Minggu, 26 Juni 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Dintor ke Waerebo - Jalan Panjang Penuh Pesona

Hamparan sawah di halaman Waerebo Lodge
Setelah melewati jalan berliku mendaki gunung dan menuruni lembah, saya bersama Yudi dan Mako tiba di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. Kami akan langsung menuju Dintor sebagai lokasi transit menuju Kampung Adat Wae Rebo. Kami berhenti se-jam di kota Ruteng untuk memberikan waktu bagi Yudi dan Mako merokok sekaligus beristirahat. Setelah itu, kami makan siang dan belanja biskuit serta air mineral sebagai bekal menuju Dintor karena kami bertiga tidak tahu apa yang akan kami temui di Dintor. Dari jalan trans Flores, Yudi membelokan mobil ke kiri di salah satu pertigaan yang memisah dari jalan utama trans Flores. Kami menyusuri jalan aspal yang lebih kecil dari jalan utama. Sekitar 2 km menyusuri jalan tersebut, kami mulai meninggalkan kota Ruteng. Jalan aspal yang kami susuri
Panorama jalan yang kami lalui menuju Dintor
berkelok-kelok di punggung-punggung bukit yang dipagari semak belukar dan hutan di kiri dan kanannya. Setelah menyusuri jalan tersebut sepanjang beberapa kilometer, kami memasuki jalan yang membelah hamparan luas sawah ratusan hektar di kiri dan kanannya. Puluhan hektar di antaranya terlihat selesai panen meninggalkan hamparan berwarna khaki bersisian dengan hamparan hijau berisi padi yang sedang tumbuh. Yudi menghentikan mobil beberapa kali sepanjang jalan ini untuk menanyakan arah ke Dintor. Lepas dari hamparan sawah yang sangat luas, jalan kembali memasuki hutan belukar di sebelah kanan diapit garis pantai Pulau Flores dan laut Flores di sebelah kiri. Sama seperti puluhan kilomoter yang telah kami lewati sebelumnya. Jalan ini juga berlubang-lubang dan telah rusak di berbagai tempat. Setelah menempuh waktu sekitar 3 jam dari Ruteng, kami akhirnya tiba di penginapan yang telah saya pesan sebulan silam.

Panorama jalan yang kami lalui menuju Dintor
Waerebo Lodge demikian nama penginapan yang terletak di Dintor. Penginapan ini milik seorang warga Waerebo bernama Martinus Anggo. Waerebo lodge terletak di tengah hamparan sawah hijau karena padi yang ditanam telah tumbuh setinggi betis orang dewasa. Hanya ada 2 penginapan di kampung terdekat sebagai tempat transit menuju Waerebo, yakni Waerebo logde di Dintor dan rumah milik om Blasius Monta di Denge yang berjarak sekitar 10 menit berkendaraan dari Dintor. Saya memilih Waerebo lodge karena melihat keindahan persawahan sekitarnya saat saya mencari informasi di internet. Di internet juga tersedia nomor HP om Martinus (0852 39344 046) dan om Blasius (0813 39350 775). Setelah mempelajari dan mempertimbangkan kedua penginapan tersebut, saya memilih menghabiskan malam di Waerebo lodge di Dintor walau jaraknya lebih jauh dari batas akhir jalan bagi kendaraan menuju Waerebo. "Tak salah pilih", pikir saya sambil tersenyum saat kami tiba di Waerebo lodge yang diapit hamparan sawah nan hijau berbatasan dengan lautan di batas pandang yang dihiasi satu pulau kecil. "Namanya Pulau Mules, kata Yudi menjawab pertanyaan saya. 

Yudi memarkir mobil beberapa puluh meter dari kompleks Waerebo lodge karena akses ke lodge ini
Yudi di depan Waerebo lodge 
hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki melewati hamparan sawah di kiri dan kanan jalan tanah berbatu selebar 1 meteran. Kami tiba di lobby terbuka berlantai tanah yang diisi 1 meja kayu panjang dengan 2 bangku kayu. "Selamat sore", teriak saya karena tidak menemukan siapapun di sekitar situ. "Sore", balas suara seorang laki-laki dari salah satu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu. Sekitar 5 menit kemudian muncul seorang pemuda berusia 20an. "Pak Yesua ya?", sapa pemuda tersebut. "Saya Timo, keponakan pak Martinus", kata pemuda tersebut sambil menjabat tangan saya lalu melanjutkan ke Yudi dan Mako. "Pak Martinus ke Bali, tapi saya telah diberitahu pesanan bapak, silahkan istrahat dulu disini menunggu saya menyiapkan kamar bapa", kata Timo dalam logat Flores. "Saya mo lihat kamarnya", kata saya ke Timo. Timo membawa saya ke salah satu bungalow
Hamparan sawah di halaman Waerebo lodge 
yang dibangun menghadap jalan raya berjarak puluhan meter dipisah hamparan sawah. Semua bungalow di Waerebo lodge berupa rumah panggung setinggi 1 meter dari tanah. Bungalow-bungalow tersebut terbuat dari kayu berdinding anyaman bambu. Bungalow yang akan saya tempati memiliki 2 dipan berukuran 90cm x 2meter. Masing-masing dipan dilengkapi 1 bantal bersarung putih dengan sprei warna sama serta 1 helai kain tebal (disebut kain panas di Kupang yang digunakan menutup tubuh saat dingin) di masing-masing dipan. Toilet dan kamar mandinya dibangun terpisah di atas tanah berjarak sekitar 5 meter di belakang bungalow yang sedang saya masuki. "Apakah ada kamar lain yang memiliki toilet dan kamar mandi tidak terpisah", tanya saya ke Timo. "Ada bapa, tapi disiapkan bagi rombongan tamu bule yang rencananya akan tiba malam ini", balas Timo. "Tolong kasih saya satu, saya bayar tambah tidak apa-apa", saya mencoba bernegosiasi mendapatkan kamar tersebuat agar saya tidak perlu keluar saat akan menggunakan toilet di malam hari. "Saya tanya ibu di belakang dulu ya bapa", kata Timo sambil menuruni tangga meninggalkan saya. 

Saya keluar dan menuruni tangga bungalow menuju Yudi dan Mako yang sedang menunggu di lobby.  Timo muncul lalu mengajak kami ke sisi belakang lobby. Kami menuju satu dari 3 bungalow 
Senja di halaman Waerebo lodge
yang berjejer menghadap hamparan sawah sekaligus lautan dan Pulau Mules yang seakan tumbuh dan mengapung di lautan tersebut. Kami bertiga mengikuti Timo ke bungalow yang terletak di tengah. "Bapa bisa nginap disini jika mau", kata Timo sambil membuka pintu kayu bungalow mempersilahkan saya masuk dan melihat-lihat. Toilet dan kamar mandi menyatu pada bungalow ini sehingga tanpa banyak komen, saya langsung memberitahu Timo bahwa saya mengambil bungalow tersebut untuk menghabiskan malam ini di Dintor sebagai tempat transit ke Waerebo esok pagi. 

Hamparan sawah dan pulau Mules dari teras Waerebo lodge
"Yudi dan Mako bisa tidur di kamar sebelah", kata Timo sambil menunjuk bungalow terujung di samping bungalow yang saya tempati. "Itu khusus buat para sopir", lanjut Timo menjelaskan. "Tidak usah, kami nginap sama-sama disini saja", kata saya karena saya tahu karakter Yudi yang pasti tidak akan mau menginap di kamar bagi para sopir -seperti saat kami menginap di Bajawa. "Minta tambahan kasur saja bagi Mako, kata saya. "Baik bapa", balas Timo sambil beranjak menuruni tangga. Tak lama berselang, Timo kembali ke tempat kami membawa kasur busa seukuran dipan di kamar bungalow. Mako membantu Timo menarik kasur busa tersebut dan menempatkan kasur itu di sudut teras bungalow. Saya duduk menikmati suasana sore dan kemolekan panorama hamparan sawah, lautan dan Pulau Mules yang terlihat jelas dari teras bungalow tempat saya menginap. Mako dan Yudi asyik bercengkerama di atas kasur busa sambil mendengarkan lagu dangdut dari HP. Lagu yang mengganggu saya menikmati suasana senja itu, namun saya membiarkan saja karena melihat keceriaan mereka. Timo kembali muncul membawa teh panas bagi saya dan kopi bagi Yudi dan Mako. Kami berempat bercakap-cakap sambil menikmati teh dan kopi bersama biskuit yang kami beli di kota Ruteng.

Sunset di Dintor - depan Waerebo lodge
Saat langit mulai menguning menuju jingga di ufuk Barat, saya mengajak Yudi, Mako dan Timo turun ke hamparan sawah menikmati keindahan sunset sambil foto-foto sebagaimana biasa saya lakukan di berbagai tempat jelajah. Timo memisahkan diri kembali ke dapur menyiapkan makan malam bagi kami. Saat mentari menghilang bersama hadirnya kegelapan, ratusan suara kodok menciptakan kidung indah di bawah langit Dintor yang dihiasi jutaan bintang. Pesona dan keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang melintas dan mengasoh sejenak di tempat ini, pikir saya sambil duduk selonjor di kursi teras. Yudi dan Mako asyik bernyanyi dan gantian memainkan gitar yang disiapkan Timo. 
Yudi dan Mako di Dintor - depan Waerebo lodge
Timo muncul lagi membawakan makan malam berupa nasi putih di tempat nasi serta sepiring daging ayam kampung bumbu kecap dan sepiring sayuran. Tak menunggu lama, makanan malam itu telah tandas berpindah ke perut kami bertiga dalam sekejap :). Setelah berleha-leha di teras menikmati paduan suara ratusan kodok berpadu nyanyian serangga malam, taburan jutaan bintang di langit dan suasana malam di tengah hamparan sawah, saya pamit ke Yudi dan Mako untuk melelapkan diri terlebih dahulu menyiapkan tenaga untuk jalan kaki sepanjang 9 km dari Denge ke Waerebo esok pagi. Mungkin karena kelelahan menempuh perjalanan panjang dari Bajawa pagi tadi, saya tidur pulas tanpa terganggu suara ngorok Yudi.

Kicauan burung dan dingin subuh membangunkan saya dari kelelapan. Pagi masih samar dan berkabut saat pintu kamar saya buka. Bau sawah basah dan hembusan angin lembut menyapa saya di 
Sunrise di Dintor - belakang Waerebo lodge
Dintor. Yudi masih terlelap di dipan sebelah saya. Demikian juga Mako yang bergulung dalam bungkusan kain panas di kasur busa di teras bungalow. Saya turun dan berjalan di pematang-pematang sawah menuju belakang lodge menyambut dan menikmati senyuman mentari pagi yang mulai mengintip di ujung langit Timur. Saya menikmati kehadiran si surya pagi sambil jalan-jalan sekitar 20an menit di hamparan sawah lalu kembali ke bungalow membangunkan Yudi dan Mako. Saya mandi dan mempersiapkan diri bagi perjalanan lanjutan ke kampung Waerebo pagi ini. Selesai sarapan, Yudi dan Mako mengantar saya dan Timo ke batas akhir jalan yang bisa dicapai kendaraan di Denge. Tiba di batas akhir jalan ini, kami berempat turun dari mobil untuk foto-foto sejenak lalu saya dan Timo mulai jalan kaki meneruskan perjalanan ke Waerebo. Yudi dan Mako kembali ke Waerebo lodge menunggu saya semalam lagi di Dintor karena saya akan menginap di kampung Waerebo. 

Sungai yang sedang dibangun jembatannya
Saya dan Timo menyusuri jalan raya berbatu yang belum dipadatkan sehingga ada lubang di sana dan sini diantara batu-batu berukuran besar, sedang dan kecil. Jalan telah diperlebar dan sedang dalam proses pemadatan dan pengerasan agar dapat dilewati kendaraan. Semakin jauh dari Denge, jalan semakin menanjak dan berkelok-kelok. Saya harus melangkah hati-hati diantara batu-batu jalanan yang kadang terlepas karena dilalui truk-truk pengangkut peralatan dan material pembuatan jalan dan jembatan. "Jika ada truk lewat, kita bisa numpang sampai sungai yang berjarak 4,5 km dari batas jalan di Denge", kata Timo. Saya hanya tersenyum dan mengangguk sambil terus melangkah dengan nafas yang mulai tersengal-sengal karena jalan terus mendaki. Saya dan Timo terus melangkah perlahan-lahan sambil ngobrol dan menikmati kesejukan hutan tropis yang memagari kedua sisi jalan yang sedang kami lalui. Sekitar 1 jam perjalanan dari Denge, saya dan Timo tiba di satu sungai kecil yang menjadi batas jalan berbatu tersebut dengan jalan setapak dalam hutan yang akan kami lalui menuju Waerebo. 

Pos 1 perjalanan Denge - Waerebo
Setelah foto-foto di sungai, kami menyeberang dan berhenti di perhentian pertama yang disebut Pos 1. Pos 1 berada di bawah satu pohon tua nan rindang. Di perhentian ini tersedia papan informasi yang disediakan suatu lembaga konservasi dan revitalisasi rumah-rumah adat di Waerebo. Timo berjalan menghampiri satu tenda yang terbuat dari terpal warna biru di seberang jalan tempat Pos 1 tersebut. Tenda tersebut merupakan rumah tinggal sementara para pekerja jembatan sungai yang barusan kami lewati. Timo memanggil saya mampir ke tenda tersebut yang dengan senang hati saya hampiri. Di tenda tersebut Timo sedang duduk ngobrol dan merokok bersama 3 lelaki paruh baya. Saya ditawari rokok dan kopi, namun dengan halus saya tolak sehingga kami hanya ngobrol-ngobrol. Setelah Timo menghabiskan sebatang rokok bersama para lelaki di tenda itu, kami pamit melanjutkan perjalanan. 

Setapak yang terus mendaki menuju Waerebo
Dari Pos 1 di seberang sungai, kondisi jalan yang kami tempuh berubah sama sekali. Hanya jalan setapak dengan lebar sekitar 50-90cm di dalam hutan yang kami tempuh. Jalan ini terus mendaki seperti menuju langit tak berujung. Saya tak tahu kapan jalan ini akan berakhir. Setapak ini berkelok-kelok di antara dinding-dinding tebing di sebelah kiri dan jurang di sebelah kanan atau sebaliknya. Setapak ini tertutup naungan kerimbunan pepohonan hutan hujan tropis yang juga merupakan hutan lindung negara. Kadang jalan yang kami tempuh menanjak tajam dan licin karena jalan masih basah oleh embun dan sisa-sisa hujan semalam. Saya dan Timo jalan beriringan. Saya berjalan di depan diiringi Timo yang menyesuaikan langkah-langkahnya di belakang saya. Kicauan berbagai jenis burung, pekikan binatang hutan dan gesekan dedaunan menciptakan kidung indah sepanjang perjalanan. Hanya sekali kami berpapasan dengan seorang lelaki tua dari Waerebo menuju Denge. Setelah waktu tempuh 1 jam 15menit, kami tiba di Pos 2 di tebing suatu bukit yang menyajikan panorama hutan rimba perawan di sebelah kiri membentang hingga batas cakrawala di akhir jangkauan pandangan mata. Saya dan Timo beristirahat dan foto-foto di Pos 2 yang telah diberi pagar besi pengaman sebagai penanda bagi para pelintas agar waspada terhadap jurang sedalam ratusan meter di lokasi tersebut. 

Timo di Pos 2 menuju Waerebo
Saya dan Timo telah menempuh jarak sekitar 6,5km dari Denge hingga tiba di Pos 2. Setelah menghabiskan 15 menit di Pos 2, saya dan Timo meneruskan perjalanan. Perjalanan Pos 2 ke Pos 3 terasa lebih mudah karena jalannya lebih banyak menurun atau datar walau masih berkelok-kelok di antara tebing dan punggung-punggung bukit. Pada perjalanan ke Pos 3, saya dan Timo berpapasan dua kali dengan pengunjung lain yang telah kembali dari Waerebo. Pertama kami berpapasan dengan seorang perempuan berjilbab bersama temannya serta seorang guide dari Denge. Kedua, kami berpapasan dengan 3 bule dan 1 orang Indonesia bersama seorang guide lelaki dari Denge juga. Mereka nginap di tempat om Blasius, kata Timo. Tak sampai 1 jam, saya dan Timo tiba di Pos 3 yang merupakan satu rumah panggung berukuran sekitar 2x3meter berisi informasi tentang Waerebo. Dari Pos 3, saya bisa melihat jejeran
Panorama di Pos 2
7 rumah kerucut tinggi beratap alang-alang hingga menyentuh tanah. Rumah-rumah ini mendapatkan predikat warisan arsitektur tradisional terbaik dunia versi UNESCO. "Akhirnya saya tiba dan bisa melihat langsung rumah-rumah adat yang selama ini hanya bisa saya lihat di internet", kata saya ke Timo meluapkan kegembiraan dan kepuasan. Kelelahan perjalanan sekitar 3 jam menempuh medan berat bermandikan keringat menguap seketika. Rumah-rumah itu dibangun di suatu lempeng dataran di punggung suatu bukit yang dikelilingi jejeran bukit lain bagaikan pagar alam abadi dan kokoh.  

Jembatan penghubung setapak ke Waerebo
Setelah beristirahat sejenak di Pos 3, Timo mengajak saya meneruskan perjalanan kami memasuki kampung Waerebo yang telah berada dalam jarak pandang - mungkin hanya berjarak 500an meter dari Pos 3. Kami turun dari rumah panggung lalu menyusuri jalan setapak di sebelah kanan rumah panggung tersebut menuju lokasi rumah-rumah adat itu. Setapak ini melewati kebun-kebun kopi penduduk Waerebo. Jalan yang kami susuri terus menurun hingga kami tiba di ujung dataran berumput yang menjadi halaman 7 rumah adat Waerebo. Jam saya menunjukan pukul 11 pagi. Suasana kampung kecil ini sangat sepi. Biji-biji kopi terhampar di beberapa terpal di halaman karena sedang dijemur para pemiliknya. Timo memimpin jalan menuju rumah adat yang terletak di tengah. Bentuk rumah adat ini lebih besar dan memiliki penanda di atapnya. Rumah ini diapit 6 rumah kerucut lain yang lebih kecil. 3 rumah berjejer di kiri dan 3 lainnya di sisi kanan. Rumah yang kami masuki dibangun di tempat yang lebih tinggi dari rumah-rumah lain sehingga seperti dibangun di atas suatu panggung alam. Kami menaiki anak-anak tangga dari batu yang disusun rapi dan telah berwarna kehitaman dimakan waktu puluhan tahun. Timo mengucapkan salam dalam bahasa setempat yang dibalas seorang lelaki tua. Lelaki ini berdiri di samping tiang
Papan informasi di Pos 3
utama di tengah-tengah rumah adat yang kami masuki. Saya mengikuti Timo duduk di dekat ujung dinding sebelah kiri pintu masuk. Lelaki tua yang menyambut kami lalu duduk sehingga kami duduk berhadap-hadapan dalam jarak sekitar 5 meter. "Kita mengikuti upacara penyambutan adat terlebih dahulu", kata Timo. Saya hanya mengangguk lalu memandang ke lelaki tua berkemeja lengan pendek kotak-kotak warna kuning dan bersarung kain kotak-kotak orange. Dua perempuan tua duduk dalam jarak 3 meteran di belakang lelaki tua itu saat acara penyambutan dimulai. 

Pak Rafael - tua adat yang menyambut saya di Waerebo
Setelah bertukar sapa dalam bahasa setempat dengan Timo, lelaki tua adat itu memulai penyambutan adat. Rangkaian kalimat dalam bahasa setempat diucapkan dengan nada dan irama tertentu seperti sedang melantukan suatu kidung. Tua adat mengucapkan selamat datang dan meminta perlindungan serta izin para leluhur kampung bagi kehadiran saya di tempat tersebut, demikian ringkasan yang disampaikan Timo bagi saya. Selesai penyambutan adat singkat tersebut, Timo maju menyalami lelaki tua tersebut sambil memberikan uang 50ribu yang telah saya berikan ke Timo sebagai donasi sukarela kehadiran saya di Waerebo. Setelah itu saya berjalan menghampiri dan menjabat tangan sang tua adat. "Saya biasa dipanggi Jo", kata saya mengenalkan diri. "Saya Rafael", balas tua adat itu. Saya meminta izin foto dengan pak Rafael. Pak Rafael memeluk bahu saya saat
3 dari 7 rumah adat kampung Waerebo
kami foto bersama. Timo bertindak sebagai fotografer. Selesai berfoto, saya kembali ke tempat duduk semula di sebelah Timo. Sesi foto bersama mencairkan suasana sehingga kami bisa bercakap-cakap tentang adat istiadat setempat yang mulai saya ekplorasi. Dua ibu tua yang duduk di belakang pak Rafael hanya mendengarkan sambil tersenyum. Tak ingin mengabaikan mereka, sesekali saya mengarahkan pertanyaan langsung ke kedua ibu tua tersebut guna melibatkan mereka dalam percakapan kami. 


Senja di Dintor - depan Waerebo lodge
Bersambung



Sabtu, 18 Juni 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES - NGADA: Kemah Tabor Mataloko, Manu Lalu dan Kampung Adat Bena

Kemah Tabor di Mataloko
Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi Bajawa. Kopi Bajawa merupakan salah satu kopi Indonesia yang dikenal luas kelesatannya oleh para peminun kopi di Indonesia dan dunia. Karena itu walau saya berpantang minum kopi, kelesatan kopi Bajawa membuat saya menanggalkan pantangan tersebut sejak semalam. Selesai sarapan, saya menyelesaikan urusan administrasi pembayaran kamar hotel. Walau kami bertiga, termasuk sarapan, saya hanya diminta membayar 250ribu rupiah untuk harga 1 malam menginap di hotel tersebut. Pengalaman yang sama saya alami di Dintor saat menginap di bungalow penduduk setempat sebagai persinggahan menuju kampung Wae Rebo di balik jejeran punggung gunung.

Gerbang Kemah Tabor 
Pagi masih berkabut saat saya, Yudi dan Mako meninggalkan hotel setelah selesai  sarapan. Pagi ini kami memiliki 3 tempat jelajah, yakni Kemah Tabor di Mataloko yang berjarak sekitar 8 km dari Hotel. Dari Kemah Tabor, kami beralih ke gardu pandang Panorama Manu Lalu kemudian Kampung Adat Bena sebagai perhentian terakhir sebelum kami berpindah ke Kabupaten Manggarai menuju Kampung Wae Rebo. Semilir angin dingin mengusap lembut wajah saya dari jendela mobil yang saya biarkan terbuka. Setelah menempuh waktu perjalanan sekitar 15 menit dari hotel, kami tiba di depan gerbang Kemah Tabor yang terbuka lebar seakan mengucapkan selamat datang. Yudi memarkir mobil di tepi jalan trans Flores. Kami bertiga melangkah masuk ke halaman dalam gerbang yang dipenuhi pepohonan hijau dan bunga-bungaan. Seorang pemuda melintas di depan kami saat kami sedang asyik berfoto-foto di halaman rumah retret tersebut. "Darimana?", tanya pemuda tersebut ke Yudi. "Antar pak ini, kata Yudi menunjuk saya. "Kami hanya ingin lihat-lihat dan foto-foto, apakah boleh", tanya saya ke pemuda tersebut. "bole saja bapa", balas pemuda tersebut dalam logat Flores. "Terima kasih", balas saya sambil tersenyum hangat. "Tapi bapa tidak boleh ke dalam karena ada retret para suster", tambah pemuda tersebut. "Tidak apa-apa, kami di halaman depan saja", balas saya ramah karena telah diizinkan menikmati keindahan taman dan bangunan bergaya Eropa abad pertengahan tersebut.

Bagian depan Kemah Tabor 
Bangunan Kemah Tabor berbentuk huruf U berlantai 2 didominasi warna khaki dengan aksen pinki dan merah bata pada tiang dan atapnya. bangunan dikelilingi taman indah. Jejeran pohon-pohon besar hijau berbentuk silinder seperti para pengawal yang menyambut para tamu di halaman depan sejak gerbang hingga depan 2 patung berwajah Eropa. Kedua patung yang dikitari taman kecil dengan bunga aneka warna tersebut dibangun dalam satu garis lurus dengan pintu bangunan Kemah Tabor dan gerbang. Bangunan Kemah Tabor didirikan para misionaris SVD pada tahun 1932. Kedua patung berwajah Eropa dalam jubah pastor berwarna hitam dan putih adalah para pendiri bangunan ini. Sayangnya saya lupa mencatat nama kedua misionaris tersebut. Kemah Tabor  dibangun berhadapan dengan bangunan Seminari St. Yohanes Berkhmans yang selesai dibangun tahun 1929. Bangunannya masih terawat baik dan difungsikan sebagai rumah retret saat ini. Dari halaman depan berumput hijau, jejeran pepohonan dan bunga-bunga, saya berjalan ke samping kiri kanan bangunan untuk melihat
Gerbang Seminari Berkhmans 
bunga-bunga, saya berjalan ke samping kiri sisi lain bangunan megah dan indah tersebut. Sebelah kiri dan kanan bangunan berupa halaman luas berhiaskan rerumputan hijau dan tanaman bunga aneka warna yang ditanam di samping bangunan dari depan hingga belakang. Jalan kecil dekat pagar pembatas memberi akses bagi para pelintas dari depan ke belakang atau sebaliknya. Nun jauh di belakang terdapat bangunan lain yang nampaknya merupakan bangunan baru dengan fungsi yang tak saya ketahui. Beberapa suster berjalan-jalan di jalan kecil yang melingkari halaman tersebut. Saya bertemu 2 suster yang saya sapa sambil tersenyum yang juga dibalas ramah. Saya tidak meneruskan langkah ke belakang mengingat pesan lelaki muda yang bertemu kami di halaman depan. Saya seperti berada di salah satu negara Eropa saat berada di dalam kawasan Kemah Tabor. Yah... sekeping Eropa di Ngada, Flores... Puas menikmati ketenangan dan keindahan serta foto-foto di Kemah Tabor sekitar 1 jam, saya mengajak Yudi dan Mako meninggalkan tempat indah tersebut.

Inerie dari gardu pandang Manu Lalu
Tujuan perjalanan kami selanjutnya adalah kampung adat Bena. Namun, Yudi mengajak saya mampir menikmati lembah Ngada dan keelokan gunung api Inerie dari suatu tempat bernama Manu Lalu. Manu Lalu merupakan bahasa Ngada yang artinya ayam jantan. Di dalam lokasi tersebut dibangun patung ayam jantan dengan bulu berwarna-warni, terutama hitam, kuning dan kemerahan. Di pintu gerbangnya tertulis Panorama Manu Lalu yang merupakan suatu gardu pandang di ketinggian perbukitan Ngada. Gardu pandang ini  dibuat bagi para pelintas dan pengunjung yang ingin mampir menikmati pesona alam di lembah nun jauh dan/atau keaanggunan gunung Inerie di sebelah kanan berdekatan dengan kampung adat Bena yang bisa dilihat dari gardu pandang tersebut. Saat kami tiba, gerbang masih tertutup oleh palang-palang dari bambu bulat seukuran kepalan orang dewasa yang dipasang horizontal. Yudi membuka palang-palang penutup gerbang lalu kami bertiga melangkah masuk melewati gerbang meniti jalan kecil yang dibuat menghubungkan gerbang dengan gardu pandang. Gardu pandang dibangun seperti panggung berukuran 3 x 5 meter terbuat dari semen dan beton yang diberi pagar pembatas di semua sisi setinggi pinggang orang dewasa. Di sebelah kanan gerbang terdapat rumah kecil dalam kondisi tertutup. Kata Yudi, rumah itu merupakan pos jaga.

Hamparan lembah hijau berpagar jejeran bukit di depan saya serta gunung api Inerie yang menjulang di sebelah kanan saya merupakan suguhan pesona keindahan alam dari gardu pandang Manu Lalu. Kami bertiga nongkrong 15an menit di gardu pandang menikmati pesona dan keelokan alam sekitar hingga batas cakrawala. Tak puas hanya menikmati alam dari gardu pandang, kami bertiga keluar dan berjalan ke patung ayam jantan yang berjarak 10meteran dari gardu. Patung setinggi 1 meter
Mako bersama patung ayam jago di gardu pandang Manu Lalu
tersebut menghadap lembah seolah-olah berdiri mengawasi alam di lembah tersebut. Usapan angin sejuk terasa membelai-belai rambut dan tubuh saya saat saya menikmati keelokan alam sambil duduk pada sebongkah batu dekat patung ayam jantan tersebut. Yudi dan Mako asyik berfoto ria sambil bercanda-canda. Saya hanya tersenyum mendengar candaan mereka sambil menikmati elusan angin Ngada dan pesona alamnya. Matahari pagi bersinar cerah seperti merestui perjalanan kami. "Itu kampung adat Bena", kata Yudi menunjuk jejeran atap rumah berwarna abu-abu gelap di bawah kaki Inerie. Saya hanya mengangguk sambil memperhatikan barisan rapi atap-atap rumah berbentuk persegi panjang berjarak beberapa kilomoter dari gardu pandang Manu Lalu tempat kami berada saat ini.

Lembah Ngada dari Manu Lalu 
Puas menikmati pesona lembah Ngada di horison dan keelokan Inerie dari gardu pandang Manu Lalu, saya mengajak Yudi dan Mako meneruskan perjalanan ke kampung adat Bena yang kata Yudi hanya berjarak 6km dari gardu pandang Manu Lalu. Saat kami keluar gerbang dan Yudi sedang menutup kembali palang-palang pintu gerbang, seorang laki-laki pengedara motor menyandang senapan berburu berhenti di depan gerbang. "Selamat pagi" sapa saya sambil tersenyum. "Kami lihat-lihat disini, namun tidak ada penjaga, lanjut saya sebelum ditanyai". "ok pak, tidak apa-apa tapi bapa harus bayar retribusi karena saya yang jaga disini", balas laki-laki tersebut. Saya mengambil dompet dan menyerahkan 20ribu rupiah ke laki-laki yang mengaku sebagai penjaga gardu pandang Manu Lalu. Setelah menerima uang dan mengucapkan terima kasih, laki-laki tersebut kembali ke sepeda motornya sambil berkata "saya duluan ke kebun pak". Saya hanya mengangguk membiarkan lelaki itu berjalan duluan meninggalkan kami bertiga yang beriringan kembali ke mobil.

Kampung Adat Bena dari ketinggian 
Sekitar 10 menit menempuh jalan aspal, kami tiba di suatu tikungan di ketinggian yang memperlihatkan pemukiman kampung adat Bena di bawahnya dalam jarak dua ratusan meter. Di lokasi ini tersedia jembatan dan tangga-tangga yang memberikan akses ke pengunjung untuk turun ke kampung adat Bena atau sebaliknya. Namun kata Yudi "kita berhenti disini hanya untuk foto-foto saja, jalan masuknya dari sisi sebelah sana" kata Yudi sembil menunjuk ke depan sebelah kanan saya saat kami berdiri menghadap ke kampung adat Bena. Selesai foto-foto dari ketinggian dengan latar belakang kampung adat Bena, kami kembali memasuki mobil yang dijalankan ke gerbang masuk bagi para pengunjung yang berjarak sekitar 100an meter di sisi lain kampung tersebut. Yudi menghentikan mobil di luar wilayah kampung, karena semua kendaraan bermotor pengunjung tidak diperkenankan masuk ke dalam kampung, demikian menurut Yudi.

Mako di depan Kampung Adat Bena 
Saya dan Mako turun dari mobil dan berjalan memasuki kampung adat Bena. Dengan alasan masih memarkir mobil, Yudi tidak mengikuti kami. Saya tahu alasan sebenarnya adalah Yudi malas jalan karena jalan ke kampung agak mendaki, termasuk di kampung adat Bena yang seperti dibangun di atas tanah suatu punggung bukit. Seorang gadis remaja sedang mencuci di bak penampung air dari semen setinggi 3 meter yang dibangun dan disediakan bagi penduduk kampung adat Bena. Segaris dengan bak air tersebut, di teras satu rumah panggung yang tidak terlalu tinggi, seorang gadis remaja sedang menenun. Kain-kain tenun yang telah dihasilkan digantungkan ke palang-palang yang dipasangkan horisontal dan menggantung di teras rumah tersebut. Dalam jarak sepuluan meter dari rumah gadis penenun tersebut, seorang ibu sedang memangku seorang anak laki-laki sambil menjaga peti donasi di atas meja kayu yang terletak di teras rumah tersebut. Saya mengucapkan salam ke ibu tersebut yang mempersilahkan saya mengisi buku tamu dan memasukan uang ke peti kayu yang tersedia di atas meja di samping buku tamu. Saya mengisi 50 ribu rupiah ke peti donasi yang harus saya paksakan masuk karena peti tersebut telah disesaki uang. "Kenapa petinya tidak dikosongkan bu", tanya saya penasaran. "Belum waktunya bapa", balas perempuan tersebut dalam bahasa Indonesia berlogat Flores ambil tersenyum. "Silahkan jalan-jalan dan foto-foto bapa", kata perempuan tersebut. "Terima kasih mama", balas saya ramah. 

Salah satu rumah di Kampung Adat Bena
Saya turun dari rumah panggung ke halaman yang berjarak beberapa puluh meter dari jejeran rumah dan pelataran utama yang dibangun di ketinggian sekitar 3 atau 4 meter dari hamparan halaman gerbang masuk. Puluhan meter di sebelah kiri saya dari rumah tempat peti donasi terlihat satu rumah lain yang berdiri terpisah menghadap ke pelataran utama dan jejeran rumah adat yang mengapit pelataran tersebut di kiri dan kanan. Rumah yang berdiri sendiri tersebut kelihatan seperti rumah penduduk Ngada pada umumnya yang berbentuk bujursangkar dengan atap tinggi dari alang-alang dengan teras berbentuk datar beratap bilah-bilang bamboo yang disusun bertumpang satu sama lain. Di bubungan rumah terpasang patung kayu berwarna hitam dengan kepala putih seperti sedang tersenyum ke saya dan Mako. "Mungkin rumah kepala suku", kata saya ke Mako yang hanya mengangguk-angguk sambil nyengir :). Saya berhenti sejenak memotret rumah dan halamannya yang dihiasi kuburan semen bertanda salib sebagai penanda pemilik kubutan tersebut beragama Kristen. Setelah mengamati dan
Kampung Adat Bena
mengambil beberapa foto, saya dan Mako berjalan ke kompleks utama kampung adat Bena, yakni jejeran rumah sambung menyambung di kiri dan kanan bersama pelataran luas di tengah-tengahnya. Karena deretan rumah dibangun di kedua sisi halaman dari ujung depan sampai belakang, maka deretan rumah-rumah tersebut mengapit pelataran / halaman yang panjangnya mengikuti panjang deretan rumah-rumah adat itu. Deretan rumah di sebelah kiri saya (saat saya berjalan dari arah gerbang kampung) lebih tinggi letaknya dari halaman / pelataran. Sedangkan deretan rumah di sebelah kanan saya lebih rendah dari halaman / pelataran sehingga secara sederhana bisa dikatakan deretan rumah di kedua sisi dan pelataran berbentuk seperti 3 anak tangga yang berbeda ketinggian. Secara keseluruhan, semua rumah di kedua sisi kampung dibangun bersusun dalam ketinggian berbeda semacam kondisi geografis persawahan terasering di Jawa Barat atau Bali. Semua rumah di  masing-masing sisi kompleks utama kampung adat tersebut terhubung satu sama lain. Pelataran / halaman yang terletak di tengah-tengah juga dibangun berundak-undak dengan ketinggian berbeda dalam ukuran tertentu dari tempat saya masuk hingga ujung kampung yang dibatasi tebing.

Kampung Adat Bena
Mayoritas rumah memamerkan kain tenunan beraneka warna dan ukuran dengan harga bervariasi. Di beberapa rumah para perempuan berusia remaja hingga nenek-nenek sedang menenun di beranda depan masing-masing rumah yang cukup luas dan terbuka. Rumah-rumah di kampung adat Bena merupakan rumah-rumah panggung yang bahan utamanya terbuat dari kayu dan bambu, atapnya terbuat dari alang-alang. Tali temali pengikat yang digunakan terbuat dari ijuk. Beberapa rumah dihiasi puluhan tanduk kerbau yang disusun rapi secara horsiontal dari atas ke bawah atau sebaliknya. Beberapa masih menyertakan tengkorak kepala kerbaunya. Saya menyapa seorang lelaki tua yang duduk mencangklong di teras
Mesbah dan Batu Menhir
rumahnya. "Inerie lebih sering terbakar saat ini",  kata lelaki tua itu di sela-sela obrolan kami sambil memandang lekat ke gunung api yang berdiri kokoh dan agung di depan kami. Saya mengangguk sambil ikut melihat ke Inerie yang sedang berasap karena terbakar di beberapa bagian punggungnya. "Bagaimana jika gunung ini meletus ya?, pikir saya melihat betapa dekatnya jarak Inerie dengan kampung adat Bena. Saya melanjutkan obrolan saya dengan lelaki tua tersebut sambil memperhatikan wajahnya. Kulit keriputnya membungkus tulang wajah yang kokoh ditopang bahu lebar nan kekar. Bibirnya berhiaskan warna merah nyirih puluhan tahun. Wajah fotogenik untuk didokumentasikan dalam selembar foto, namun saya segan meminta izin memotret lelaki tua itu. Saya tidak ingin merusak keramahannya menyambut saya dan ngobrol di teras rumahnya. "Itu kuburan kepala suku leluhur kami", kata lelaki tua itu menunjuk ke kumpulan batu-batu menhir berwarna abu-abu yang dipasang berdiri atau vertikal. Beberapa batu menhir menjadi penopang batu lain berbentuk ceper setebal   sentimenter sehingga berbentuk seperti meja. "Itu tempat persembahan bagi leluhur pada waktu tertentu diiringi ujaran-ujaran adat", kata lelaki tua itu saat melihat saya mengamat-amati batu-batu menhir dan mejanya. Walau asyik ngobrol,  saya akhirnya harus menghentikan obrolan kami guna meneruskan dan menyelesaikan penelusuran saya di kampung adat Bena. Saya pamit pada pak tua nan ramah itu. Saya dan Mako meneruskan langkah-langkah kami ke ujung kampung. Saya lupa menanyakan ke lelaki tua yang ramah itu mengapa rumah-rumah di kedua sisi kampung dibangun pada ketinggian berbeda?. 

Ibu penenun di Kampung Adat Bena
Di rumah terakhir di ujung kampung yang berbatasan dengan tebing setinggi 3 meteran, saya mampir dan ngobrol dengan 2 orang ibu berbeda usia di teras rumah mereka. Si ibu tua sedang asyik menenun. Sambil menenun, si ibu bercerita bahwa benang yang digunakan merupakan hasil pintalan sendiri dari kapas yang ditanam di kebun. Ibu berusia lebih muda sedang menjemur kain-kain tenunan berbagai ukuran, corak dan warna. "Yang ini dari benang pintalan sendiri dan pewarna alami", kata ibu itu menunjuk kain-kain tenunan berwarna pucat. "Ini dari benang pabrik", lanjut si ibu menunjuk tenunan berwarna cerah. "Mana yang paling laku", tanya saya. "Dua-duanya", kata si ibu yang lebih muda.  "Orang barat lebih suka yang asli", lanjutnya. Saya hanya mengangguk-angguk sambil meraba kain-kain tenunan dari kapas pintalan tangan perempuan-perempuan Bena. Saya merasai bau kapas dan tanah dari tenunan tersebut dengan pewarna alaminya. Tenunan berbahan alami terasa lebih kasar dibanding tenunan dari benang buatan pabrik. Puas bercakap-cakap, saya pamit meneruskan  penelusuran saya ke atas tebing. Saya mendaki tangga-tangga batu dari pelataran halaman ke atas tebing mengikuti Mako yang telah lebih dulu naik.

Mako di depan gua Bunda Maria di Kampung Adat Bena
Di ujung pelataran tebing tersebut dibangun gua kecil berisi patung Bunda Maria dinaungi pohon bunga bogenfil yang sedang berbunga lebat. Sekitar 5 meter di samping kanan gua Maria berdiri kokoh satu pohon raksasa berusia puluhan tahun yang menaungi pelataran tersebut. Di balik tebing tempat gua Maria dan pohon raksasa tersebut terhampar lembah hijau yang dipagari jejeren lapisan punggung-punggung bukti berwarna hijau di batas pandang yang terhubung ke gunung api Inerie di dekat kampung adat Bena.

Kampung Adat Bena dari ketinggian tebing di ujung kampung
Dari pelataran tebing tersebut, saya dan Mako bisa melihat jejeren rumah di kedua sisi kampung serta pelatarannya hingga ke ujung seberang tempat kami datang. Puas memotret dan menikmati panorama kampung adat Bena dari ketinggian, saya dan Mako turun melewati sisi sebelah alias sisi yang   berlawanan arah dengan kedatangan kami hingga naik ke atas tebing. Tiba di ujung kampung menuju pintu keluar, kami bertemu dua turis manca negara bersama guide mereka yang baru saja naik dan sedang berdiri mengamati tiang tinggi beratap kerucut atau seperti kukusan terbalik di pelataran samping kiri tangga batu yang digunakan sebagai akses utama naik dan turun dari / ke halaman bawah depan rumah bertanda patung di atas atapnya. Guide menjelaskan berbagai hal yang tidak saya dengar. Saya  hanya melihat kedua turis manca negara tersebut mengangguk-angguk dan bertanya ini dan itu sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Setelah mereka pergi, saya dan Mako mampir ke tempat yang sama. Saya mendongak untuk melihat apa yang ada di atas tiang beratap kerucut yang terbuat dari alang-alang itu.
Gadis penenun di Kampung Adat Bena
Setelah mengamati dan mengambil beberapa foto, saya dan Mako turun kembali ke halaman luar dan berjalan ke gerbang menuju mobil. Dari kampung adat Bena, kami meneruskan perjalanan ke Dintor sebagai tempat transit menuju kampung adat Wae Rebo.




Bersambung...


Minggu, 12 Juni 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Air Terjun Panas Mengeruda di Ngada.

Menikmati hamparan sawah di jalan menuju Mengeruda
Perjalanan mobil langsung dari Kota Ende ke Kota Bajawa di Kabupaten Ngada, Flores harusnya berlangsung hanya 5 jam. Namun sebagaimana biasa, saya selalu mampir ke sana dan sini terlebih dahulu sehingga saya dan Yudi tiba di hotel sekitar jam 10 malam. Sebelum tahun 2007, Kabupaten Ende langsung berbatasan dengan Kabupaten Ngada. Namun dengan adanya pemekaran Kabupaten Ngada pada tahun 2007 dengan kehadiran kabupaten Nagakeo, maka perjalanan Ende ke Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada melewati wilayah Kabupaten Nagakeo. Dari kota Ende, mobil menyusuri jalanan beraspal mulus yang dibangun mengikuti garis pantai Ende dengan sesekali diselingi perkampungan yang dibangun memanjang di pinggiran pantai. Kadang mobil mendaki perbukitan yang dipenuhi kebun-kebun
Panorama dari gardu pandang di perbatasan Ende
penduduk dengan berbagai jenis tanaman. Lautan biru di sebelah kiri seperti terus mengikuti perjalanan mobil yang saya tumpangi. Jejeran tebing, bukit dan gunung hijau di sebelah kanan seperti mengawal perjalanan saya ke Ngada. Kami berhenti sejenak di suatu gardu pandang dekat perbatasan Ende dan Nagakeo. Gardu pandang sederhana ini dibangun seorang penduduk setempat di samping rumahnya di atas tebing tinggi yang membelakangi goresan garis pantai dan laut serta pulau Ende di horizon. Gardu tersebut difungsikan sebagai tempat jualan minuman dan makanan ringan bagi para pelintas atau pengunjung dari kota Ende yang ingin menikmati lukisan Ilahi nun jauh di batas cakrawala. Sambil menikmati makanan dan minuman, para pembeli bisa berleha-leha sejenak menikmati usapan sejuk sepoi-sepoi angin sambil memanjakan mata dengan lukisan Ilahi tersebut. Saya sempatin ngobrol sejenak dengan pemiliknya sambil minta izin memotret dari lokasi tersebut. Setelah itu, saya pamitan kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan ke Kabupaten Ngada - Tanah Para Pemilik Kopi.

Gunung api Ebulobo di horison
Saya dan Yudi tiba di perbatasan Ngada sekitar jam 3 sore. Pantai dan lautan telah menghilang sejak kami meninggalkan wilayah Ende. Panorama berganti jejeran perbukitan diselingi pemukiman, kebun-kebun penduduk, hutan dan belukar menandai perjalanan saya dan Yudi di wilayah Kabupaten Nagakeo hingga Ngada. Sesekali gunung api Ebulobo di wilayah Ngada mengintipi perjalanan kami - hilang timbul dalam gelombang dan kelokan jalan melewati perbukitan dan lembah. Sekitar 10km sebelum kota Bajawa, Yudi membelokkan mobil ke satu jalan kecil di sebelah kanan jalan trans Flores yang kami susuri. "Kita ke air terjun panas Mengeruda melalui jalan ini", kata Yudi. Saya hanya mengiyakan karena saya telah memberitahu Yudi beberapa tempat yang ingin saya kunjungi dan jelajahi di wilayah Ngada, termasuk air terjun panas Mengeruda di Kecamatan Soa. Mobil menyusuri jalanan yang wajahnya telah compang camping. Jalanan beraspal kasar yang kami jalani telah berlubang di berbagai tempat sehingga kecepatan mobil dikurangi guna meminimalisir goncangan. Mobil melewati deretan rumah penduduk di kiri dan kanan jalan sekitar
Hamparan sawah dengan latar gunung api Ebulobo
2km lalu memasuki jalan yang lebih buruk kondisinya melewati kebun-kebun dan hutan belukar. Sekitar 1 jam menyusuri jalan pengerasan dari bebatuan dan berlubang-lubang tersebut, kami tiba di satu pertigaan yang mempertemukan kami dengan jalan lain yang telah beraspal mulus. Kiri dan kanan jalan dihampari  persawahan hijau. Di beberapa tempat, hamparan sawah telah selesai dipanen meninggalkan hamparan berwarna coklat muda / khaki dan batang-batang padi bekas panen yang bersisian dengan hamparan hijau yang masih sedang bertumbuh. Gunung api Ebulobo terlihat perkasa di kejauhan dari hamparan sawah tersebut saat Yudi menghentikan mobil di beberapa tempat sepanjang jalan yang sedang kami susuri guna memberi waktu bagi saya memotret berbagai keindahan alam di sekitarnya. Kadang Yudi mengambil alih kamera untuk memotret diri saya. Yudi dengan senang hati memotret saya dan alam sekitar sekalian mengasah keahlian dasar fotografi yang telah saya ajarkan tahun 2014 saat kami bertemu pertama kali di Ende ketika saya menyewa mobilnya untuk mengantar saya ke Danau Kelimutu (baca catatan tahun 2014 tentang Danau Kelimutu). 

Hamparan sawah dalam perjalanan di Ngada
Beberapa kali kami harus bertanya pada orang-orang di pinggir jalan untuk mendapatkan arah yang tepat ke air terjun panas Mengeruda di Soa - searah airport Ngada di Soa. Yudi pernah mengantar tamu ke air terjun ini, namun saat itu mereka datang dari arah kota Bajawa. Sedangkan saat ini, Yudi mencoba jalan lain dari luar kota Bajawa. Kami tiba sekitar 30an menit sebelum tempat air terjun panas Mengeruda ditutup bagi pengunjung. Yudi memarkir mobil di tempat parkir yang kosong karena hari telah sore. Saya berjalan ke loket penjualan karcis yang letaknya berhadapan dengan parkiran dalam jarak 30an meter. Saya membayar delapan ribu rupiah untuk tiket masuk bagi saya dan Yudi. Air terjun panas
Bermain air di sungai dekat air terjun panas Mengeruda
Mengeruda berada dalam suatu kompleks taman yang tertata rapi dan dikelola dengan baik. Jalan di depan gerbang masuk terbagi ke 2 bagian untuk memudahkan pengunjung masuk dan keluar. Dugaan saya, pada saat ramai, jalan masuk dan jalan keluar bagi pengunjung dipisah agar tidak terjadi pertemuan antara keduanya.

Sekelompok anak kecil bersama seorang perempuan dewasa sedang mandi dan bermain air di sungai kecil yang mengalir di sebelah kiri saya. Di sebelah kanan saya dalam jarak sekitar 40 an meter terlihat satu pohon beringin besar
Air terjun panas Mengeruda
yang dipagari sekelilingnya. Beringin tersebut dikeliling kolam air panas yang menjadi pemandian warga setempat karena setelah beberapa menit saya berada di lokasi tersebut, saya melihat hanya warga setempat yang memasuki area berpagar tersebut. Sepasang laki-laki dan perempuan bule paruh baya sedang bersiap-siap meninggalkan tepian sungai kecil yang menjadi tempat mandi dan main anak-anak perempuan dan laki-laki bersama perempuan dewasa tersebut. Mereka tersenyum dan mengangguk ramah ke saya dan Yudi. Saya membalas sambil menyapa sekedarnya sebagai basa-basi sesama pengunjung. "Foto-foto" teriak kumpulan anak-anak tersebut ke saya dan Yudi. Yudi dengan senang hati mengabadikan kehadiran anak-anak tersebut yang juga bersuka ria berpose di dalam air.

Air terjun panas Mengeruda
Saya turun ke sungai merasai elusan air dingin segar ke kulit kaki-kaki saya. Saya duduk dan mencuci tangan serta muka di sungai tersebut lalu berjalan ke satu pohon rindang yang menaungi air terjun. Air sungai terasa hangat saat saya mencelupkan tangan dan kaki saya ke aliran air di tempat pertemuan air sungai dan air terjun yang seperti membentuk huruf T. Kehangatan air  terjun menggoda saya menikmati cumbuan lembut ribuan lidah air seputih salju. Saya memutuskan mandi di tempat tersebut karena hari telah sore. Kelompok anak-anak dan perempuan dewasa yang mandi di hulu sungai berjarak 20an meter dari tempat saya telah berlalu. Hanya saya dan Yudi di lokasi tersebut serta beberapa pemuda dan pemudi yang duduk-duduk di tepian sungai kecil lain di ketinggian 3 meteran di atas air terjun. Sungai tersebut seperti kanal yang mengalirkan air panas entah dari bagian mana di kawasan tersebut yang berubah menjadi air terjun panas di tempat saya berada saat itu. Air terjun panas itu mengalir jatuh ke sungai di bawahnya yang berair dingin. Pertemuan kedua aliran air tersebut menghasilkan air yang rasa panasnya lebih ringan dibandingkan rasa panas air terjun yang belum bercampur dengan air dingin sungai yang telah ditinggalkan kumpulan anak-anak dan perempuan dewasa itu.

Air terjun panas Mengeruda
Dengan hanya mengenakan celana dalam, saya perlahan-lahan turun ke dalam sungai yang menjadi tempat tumpahan air terjun panas tersebut. Sambil berpegangan pada dahan-dahan pohon yang menjorok dan menggantung di tengah sungai dekat ke air terjun panas, telapak kaki saya perlahan-lahan masuk ke cekungan selebar 1 meteran setinggi pinggang saya dalam sungai di bawah air terjun. Telapak kaki saya menyentuh dasar sungai yang berbatu-batu. Saya mencoba mengekplorasi area sekitar dengan berjalan perlahan sambil berpegangan pada dahan-dahan pohon. Dasar sungai terasa sangat licin di beberapa bagian sehingga saya mengakhiri eksplorasi saya lalu kembali ke lokasi pertempuan air terjun dan aliran sungai yang berbentuk seperti suatu pertigaan jalan. Dengan berpegangan pada dahan pohon, saya menyeberang ke bagian air terjun. Airnya lebih panas dibanding air dalam sungai yang menjadi pertemuan air terjun dan air sungai. Yudi asyik sendiri dengan kamera DSRL saya yang telah saya percayakan kepadanya. Saya menikmati tekanan air terjun panas Mengeruda dalam berbagai posisi. Berulang-ulang saya turun dan naik dari lokasi air terjun ke sungai guna merasakan dan menikmati perbedaan panas dan tekanan air. "Mungkin ini satu-satunya keajaiban alam Indonesia. Air terjun tapi panas yang ketinggiannya hanya sekitar 3 meter", pikir saya sambil berendam. Saya seperti sedang berada dalam kolam jacuzzi.

Pertemuan sungai dan air terjun panas Mengeruda 
Malam telah turun di lokasi air terjun panas Mengeruda saat saya dan Yudi  meninggalkan air terjun panas dan sungai kecil berair jernihnya. Beberapa pemuda dan pemudi masih bercengkerama di sekitar sungai kecil yang mengalirkan air panas dari ketinggian hingga jatuh di tempat air terjun yang bertemu dengan air sungai di bawahnya. Suara-suara percakapan dari kolam dan pohon beringin yang dipagari menandai masih adanya orang lain di lokasi tersebut. Dua lelaki paruh baya sedang duduk-duduk di bangku taman air terjun panas Mengeruda saat saya dan Yudi berjalan ke tempat parkir. Kabut tipis terlihat menggantung di antara pepohonan dan langit saat saya dan Yudi meninggalkan parkiran taman air terjun panas Mengeruda menuju kota Bajawa. Kami masih harus mencari penginapan di kota Bajawa untuk mengakhiri malam sekaligus beristirahat bagi perjalanan selanjutnya esok hari. Saya dan Yudi berkeliling kota kecil yang seakan telah terlelap karena kesunyian malam berbungkus udara dingin
Pertemuan sungai dan air terjun panas Mengeruda
dan kabut tipis. Kami menemukan penginapan Bintang Wisata Hotel di Jalan Palapa No 4 sebagai tempat kami melabuhkan badan di malam ini. Hotel ini berjarak sekitar 100 meter dari perempatan pasar kota Bajawa. Hanya tersisa kamar standar seharga 250 ribu rupiah per malam. Kamar-kamar lain telah dipenuhi turis manca negara. Saya mengambil kamar standar tersebut dan meminta extra bed bagi Yudi karena Yudi tidak mau tidur di kamar sopir bercampur dengan sopir-sopir lainnya. Selesai mandi dan minum kopi panas yang disediakan pihak penginapan, saya dan Yudi keluar mencari makan ke kota yang telah sepi. Hidup seperti berhenti di kota Bajawa. Hanya ada cahaya kerlap-kerlip lampu tanpa keributan dan kesibukan. Kabut dan dingin menutupi seluruh kota saat saya dan Yudi berkeliling mencari tempat makan yang cukup representatif. Yudi memarkir mobil di halaman satu restoran yang masih buka dan cukup ramai terlihat dari banyaknya mobil yang parkir di halaman restoran tersebut. Saat kami masuk, restoran dipenuhi turis manca negara didampingi guide masing-masing. Di resto ini, teman Yudi bernama Mako bergabung dengan kami untuk perjalanan esok hari hingga kami akan berpisah di Labuan Bajo. Mako juga seorang sopir sehingga keduanya bisa gantian menyopiri mobil dari Bajawa ke Manggarai selanjutnya ke Dintor lalu ke Labuan Bajo.

Panorama dari gardu pandang di perbatasan Ende
Malam semakin dingin dan kota ditutupi kabut saat saya, Yudi dan Mako meninggalkan restoran kembali ke Hotel. Walau dingin dan tanpa fasilitas air panas di kamar standar yang saya pakai, saya memutuskan mandi sehingga tubuh menjadi segar dan lebih hangat. Sebaliknya, Yudi yang tidur sekamar dengan saya tidak menyentuh air sama sekali karena takut dingin. Saya mandi sambil melompat-lompat karena air yang sangat dingin. Selesai mandi, badan menjadi lebih hangat sehingga bisa sedikit beradaptasi dengan udara dingin kota Bajawa - sebagaimana nasehat para orang tua yang diturunkan generasi ke generasi. Jika dingin, maka harus mandi sehingga tubuh menjadi lebih hangat. Kasur telah digelar seorang staf hotel
Gunung api Ebulobo di horison 
di lantai samping tempat tidur saya sebagai extra bed bagi Yudi. Mako tidur di kamar yang diperuntukan bagi para sopir karena kasur yang disediakan pihak hotel hanya cukup untuk 1 orang. Saya memakai t-shirt yang saya lapisi dengan sweater lalu membungkus tubuh dengan kain tebal yang disiapkan hotel. Akhirnya saya terlelap bersama semakin kerasnya dengkuran Yudi. Biasanya saya tidak bisa tidur jika ada orang mendengkur.  Mungkin karena lebih rileks setelah berendam dan mandi air panas di Mengeruda, saya terlelap. Dengkuran Yudi bagaikan alunan music pengantar tidur hingga kokokan ayam jantan di pagi hari membangunkan saya menikmati selimut kabut dan dinginnya udara kota Bajawa.


Bersambung...




JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...