar berwarna biru. Di seberang jalan juga terdapat kompleks lain yang dipenuhi bis-bis besar berwarna merah dan kuning. "Sepertinya kedua kompleks tersebut adalah pool bis karena tidak terlihat penumpang naik dan turun", duga saya sambil terus berjalan dan mengamati daerah sekitar untuk membiasakan diri dengan lingkungan baru tersebut. Tiba di ujung pool bis warna biru, saya melihat seorang lelaki tua berseragam biru pucat seperti sedang berjaga di depan gerbang. Saya menghampiri lelaki tersebut mengucapkan salam dalam bahasa Cina sambil tersenyum. Sebelum lelaki tersebut menjawab, saya menunjukan foto Kuil Fragant Hills dan informasi dalam bahasa Cina tentang rute dan nomor bis yang telah saya simpan di HP. Lelaki tersebut menunjuk ke halte di jalan yang ada di sebelah kiri saya. Saya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dalam bahasa Cina lalu beranjak meninggalkan lelaki tua tersebut.

Pedestarian dari stasiun metro ke halte bis 318
Saya berjalan ke halte bis yang berjarak 100an meter dari tempat saya bertanya ke lelaki tua. Sinar matahari sore yang cukup terik tak bisa menghilangkan udara dan angin dingin yang sepoi-sepoi mengusap bagian-bagian tubuh saya yang tidak tertutup jaket tebal panjang. Sebelum mencapai halte, saya berdiri memperhatikan keadaan sekitar, termasuk bis dan orang-orang yang lalu lalang di sekitar situ. Setelah melihat beberapa kali bis 318 yang saya tunggui melintas di jalan seberang, saya memutuskan menyeberang ke halte di seberang jalan. Setelah menyeberang melalui tanda penyeberangan, saya berjalan ke sebelah kiri karena melihat banyak orang lalu-lalang di pedestarian jalan sebelah kiri yang terhubung ke jalan utama yang barusan saya seberangi. Saat saya berdiri mengamati lalu lintas di pertigaan tersebut, saya melihat papan informasi bertulisan latin menginformasikan jalan tersebut menuju istana musim panas (Summer Palace). 

Papan informasi di luar gerbang stasiun Beigongmen
Karena rencana saya adalah menjelajah Fragrant Hills, maka saya memutuskan tidak mampir ke Summer Palace karena kuatir waktunya tidak cukup. Dari tempat saya berdiri di pertigaan ini, saya melihat kios/booth pelayanan bagi turis sehingga saya menyeberang jalan menuju booth tersebut. Saat saya menyapa laki-laki paruh baya penjaga booth menggunakan bahasa Inggris, laki-laki itu menggeleng dan mengangkat tangannya alias tidak bisa bahasa Inggris. Saya balik badan dan berjalan menyusuri pedestarian jalan utama menuju halte yang berjarak 100an meter dari pertigaan. Tiba di halte, saya mengamati informasi nomor bis yang untungnya tertulis dalam huruf Latin, namun rutenya tertulis dalam bahasa Cina. Karena ada tulisan 318, maka saya menduga bis yang saya tunggu akan berhenti di halte tersebut. Setelah 10an menit menunggu dimana ada 2 bis 318 yang telah melewati halte namun tidak berhenti, saya menyimpulkan bahwa saya menuggu di halte yang salah. Saya kembali mengamati papan informasi yang juga berisi tanda panah ke 2 arah berbeda yang saling bertolak belakang. Dari tanda-tanda panah itu, saya menduga halte tempat bis 318 berhenti untuk menurunkan dan menaikan penumpang berada di seberang jalan tempat saya berdiri. Kedua halte ini berhadap-hadapan di kedua sisi jalan berbeda. Karena itu, saya kembali menyusuri pedestarian ke tempat penyeberangan di dekat pertigaan lalu menyeberang dan berjalan ke halte yang berada dalam satu garis dengan pool bis warna biru dan stasiun metro / subway.

Puluhan perempuan dan laki-laki dengan usia berbeda sedang menunggu bis di halte tersebut. Saya menghampiri sekelompok anak muda laki-laki yang sedang ngobrol. Saya menunjukan gambar dan tulisan rute serta nomor bis ke Fragrant Hills dalam bahasa Cina yang saya simpan di HP lalu menanyakan apakah halte ini merupakan halte menunggu bis ke Fragrant Hill atau halte seberang yang telah saya tinggalkan. Mereka semua tidak ada yang tahu bahasa Inggris sehingga kami berkomunikasi menggunakan bahasa tarzan sambil senyum atau ketawa-ketawa. 2 orang ibu yang sedang menunggu bis di halte tersebut ikut nimbrung mengajari saya bahasa Cina tentang nomor bis 318 yang saya ikuti dengan senang hati namun telah saya lupakan sehingga tidak bisa saya tulis di sini :).

Jalan depan stasiun Beigongmen
Saat bis 318 berhenti di halte tersebut, kedua ibu dan anak2 muda yang saya ajak komunikasi menunjuk ke bis tersebut memberikan isyarat pada saya untuk naik ke bis tersebut. Saya mengangguk mengucapkan terima kasih dalam bahasa Cina lalu berusaha naik ke bis yang penuh sesak. Bis penuh sehingga saya harus mendorong ke kiri dan kanan - "seperti naik comuter line pada pagi atau sore hari kerja di Jakarta", pikir saya - untuk mendapatkan tempat berdiri. akhirnya, saya berhasil masuk dan berdiri dekat tiang depan pintu bis yang menjadi tempat gantungan alat elektronik pembaca kartu pembayaran ongkos bis. Karena berjejalan, maka saya tidak sempat menempel kartu saya ke alat tersebut. Seorang petugas perempuan berseragam biru gelap duduk di bangku sebelah kanan bis. Petugas perempuan ini mengawasi para penumpang sekalian menerima pembayaran uang kas serta kadang meneriakan sesuatu dalam bahasa Cina ke sopir atau ke para penumpang dalam bis atau yang akan naik di halte saat bis berhenti. Alat elektronik pembaca kartu pembayaran bis tersedia di 2 tempat, yakni di depan dekat petugas dan di belakang karena bis memiliki 2 pintu di depan dan belakang. Para penumpang bisa naik dan turun melalui 2 pintu tersebut. Kartu pembayaran ditempel ke alat pembaca elektroniknya 2 kali, yakni pada saat naik dan turun. Pada saat turun, kartu tersebut memberi isyarat ke sopir atau petugas penjaga dalam bis untuk memberitahu sopir berhenti dan membuka pintu bis di halte jika ada penumpang yang akan turun. 

PKL di jalan ke gerbang Timur Fragrant Hills
Pagar stainless setinggi dada saya memisahkan area tempat petugas perempuan tersebut duduk atau sesekali berdiri dengan lorong tempat para penumpang, termasuk saya yang sedang berdiri di lorong tersebut. Di depan petugas tersebut terdapat meja kecil berukuran lebar 10-15 cm dengan panjang sekitar 1 meter tempat petugas meletakan karcis bis dan juga uang pembayaran para penumpang yang tidak menggunakan kartu elektronik sebagai alat pembayaran. "Fragrant Hills?, tanya saya ke petugas tersebut sambil  memberikan kartu saya ke petugas perempuan tsb untuk ditempelkan ke alat pembaca kartu karena posisi saya telah bergeser makin ke depan dekat sopir diakibatkan oleh masuknya para penumpang baru. Petugas tersebut hanya mengangguk sambil menerima kartu saya. Setelah menempelkan kartu ke alat elektronik yang berada sebelah kirinya, kartu dikembalikan ke saya. Karena bis makin penuh sesak - seperti naik comuter line di pagi atau sore hari jam kerja di Jakarta, maka di beberapa halte saat bis berhenti, petugas perempuan tersebut meneriakkan sesuatu dalam bahasa Cina yang membuat beberapa penumpang di halte yang akan naik membatalkan rencananya. Mungkin petugas tersebut memberitahu para calon penumpang di halte bahwa bis terlalu penuh atau meminta mereka menunggu bis berikut, duga saya.

Akses ke gerbang Timur Fragrant Hills
Setelah berhenti dan melewati belasan halte, bis berhenti di halte terakhir dimana semua penumpang berhamburan keluar saat petugas perempuan tersebut mengumumkan sesuatu dalam bahasa Cina. Saya ikut turun lalu berjalan mengikuti puluhan orang yang berjalan ke satu arah - yang saya perkirakan menuju Fragrant Hills. Tempat bis menunrukan semua penumpang hanya berjarak sekitar 10 meter dari suatu pertigaan jalan. Setelah tiba di pertigaan tersebut, saya berdiri beberapa menit  memperhatikan bis-bis dan mobil-mobil serta ratusan orang yang lalu lalang di kiri, kanan, muka dan belakang. Setelah menurukan semua penumpang, bis yang saya tumpangi kembali melaju ke pertigaan lalu belok kiri karena jalan yang akan dilalui adalah jalan 1 arah. Saya menyeberang lalu belok kanan mengikuti ratusan orang yang berjalan ke arah kanan alias berlawanan arah dengan jalan yang sedang dilalui bis atau kendaraan lain yang mengarah ke kiri. Dari pertigaan tersebut, saya berjalan  sekitar 25 meter hingga 
PKL di jalan ke gerbang Timur Fragrant Hills
tiba di pertigaan lain yang juga merupakan jalan satu arah. Di pertigaan ini saya belok kiri menyusuri pedestarian / trotoar yang cukup lebar. Trotoar ini menjadi pembatas satu taman di sebelah kiri yang dibuat memanjang sepanjang trotoar yang saya susuri dengan jalan bagi mobil di sebelah kanan saya. Sekitar 30an meter dari pertigaan, saya dan puluhan pejalan kaki berhenti menonton pertunjukan kungfu di pinggir jalan dekat taman. Seorang lelaki tua berjanggut panjang putih (seperti di film-film kungfu Cina) yang sepertinya menggunakan tenaga dalam melipat-lipat tubuhnya ke bentuk-bentuk berbeda. Para penonton bertepuk tangan lalu memberikan donasi berupa uang logam ataupun uang kertas. Saya melanjutkan perjalanan lalu mampir di toilet umum yang terletak di pinggir trotoar yang sedang saya susuri dalam jarak 20an meter dari pertunjukan kungfu tersebut. Bangunan toilet terbagi ke 2 bagian berbeda. Di bagian depan terdapat 2 ruang dimana salah satunya mempunyai pintu tertutup berwarna coklat sedangkan ruang depannya dibiarkan terbuka. Di belakang ruang terbuka ini terdapat ruang toilet bagi perempuan di sebelah kiri dan laki-laki di sebalah kanan. Pintu ke ruang toilet bagi laki-laki digantungi kain pintu berwarna hijau dengan tulisan Cina. Saat saya melangkah masuk ke bagian toilet, bau pesing menyengat hidung sangat terasa. Banyak tisu bertebaran di lantai menambah kesan joroknya toilet tersebut.

Keluar dari toilet, saya belok kiri melanjutkan perjalanan saya menyusuri trotoar hingga tiba di satu pertigaan lain yang terletak di sebelah kanan saya dan berjarak sekitar 100an meter dari tempat bis menurunkan penumpangnya. Saya memilih berjalan terus hingga tiba di pertigaan kedua yang yang berjarak sama, yakni sekitar 100 meter dari pertigaan sebelumnya. Karena trotoar dan jalan yang saya susuri mentok di pertigaan ini, maka saya belok kanan mengikuti arus manusia yang berjalan  di bagian kanan jalan tersebut. Jalan yang sedang saya susuri ini tidak memiliki trotoar sehingga saya harus hati-hati karena banyak kendaraan berupa bis dan mobil yang juga lalu-lalang di jalan 2 arah tersebut. Saya terus berjalan melewati para penjual souvenir dan makanan kecil yang terkonsentrasi di depan satu pool bis. Saya mampir beberapa menit di tempat seorang laki-laki penjual jagung rebus. Saya  membeli 2 tongkol jagung muda rebus panas seharga 5 yuan. Setelah menerima jagung rebus yang diambil dari dalam panci berisi air mendidih dan uap panas tebal yang mengepul-ngepul, kedua tongkol jagung yang telah saya beli tersebut dimasukan ke kantong plastik transparan. Saya ingin membeli jagung kuning, namun pembeli di depan saya yang mendapatkan jagung tersebut. Saat giliran saya tiba, jagung kuning telah habis sehingga saya hanya mendapatkan jenis berwarna putih. "Tak apa, yang penting bisa mengganjal perut yang mulai lapar", pikir saya sambil melanjutkan langkah kaki di jalan yang terus mendaki.

Denah kompleks Fragrant Hills
Jalan tersebut berakhir di anak-anak tangga bagian luar suatu kompleks - yang kemudian saya ketahui sebagai gerbang Timur Fragrant Hills. Gerbang keluar dan masuk masih berjarak sekitar 100 meter dari anak-anak tangga yang telah saya lewati. Di sebelah kanan saya dalam jarak 5 meter dari tangga terakhir yang saya lewati berdiri satu tugu batu bertulisan aksara Cina. Tugu batu ini dikerubuti para pengunjung yang sibuk berfoto ria. Setelah mengamat-amati lingkungan sekitar dan juga para pengunjung yang berfoto di tugu batu tersebut, saya jalan lagi hingga tiba di suatu pelataran yang cukup luas berukuran sekitar 50x150 meter. Pelataran ini berbentuk huruf U terbalik menghadap ke posisi saya yang sedang berdiri menghadap gerbang. Di bagian kanan saya berjejer bangunan kios yang membentuk huruf L dalam posisi horisontal. Jejeran kios ini berada dalam satu garis lurus dengan satu pohon besar berdaun kuning yang dikenal dengan nama smoke trees. Di belakang jejeran kios dan pohon tersebut dalam jarak sekitar 15 meter terdapat bangunan lain berbentuk huruf I dalam posisi horizontal. Di depan saya berdiri megah gerbang masuk dan keluar berwarna merah tua dengan seluruh asesoris / pernik-pernik bernuansa Cina. Di sisi kiri saya dalam jarak sekitar 25 meter dari gerbang terdapat bangunan lain berbentuk memanjang atau huruf I dalam posisi horisontal seperti bangunan tempat toilet. Salah satu bagian bangunan di sebelah kanan atau sebelah kiri saya saat saya berdiri menghadap ke bangunan tersebut difungsikan sebagai loket penjualan tiket masuk ke Fragrant Hills. Di depan gerbang berjarak sekitar 15 meter dalam satu garis lurus terdapat bukit bunga buatan yang dipenuhi bunga berbagai warna.

Tiket masuk ke Fragrant Hills
Setelah mengamat-amati lingkungan sekitar, saya berjalan menuju loket tiket yang sedang dikerumuni beberapa pengunjung. "how much" tanya saya. "fifteen", jawab petugas perempuan yang menjaga loket. Saya menyerahkan uang 100yuan lalu mendapatkan kembalian 85yuan bersama selembar tiket berukuran 5x20cm. Saya lalu balik dan melipir ke kanan saat melihat jejeran bangku taman di lokasi tersebut. Saya duduk di salah satu bangku sambil menikmati jagung rebus yang saya beli di pinggir jalan menuju ke tempat ini. Setelah selesai menikmati jagung rebus sambil mengamat-amati ratusan pengunjung yang hilir mudik di tempat tersebut, terutama yang asyik berfoto di taman bukit bunga depan gerbang, saya bangun dan melangkah menuju gerbang. Sebelum masuk, saya sempatkan berfoto di depan gerbang terlebih dahulu mumpung agak sepi. Selesai foto, saya berjalan menuju pintu masuk yang dijaga seorang petugas laki-laki dan seorang petugas perempuan. Saya menyerahkan tiket ke petugas perempuan yang menyobek salah satu sisi tiket lalu menyerahkan kembali ke saya dan mempersilahkan saya masuk.

Geunjeongjeon Hall dan jembatan di atas danau buatan

Bangunan yang difungsikan sebagai gerbang merupakan bagian dari 5 bangunan dalam kompleks tempat tinggal keluarga kerajaan / imperial residence pada era dinasti Qing. Di belakang bangunan ini terdapat 2 bangunan lain yang lebih kecil berada di sisi kiri dan kanan bangunan gerbang. Setelah itu dalam jarak sekitar 50an meter dari gerbang dalam satu garis lurus terdapat bangunan lain yang disebut Geunjeongjeon Hall. Bangunan Geunjeongjeon Hall inilah yang menjadi ikon Taman Fragrant Hills di informasi-informasi online yang saya temukan di internet. Karena itu, setelah melewati gerbang pemeriksaan tiket, saya langsung berhadapan dengan bangunan Geunjeongjeon Hall berwarna merah tua.
Geunjeongjeon Hall dan 1 dari 2 smoke trees

Bangunan ini dalam sejarah dinasti Qing digunakan sebagai tempat kerja dan pertemuan kaisar-kaisar dinasti Qing dengan para menteri mereka. "Geunjeongjeon hall dibangun tahun 1745, yakni tahun kesepuluh pemerintahan kaisar Qianlong. Bangunan asli telah dibakar habis oleh tentara gabungan Perancis dan Inggris pada tahun 1860, yakni tahun kesepuluh masa pemerintahan kaisar Xiangfen. Restorasi bangunan dan taman sekitarnya dilakukan tahun 2002-2003" (www.ebejing.gov.cn). Warna bangunan didominasi merah tua dengan garis-garis kuning emas pada pintu dan jendelanya. Bagian plang di langit-langitnya dihiasi beberapa warna lain yang didominasi warna  biru muda. Di sisi kiri dan kanan bangunan terdapat 2 pohon yang disebut smoke trees dalam bahasa Inggris. Daun-daun kedua pohon ini telah berubah warna menjadi kuning dan kemerahan.

Smoke tree
Kedua pohon smoke bersama Geunjeongjeon hall  menjadi obyek foto menarik bagi ratusan pengunjung yang berseliweran di tempat tersebut. Dalam jarak sekitar 7 meter dari bangunan setelah kedua pohon tersebut terdapat satu kolam berair jernih dan bersih.  Satu jembatan berbentuk busur terbalik selebar 2 meteran melintas di atas kolam sebagai penghubung  jalan dari gerbang masuk ke halaman depan Geunjeongjeon hall  dalam satu garis lurus. Jembatan ini menjadi tempat strategis para pemburu foto yang ingin mengabadikan diri mereka dengan latar belakang smoke trees dan Geunjeongjeon hall . Saya ikut-ikutan mengambil tempat di jembatan dan beberapa foto di lokasi ini lalu berjalan menuju Geunjeongjeon hall. Jarak Geunjeongjeon hall dari jembatan sekitar 5 meter. Geunjeongjeon hall dibangun di atas tanah yang ditinggikan sejajar dengan tinggi jembatan. Untuk Mencapai pintu Geunjeongjeon hall, para pengunjung perlu melewati 6 anak tangga yang terbuat dari semen.  Setelah melewati tangga, para pengunjung hanya bisa melihat-lihat ke dalam Geunjeongjeon hall  dari 3 pintu yang dibuka namun dihalangi pagar besi setinggi dada orang dewasa alias pengunjung tidak diperkenankan masuk ke dalam Geunjeongjeon hall. Saat berdiri di pintu utama menghadap ke gerbang, keduanya gerbang dan pintu utama Geunjeongjeon hall berada dalam satu garis lurus. Selain akses melalui jembatan, pengunjung bisa berjalan memutari kolam ke kiri atau ke kanan menuju Geunjeongjeon hall. Di sebelah kanan saya terdapat bangunan lain berjarak 20an meter yang juga didominasi warna merah tua. Demikian juga di sebelah kiri saya. Bangunan yang disebelah kiri merupakan toko souvenir yang menjual berbagai cendera mata dengan harga lumayan mahal sehingga saya hanya masuk dan melihat-lihat alias window shopping :) saat kembali dari dalam Taman Fragrant Hill. Sedangkan bangunan yang di sebelah kiri tidak saya ketahui fungsinya karena tidak dibuka untuk umum.

Geunjeongjeon Hall, smoke trees dan toko souvenir
Puas melihat-lihat dan foto-foto di kompleks imperial residence, saya berjalan mengikuti para pengunjung lain ke arah kanan jika dilihat dari gerbang masuk atau sebelah kiri bangunan utama jika berdiri menghadap gerbang. Jalan ini berada dalam 1 garis lurus dengan kedua smoke trees berdaun indah di halaman depan Geunjeongjeon hall. Tepat di samping kanan Geunjeongjeon hall dalam jarak sekitar 1 meter berdiri tebing batu yang seperti pagar alam bagi bangunan Geunjeongjeon hall. Tebing ini membentuk pagar setengah lingkaran dari samping kanan Geunjeongjeon hall  ke bagian belakangnya. Tebing berada dalam satu garis lurus dengan toko souvenir di sebelah kanan depan Geunjeongjeon hall

Geunjeongjeon Hall, smoke trees
Di antara tebing dan toko souvenir terdapat tangga semen menuju jalan di atas tebing yang merupakan satu-satunya jalan ke bagian lain dalam Taman Fragrant Hill. Saya mendaki anak-anak tangga menuju jalan selebar 3-4 meter yang terletak di ketinggian dalam satu garis lurus dengan dinding toko souvenir di sebelah kiri saya dan tebing di sebelah kanan. Keduanya, terbing dan toko souvenir mengapit tangga tersebut. Jalan yang dibuat dari susunan lempengan-lempengan batu warna abu-abu gelap tersebut mengingatkan saya akan jalan bagi para pejalan kaki dalam kompleks tempat tinggal saya di Kalibata City. Jalan ini membawa saya dan para pengunjung lainnya ke dalam kompleks Taman Fragrant Hill. Saya tiba di suatu perempatan berjarak sekitar 75 meter dari kompleks imperial residence. Di sebelah kiri saya terpasang papan informasi setinggi pinggang orang dewasa. Papan berwarna coklat dengan tulisan putih tersebut bertuliskan aksara Cina dan Latin (bahasa Inggris) beserta tanda panah penunjuk arah memberikan kemudahan bagi pengunjung mengetahui arah dan lokasi berbagai tempat dalam Taman tersebut, antara lain seperti danau, kuil dan paviliun. 

Papan informasi dalam Taman Fragrant Hill
Kompleks imperial residence di Fragrant Hill berada dalam Taman Fragrant Hill / Fragrant Hills Park. "Taman ini berjarak 28 km dari Kota Beijing ke arah bagian Baratlaut Beijing. Luas Taman adalah 162ha dengan puncak tertinggi 558m dari permukaan laut di lokasi bernama Xianglu Peak (Incense Burner Peak). Taman ini dibangun mulai tahun 1186 pada era dinasti Jin (1115-1234) yang kemudian diperluas pada zaman dinasti Yuan dan Ming" (website travel china guide). Selain Kuil, para pengunjung juga bisa menikmati perubahan warna daun-daun pohon maple dan pohon smoke dari hijau ke kuning dan merah di musim gugur. Sayangnya setelah berjalan hampir 3 km dalam Taman, saya hanya menemukan beberapa pohon yang daunnya telah berubah kuning atau merah. Itupun dalam jarak yang berjauhan sehingga tidak menarik dijadikan obyek foto. Jalan masuk ke Taman ini ada 2, yakni dari bagian Utara atau Selatan. Saya masuk melalui gerbang Timur / East gate di bagian Selatan.

Informasi tentang Danau Jingcui
Setelah sekitar 500 meter menyusuri jalan yang terus mendaki, saya tiba di lokasi danau / lake bernama Tranquility Green (Jingcui Lake). Danau ini berjarak sekitar 50an meter dari pinggir jalan di punggung bukit pada ketinggian sekitar 30an meter. Karena danau berada di lembah, maka saya dan puluhan pengunjung berjalan turun ke danau untuk menikmati ketenangan air dan suasana sekitarnya. Danau dikeliling semak belukar dan pohon-pohon besar yang menjadi tempat berteduh ratusan burung-burung kecil yang terbang berputar-putar di danau pada waktu tertentu lalu balik bertengger lagi di pohon-pohon sekitar danau. Setengah danau dipenuhi bunga teratai yang layu dan mati sehingga tidak menarik dijadikan obyek foto. Dalam jarak ratusan meter di sebelah kiri tempat saya berdiri menghadap danau melintas satu jembatan kecil di atas danau yang menghubungkan kedua sisi danau yang dipagari dinding-dinding bukit. Saya menikmati keindahan dan ketenangan danau yang sesekali diselingi atraksi terbang ratusan burung di atas danau selama 30an menit. Setelah itu saya kembali mendaki ke jalan dan meneruskan perjalanan saya bersama ratusan pengunjung yang terus mengalir dan mengisi jalan-jalan dalam Taman itu walau hari semakin sore. Udara dingin terasa makin menggigit kulit sehingga saya merapatkan jaket, menutup kepala dan memperat syal serta memakai sarung tangan yang selalu saya bawa di kantong jaket panjang saya.

Danau Jingcui 
Setelah menempuh jarak sekitar 4 km mengikuti jalan naik dan turun dalam Taman Fragrant Hills dimana saya tidak menemukan lokasi kumpulan pohon-pohon maple yang daun-daunnya telah berubah warna menjadi merah untuk obyek foto saya sebagaimana yang saya lihat di internet, saya memutuskan pulang ke hotel. Saya tidak tahu apakah tanggal kedatangan saya tepat atau tidak untuk menemukan perubahan warna daun-daun tersebut. Namun dingin semakin menusuk dan hari semakin sore sehingga lebih baik saya pulang daripada tersesat seperti di Jepang karena pulang malam ke hotel :). Saya menyusuri jalan yang telah saya lalui kembali ke kompleks imperial residence.Saya singgah beberapa
Dalam Taman Fragrant Hills
menit di toko souvenir, namun karena harga barangnya mahal-mahal, saya hanya  melihat-lihat lalu keluar dan foto-foto lagi di depan danau buatan depan Geujeongjeon hall kemudian keluar dari pintu sebelah kanan di gerbang yang sama yang telah saya lalui saat masuk ke Taman. Tiba di luar gerbang, saya celingukan mencari toilet. Saya menuju papan informasi berwarna coklat setinggi 2 meter bertulisan putih di sebelah kanan gerbang berjarak 25an meter dari loket penjualan tiket. Toilet terletak di bangunan yang berseberangan dengan bangunan loket penjualan tiket alias berada di sebelah kiri gerbang dalam jarak 70an meter. Saya berjalan ke bangunan toilet yang melewati satu pohon besar di kiri dan jejeran kios para penjual teh di kanan dalam jarak 20an meter. Saat saya masuk ke toilet laki-laki, bau pesing menguar menerpa hidung. Toiletnya cukup luas dan besar, sayangnya dalam kondisi jorok sama seperti toilet pertama di pinggir jalan yang saya gunakan saat berjalan ke Fragrant Hills. Selain bau pesing, banyak tisu bertebaran di lantai. Saya cepat-cepat menyelesaikan kencing saya, cuci tangan di wastafel lalu ngacir keluar untuk mendapatkan udara segar. Toilet laki-laki dan perempuan bersebelahan dalam bangunan berbentuk huruf I horizontal tersebut.

PKL di jalan masuk dan keluar sebelum gerbang Fragrant Hills
Saya berjalan pulang sambil melihat-lihat jejeran kios para penjual teh. Beberapa kios dikerubuti para pembeli yang duduk minum sambil ngobrol santai dan tertawa-tawa. Saat tiba di lokasi tugu batu dan anak-anak tangga keluar kompleks tersebut, saya berhadapan dengan 2 jalan masuk dan keluar. Saya memilih jalan kiri karena jalan di bagian kanan telah saya susuri saat menuju kompleks Fragrant Hills. Jalan sebelah kiri yang saya susuri dipenuhi jejeran kios souvenir, restoran dan kios para PKL yang menjual berbagai makanan kecil, termasuk sate gurita dan sate daging babi. Saya berjalan sambil melihat-lihat dan mengambil foto. Di satu kios makanan kecil saya berhenti karena ingin mencoba sate gurita. Menggunakan bahasa isyarat tangan, saya menunjuk 1 sate gurita mentah dan menanyakan harganya. Penjual mengangkat 5 jarinya alias harganya 5 yuan atau 10ribu rupiah. "hmm, cukup mahal", hitung saya dalam hati. Namun karena saya penasaran akan rasanya, saya 
Makanan ringan dari gurita :) 
mengambil 1 tusuk sate mentah dan memberikannya ke penjual. Penjual membakar sate tersebut di tempat pembakaran yang terbuat dari besi berbentuk kotak persegi panjang sebesar 25x50cm. Kotak tersebut dipanasin bagian bawahnya menggunakan nyala api dari kompor. Sate di letakan di dalam kotak oleh penjual lalu ditekan-tekan menggunakan satu alat lain berbentuk seperti strika pakian yang juga terbuat dari besi. Setelah dibolak-balik sekitar 5 menit, penjual membubuhkan sejenis bubuk ke sate tersebut lalu menyerahkannya ke saya. Sambil berjalan saya mencoba 2 potong sate tersebut yang terasa sangat asin dan masih setengah mentah. Saya hanya makan setengah lidi sate, sisanya saya buang ke tempat sampah di jalan yang sedang saya lewati. Tiba di ujung jalan pada pertigaan yang saya telah lewati saat menuju Frgrant Hills sebelumnya, saya melihat penjual bakpau sedang mengukus bakpau di pinggir jalan sebelah kiri saya. Harum bakpau dan uap putih yang mengepul-ngepul menarik saya mendekati tempat tersebut. Saya membeli 4 bakpau yang masih mengepulkan uap panas seharga 5yuan. Satu  bakpau sebesar kepalan tangan saya terasa sangat nikmat saat potongan pertama masuk mulut. Bakpau yang saya nikmati sekaligus menghilangkan rasa asing di mulut saya karena mencicipi sate gurita setengah matang sebelumnya.

Bakpau di pinggir jalan 
Tiba di pertigaan yang berjarak 5 meter dari penjual bakpau, saya belok kiri menyusuri trotoar hingga tiba di satu pertigaan lagi yang berjarak sekitar 25 meter dari pertigaan tempat penjual bakpau. Saya menyeberang ke kanan lalu berjalan menyusuri pedestarian jalan sebelah kanan tersebut. Saya terus berjalan mencari halte bis 318 yang akan saya gunakan kembali ke stasiun Beigongmen. Puluhan orang berjalan ke arah yang sama dengan saya. Setelah berjalan sekitar 700 meter dari pertigaan, saya melihat terminal bis. Terminal berada dalam suatu kompleks tertutup yang dikeliling berbagai bangunan. Gerbang masuk dan keluarnya diberi pagar yang dijaga petugas laki-laki berseragam abu-abu. Saya terus berjalan hingga tiba di gerbang keluar bis dari dalam terminal. Tepat di sebelah kanan gerbang ini terdapat antrian manusia yang mengular hingga ke tepi jalan. Saat sedang antri, puluhan orang yang baru tiba berhamburan ke dalam terminal melalui gerbang yang pintunya dibuka karena ada bis yang akan keluar. Puluhan orang tersebut diteriaki petugas yang mengusir mereka keluar dari terminal dan sepertinya diminta antri. Sambil berjalan keluar, puluhan laki-laki dan perempuan tersebut balas meneriaki petugas menggunakan bahasa mereka.

Dalam Taman Fragrant Hills
Tempat antrian yang berada persis di sisi luar gerbang terminal tidak terlalu luas sehingga para pengantri berdesak-desakan di lokasi tersebut. Tempat antrian ini bersebelahan dengan jalan satu arah yang dijejali minivan. Para calo minivan berteriak-teriak sepertinya mengajak sekaligus menawari para pengantri maupun orang yang lalu lalang untuk naik minivan. Karena saya tidak mengerti bahasa dan arah, saya tenang-tenang saja terus mengantri. Setelah antrian agak longgar dan bergerak maju karena para calon penumpang di bagian depan telah masuk ke bis, saya sadar kalo antrian saya berada di atas trotoar yang memisahkan jalan minivan dan terminal bis. Sekitar 20an menit, saya tiba di halte yang berada di ketinggian sekitar 1 meter dari trotoar. Saya bersama calon penumpang menaiki tangga menuju halte lalu berdesak-desakan dalam halte yang diberi pagar-pagar besi berwarna putih setinggi dada saya. Pagar-pagar besi ini membentuk lorong-lorong menuju pintu-pintu halte yang terhubung ke bis-bis nomor berbeda. Nomor masing-masing bis berwarna putih telah ditulis pada papan berwarna hijau yang digantung di atas halte menghadap ke antrian para calon penumpang sehingga para calon penumpang masuk ke lorong yang pintunya menuju bis dengan nomor yang sama - seperti lorong-lorong di halte-halte transjakarta / busway. Bedanya pada halte-halte busway di Jakarta yang digunakan adalah nama tempat bukan nomor.

Depan toko souvenir
Saat saya sedang sesak-sesakan bersama calon penumpang lain dalam lorong berpagar besi di halte, seorang penumpang beradu argumen dengan petugas penjaga pintu halte. Sepertinya calon penumpang tersebut tidak puas dengan tindakan petugas yang mengizinkan beberapa calon penumpang di depan dia masuk ke bis. Saat tiba gilirannya, petugas menutup pintu halte sehingga calon penumpang tersebut tidak bisa keluar menuju bis. Keributan 2 orang tersebut menjadi bertambah ramai saat calon penumpang lain ikut-ikut nimbrung sepertinya membela calon penumpang yang pertama ribut. Di sisi lain, teman-teman petugas terminal juga ikut nimbrung sehingga terjadilah keributan dengan nada suara tinggi antara kedua belah pihak saling sambar satu sama lain. Keributan tersebut berhenti dengan sendirinya saat bis 318 yang kami tunggu tiba dan berhenti dekat pintu halte. Saat pintu halte setinggi dada orang dewasa tersebut dibuka, para calon penumpang berhamburan ke bis yang dalam kondisi kosong. Saat saya tiba di dalam bis, semua kursi telah terisi penuh sehingga saya hanya  bisa berdiri di lorong dalam bis. Bis semakin penuh sesak karena di setiap halte tempat bis menurunkan penumpang selalu ada penumpang baru yang masuk dalam jumlah lebih banyak dari penumpang yang turun. Pintu bagian belakang bis sepertinya rusak, sehingga para penumpang yang akan turun diminta turun dari pintu depan oleh petugas di atas bis. Karena saya berdiri di bagian belakang, maka secara perlahan saya mencoba bergeser ke depan mendekati pintu untuk turun. Di tengah lorong, seorang laki-laki marah-marah atau mungkin hanya mengomel dalam nada tinggi karena saya dorong ke samping. Saya mencari jalan ke depan diantara penumpang yang berdiri rapat dan berdesak-desakan agar saya bisa mendekati pintu keluar. Saya hanya bisa membalas omelan laki-laki tersebut menggunakan bahasa isyarat mencoba menjelaskan bahwa pintu belakang rusak sehingga saya harus turun dari pintu depan. Lelaki tersebut terus mengomel, namun akhirnya saya berhasil lewat mendekati pintu bis di bagian depan.

Stasiun transit subway/metro
Saat bis mendekati halte tempat saya menunggu pertama kali yang ternyata salah sehingga saya pindah ke halte seberang, saya menempelkan kartu ke alat pembaca kartu di dekat pintu bagian depan bis. Namun bis melaju melewati halte tersebut dan berhenti di halte berikut yang berjarak sekitar 250an meter dari halte tersebut. Saya dan sebagian besar penumpang turun di halte tersebut. "Huh, jika tahu seperti itu, saya tidak perlu dorong-dorongan pindah dari bagian belakang ke depan bis", pikir saya sambil menyusuri pedestarian yang cukup luas menuju tempat penyeberangan berjarak sekitar 100 meter dari halte. Di tempat penyeberangan ini saya menyeberang bersama beberapa pejalan kaki lain. Sampai di seberang, saya hanya perlu menyurusi pedestarian sekitar 50an meter menuju gerbang stasiun subway/metro dimana saya akan menumpang metro ke stasiun Dongsi untuk kembali ke Hotel Beijing 161 Wangfujing.


JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...