Sabtu, 27 Juni 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Pasar Atas dan Benteng Fort de Kock.

Di atap Benteng Fort de Kock bersama pengunjung lain
Inhale, exhale, udara pagi hari Bukit Tinggi terasa menyegarkan. Pagi masih berkabut saat udara segar menarik saya keluar kamar setelah mandi dan ganti pakaian bersih. Bernafas melalui perut menikmati kesegaran pagi yang belum terpolusi deru dan asap kendaraan bermotor sambil berjalan perlahan menyusuri jalanan yang masih lenggang dan sepi. Kembali kaki saya menapaki trotoar depan Taman Monumen Bung Hatta menuju Jam Gadang guna memotret Jam Gadang di pagi hari sekalian menjelajah daerah sekitar, termasuk Pasar Atas guna mencoba nasi kapau yang terkenal itu. Saat tiba di kawasan Jam Gadang, ternyata area tersebut tidak sepi seperti dugaan saya. Area kosong antara pagar
Kawasan Jam Gadang di pagi hari
pembatas dengan perbukitan, jejeran toko dan tempat parkir motor sedang digunakan warga yang mengikuti senam masal. Alhasil niat saya memotret Jam Gadang di kesunyian pagi tidak berhasil alias gagal. Sebagai gantinya, saya memotret aktifitas olahraga warga di kawasan tersebut sambil terus berjalan menuju kawasan Pasar Atas. Tepat di ujung kanan kawasan Jam Gadang dekat pos security, saya belok kanan menyusuri suatu gang melewati jejeran kios dan toko yang masih tutup.

Kondisi Pasar Atas di pagi hari
Saat berpapasan dengan orang yang melewati jalanan yang sama, saya bertanya dimana warung Nasi Kapau. "Terus saja ke bawah, jejeran warung-warung Nasi Kapau ada di sebelah kiri", kata pejalan kaki tersebut. Saya mengucapkan terima kasih dan meneruskan langkah mengikuti kontur jalan yang terus menurun. Sekitar 5 menit dari pos security di kompleks Jam Gadang, saya melihat jejeran warung warna putih dan biru di sebelah kiri saya agak masuk sekitar 15 meter dari jejeran kios di Pasar Atas. Semua warung tersebut berada dalam 1 bangunan terbuka semacam bangsal beratap seng dengan dinding setinggi dada orang dewasa. Bangsal tersebut disekat-sekat berbentuk kubikal seperti perkantoran
Tempat warung-warung nasi kapau di Pasar Atas
moderen di Jakarta. Setiap warung memiliki nama masing-masing. Semuanya terlihat bersih dan rapi. Dinding pembatas antar warung berupa tripleks dicat warna biru yang ditutup kain putih sehingga terlihat bersih dan rapi. Jejeran bangku juga dicat warna sama sedangkan dudukannya terbuat dari playwood putih. Belum banyak pengunjung, mungkin warung ini merupakan tempat makan para penjual dan juga pembeli di Pasar Atas sehingga masih terlihat sepi di pagi itu.

Lauk pauk nasi kapau Uni Lis di Pasar Atas
Aneka masakan terlihat berjejer dalam baskom-baskom sebesar pelukan orang dewasa. Saya memasuki warung nasi kapau Uni Lis, mengucapkan selamat pagi ke 2 perempuan yang terlihat sibuk mengatur jejeran masakan tersebut. "ingin makan apa, silahkan ambil sendiri", kata salah seorang perempuan tersebut. "nasi kapau", kata saya. "saya hanya ingin mencoba nasi kapau, namun saya tidak tahu seperti apa lauknya, lanjut saya". "Minta tolong ibu pilihkan saja, tapi tidak perlu banyak-banyak karena saya hanya ingin mencoba". "Dari mana?', tanyanya. "Jakarta", jawab saya. Selanjutnya kami bercakap-cakap sambil ibu penjual mempersiapkan nasi kapau yang ingin saya coba. Menggunakan sendok dan tangannya, ibu tersebut dengan lincah mengambil berbagai lauk yang tersusun rapi dalam baskom-baskom di atas meja berbentuk U. Di sekeliling meja berbentuk U tersebut diletakan bangku-bangku panjang dan meja yang menempel ke meja utama tempat lauk pauk. Meja makan sepanjang meja utama dengan lebar sekitar 30an cm tersebut terbuat dari playwood biru muda. Bisa digambarkan susunannya seperti tangga, yakni bangku-bangku, meja makan, meja utama tempat lauk pauk, lalu lauk pauk dalam baskom2 kemudian ibu penjual yang duduk atau berdiri dalam ruang kosong U tersebut. Saya mengambil tempat duduk di salah satu bangku sambil memperhatikan si ibu  mempersiapkan nasi kapau yang saya pesan.

Sarapan nasi Kapau Uni Lis di Pasar Atas
Sepiring nasi panas bersama berbagai jenis lauk yang juga masih mengepul dalam piring motif bunga disajikan bersama segelas air putih hangat serta tampat cuci tangan sebagaimana biasa disediakan di warung atau restoran Padang di Jakarta. Wah ternyata nasi kapau seharusnya menjadi menu makan siang atau makan malam saya, pikir saya setelah melihat makanan "berat" yang tersaji di depan saya. Namun karena saya penasaran dengan kepopulerannya, tangan saya bergerak mencomot makanan tersebut dan mulai makan dengan lahap sambil terus bercakap-cakap dengan ibu penjual. Beberapa orang silih berganti mampir membeli dan membawa berbungkus-bungkus nasi kapau saat saya sedang makan di tempat tersebut. Sambil makan, saya memperhatikan aktifitas sekeliling saya yang terdiri dari puluhan warung nasi kapau dalam ukuran yang sama. Beberap masih tutup, sedangkan beberapa lainnya telah  mulai sibuk melayani pembeli yang datang dan pergi. Sepertinya hanya saya yang sedang asyik makan di tempat tersebut. "berapa", tanya saya. "12 ribu rupiah, balas ibu penjual. "murah amat, kata saya dalam hati sambil mengeluarkan duit dan menyerahkan ke ibu penjual. "terima kasih, kata saya. "sama-sama pak, kalo ke Bukit Tinggi, mampir lagi ke sini", pungkas sang ibu penjual. "pasti bu", balas saya sambil tersenyum dan pamit dari tempat tersebut dalam kondisi kekenyangan dan agak kepedasan karena bumbu lauknya yang sangat terasa di mulut.

Gang Pasar Atas ke warung nasi kapau
Saya kembali menyusuri jalanan yang telah saya lewati menuju warung-warung nasi kapau tersebut 30an menit lalu. Sebelah kiri dan kanan jalan mulai terlihat kehidupan di kios-kios yang mulai buka dan bersih-bersih serta menyiapkan barang jualan mereka berupa barang industri seperti pakaian, sepatu, tas, mainan anak-anak lainnya yang serupa. Saat tiba di mulut gang depan kompleks Jam Gadang belakang pos security. Kesibukan warga yang senam masih sedang berlangsung, namun tidak sepadat pagi hari saat saya berjalan mencari nasi kapau. Saya melintas bersama warga lain yang juga sedang berlalu lalang di kawasan tersebut. Saya berjalan lurus ke jejeran pertokoan yang semalam (baca catatan sebelumnya) saat mencari souvenir dan cincin perak. Di kanan saya, jejeran pertokoan masih sedang tutup. Para penjual souvenir juga belum terlihat. Sebelah kiri saya, tempat parkir motor juga masih sedang sepi. Hanya dokar dan para kusir yang telah bersiap menunggu pengunjung. Puluhan dokar berjejer di depan Jam Gadang sebelah tempat parkir motor. Saat saya melewati tempat tersebut, seorang kusir menawarkan jasa mengantar saya menjelajah kota Bukit Tinggi menggunakan dokarnya. Sayangnya saya lebih suka jalan kaki menuju tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi. Apalagi, saya telah sepakat dengan Jasman untuk menjemput saya di Benteng Fort de Kock pagi hari tersebut.

Jejeran bendi menunggu penumpang di kiri depan Jam Gadang
Menggunakan peta yang saya peroleh dari hotel kemarin sore, saya mulai menelusuri salah satu jalan yang terhubung ke kawasan Jam Gadang. Dari jejeran dokar, saya terus berjalan ke kiri menyusuri sisi sebelah yang berlawanan arah dengan sisi yang telah saya lalui pagi tadi ke Pasar Atas. Di sisi ini juga terdapat sekelompok warga yang sedang senam dipimpin 4 orang ibu bertempat di atas panggung setinggi 50an cm. Saat saya memotret aktifitas mereka, para ibu tersebut menyambut hangat tersenyum dan melambaikan tangan mereka. Seselesai memotret saya tersenyum balik dan mengangguk mengucapkan terima kasih lalu melangkah menyeberangi jalan A Yani yang menjadi pemisah kawasan Jam Gadang dengan kawasan pertokoan. Saya menyusuri trotoar jalan Yos Sudarso
Jalan yang saya susuri menuju Benteng Fort de Kock
sambil memotret hingga tiba di perempatan yang menhubungkan jalan Yos Sudarso, jalan Tuangku Nan Renceh, jalan Teuku Umar dan jalan Benteng yang berjarak 50an meter dari kawasan Jam Gadang. Jika saya belok kanan menyusuri jalan Teuku Umar, maka saya akan tiba di jalan A. Yani sehingga saya akan masuk ke Benteng melalui Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Saya memilih menyeberangi jalan Teuku Umar lalu menyusuri jalan Benteng yang arahnya sejajar dengan jalan Teuku Umar. Jalanan ini juga masih sepi dan lenggang. Hanya sedikit kendaraan bermotor dan pejalan kaki yang berpapasan atau terlihat berjalan searah. Beberapa hotel dan penginapan terlihat menghiasi jalan yang saya lalu menuju Benteng Fort de Kock.

Sekitar 15 menit kemudian saya telah tiba di kawasan Benteng Fort de Kock yang juga masih sepi. Jasman telah tiba dan menunggu saya di tempat parkir mobil depan gerbang masuk benteng. Saya meminta Jasman memotret saya di depan gerbang sebagai dokumentasi kunjungan saya ke tempat tersebut. Setelah itu, saya membeli tiket di loket yang terletak di sebelah
Gerbang Benteng Fort de Kock
kiri saya atau kanan gerbang. Tiket seharga 8000 rupiah saya kantongi kemudian berjalan memasuki kawasan benteng yang tertata rapi. Jalanannya terlihat bersih dan terawat. Saya berjalanan keliling untuk mengeksplorasi dan memotret. Setelah itu saya berjalan ke bangunan rumah peninggalan Belanda yang disebut benteng tersebut. Hanya bangunan tersebut dan meriam tua yang tersisa sepertinya di kompleks tersebut. Bangunan tersebut menempati lokasi strategis di puncak bukit sehingga bisa mengamati sekeliling di bawah perbukitan - yang tentunya diperlukan pada zaman penjajahan. Tiket tersebut berlaku sebagai tiket terusan ke Taman Magrasatwa dan Budaya Kinantan yang terletak bersebelahan dengan Benteng dan dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh. Karena itu akses ke Benteng Fort de Kock dapat dilakukan melalui jalan Benteng atau jalan A Yani. Jika melewati jalan A Yani, maka pengunjung akan masuk melalui gerbang Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan.

Bangunan Benteng Fort de Kock
Benteng Fort de Kock dibangun Kapten Bouer pada tahun 1825 di bukit Jirek Bukit Tinggi. Benteng ini merupakan tempat pertahanan Pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat Minang dalam perang Paderi di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1821 - 1837. Nama Benteng ini berasal dari nama Wakil Gubernur Hindia Belanda sekaligus Komandan de Troepen (tentara Hindia Belanda) di Sumatera pada saat itu, yakni Baron Hendrick Markus de Kock. Bangunan Benteng ini berbeda dengan benteng lain yang pernah saya lihat dan kunjungi di Ternate dan Eropa Barat (lihat catatan perjalan di Eropa Barat) ternyata jauh berbeda. Benteng Fort de Kock merupakan suatu bangunan biasa berlantai 2 dengan panjang sekitar 9 dan lebar sekitar 6 meter. Di keempat sudutnya terdapat meriam yang dihadapkan ke lembah. Saat saya berada di lokasi tersebut, lantai dasar yang terlihat terbuka dan kosong tersebut sedang digunakan beraktivitas oleh satu rombongan anak muda. Bangunan lantai 2 ditopang oleh tiang-tiang kokoh berjumlah 3 di tiap sisi bangunan.

Saya menaiki tangga sempit dari besi menuju lantai 2 melewati semacam lubang sebesar tubuh orang dewasa. Saking  kecilnya lubang tersebut, pengunjung berbadan besar tidak akan bisa melewati lubang tersebut ke lantai 2. Dengan usaha yang sangat hati-hati, akhirnya saya berhasil melewati
Tangga curam ke lantai 2 bangunan Benteng
tangga curam yang terbuat dari lempengan-lempengan besi yang agak licin  hingga tiba di lantai 2 di bagian belakang bangunan benteng. Saya menyusuri penampang selebar 75an cm menuju  samping kanan atau berlawanan dengan arah kedatangan saya dari gerbang. Di samping kanan tersedia tangga yang cukup bagus menuju atap benteng yang berbentuk datar / dak. Saat saya tiba, di dak ini terlihat sekumpulan pemuda tanggung sedang duduk bercengkarama dan merokok. Saya menyapa mereka dan bercakap-cakap lalu mengajak foto bersama. Mereka berasal dari kawasan pemukiman sekitar benteng. Dari puncak benteng, pemandangan yang tersaji adalah kantor balai kota di kejauhan dan hamparan lembah Kota Bukit Tinggi. Setelah mengambil beberapa foto, termasuk bersama kelompok pemuda tersebut, saya pamit dan kembali ke bawah. Tidak hanya naik, saat turun pun memerlukan kehati-hatin ekstra saat menuruni tangga curam tersebut. Jejak pengunjung yang naik turun di tangga curam tersebut menjejak jelas di pegangan besi sebesar 2 ibu jari orang dewasa yang nampak berkilat karena sering dijamah tangan-tangan para pengunjung.

Jembatan Limpapeh
Keluar dari bangunan benteng, saya berjalan lurus menuruni bukit melalui jalan setapak yang cukup rapi. Saya berjalan ke Jembatan Limpapeh yang menjadi penghubung kawasan Benteng dengan lokasi taman margasatwa yang terletak bersebelahan. Di bawah Jembatan melintas jalan A. Yani yang mulai terlihat sibuk oleh penghuni rumah dan pertokoan yang berjejer di kedua sisi jalan tersebut. Saya tidak kembali ke gerbang benteng, karena itu saya meminta Jasman menjemput saya di gerbang taman margasatwa. Jembatan ini dibuat sebagai jalan penyeberangan orang seperti JPO-JPO di jalan-jalan Jakarta. Di bawah jembatan bertebaran perumahan penduduk dipisahkan jalan raya yang cukup lebar. Dari atas jembatan saya dapat melihat puncak Jam Gadang di kejauhan yang terletak di sebelah kanan saya, sedangkan kantor walikota di sebelah kiri nun jauh di perbukitan sebelah, setelah lembah kota Bukit Tinggi. Setelah melewati Jembatan Limpapeh, saya memasuki kawasan taman margasatwa Kinantan. Saya tidak mengeksplorasi taman margasatwa tersebut karena ingin segera mengunjungi rumah kelahiran Bung Hatta. Saya hanya mengambil beberapa foto di lokasi tersebut lalu menerukana perjalan ke gerbang keluar masuk yang terletak di arah kanan dari Jembatan Limpapeh.

Sebelum keluar gerbang, saya sempatkan mengamati kondisi sekitar. Loket penjualan tiket berada di sebelah kanan saya. Terlihat seorang pengunjung laki-laki menghampiri loket tersebut, namun
Jembatan Limpapeh
sepertinya pengunjung tersebut tidak jadi membeli tiket. Karena pengunjung tersebut keluar lagi dari gerbang. Keluar gerbang, saya menuju toilet yang terletak sekitar 10 meter di sebelah kiri. Pengguna toilet harus membayar 2000 rupiah setelah menggunakan toilet tersebut sebagai kontribusi bagi jasa kebersihan yang dilakukan oleh seorang lelaki tua yang saat itu sedang menjaga kotak pembayaran sambil bercakap-cakap dengan seorang lelaki penjual minuman di samping toilet tersebut. Toiletnya tidak terlalu kotor, namun juga tidak bersih sekali. Satu urinoir terlihat rusak, namun saya dan pengunjung lain masih dapat menggunakan urinoir lain atau langsung ke kloset jongkok dalam ruang lain yang memiliki pintu. Toilet bagi laki-laki berada di sebelah kanan saya, sedangkan bagi perempuan berada di kiri.

Jam Gadang dari atas Jembatan Limpapeh
"kita kemana sekarang", tanya Jasman saat saya telah duduk disisinya dalam mobil yang diarahkan keluar dari parkiran depan kebun Binatang. "ke rumah kelahiran Bung Hatta lalu ke bubur campiun" balas saya. Walau saya telah sarapan cukup berat dengan nasi kapau, namun saya masih penasaran dengan bubur campiun yang diceritakan seorang teman kantor. Karena itu saya ingin mencicipi makanan tersebut sebelum meninggalkan kota Bukit Tinggi. Dari gerbang kebun binatang. mobil belok kiri menyusuri jalanan yang belum terlalu ramai menuju rumah Kelahiran Bung Hatta yang terletak dekat Pasar Bawah Bukit Tinggi.

Gerbang Taman Margasatwa 



Bersambung

Sabtu, 20 Juni 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Bukit Tinggi - Jam Gadang Di Malam Hari.

Warung pinggir sawah dan jalan utama ke Bukit Tinggi
"Sekitar 6km lagi, kita akan tiba di Bukit Tinggi", kata Jasman saat kami beristrahat di sore hari pada salah satu warung pinggir jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Tanah Datar dengan Bukit Tinggi. Dangau Kawa atau Warung Kopi demikian nama warung yang kami singgahi guna menikmati "kawa" dan penganan tradisionalnya, seperti pisang dan singkong goreng, bika dan minuman kopi yang terbuat dari daun kopi yang disebut kawa. Saya dan Jasman menunggu beberapa menit sebelum mendapatkan tempat duduk di bale-bale kayu di samping pintu masuk. Selain bale-bale, bangku-bangku dan meja-meja panjang dalam warung dipenuhi pengunjung laki-laki dan perempuan berbagai usia yang duduk berkelompok atau berpasang-pasangan menikmati berbagai penganan dan minuman yang disediakan warung.

Kawa susu dan bika 
"Pesan apa?", tanya salah seorang pemuda penjaga warung. Setelah bertanya pada Jasman, saya lalu memesan kawa susu dan bika (salah satu kue traditional khas Minang). Karena 1 porsi bika terdiri dari 4 potong kue, maka Jasman hanya memesan kopi guna dinikmati bersama bika. Kawa susu saya disajikan dalam wadah yang terbuat dari potongan bambu sebagai pegangan dan batok kelapa sebagai tempat menampung minumannya. 4 potong bika panas disajikan bersama kawa susu tersebut. Bika terbuat dari campuran tepung beras, kelapa parut dan gula berbentuk semi bulat dan dipanggang. Saya mengambil 1 bika mengigit perlahan menikmati kehangatan dan kegurihannya. Rasa manisnya seperti manis tebu alias tidak terlalu manis, rasa yang sangat saya sukai. Kawa susu merupakan kopi yang terbuat dari daun kopi dicampur susu. Saat minum, rasa kopi terasa ringan bersama aroma dan rasa daun segar yang menghadirkan sensasi unik yang belum pernah saya temukan dalam penjelajahan saya ke berbagai pelosok Indonesia. Saya dan Jasman menikmati kawa dan bika sambil bercakap-cakap tentang berbagai hal, terutama tentang budaya Mining.

Persawahan di samping dan belakang Dangau Kawa
4 perempuan yang duduk di bale-bale yang sama telah selesai sehingga mereka meninggalkan tempat tersebut. Namun tidak lama kosong, sepasang suami istri dan anak laki-laki berusia sekitar 4 atau 5 tahun menggantikan mereka. Anak laki-laki ini sangat aktif menghampiri tempat saya dan Jasman seperti penasaran ingin mengambil bika yang ada di depan kami sehingga ayah dan ibunya kewalahan meminta anak itu duduk diam di samping mereka. Saya tersenyum dan mengajak anak tersebut bercakap-cakap menanyakan nama dan usianya yang dijawab oleh ibu anak tersebut. Saya katakan ke orang tuanya, tidak apa-apa jika anaknya ingin mengambil kue bika kami, namun ibu dan ayah anak tersebut tidak setuju. Aktivitas anak laki-laki tersebut menjadi pemicu saya bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya. Itulah ciri khas Indonesia, dimanapun keramahan tersebut selalu menyambut hangat saat kita memulai pembicaraan. Selesai menikmati kawa susu dan bika, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke Bukit Tinggi. Saya sempatkan memotret hamparan sawah di samping dan belakang Dangau Kawa sebelum memasuki mobil kami yang parkir di halaman Dangau.

Menuju kota Bukit Tinggi
Sekitar jam 4 sore, saya dan Jasman tiba di Kota Bukit Tinggi. Kami melewati pasar bawah yang penuh sesak oleh lalu lalang manusia, para pedagang, mobil-mobil yang sedang parkir hingga angkot yang sedang ngetem sehingga mobil harus berjalan perlahan seperti saat macet di Jakarta. Kami melewati jalan depan rumah kelahiran Bung Hatta hingga tiba di pertigaan. Mobil belok kiri melewati pasar, mendaki ke puncak perbukitan Kota Bukit Tinggi. Karena belum memesan hotel, maka saya dan Jasman berkeliling mencari hotel atau losmen yang semuanya penuh karena akhir minggu sehingga banyak orang luar yang berlibur dan menghabiskan waktu di Bukit Tinggi. Kami akhirnya mendapatkan 1 kamar di hotel Embunsuri yang terletak sekitar 100 meter dari Jam Gadang.

Kesibukan Pasar Bawah Bukit Tinggi
Karena semua kamar sedang penuh, Saya dan Jasman mendapatkan kamar sederhana seharga 275 ribu rupiah per malam. Kamar tersebut dilengkapi 2 dipan berukuran 90cm x 200cm, kursi, meja, TV serta 2 botol air mineral. Kamar mandi dan toiletnya dilengkapi 2 handuk dan 2 sabun. Karena udara Bukit Tinggi yang cukup dingin, maka saya mengambil kamar tersebut dengan pertimbangan tidak memerlukan AC dan juga agak sulit mencari kamar yang benar-benar ideal bagi saya menghabiskan malam di kota ini. Tujuan utama saya sore ini adalah Jam Gadang tentunya. Daripada menghabiskan waktu mencari kamar hotel yang ideal, lebih baik waktu tersisa sebelum matahari menghilang dapat saya gunakan mengunjungi Jam Gadang.

Di belakang Jam Gadang
Selesai mandi dan ganti pakaian bersih, saya meninggalkan hotel menuju Jam Gadang. Sebagai orang Sumatera Barat yang telah sering ke Bukit Tinggi mengantar para tamunya, Jasman tidak tertarik mengikuti saya mengunjungi Jam Gadang sehingga kami berpisah sementara di hotel. Jasman ingin menghabiskan waktunya sendiri di tempat lain di kota tersebut sehingga saya sendirian akan menjelajah kawasan Jam Gadang di sore menjelang malam. Langit sedang berawan tebal dan rintik hujan menyertai perjalanan saya keluar hotel menuju Jam Gadang. Kesegaran udara sore pegunungan menyergap tubuh saat kaki saya melangkah keluar hotel. Dari gerbang hotel saya belok kiri menyeberangi pertigaan ke arah taman Bung Hatta. Selanjutnya saya menyusuri trotoar depan Taman Bung Hatta yang cukup bagus hingga tiba di dekat Jam Gadang. Sekali lagi saya perlu menyeberangi jalan guna tiba di kompleks Jam Gadang yang dipenuhi pengunjung dan para pedagang kaki lima. Tugu jam berwarna putih tersebut berdiri kokoh menantang langit dalam cahaya sore yang akan berganti malam. Saya meminta tolong sepasang kekasih yang sedang asyik berfoto disitu untuk memotret diri saya sebagai dokumentasi kenangan kunjungan saya ke Jam Gadang. Setelah itu, saya ganti memotret mereka kemudian saling mengucapkan terima kasih dan berpisah mengambil jalan masing-masing. Saya berjalan perlahan menikmati suasana dan mengamati kawasan sekitar Jam Gadang. Puluhan meter dari Jam Gadang berdiri berbagai toko yang mengitari Jam Gadang seperti huruf L. Pada salah satu sisi berdiri kompleks musem Bung Hatta yang dipisahkan jalan raya dengan komplek Jam Gadang. Sedangkan sisi lain menghadap ke kota Bukit Tinggi di bawah perbukitan. Di sebelah kanannya terhampar pedestarian dengan lebar sekitar 10 meter yang menghubungkan komplek Jam Gadang dengan jalan raya depan hotel Embunsuri - yang saya susuri salah satu bagiannya saat berjalan dari hotel ke Jam Gadang dan saat kembali dari Jam Gadang ke hotel.

Parkiran motor di kiri depan Jam Gadang
Rintik hujan tidak menyurutkan niat orang berlalu lalang, berfoto dan bahkan duduk-duduk di sekitar Jam gadang. Saya berjalan mengeliling tugu Jam Gadang dan meminta seorang fotografer lokal memotret saya beberapa kali. Saya kemudian berdiri menghadap ke kota Bukit Tinggi di bawah berbukitan menikmati pergantian sore ke malam hari berserta kerlap-kerlip lampu kota di kejauhan. Di sebelah kanan saya terdapat taman kecil yang diapit jalan raya dan pedestarian. Di sebelah kiri terdapat parkiran motor yang masih dipenuhi motor berbagai jenis milik para pengunjung. Berbagai kios souvenir berjejer di sekitar lokasi tersebut berseberangan dengan tempat parkir motor. Saya berjalan ke kios-kios tersebut mengamat-amati souvenir yang diperjualbelikan. Saya berhenti cukup lama di salah satu kios, melihat-lihat souvenir lalu memilih miniatur Jam Gadang dan rumah adat Minang
Jam Gadang menjelang malam
sebagai kenangan kunjungan saya ke ikon Bukit Tinggi tersebut. Saya bercakap-cakap dengan ibu penjualnya sambil tawar menawar. Si ibu menceritakan sejarah Jam Gadang, terutama puncaknya yang telah berganti 3 kali sesuai era kekuasaan pemerintah, yakni Belanda, Jepang dan Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda, puncak Jam Gadang berbentuk kubah seperti kubah-kubah gereja di Eropa. Pada zaman Indonesia, puncak Jam Gadang berbentuk rumah adat Minang.

Selesai dari kios souvenir, saya berjalan ke pedagang cincin yang membuka dagangannya di emperan toko seberang kios souvernir tempat saya membeli miniatur. Saya ingin membeli cincin perak untuk menambah koleksi saya jika mendapatkan kecocokan harga. Penjual cincin menjelaskan bahwa cincin yang dijualnya bukan perak/silver melainkan tiruan halus yang terlihat seperti perak. Karena saya mencari perak/silver, maka penjual tersebut mengarahkan saya ke toko penjual kerajinan perak/silver yang terletak di blok lain di seberang jalan. Penjual cincin menginformasikan jalan yang harus saya tempuh ke tempat penjualan silver tersebut, yakni memasuki pasar depan kami lalu belok kiri di gang pertama yang saya termui. Saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan memasuki pasar yang kios-kiosnya telah mulai tutup. Hanya beberapa gelintir yang masih buka,
Depan Jam Gadang
namun terlihat sedang bersiap menutupnya juga. Saat tiba di gang pertama yang saya temui, saya belok kiri berjalan menyusuri gang tersebut hingga tiba di sisi lain blok yang menjadi tempat penjual perak tiruan. Saya melihat deretan toko di seberang jalan sehingga saya menyeberang lalu menyusuri jalan tersebut menuju toko penjualan perhiasanya perak yang masih buka. Saya dilayani dengan ramah oleh seorang lelaki paruh baya yang tak bosan mengeluarkan dan memasukan kembali cincin-cincin yang ingin saya coba sampai mendapatkan 1 yang cocok dari segi ukuran dan desain. Selesai mengantongi  cincin perak seharga 350ribu rupiah tersebut, saya berjalan kembali ke Jam Gadang sebagai kompas bagi saya kembali ke hotel.

Malam telah sempurna saat saya berjalan kembali ke hotel. Saya menyusuri jalan yang telah saya lalui sore tadi saat berkunjung ke Jam Gadang. Trotoar dan pagar tembok setinggi lutut orang dewasa yang menjadi pembatas kompleks Jam Gadang dengan perbukitan di bawahnya masih ramai diduduki para sejoli yang sedang bermalam minggu maupun para pedagang oleh-oleh kaos Jam Gadang. Saya terus berjalan menyusuri trotoar tersebut ke arah hotel. Saya bertemu pedagang sate padang yang sedang membuka tenda jualan di pedestarian tersebut
Pedestarian penghubung jalan utama dan kompleks Jam Gadang
- berhadapan dengan Taman Bung Hatta. Saya memutuskan makan sate padang sebagai makan malam saya. Sambil makan saya bercakap-cakap dengan ibu dan anak laki-laki penjual sate padang tersebut. "sate saya merupakan cabang dari sate Mak Syukur di lembah Anai" canda ibu penjual sate. "wah saya makan di rumah makan sate Mak Syukur siang tadi" balas saya. Ternyata sate Mak Syukur dikenal hingga Bukit Tinggi yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan mobil dari tempatnya di lembah Anai. Saya beruntung telah mencicipi sate yang sangat populer tersebut.

Jam Gadang di malam hari





Bersambung...

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...