Rabu, 22 April 2009

PERLAWANAN KONTU : Perlawanan Perempuan Perempuan Tak Bernama

Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali melalui GOOGLE - yang lalu saya publikasikan kembali di blog ini.
****************************************

Kontu artinya BATU dalam bahasa Indonesia (Swami, 2004). Kata Kontu mulai familiar dengan saya sekitar 3 tahun silam saat saya bertemu La Ode Ota (Eksekutif Daerah Walhi Sultra) yang sedang melanglang buana di rimba beton Jakarta guna menggalang dukungan dari sejumlah kalangan bagi perjuangan orang-orang Watuputih. Dengan tutur katanya yang lembut dan wajah tenang sambil terus mengendalikan rasa haru, marah, kesal dan tekad perlawanannya, La Ode Ota menuturkan tragedi Kontu secara detail. Tragedi yang melengkapi rangkaian cerita tragis berbagai komunitas di Sulawesi Tenggara saat mereka harus berusaha mempertahankan dan/atau mereklaim hak-hak tenurial mereka yang telah dan/atau akan diambil sepihak oleh negara untuk kepentingan yang disebut pembangunan. Upaya mereka harus selalu berhadapan dengan aparat negara yang tak segan menggunakan cara-cara kekerasan untuk menegakkan otoritas negara di teritorial komunitas, seperti yang terjadi di Kontu, Ladongi, Hukaea Laea, Tomia, Mantigola dan lainnya. Kontu mulai mengisi hari-hari kerja saya seiring intensitas komunikasi antara saya – Ota dan Khadafi yang adalah salah satu staf Yayasan SWAMI yang berkedudukan di Raha ibukota Kabupaten Muna

Kontu telah menjadi simbol perlawanan 4 komunitas masyarakat adat di kecamatan Watuputih, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ke-empat komunitas itu adalah Patu-patu, Lasukara, Kontu dan Wawesa yang secara administratif terbagi menjadi 3 wilayah administrasi pemerintahan, yakni Kelurahan Wali, Desa Labaha dan Desa Bangkali di Kecamatan Watuputih. Kehidupan tenteram empat komunitas itu mulai terusik pada tanggal 6 Januari 2003, saat Pemda Kabupaten Muna mengerahkan aparatnya melakukan pergusuran selama 3 hari, yakni dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 8 Januari, 2003 (Swami, 2004) berturut-turut terhadap warga empat komunitas yang telah turun temurun menguasai, memiliki dan mengelola wilayah itu sejak ratusan tahun silam, yakni sejak sebelum Belanda memasuki Pulau Muna.

Peristiwa tanggal 6 Januari 2003 telah mencabik-cabik ketenteraman dan kedamaian hidup empat komunitas tersebut diatas. Warga yang berani lalu mengorganisir diri yang didukung sepenuhnya oleh Yayasan Swami dan Walhi Sultra – yang mengakibatkan para aktivis kedua lembaga tersebut ikut terseret ke dalam pusaran konflik tak berkesudahan. Akibatnya, tidak hanya warga yang melakukan perlawanan yang mendapatkan kezaliman dan kesewenangan alat-alat negara, para aktivis kedua lembaga tersebut juga disewenangi dan dizalimi dengan berbagai cara. Warga yang tidak berani lalu mengambil langkah mengungsi dan/atau ngumpet di rumah-rumah keluarga maupun di hutan-hutan sekitar wilayah konflik. Pergusuran pada tanggal 6 – 8 Januari 2003 telah mencetuskan perlawanan terbuka warga 4 komunitas terhadap aparat pemerintah yang mewakili otoritas negara. Otoritas yang saya temukan pada diri kakek terkasih sebagai pemegang kuasa mutlak yang tak boleh dilawan kehendaknya. Otoritas Golda Meir dan Margaret Thatcher yang saya kagumi sekaligus selalu ingin saya lawan. Otoritas negara, otoritas yang tanpa batas, otoritas yang menjadi kesewenangan tak terperi saat digunakan untuk kepentingan-kepentingan sepihak negara sebagai penguasa. Otoritas yang telah menerobos dan memporak-porandakan kehidupan damai warga Papu-patu, Lasukara, Kontu dan Wawesa di Kabupaten Muna melalui alat-alatnya yang bagaikan robot-robot logam yang telah diprogram mengangguk-angguk menaati perintah negara walau harus memberangus saudara saudari sendiri.

Konflik terbuka antara warga empat komunitas dengan Pemda Kabupaten Muna tak terelakan dan terus berlanjut hingga tahun bersua tahun karena pada satu sisi warga berusaha mempertahankan teritori mereka yang menjadi identitas jatidiri mereka berhadapan dengan alat-alat negara melalui Pemerintah setempat yang memaksakan kehendak negara untuk menguasai sekitar 415 hektar lahan yang telah dialih-fungsikan secara sepihak oleh negara menjadi bagian dari kawasan hutan lindung melalui Kepmenhut No. 454 Tahun 1999 (Swami, 2004). Padahal, kawasan itu telah diwarisi warga empat komunitas tersebut turun temurun selama ratusan tahun sebagaimana sejarah yang dituturkan diberbagai dokumen dan pertemuan. Perlawanan warga tak berdaya terhadap kezaliman negara yang penuh kuasa berakibat pada penangkapan dan penjeblosan 4 warga ke tahanan oleh Polres Muna pada tanggal 27 Januari 2003 dengan tuduhan : MENDUDUKI TANAH NEGARA TANPA IZIN (Swami, 2004). Alasan yang sangat mengada-ada namun efektif menggusur warga 4 komunitas dari wilayah warisan leluhur. Setelah melewati masa krisis pertama bulan Januari 2003, warga terus memperkuat diri melalui Organisasi Rakyat Kontu yang mendapatkan dukungan berbagai Ornop setempat, regional dan nasional. Pergusuran warga disertai tindak kekerasan aparat terus bergulir hingga mengetuk pintu-pintu KOMNAS HAM memasuki ruang-ruang pertemuan di Jl. Latuharhari Jakarta. Komnas HAM akhirnya mengirim seorang wakil mereka untuk melakukan investigasi yang berujung pada rekomendasi penyelesaian konflik. Namun, walau tahun telah berganti hingga 2005, konflik di Kontu tidak pernah diurus apalagi diselesaikan tuntas. Rekomendasi penyelesaian konflik dari Komnas HAM dan juga desakan dari berbagai Ornop dan jaringannya yang mendukung upaya pertahanan diri 4 komunitas itu, hanyalah menjadi nyanyian sunyi pengantar tidur bagi aparat setempat. Berbagai desakan dan rekomendasi itu hanyalah tepukan satu tangan yang tak berpengaruh.

Warga empat komunitas itu tidak tinggal diam menghadapi situasi tersebut. Mereka terus giat melakukan lobby, negosiasi dan juga kampanye penggalangan dukungan berbagai pihak terhadap upaya mereka mempertahankan wilayah dan jatidirinya. Warga mengirim wakil-wakil mereka menghadiri berbagai pertemuan jaringan level regional hingga nasional, termasuk diantaranya berbagai pertemuan yang diadakan oleh mitra-mitra KEMALA di regio Sulawesi, seperti Temu Rakyat Sulawesi, pertemuan Pembentukan Institusi Pembelaan Rakyat (IPR) Sultra, Forum Forum Regio dan lainnya. Akhirnya, Organisasi Rakyat Kontu ditetapkan oleh Forum Regio III di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai salah satu Mitra KEMALA. Kehadiran wakil-wakil Kontu di berbagai pertemuan yang juga saya ikuti telah makin mendekatkan saya dengan Kontu. Walau demikian, saya tak pernah tahu apalagi menyadari bahwa perlawanan Kontu sebagian besar dilakukan oleh para perempuan.

Pada tanggal 28 Mei 2005, saya, Daniel Parande (Koordinator Perkumpulan Kemala Sulawesi / PKS) dan Edo Rahman (Yascita) menjejakan kaki kami di kota Raha, ibukota Kabupaten Muna. Saat itu saya “mampir” sejenak dalam perjalanan balik ke Kendari dari Baubau ibukota Kabupaten Buton. Kala kaki menjejak dermaga Kota Raha, sengatan surya pagi bersama hembusan bayu kering langsung menyapa kulit tubuh kami. Walau demikian, kami memilih menapak perlahan menuju jalan raya berjarak sekitar 100 meter dari pelabuhan daripada menggunakan jasa ojek yang langsung menghampiri kami untuk menawarkan jasa angkutan. Rasa lapar mulai berdendang di kedalaman perut yang mendorong mata kami celingukan mencari-cari warung makan di tepi jalan yang kami lalui. Akhirnya kami menemukan satu warung kecil di tepi jalan raya kota Raha. Setelah membuat perut tidak lagi bersyair, kami mulai mencari kantor Yayasan Swami melalui alamat yang dipegang Dani dan Edo. Untuk itu, jasa ojek yang berlimpah di kota tersebut lah yang kami gunakan dengan biaya seribu rupiah per orang, kami diantar ke tempat tujuan. Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di satu rumah kontrakan yang telah difungsikan sebagai kantor oleh Yayasan Swami. Setelah ngobrol ngarol ngidul dan diskusi sana-sini, kami akhirnya berangkat ke Balai Pertemuan Organisasi Rakyat Kontu yang berjarak sekitar 3 km dari kantor Swami ditemani Khadafi, Saiful dan Rasak dari Yayasan Swami untuk dipertemukan dengan warga Kontu di “rumah bersama” mereka. Ojek yang saya tumpangi meliuk-liuk dengan lincah menyusuri jalan setapak berkelok-kelok sambil menghindari bongkahan-bongkahan jati dan rerumputan liar yang menghiasi tepi-tepi jalan. Kiri dan Kanan setapak dipenuhi kebun-kebun berpagar milik warga yang sedang hijau oleh berbagai jenis tanaman, terutama singkong, pisang dan kacang-kacangan. Di selang seling tetamanan tersebut, tersembul dan tersebar pula ratusan hingga ribuan bongkahan jati. Melihat bongkahan-bongkahan jati yang tersebar itu, pikiran ku langsung mengembara memikirkan peluang kerja dan pendapatan yang akan diperoleh warga empat komunitas itu jika mereka punya ketrampilan dan keahlian mengubah bongkahan-bongkahan jati itu menjadi barang-barang fungsional maupun benda-benda seni sebagaimana yang sesekali saya lihat di rumah-rumah orang kaya kota dan juga di mal-mal yang bertebaran di berbagai kota besar Indonesia.

Kembara pikiran ku terputus tak lama berselang saat ojek yang saya tumpangi berhenti di halaman satu rumah panjang yang dikelilingi kebun-kebun warga serta serakan bongkahan jati. Rumah itu merupakan Balai Pertemuan Organisasi Rakyat Kontu. Rumah itu telah dipenuhi ratusan orang perempuan dan laki-laki tua, muda hingga anak-anak. Saat kaki ku menjejak tanah, berbagai tangan langsung terulur mengajak berjabat tangan. Satu demi satu saya salami sambil berjalan memasuki balai pertemuan beratap rumbia berlantai tanah itu. Tak henti salam selamat datang dan kata apa khabar berujar dari mulut-mulut perempuan dan laki-laki yang bersalaman dengan ku disertai senyuman ramah penuh ketulusan. “Kontu menanti damai”demikian kalimat yang tertangkap mata saya saat memandangi potongan-potongan kertas manila yang menempel di satu lembaran kertas plano yang menggantung di dinding balai pertemuan Organisasi Rakyat Kontu. Setelah acara seromial sambutan-sambutan yang dimoderatori oleh Abdul Haris, Ketua Organisasi Rakyat Kontu yang telah saya kenal diberbagai pertemuan, akhirnya kami sampai pada diskusi interaktif antar semua yang hadir. Saat diskusi berlangsung, diam-diam saya mengamati satu demi satu wajah-wajah begitu banyak perempuan yang berada dalam ruang pertemuan hingga yang berdiri di tetirisan balai pertemuan itu. Hati ku terus bertanya mengiringi pikiran yang berputar mencari jawaban atas kehadiran perempuan-perempuan itu. Puluhan diantaranya duduk berhadap-hadapan dengan saya dan rombongan. Suatu kondisi yang sangat kontras dengan pertemuan di komunitas-komunitas lain yang pernah saya hadiri. Perempuan-perempuan hanya mengurus konsumsi atau nguping diskusi dari balik-balik dinding atau dari belakang-belakang ruang pertemuan. Kondisi yang sangat berbeda dengan yang saya alami di balai pertemuan Organisasi Rakyat Kontu dan juga di rumah Wa Abe di Tomia.

Perempuan-perempuan ini sangat aktif bercerita, bertanya, menyimak dan mengajukan berbagai inputs tentang banyak hal. Akhirnya dengan rasa penasaran nan membuncah, saya menanyakan bagaimana sampai demikian banyak perempuan bisa mengikuti pertemuan hari ini. Dengan senyum simpul 4 orang perempuan dari puluhan perempuan yang duduk berjejer di depan saya bersama pak Abdul Haris silih berganti memulai cerita mereka tentang keterlibatan perempuan-perempuan Kontu dalam perlawanan Kontu yang tak berkesudahan. Berawal dari pengalaman traumatis yang dihadapi para lelaki Kontu saat berhadapan dengan aparat negara yang selalu menggunakan kekerasan. Melihat perlawanan suami-suami, saudara-saudara dan anak-anak lelaki mereka dihadapi dengan kekerasan dan aniaya, para istri, saudari dan ibu-ibu itu memutuskan mengambil alih sekaligus menjadi garda depan perlawanan Kontu. Saat aparat menghadang, perempuan-perempuan Kontu yang telah bersatu tekad itu maju tanpa takut menghadapi kezaliman, kesewenangan dan penindasan aparat negara. Saat aparat negara berlalu, para perempuan itu kembali ke keseharian mereka sebagai istri, perempuan muda, remaja putri dan juga ibu. Mereka kembali ke rutinitas mereka sebagai petani, pedagang dan juga petugas kesehatan. Saat menghadapi aparat, mereka melebur semua personalitas mereka menjadi satu kumpulan perempuan bertekad baja, bersemangat membara melakukan perlawanan demi mempertahankan lahan hidup dan kehidupan mereka yang telah diwarisi turun temurun. Saat aparat pergi, mereka kembali menjadi perempuan-perempuan “biasa” yang kembali tenggelam dalam gelutan pencarian nafkah dan mengurus rumah tangga bersama suami, ayah dan saudara-saudara mereka. Itulah yang membuat saya tidak pernah bertemu seorang pun dari mereka di berbagai pertemuan yang dihadiri wakil-wakil dari kawasan Kontu. Arena-arena damai di pertemuan-pertemuan jaringan diserahkan ke para lelaki Kontu. Fora-fora peperangan di kawasan Kontu adalah lahan keseharian mereka yang dipertahankan sedapat mungkin, bila perlu berkalang tanah bersimbah darah. Itulah yang membuat mereka tetap menjadi “Perempuan Perempuan Tak Bernama”.

Perempuan Perempuan Tak Bernama. Sampai pertemuan berakhir dan kami pulang bersama ke tempat masing-masing sambil berjalan bersisian menyusuri setapak yang melewati kebun-kebun mereka disertai obrolan dan canda satu sama lain, saya tak ingat satu pun nama mereka saking banyaknya jumlah mereka. Mereka begitu berbeda. Hanya wajah-wajah sederhana bersemangat membara yang akan terus saya kenal dan ingat. Pada wajah dan semangat perempuan-perempuan Kontu itu, saya menemukan kembali wajah dan semangat Aung San Suu Kyi yang saya kagumi, wajah dan semangat perlawanan diri saya terhadap otoritas kakek. Perempuan-perempuan Kontu merupakan suatu totalitas perlawanan dalam perbedaan perbedaan identitas bernama. Totalitas perlawanan yang identik dengan perlawanan Kontu. Mengenal dan mendukung perlawanan Kontu adalah mengenal dan mendukung perlawanan perempuan-perempuan itu. Perlawanan yang muncul dari penindasan tak bertepi. Penindasan yang telah menyatukan mereka dalam suatu totalitas bersama Kontu. Nama-nama mereka dilebur dalam satu identitas bernama perlawanan Kontu. Mereka tak peduli, orang luar tak mengenal mereka. Cukup bagi mereka jika perlawanan Kontu dikenal dan didukung menuju penyelesaian yang memihak dan mengakui jatidiri mereka di wilayah warisan itu. Dukungan menuju penyelesaian masalah Kontu akan menjadi obat mujarab terhadap penderitaan mereka sekaligus mengakhir hari-hari kelam mereka dalam perjuangan tak berujung selama tahun menyapa tahun dalam ketidak-pastian tak berakhir. Hari-hari panjang nan kelam yang harus juga terus dilalui Suu Kyi.

Perlawanan Kontu, Perlawanan Perempuan Perempuan Tak Bernama. Saat rengsekan aparat sedang menyepi untuk memulihkan diri dan mengkonsolidasi kekuatan penyerangan kembali, perempuan-perempuan tak bernama itu juga sedang mengkonsolidasikan diri dengan cara berbeda. Bersama para suami, saudara dan anak-anak, mereka memetakan teritori warisan leluhur dan membuat rencana pembangunan kawasan Kontu secara mandiri. Muncul-lah sejumlah rencana kegiatan, diantaranya pendirian mesjid, sekolah, pasar dan juga pemukiman yang dikoordinir oleh organisasi mereka, yakni Organisasi Rakyat Kontu, tentu saja dengan dukungan dan pendampingan tak henti dari Yayasan Swami yang telah bersama mereka mengarungi sejumlah gelombang pergolakan di kawasan panas itu. Saat saya dan teman-teman tiba di balai pertemuan itu, mereka baru menyelesaikan rencana tersebut satu hari lalu, karena itu mata ku masih bisa melihat lembaran-lembaran kertas beraneka warna bertuliskan berbagai rencana yang lahir dari beragam tangan, diantaranya dari tangan-tangan Perempuan Perempuan Tak Bernama itu. Satu diantaranya adalah “Kontu Menanti Damai”. Semoga!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...