Sabtu, 29 November 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian VIII - Bagan: Sulamani, North Guni, Dhammayangyi, Mingalasedi, Myan Kabar Gubyaukgyi.

Bersama Khwa Khwa (Coco) depan gerbang kuil Sulamani
Good morning sir!, how are you?, are you ready for the journey? sapa Khwa-Khwa (Coco) bertubi-tubi saat saya menemuinya di lobby hotel pagi ini untuk kunjungan lanjutan ke kuil dan pagoda lain di Bagan para hari kedua kunjungan saya ke wilayah tersebut. Sebagaimana pada catatan hari pertama, perjalanan keliling Bagan menggunakan Pedati, maka pada hari kedua saya menggunakan jasa taksi - yang ongkosnya lebih mahal, namun saya akan mendapatkan pengalaman berbeda. Setelah saling mengucapkan salam, saya dan Khwa Khwa duduk di lobby mendiskusikan tempat-tempat kunjungan hari ini serta rute dan waktu yang akan dihabiskan. Saya juga menginformasikan tempat-tempat yang telah dikunjungi pada hari kemarin. Kami lalu menyepakati akan mengunjungi 8 kuil dan pagoda pada hari ini, yakni Sulamani, North Guni, Dhammayangyi, Mingalar Zedi, Myin Kabar Gubyaukgyi, Manuha, Nanpaya, Lawkananda dan Bu Paya.

Kuil Sulamani
Sepertinya, saya merupakan pengunjung pertama yang tiba di kuil Sulamani pada pagi hari itu. Para pedagang souvenir yang berjualan di luar pagar kuil terlihat baru memulai hari dengan mengatur barang jualan mereka di kios-kios beratap daun yang berjejer di sisi kiri dan kanan sebelum gerbang masuk kuil. Jejeran kios tersebut membentuk semacam lapangan persegi empat panjang di tengah-tengahnya dimana mobil dan pedati para pengunjung diparkir. Kuil Sulamani dipagari bata merah dengan tinggi sekitar 1 meter yang memisahkan kuil dan halamannya dengan jejeran kios souvenir dan padang
Salah satu pose Budha di kuil Sulamani
sabana berwarna coklat atau kopi susu ditumbuhi pepohonan khas savana diselingi kuil-kuil besar dan kecil menyembul di sana sini menghiasi seluruh area sejauh mata memandang. Indah tiada tara. Khwa Khwa menemani saya berjalan memasuki pintu gerbang berbentuk huruf V terbalik dengan tebal sekitar 1 meter berjarak puluhan meter dari bangunan kuil. Mengambil foto dari pintu gerbang ini akan memposisikan kuil seperti berada dalam suatu pigura. Pintu utama kuil berada dalam satu garis lurus dengan pintu gerbang masuk-keluar mengindikasikan adanya pengaturan pintu-pintu tersebut dalam suatu garis pada masa kuil itu dibangun. Saya terus melangkah memasuki kuil ditemani Khwa Khwa yang menunjukan kepada saya posisi-posisi terbaik pengambilan foto sekaligus menceritakan sejarah kuil tersebut dan pemerliharaanya yang dilakukan pemerintah melalui suatu keluarga yang tinggal di sekitar kuil. Pemerintah memberikan biaya bulanan ke keluarga pemelihara kuil.

Lukisan dinding di dalam kuil Sulamani
Dari pintu masuk, saya berbelok ke kiri menyusuri lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan dan tulisan-tulisan ajaran Budha dalam huruf Burma. Beberapa  lukisan dinding dan tulisan telah mengelupas seiring lapuknya dinding dimana lukisan dan tulisan-tulisan tersebut berada. Beberapa patung kecil ditempatkan di dinding-dinding sepanjang lorong. Secara perlahan saya terus berjalan menyusuri lorong yang mengitari bagian dalam kuil. Di setiap sisi bagian dalam kuil terdapat 1 patung Budha dengan tinggi sekitar 1 meter dalam posisi berbeda dengan di sisi lainnya. Selesai mengamati dan mengagumi bagian dalam, saya keluar dan berputar ke arah kiri bangunan mengamati dan mengagumi sisi luar bangunan
Lukisan dinding di kuil Sulamani
kuil yang dikerjakan dengan ketelitian tinggi. Sudut-sudut kuil dihiasi ukiran yang menyatu kedua sisi berbeda seakan-akan diukir pada satu helai papan yang kemudian dilipat dua kiri dan kanan dalam ukuran sama. Luar biasa arsitek dan para pekerja yang membangun kuil ini, terutama ukiran-ukiran yang ditempatkan pada sudut-sudut bangunan. Wikipedia menulis Sulamani tarletak di Desa Minnanthu di Barat Daya Bagan, dibangun tahun 1183 oleh raja Narapati Sithu. Disainnya sama dengan Thatbinnyu yang telah saya kunjungi kemarin. Sulamani telah direnovasi setelah gempa 1975 menggunakan bata dan batu yang kemudian telah dibangun kembali pada tahun 1994. Walau demikian, lukisan-lukisan dinding sampai langit-langitnya terlihat sangat tua dan telah mengelupas di beberapa bagian.

Sebelah kiri pintu masuk kuil North Guni
Selesai berkeling, saya bersama Khwa Khwa kembali ke mobil. Saya sempatkan mengambil beberapa foto lagi sambil mengamati 2 rombongan pengunjung yang baru tiba menggunakan mobil. Beberapa perempuan terlihat memakai bedak tanaka dan kain longyi menandakan rombongan tersebut merupakan para pengunjung lokal yang entah hanya berkunjung atau akan bersembahyang di kuil tersebut. Saya dan Khwa Khwa memasuki mobil dan beranjak pergi. Kami menuju kuil North Guni yang letaknya tidak terlalu jauh dari Sulamani. Kuil ini lebih kecil dari Sulamani, namun lebih tinggi. Saat kami tiba, terlihat satu mobil lain menurunkan beberapa turis Jepang. Khwa Khwa mengingatkan saya untuk menanggalkan sandal di gerbang masuk. Halaman kuil ini juga dipagari pagar bata kurang lebih
Kuil South Guni dari North Guni
setinggi 1 meter. Saya dan Khwa Khwa melangkah masuk ke halaman kuil. Khwa Khwa meminta saya berpose di pintu masuk - yang sepertinya sudah sering digunakan para pengunjung untuk berfoto. Selesai foto, kami memasuki kuil berbelok ke kiri mengamati berbagai pose Budha dalam kuil tersebut. Di bagian belakang, Khwa Khwa menunjukan kepada saya tangga ke pelataran atas yang cukup lebar untuk jalan bersisian 2 orang, namun remang-remang karena hanya mengandalkan sinar matahari dari pintu di pelataran atas.

Kami melangkah perlahan ke atas sambil mengambil foto di tangga. Sangat luar biasa pemandangan yang saya dapatkan saat tiba di pelataran atas di pagi yang sejuk. Sulamani yang telah saya kunjungi nampak di kejauhan, demikian juga Dammayangyi. Di sebelah Selatan ada satu kuil lain berdampingan dengan kuil North Guni. Khwa Khwa menginformasikan nama kuil tersebut adalah South Guni. North Guni atau Myauk Guni dibangun oleh Ratu Pwasaw pada masa pemerintahan Raja Narathihapate atau Tayoko Pye Min. Ratu
View dari pelataran atas kuil North Guni
ini sangat berkuasa dalam sejarah Bagan. Dalam kuil ini dapat ditemukan satu prasasti yang menuliskan sumbangan atas kuil, tanah dan para budak dari sang ratu. Terdapat pula kutukan bagi orang-orang yang menghancurkan kuil tersebut. Setelah puas berkeliling, kami kembali ke bawah guna melanjutkan perjalanan ke kuil berikutnya.

Kuil Dammayangi hanya berjarak sekitar 5 menit menggunakan mobil dari kuil North Guni yang baru saja saya kunjungi. Kuil ini merupakan kuil terbesar di Bagan. Karena masih pagi, saat tiba belum banyak pengunjung sehingga saya memiliki kebebasan mengeksplorasi kuil ini. Namun, Khwa Khwa tidak menemani saya berkeliling ke dalam. Khwa Khwa hanya
Depan kuil Dammayangi 
menginformasikan ke saya bahwa kuil ini cukup seram karena memiliki cerita kelam. Kuil dipenuhi oleh kelelawar yang menjadikannya sebagai sarang mereka. Saat saya menapak di pelataran depan pintu masuk, 2 gadir penjual souvenir  menghampiri saya mengucapkan selamat datang sambil tersenyum ramah dan mengajak saya ngobrol. Saat saya melangkah masuk, salah satu perempuan ikut mengiringi langkah saya sambil menjelaskan sejarah kuil tersebut. Dari pintu masuk, saya melihat 2 patung Budha sedang bersila seperti menyambut umatnya maupun pengunjung. Setelah mengamat-amati beberapa saat, saya melangkah ke belakang patung menuju pintu yang terletak sekitar 1 meter dari
Kuil Dammayangi dari pelataran atas North Guni
patung. Saya belok ke kiri dan mulai menyusuri lorong yang remang. Perempuan penjual souvenir mengingatkan saya agar hati-hati karena lantai kuil licin oleh kotoran ribuan kelelawar. Rasanya sangat dingin saat kaki tanpa alas menapak di lorong-lorong kuil yang terlihat berkilau karena kotoran kelelawar yang telah terinjak-injak pengunjung lain selama bertahun-tahun sehingga seperti telah menyatu dengan lantai. Saya berjalan perlahan secara hati-hati terus menyusuri bagian dalam kuil yang remang-remang. Tidak banyak yang bisa dilihat, karena beberapa ruangan telah ditutupi dinding  bata  mencegah pengunjung memasuki ruang-ruang kuil itu. Tidak ada alasan mengapa ruang-ruang itu ditutup. Saat saya bertanya ke perempuan yang berjalan bersama saya, dia hanya mengatakan bahwa ruang-ruang itu berbahaya sehingga ditutup pemerintah.

2 pose Budha di ruang depan kuil Dammayangi 
Wikipedia menulis bahwa kuil Dammayangi dibangun oleh Raja Narathu (1167 - 1170) yang naik takhta setelah membunuh ayah dan saudara yang yang lebih tua. Sebagai upaya menghapus rasa bersalah dan dosanya membunuh, sang raja membangun kuil ini sekaligus meminta dibuatkan 2 patung Budha yang saat kunjungan saya terletak di tengah ruangan pas pintu masuk. Rencana pembangunan kuil ini sama dengan rencana pembangunan kuil Ananda yang telah saya kunjungi kemarin. Raja Narathu kemudian dibunuh oleh beberapa orang India sehingga pembangunan kuil ini tdak terselesaikan. Legenda lain menceritakan sang raja dibunuh oleh orang-orang Sri Lanka saat mereka menyerbu Bagan.

Ukiran di tiang kuil Sulamani
Perempuan penjual souvenir itu terus menemani langkah-langkah saya sampai kami tiba kembali di pintu masuk. Tanpa diminta, perempuan ini telah menceritakan sejarah kuil ini, termasuk 2 patung Budha yang saya amati lagi. Kemudian saya melangkah keluar mencerna cerita kelam kuil tersebut. Perempuan penjual itu menawarkan post cards yang dijualnya. Saya  menolak halus sambil tersenyum ramah. Namun dia terus berusaha dengan mengganti tawaran post cards ke novel-novel para penulis Myanmar yang ditulis dalam bahasa Inggris. Saya tetap menolak halus dan melangkah meninggalkan kuil tersebut. Perempuan penjual souvenir tersebut beralih ke satu rombongan turis asia yang baru memasuki halaman kuil.

Khwa Khwa menyambut saya dengan membukakan pintu mobil sambil tersenyum dan menanyakan pendapat saya tentang kuil Dammayangi. Saya hanya berkomentar pendek tentang lantai yang licin, bau kotoran kelelawar, kelembapan tinggi dan cahaya yang sangat sedikit. Dia hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya menceritakan kembali cerita kelam yang telah saya dengar dari perempuan penjaja souvenir di kuil. Sambil ngobrol di mobil, kami mengarah ke Pagoda Mingalasedi yang juga tidak terlalu jauh dari kuil Dammayangi. Saat tiba di depan pagoda, terlihat seorang lelaki muda sedang nangkring di pagar kuil depan gerbang. Lelaki ini mengucapkan selamat pagi dan menawarkan beberapa lukisan pasir (sand paintings) yang menjadi ciri khas para pelukis di Bagan. Saya hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menggeleng dan terus melangkah masuk ke halaman Pagoda.

Depan Pagoda Mingalarsedi
Mingalasedi atau disebut juga sebagai Mingalar Zedi  dibangun pada tahun 1284 pada masa pemerintahan raja Narathihapate. Lantainya menggunakan ubin terakota kaca menggambarkan Jataka (burung mitologi dalam cerita Ramayana). Berbeda dengan pagoda lain di Bagan dan Yangon, seluruh bangunan pagoda ini terbuat dari bata merah - sama dengan bahan bangunan beberapa kuil yang telah saya kunjungi kemarin dan pagi ini. Sekeliling pagoda juga diberi pagar bata dengan tinggi sekitar 1 meter. Dalam komplek pagoda, di sebelah kiri terdapat rumah doa terbuat dari bata dengan ukuran sekitar 5 kali 7 meter. Sebelum keluar gerbang pagoda, saya sempatkan mampir ke rumah ini untuk melihat-lihat. Semuanya tenang dan sejuk mungkin karena waktu masih sekitar jam 11 pagi.

Rumah doa dalam komplek Pagoda Mingalarsedi
Selesai dari Pagoda Mingalar Zedi, kami mengarah ke kuil  Myan Kabar Gubyaukgyi yang terletak cukup jauh dari kuil dan pagoda yang baru saja saya kunjungi. Waktu tempuh menuju kuil ini sekitar 15 menit. Kuil Gubyaukgyi terletak di desa Myan Kaba sehingga sering dikenal sebagai kuil Myan Kabar Gubyaukgyi. Saat kami tiba, satu pedati telah terparkir di halaman luar kuil menandakan adanya pengunjung lain. Ketika saya keluar mobil, Khwa Khwa memberikan lampu portable bertenaga baterai untuk saya gunakan karena kata Khwa Khwa di dalam kuil gelab guita.

Salah satu sudut kuil Gubyaukgyi
Saat memasuki halaman kuil, banyak pedagang souvenir memamerkan dagangan di dua sisi membentuk semacam pagar bagi jalan keluar dan masuk kuil. Pintu masuk kuil terletak di sampai kanan gerbang masuk. Karena itu saya berjalan melewati mereka menuju pintu masuk kuil. Lagi-lagi seorang gadis muda penjual souvenir mengiringi langkah-langkah saya sambil menawarkan dagangannya. Saya hanya tersenyum sambil menggeleng. Seorang kakek renta yang hanya mengenakan longyi tanpa baju sedang duduk termenung di pintu masuk kuil. Melihat saya melangkah masuk, sang kakek  berkata ' no photo, no photo" sambil mengoyang-goyangkan tangannya. Saya tersenyum dan mengangguk-angguk. Saat melewati ruang depan yang masih terang karena adanya sinar matahari dari pintu masuk, saya langsung seperti berada dalam satu ruang gua gelap gulita. Lampu portable saya nyalakan dan alangka terkejutnya saya melihat lukisan dinding yang sangat luar biasa yang dilukis dari lantai sampai dengan langit-langit. Selain itu, dinding-dinding kuil juga dihiasi patung-patung Budha berukuran sekitar 40 - 50cm dalam berbagai pose. Patung-patung tersebut sepertinya terbuat dari jade karena berwarna kehijauan saat terkena cahaya lampu. Karena saya tidak boleh mengambil foto maka saya hanya berjalan perlahan-lahan mengagumi interior kuil ini. Karena kuilnya tidak terlalu besar, maka saya hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit mengeliling bagian dalam kuil ini secara perlahan, lalu kembali tiba di pintu masuk.

Kuil Gubyaukgyi
Saya kembali melihat gadis penjual souvenir itu sedang menunggu saya di depan pintu masuk. Saat saya keluar, dia mengajak saya ke sisi lain kuil Gubyaukgyi yang lebih terbuka. Saya mengiyakan ajakannya sehingga kami jalan bersisian ke bagian lain kuil yang terletak agak terpisah sekitar 5 meter dari bangunan utama yang barusan saya kunjungi. Sambil berjalan, gadis penjual souvenir menceritakan sejarah kuil Gubyaukgyi. Kuil ini dibangun tahun 1113 oleh pangeran Rajakumar yang adalah anak raja Kyansittha dan keponakan seorang bhiksu. Namun raja Kyansittha mewariskan tahta Bagan ke cucunya yang bernama Alaungsithu. Pangeran Rajakumar tidak keberatan dengan keputusan raja dan melepaskan haknya sebagai ahli waris pertama atas tahta Bagan. Dinding-dinding luar telah diplester semen, namun bagian dalam kuil masih seperti aslinya. Untuk melindungi interiornya, termasuk lukisan-lukisan dinding yang saya lihat, maka bagian dalam kuil dibiarkan gelap gulita. 

King Budha
Di bagian yang terbuka, saya diajak si gadis melihat beberapa monumen sambil diceritakan sejarahnya. Saya juga boleh mengambil foto di bagian ini. Satu patung Budha yang berbeda dengan patung-patung lainnya ditunjukan oleh gadis tersebut sambil mengatakan bahwa patung Budha itu disebut King Budha karena sinar wajahnya seperti raja-raja dan merupakan satu-satunya patung Budha di Bagan yang menggunakan sebutan King. Dari area itu, saya diajak ke satu monumen semacam prasasti warna abu-abu gelap dengan tinggi sekitar 1 meter, tebal sekitar 30cm. Prasasti ini berada dalam pagar besi persegi empat dan diberi atap. Gadis itu menceritakan pada saya bahwa prasasti itu merupakan ajaran Budha dalam 4 bahasa. tour guide saja daripada penjual souvenir. Gadis tersebut mengatakan itu merupakan cita-citanya, namun peraturan di Myanmar belum mengizinkan karena usianya masih 16 tahun. Karena itu, dia membantu keluarganya menjadi penjual souvenir sekalian memperdalam bahasa Inggrisnya melalui kursus dan bercakap-cakap dengan para pengunjung untuk memperlancar hasil kursusnya.
Prasasti dalam 4 bahasa di kuil Gubyaukgyi
Kami
terus berjalan ke arah kanan kuil melihat-lihat peninggalan lainnya yang kebanyakan adalah patung berbagai bentuk berwarna keemasan. Karena kefasihannya menuturkan sejarah kuil dan berbagai benda peninggalan terkait, saya menyarankan gadis tersebut menjadi

Selesai melihat-lihat kuil tersebut, gadis itu mengajak saya mampir ke workshop keluarganya di samping kanan pagar kuil. Di workshop ini, keluarga gadis ini memproduksi nampan berukir dalam berbagai bentuk dan warna. Semuanya buatan tangan. Namun saya tidak berminat membeli sehingga saya hanya mengucapkan terima kasih dan berlari kecil meninggalkan tempat tersebut kembali ke mobil karena gerimis hujan mulai menderas mengiringi langit yang semakin gelap.




Bersambung

Sabtu, 22 November 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian VII - Bagan: Kuil Thatbyinyu, Shwegugyi, Mahabodhi dan Bulathe.

Depan kuil That Byin Nyu
That Byin Nyu merupakan kuil tertinggi di Bagan, yakni 61,2 meter. Bangunannya berwarna putih dihiasi noda-noda hitam yang tersebar merata di berbagai bagian menandakan ketuaan usia kuil tersebut. www.baganmyanmar.com menulis "Thatbyinnyu dibangun oleh Raja Alaung Sithu pada tahun 1144. Suatu lagu tradisional yang dinyanyikan orang-orang Bagan menuturkan kehebatan kuil tersebut disandingkan dengan 2 kuil lain di Bagan, yakni That Byin Nyu merupakan representasi kehebatan, Ananda representasi kehormatan dan Dammayan Gyi sebagai lambang kebesaran.

Thatbinnyu artinya 'mahatahu' terkait pada pencerahan yang diperoleh Budha". Bangunan berbentuk persegi empat tersebut dilengkapi 4 teras bertingkat, dibangun menggunakan bata dan plester tanpa besi ataupun kayu sama seperti kuil dan pagoda-pagoda lain yang telah saya
That Byin Nyu dari samping
kunjungi hari kemarin. Dalam kuil terdapat 4 patung Budha di 4 sisi bagian dalam searah 4 mata angin (Utara, Selatan, Timur dan Barat). Dinding dihiasi lukisan-lukisan mural sebagaimana kuil lainnya di Bagan. Setelah mengelilingi bagian dalam hingga saya kembali ke pintu masuk, saya keluar dan berbelok ke kiri mengamati arsitektur bagian luar yang tinggi menjulang. Saya keluar kompleks kuil melalui gerbang sebelah kiri yang menghadap Kuil Shwegugyi. Saya kembali ke Pedati sambil jalan berjingkat tanpa alas kaki yang saya tinggalkan di Pedati. Setelah saya duduk di sebelah Ou, Pedati dijalankan menuju Kuil Shwegugyi yang terletak puluhan meter dari Thatbyinnyu.

View dari pelataran atas kuil Shwegugyi
Kuil Shwegugyi berukuran lebih kecil dari Thatbyinnyu. Di kuil ini pengunjung diperbolehkan naik ke pelataran atas untuk melihat Bagan dari ketinggian. Para pedagang minuman dan souvenirs bertebaran di kedua sisi jalan masuk. Saya berjalan melewati mereka menuju tangga di  bagian belakang. Seorang anak kecil penjaja suovenir berjalan mendahului dan mendaki tangga terjal sempit dari bata ke lantai atas yang terbuka. Anak kecil tersebut mengajak saya bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris yang lumayan lancar, menanyakan asal-usul dan menawarkan dagangannya yang saya tolak secara halus sambil tersenyum. Saya berjalan perlahan di atas pelataran, mengeliling 4 sisi luar kuil tersebut, mengambil foto dari ketinggian. Panas lantai yang saya injak dan juga cahaya matahari siang terasa membakar kulit lengan dan wajah yang tidak terlindungi penutup. Peluh bercucuran, namun indahnya pemandangan dari ketinggian di atas kuil Shwegugyi membuat saya betah berlama-lama.

View dari pelataran atas kuil Shwegugyi
Seorang anak kecil lain kembali menghampiri saya mengulangi prosesi sebelumnya, yakni menanyakan asal dan menawarkan beberapa lukisan. Saat saya menolak, penjual kecil ini beralih topik meminta duit Indonesia sebagai barang koleksi sambil menunjukan lembaran-lembaran kertas uang beberapa negara yang telah dikoleksi. Saya hanya tersenyum dan membalas bahwa saya tidak membawa uang Indonesia. Anak ini gigih terus mengikuti setiap langkah saya berpindah dari satu sisi ke sisi lain. Namun, saya tetap tidak bergeming atas bujuk rayunya. Saya mengalihkan perhatiannya dengan mengajak ngobrol tak tentu arah. Kehadiran 2 perempuan Eropa mengalihkan perhatian anak tersebut ke mereka. Anak tersebut meninggalkan saya menghampiri kedua pengunjung tersebut, mengajak mereka bercakap-cakap, mengulangi prosesi sama seperti yang dilakukannya terhadap saya.

View dari pelataran atas kuil Shwegugyi
Di satu sisi yang teduh karena sinar matahari terhalang kanopi pohon besar, saya duduk melepas lelah dan menghilangkan cucuran keringat. Beberapa pengunjung lain, termasuk kedua perempuan Eropa tersebut terus ditempeli beberapa anak penjual souvernir, termasuk anak kolektor uang kertas asing. Saya terus duduk menikmati sepoi-sepoi hembusan angin yang  menyejukan tubuh. Mata saya terus memandang ke sekeliling, termasuk melayangkan pandang ke kuil Thatbnyinnyu yang terletak puluhan meter dari Shwegugyi.


Setelah terasa kelelahan menguap dan cucuran keringat lenyap, saya perlahan beranjak ke dalam kuil untuk melihat-lihat bagian dalam. Pada beberapa sudut, saya mengambil foto melalui jendela-jendela yang saya gunakan sebagai frame mendapatkan foto berbentuk 3 dimensi. Setelah
Makan siang para penjaja souvenirs
puas berkeliling, saya kembali ke pelataran tempat tangga lalu secara perlahan menuruni tangga bata tersebut. Ternyata menuruni tangga terjal dan sempit terasa lebih sulit dibanding naik. Sebelum tiba di pelataran bawah, saya berhenti sejenak di tangga mengamati sekelompok anak dan perempuan dewasa duduk melingkar mengelilingi nampan bulat berisi makanan. Mereka makan siang beramai-ramai hanya menggunakan tangan. Setelah mengambil beberapa foto saya terus menuruni tangga ke pelataran bawah. Tiba di bawah saya beranjak masuk ke ruang depan kuil yang pintunya terbuka lebar ke halaman yang dibatasi dinding tanpa atap. Saya bercakap-cakap dengan dua perempuan pedagang di area tersebut. Seorang perempuan memoles bedak tanaka di kedua pipi dan dahinya. Perempuan ini berjualan souvenir yang digelar di lantai kuil sambil menjaga anak lelaki yang sedang bermain di sekitar situ. Saya mengambil beberapa foto, mengucapkan terima kasih lalu beranjak keluar.

Saya kembali melewati para pedagang souvenir dan minuman ringan yang berjejer di kedua sisi jalan
Membunuh haus di tangga jalan masuk Shwegugyi
masuk. Di ujung jalan masuk depan tangga, saya duduk di sisi kanan tangga lalu meminta kelapa muda yang dijual di sisi kiri dan kanan tangga tersebut. Seorang perempuan muda berbedak tanaka memotong kelapa muda berwarna hijau dan menyerahkannya ke saya setelah menaruh sedotan. Dengan lahap saya menyeruput air kelapa itu sampai tandas. Para perempuan pedagang yang berada sekitar situ mengajak saya bercakap-cakap. Sama seperti kedua penjual kecil di pelataran atas, mereka memulai dengan asal negara lalu meminta diajarin beberapa patah kata Indonesia. Dengan senang hati saya mengajarkan kata-kata terima kasih, membalas ucapan terima kasih dengan kata sama-sama atau kembali kasih, selamat pagi, siang, sore dan malam, kata cinta, kata cantik dan kata gagah. Mereka mencoba beberapa kali menghafal dan mengucapkannya sambil tertawa-tawa. Jika ada yang berhasil saya mengancungkan 2 jempol sebagai penghargaan dan pujian, perempuan lain bertepuk tangan dan tertawa-tawa. Kami terus bercakap-cakap sambil mereka terus berusaha menguasai kata-kata yang saya ajarkan. Setelah kelelahan saya lenyap, saya membayar 1000 kyat atas kelapa yang telah saya konsumsi. Setelah itu saya mengucapkan terima kasih menggunakan bahasa Indonesia yang dibalas perempuan penjual dengan ucapan sama-sama. Saya tersenyum mengacungkan satu jempol sambil berjalan kembali ke Pedati yang diparkir sekitar 20 meter di bawah kerindangan pohon di dekat kuil. Para perempuan mengucapkan good bye sambil tersenyum lebar.

Kuil Mahabodhi
Saya kembali nangkring di Pedati yang mengarah ke kuil Mahabodhi yang terletak beberapa ratus meter dari kuil Shwegugyi. Pedati berlari kecil melewati jalan-jalan berdebu membelah hamparan lahan yang diisi bangunan kuil berbagai ukuran dan bentuk yang seperti menyembul diantara pepohonan dan warna kecoklatan tumbuhan semak. Kami kembali ke jalan raya beraspal yang dilalui Pedati beberapa puluh meter jauhnya. Pedati kemudian menyeberangi jalan beraspal tersebut dan kembali berlari kecil menyusuri jalan debu berwarna kapucino. Puncak kuil Mahabodhi terlihat menyembul diantara pepohonan. Dari jauh, menara kuil ini nampak seperti kuil-kuil di India yang saya lihat di internet. Atapnya menjulang tinggi berbentuk kukusan terbalik yang dipenuhi berbagai ukiran. Tampak 2 perempuan sedang duduk di pelataran terbuka depan kuil berjarak sekitar 10 meter dari gerbang masuk. Saya melewati mereka sambil mengucapkan hallo dan tersenyum. Keduanya membalas senyum sambil mengangguk. Saya memasuki kuil, mengamati satu-satunya ruangan di kuil tersebut sekaligus mengamati satu-satunya pose Budha di tengah-tengah ruangan. Setelah puas, saya keluar dan berbelok ke samping kanan menelusuri sisi luar bangunan kuil tersebut. Pagar bata setinggi 1 meter menjadi batas halaman kuil dengan daerah sekitarnya yang terbuka. Dari samping kanan, saya berjalan ke belakang lalu menyusuri sisi bagian kiri kemudian kembali ke depan.

Menara kuil Mahabodhi
Salah satu perempuan berbadan subur berpoles bedak tanaka mengajak saya bercakap-cakap dan mengundang saya mampir ke kiosnya untuk mencoba bedak tanaka yang dipakai. Saya menolak dengan alasan tidak pantas seorang laki-laki seperti saya menggunakan bedak tanaka. Sambil tertawa, perempuan tersebut menjelaskan bahwa saya terlihat seperti para lelaki Myanmar pada umumnya yang juga menggunakan bedak sebagai pendingin wajah dan tangan guna menimalkan sengatan panas matahari. Keramahannya sangat membius sehingga saya akhirnya mengikuti saja ajakannya ke kiosnya yang terletak di luar pagar kuil berjarak 20an meter dari gerbang kuil. Tiba di dalam kios, perempuan tersebut mempersilahkan saya duduk di satu dipan kecil dalam ruangan berukuran sekitar 2 x 3 meter. Perempuan tersebut duduk di satu bangku yang lebih rendah posisinya dari dipan. Sambil bercakap-cakap, tangannya menggosok lempengan bedak berwarna kuning berbentuk persegi selebar 2 x 2 cm dengan tebal sekitar 0,5cm ke semacam batu ceper bulat yang dibasahi tetesan air. Hasilnya adalah adonan kecil bedak yang lalu diambil menggunakan jari-jarinya dan dioleskan ke wajah saya. Saya menutup mata sambil menikmati sensasi dingin bedak tersebut. Setelah permukaan wajah saya diolesi seluruhnya, perempuan itu lalu menawarkan 1 paket bedak terdiri dari beberapa lempengan terbungkus plastik seharga 3 kyat. Saya mengiyakan sambil tersenyum. Namun, tawarannya belum berakhir. Perempuan itu membuka seikat kain berisi beberapa longyi yang masih terbungkus plastik menandakan longyi-longyi tersebut masih baru dan diperjualbelikan. Karena saya berencana membeli longyi sejak awal (baca catatan di kota Yangon), maka saya menanyakan harganya. Perempuan itu membuka tawarannya pada harga 8000 kyat. Saya menawar sampai dengan 5000 kyat lalu membeli 5 longyi dengan warna dan motif berbeda sebagai oleh-oleh. Perempuan itu belum bosan menawarkan dagangan lain yakni baju-baju khas Myanmar. Sambil tertawa saya menjawab tidak yang dibalas dengan senyuman lebar dan kata-kata okay-okay. Saya lalu pamit dan kembali ke Pedati diantar perempuan tersebut yang berbicara dengan Ou dalam bahasa mereka.
Memakai bedak dingin Tanaka

Hari telah  menjelang sore saat saya selesai di kuil Mahabodhi. Ou mengarahkan Pedati ke jalan pulang, namun kami belum kembali ke hotel. Kami sedang menuju Pagoda Bulathe untuk menikmati sunset dari puncak Pagoda. Jalan ke Bulathe melewati kuil Htilominlo yang telah saya kunjungi sebelumnya. Sekitar 20 meter dari gerbang kuil Htilominlo, Pedati mengambil jalan ke kiri melewati samping kiri pagar kuil Htilominlo menempuh jalan berdebu tebal berjarak sekitar 1,5 km dari Htiminlo atau sekitar 2,5km dari kuil Mahabodhi. Beberapa pengunjung terlihat telah berada di atas pagoda saat saya dan Ou tiba di tempat tersebut. 2 lelaki Eropa baru saja tiba di lokasi tersebut menggunakan Pedati seperti saya juga. Saya bergegas ke tangga bata terjal yang terlihat lurus ke atas. Namun, sebelum kaki saya menginjak tangga pertama, 2 petugas pariwisata laki-laki yang mengenakan seragam celana berwarna biru dongker (seperti warna celana satpam di Indonesia) dipadu baju lengan pendek berwarna biru langit menyapa saya sambil tersenyum ramah. Salah satu petugas menanyakan tiket masuk seharga 15 dollar US atau 15.000 kyat yang telah saya bayar di Bandara Bagan saat tiba kemarin. Beruntung tiket tersebut saya simpan di dompet sehingga saya tidak mengalami kesulitan menunjukan tiket tersebut ke kedua petugas tersebut. Mereka mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menyerahkan kembali tiket tersebut. Petugas yang menyerahkan kembali tiket mengatakan pada saya agar menyimpan tiket tersebut dengan baik untuk kebutuhan pemeriksaan sesewaktu yang dilakukan petugas. Saya menerima kembali tiket tersebut, membalas ucapan terima kasih petugas lalu mengembalikan tiket tersebut ke dompet yang saya simpan kembali ke ransel.

View dari puncak Pagoda Bulathe
Saya mendaki tangga bata terjal tersebut perlahan-lahan hingga tiba di puncak pagoda. Saya berdiri menarik nafas panjang beberapa kali sambil melayangkan pandangan ke sekitar yang mulai sejuk karena sore telah menghampiri. Nun jauh di ufuk terlihat awal tebal kehitaman menaungi sebagian Bagan, sementara di ujung lain terlihat hujan sedang berlangsung. Saya mengambil beberapa foto lalu duduk di salah satu pelataran menghadap sungai Irrawady nun jauh di Barat - menunggu tibanya sunset. Beberapa turis Eropa terlihat duduk selonjor dalam kebisuan masing-masing menikmati suasana sekitar. Sekitar 15 menit di atas, serombongan turis Jepang terlihat berseliweran
di pelataran tersebut mengambil beberapa foto kemudian duduk menikmati suasana senja. Semuanya sedang menunggu sunset. Sepasang turis berwajah Eropa terlihat mendekat dari arah kanan saya. Turis laki-laki tersebut memperhatikan iphone yang saya gunakan mengambil beberapa gambar dari ketinggian Pagoda Bulathe. Turis yang berasal dari Spanyol tersebut menanyakan kepada saya apakah saya bermasalah dengan koneksi telpon dan internet menggunakan iphone selama di Bagan?. Ketika saya menjawab tidak, turis tersebut membagi kesulitannya menggunakan iphone miliknya. Saya menyarankan dia menggunakan sim card lokal atau sinyal wifi di hotelnya saja untuk kebutuhan di Bagan dan tempat-tempat lain di Myanmar. Kami lalu terlibat obrolan seru tentang Eropa dan Spanyol, karena saya menceritakan pengalaman kunjungan saya ke Sevilla, Granada, Cordoba, Barcelona dan Madrid di Spanyol. Keduanya berasal dari kota Segovia sehingga mereka menyarankan saya mengunjungi kota tersebut suatu hari nanti. Saya juga menceritakan tempat-tempat menarik di Indonesia yang sebaiknya dikunjungi oleh mereka berdua. Setelah bertukar pengalaman, kami lalu kembali ke perenungan masing-masing di puncak Pagoda Bulathe menunggu sunset seperti pengunjung lain yang menerawang dalam pikiran masing-masing.

View dari puncak Pagoda Bulathe
Cuaca tidak bersahabat di sore itu. Awan gelap mulai menaungi langit sekitar pagoda. Seorang turis laki-laki muda dari Eropa yang duduk selonjor di sebelah kiri depan saya mulai membuat perkiraan sunset tidak akan muncul karena cuaca yang sepertinya akan hujan dan matahari juga menghilang tertutup awal tebal di Barat. Si anak muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos kutung itu menceritakan pengalamannya kemarin gagal menikmati sunset karena hujan. Dia memperkirakan kami tidak akan dapat menikmati sunset juga karena sepertinya hujan segera turun. Para turis Jepang telah berlalu dari pelataran tersebut. Tak lama kemudian gerimis mulai turun sehingga kami semua yang masih berada di pelataran tersebut memutuskan meninggalkan pelataran kembali ke kendaraan masing-masing. Karena Pagoda tidak memiliki ruangan seperti kuil, maka kami tidak memiliki pilihan berlindung dari hujan. Gerimis mulai menderas mengiringi satu per
Perepmpuan pendula souvenir yang saya ajak ngobrol
satu langkah saya menuruni tangga curam dari puncak Pagoda. Saya harus ekstra hati-hati karena tangga yang terbuat dari bata tersebut berubah licin saat disirami hujan. Akhirnya saya bernafas lega saat kaki telanjang ku menginjak tanah. Saya berlari kecil ke Pedati yang menunggu di bawah pohon rindang tidak jauh dari depan tangga. Ou menyambut saya sambil tersenyum dan mengarahkan Pedati menyusuri kembali jalan yang kami tempuh saat datang. Tiba di jalan aspal, Oo membelokkan Pedati ke arah kanan kembali ke hotel. Beberapa Pedati terlihat terburu-buru melewati kami berlomba dengan gerimis yang semakin deras. Saya mengatakan kepada Ou agar tidak terburu-buru. Kami dapat menikmati hujan dari atas Pedati yang membelah jalan beraspal lebar yang sangat lenggang. Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di hotel. Kegelapan beserta gerimis telah memayungi hotel dan kawasan sekitarnya. Ou memarkir Pedati di depan hotel, berbicara sebentar dengan kudanya lalu turun mengikuti saya ke lobby hotel. Saya duduk di salah satu kursi dan mempersilahkan Ou duduk di kursi lain di depan saya. Sambil bercakap-cakap, saya mengeluarkan 25.000 kyat dari dompet dan menyerahkannya ke Ou sebagai pembayaran jasa dan tipnya mengantar saya berkeliling hari ini. Harga sewa Pedati 22.000 kyat, namun saya menambah 3000 kyat sebagai tip atas jasa Ou hari ini.

That Byin Nyu dari ketinggian Shwegugyi
Saya kembali ke kamar, beristrahat sejenak lalu mandi air hangat dan dingin berganti-ganti menyegarkan kembali tubuh sekaligus mengusir kepenatan perjalanan hari ini. Setelah itu saya tiduran beberapa menit sambil menghidupkan alarm hp agar membangunkan saya jam 7.30 malam untuk makan malam. Saya terbangun oleh bunyi alarm, kemudian cuci muka, berkumur, memakai celana pendek dan kaos kutung serta sandal. Saya keluar kamar dan hotel menuju restoran langganan saya yang terletak sekitar 50an meter dari hotel. Dari loby hotel saya berjalan melewati resepsionis ke pintu samping kanan, belok kanan menyusuri jalan berlumpur yang baru saja diguyur hujan sore tadi. Saya
Restoran favorit saya di Nyaung U, Bagan
menggunakan sinar HP sebagai penerangan. Tiba di perempatan, saya belok kanan sekali lagi menuju restauran yang terletak sekitar 20 meter dari pertigaan tersebut. Selesai makan malam, saya kembali ke hotel mengepak barang sebagai persiapan pindah ke Mandalay esok hari menggunakan bus pada jam 8 pagi.

Bersambung..


JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...