Minggu, 22 Mei 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Larantuka - Maumere - Moni

Pantai Larantuka di pagi hari
Udara subuh bertiup basah menghadirkan kesegaran saat pintu kamar saya buka di pagi ini. Kamar-kamar hotel berbaris sejajar menghadap halaman kecil penuh aneka bunga yang menyegarkan mata. Saya melangkah keluar kamar, mengunci pintu dan berjalan ke halaman depan yang masih sepi. Sama seperti jalan raya depan hotel yang juga sunyi sepi. Kesunyian yang menarik saya keluar halaman hotel lalu belok kanan menyusuri jalan raya melewati satu jembatan kecil di samping depan hotel. Saya tiba di depan Kapel Semana Santa yang sangat terkenal di dunia sebagai salah satu lokasi prosesi Semana Santa di setiap perayaan Paskah yang dihadiri ribuan umat Khatolik maupun pengunjung dari seluruh dunia.

Di depan Kapel terdapat taman Mater Dolorosa. Patung Bunda Maria
Taman Mater Dolorosa Larantuka
berwarna putih yang sedang memangku anaknya menarik saya memasuki taman yang dipagari namun pintunya terbuka seakan mempersilahkan saya masuk dan mengekplorasi taman tersebut. Taman ini langsung berbatasan dengan Pantai Larantuka yang sedang bermandikan cahaya mentari pagi. Puas mengamati Patung Bunda Maria dan Yesus, saya berjalan perlahan menuju pagar pembatas dengan laut - yang diberi atap. Di bagian ini terpampang foto-foto berbingkai yang disusun dalam suatu rangkaian cerita Jalan Salib dalam kepercayaan dan iman Khatolik. Saya berpindah dari satu foto ke lain foto mengamati-amati dan memotret.

Taman Mater Dolorosa Larantuka
Seorang lelaki muda bersama seorang anak lelaki berusia 4 tahunan berjalan melintasi taman menuju tepi pantai melewati gerbang terbuka di pagar pembatas Taman dengan lautan. "Selamat pagi", sapa saya sambil tersenyum ramah. "Pagi", balas sang lelaki tak kalah ramah. "Bawa jerigen untuk apa pak?, lanjut saya mengajak ngobrol. "Ambil air laut untuk dicampur ke dalam makanan babi", balas si lelaki. "Oh ya, kenapa pak?", tanya saya dalam keinginan-tahuan nan membuncah. "Supaya babinya cepat gemuk", balas si lelaki sambil tersenyum. Saya dan lelaki muda tersebut akhirnya bercakap-cakap sekitar 15 menit sampai saya menyadari telah menyita waktu si lelaki yang harus mengurus ternaknya pagi itu. "Silahkan lanjut pak, saya mo lihat-lihat dan foto-foto di sekitar sini",  kata saya mengakhir obrolan kami sekaligus pamit pada si lelaki dan anaknya. Kami bersalaman lalu berpisah melanjutkan  aktivitas masing-masing. Pesona keelokan laut Flores yang tenang diapit Pulau Solor, Pulau Adonara dan Pulau Flores di Pantai Larantuka tak saya tinggalkan begitu saja. Hidup serasa berhenti di tempat ini. Hanya desau angin yang menyapa ramah bersama senyuman mentari pagi yang mulai menghangat. Saya akhirnya meninggalkan taman Mater Dolorosa kembali ke hotel Lestari setelah puas menikmati dalam semedi keelokan pantai Kota Reinha Larantuka.

Selesai sarapan roti dan teh yang disediakan hotel, saya mandi dan mengepak kembali semua barang ke koper dan tas kamera. Saya meninggalkan kamar kosong yang saya kunci lalu berjalan ke ruang depan menuju resepsionis. Saya menghampiri meja resepsionis menyelesaikan pembayaran lalu duduk menunggu pemilik mobil yang akan saya gunakan menuju Moni di kaki gunung Kelimutu.
Sanrise di ujung Timur Pulau Adonara dari Pantai Larantuka
Setelah telpon-telpon 3 kali, sopir mobil dan seorang pemuda tiba di hotel Lestari. Saya mengajak keduanya masuk ke lobby untuk negosiasi harga. Saya menggambarkan rencana perjalanan jelajah beberapa tempat sepanjang jalan yang akan kami lalui kemudian kami beralih membicarakan harga. Dari harga 1juta per hari, akhirnya kami menyepakati harga 750ribu per hari untuk penggunaan 2 hari.  Saya dan sopir akan bermalam di desa Moni - desa di bawah kaki gunung Kelimutu.  Biaya kamar penginapan dan konsumsi sopir selama bersama saya menjadi tanggungan saya alias tidak masuk dalam kesepakatan sewa seharga 1juta 500 ribu selama 2 hari. Setelah menikmati sunrise di danau 3 warna Kelimutu, mobil akan mengantar saya ke Ende pada hari kedua dimana saya akan melanjutkan perjalanan ke Ngada dengan mobil lain yang juga telah saya pesan melalui telpon. Berganti mobil merupakan cara saya menjaga stamina sopir agar tetap stabil hingga akhir perjalanan saya menggunakan mobil ke Labuan Bajo, Manggarai Barat kemudian berganti kapal kayu menjelajahi Taman Nasional (TN) Komodo.

Ile Mandiri
Saya dan Mo'at - demikian nama sopir pengganti yang mengantar dan menemani perjalanan saya dari Larantuka ke Moni - meninggalkan Kota Larantuka sekitar jam 10 pagi. Saya tahu bahwa Mo'at adalah sebutan umum untuk para lelaki di Kabupaten Sikka - sama seperti sebutan mas di Jawa. Hingga kami berpisah di Moni, Mo'at bersikukuh itulah  namanya - walau saya berusaha mencari tahu nama sebenarnya :). Jalan masih sepi saat mobil menyusuri jalanan yang dibangun menyusuri pantai-pantai indah Kota Larantuka dan Kabupaten Flores Timur yang selalu berada di sebelah kiri bersanding dengan jejeran perbukitan dan gunung berada di kanan sampai kami tiba di wilayah Kabupaten Sikka . Kami akan menempuh perjalanan darat sekitar 200km dari Larantuka ke Moni melewati hamparan elok
Bentang alam perjalanan Larantuka - Maumere
bentang alam Pulau Flores bagian Timur yang sangat luar biasa. Saya dan Mo'at bergerak meninggalkan keramahan Ile Mandiri yang mulai terlihat semakin jauh di belakang. Lautan biru tenang diapit jejeran bukit dan gunung-gunung api serta tebing-tebing coklat dan hijau berpadu langit biru dihiasi arakan awan. Kadang jalan membelah bukit dan gunung, kadang melewati bentang kehijauan persawahan atau pemukiman yang halaman rumah masing-masing penghuninya dipenuhi berbagai jenis tanaman dan pepohonan hijau. Sesekali saya dan  Mo'at berhenti  untuk memotret kemolekan bentang alam sepanjang jalan yang sedang kami susuri. Kami tidak berhenti lama karena kemolekan tersebut terpapar di ujung langit. Hanya bisa dinikmati mata namun tak  bisa dijamah tubuh. Pesona lukisan Ilahi itu terus mengiringi perjalanan saya dan Mo'at hingga kami tiba di kaki Kelimutu saat sang molek mentari di jingga senja menyerahkan dirinya dalam dekapan mesra kegelapan malam.

Bentang alam perjalanan Larantuka - Maumere
Saya dan Mo'at mampir makan siang di satu restoran Padang di tepi jalan raya trans Flors di dalam wilayah Kabupaten Flores Timur. Restoran dalam pemukiman yang terletak di bawah perbukitan hijau tersebut sepertinya merupakan tempat singgah bis antar kota - yang biasanya memiliki kerjasama antara pemilik restoran dan para sopir - sebagaimana pola yang ada di kota-kota lain di NTT dan juga Jawa. Saya sebenarnya ingin mencari restoran atau warung yang menjual makanan lokal, namun Mo'at tidak memiliki informasi tersebut, sedangkan hari semakin siang dan perut kami mulai keroncongan. Salah satu kebiasaan saya dalam perjalanan adalah perut harus selalu kenyang guna mengantisipasi kondisi tak
Bentang alam perjalanan Larantuka - Maumere
terduga - seperti mobil mogok, pecah ban, terhalang perbaikan jalan atau bahkan berjam-jam harus melewati lokasi-lokasi tanpa pemukiman, apalagi warung makan.

Kami melintasi kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka sekitar jam 2 siang. Mobil terus melaju menuju Pantai Lela - salah satu pantai indah di Kabupaten Sikka bersama gereja tuanya. Setelah beberapa kilometer melewati kota Maumere, Mo'at membelokan mobil menyusuri jalan lebih kecil di sebelah kiri jalan raya trans Flores menuju Pantai Lela yang terletak sekitar 7km dari dari jalan raya Trans Flores. Mobil dihentikan dekat naungan satu pohon tamarin / tambaring raksasa di tepi pantai berpasir warna gelap yang merupakan ciri khas pasir pantai Pulau Flores karena biasanya mengadung unsur besi sehingga dikenal dengan istilah pasir besi oleh penduduk setempat. Pantai Lela sangat lenggang di siang hari itu.

Pantai Lela
Hanya saya dan Mo'at yang berada di pantai tersebut menikmati pesona hempasan gelombang di pasir pantai yang mencuatkan buih-buih putih yang menyebar dan berkejaran silih berganti tiada akhir bagaikan baris-baris puisi. Selesai foto-foto, saya dan Mo'at duduk berbincang di salah satu akar pohon tamarin raksasa yang muncul di permukaan tanah. Kami menikmati belaian angin segar bersama tarian gelombang lautan yang menghempas terus menerus ke pantai di depan kami. Seorang lelaki tegap berkulit kehitaman terlihat berjalan ke pantai membawa jerigen berukuran 7 literan. Nelayan lelaki itu berjalan ke dalam air laut setinggi mata kaki. Jerigen dimasukan ke air selama beberapa menit untuk
Pantai Lela
menampung air laut lalu sang lelaki kembali berjalan pulang. "Pasti untuk campuran makanan babi", pikir saya mengingat pengalaman pagi hari di tepian pantai Larantuka. Mo'at mengeser duduknya agak menjauh untuk menikmati rokoknya. Saya tenggelam dalam semedi keindahan alam Pantai Lela. Kami menghabiskan 45 menit di Pantai Lela lalu melanjutkan perjalanan menuju Pantai Paga. Kami kembali melewati jalanan kampung Lela yang cukup ramai karena ada pesta pernikahan di salah satu rumah penduduk di tepi jalan yang kami lalui. Kiri dan kanan jalan menjadi tempat parkir mobil dan motor para tamu yang juga sedang berseliweran di jalan tersebut. Para ibu dan lelaki paruh baya memakai sarung atau jas dari kain tenunan setempat. Para pemudi dan pemuda mengenakan pakaian produksi pabrik.

Pantai Paga
Mobil kembali melaju membelah jalan trans Flores menuju Barat. Sekitar 1 jam dari Pantai Lela, kami tiba di pantai Paga yang masih berada dalam wilayah Kabupaten Sikka. Pantai ini menyajikan panorama berbeda dari Pantai Lela. Pantai Paga didominasi bebatuan, berbeda dengan Pantai Lela yang didominasi pasir. Pantai ini terletak di sebelah kiri jalan trans Flores dari arah kota Maumere. Pantai dikitari bukit dan tebing terjal yang mudah longsor, terlihat dari masih adanya guguran batu dan tanah di seberang jalan yang memisahkan pantai dari perbukitan sekitarnya. Karena terletak di tepi jalan, maka pantai juga diberi tanggul penahan gelombang laut - yang kelihatan telah berantakan di beberapa tempat sehingga batu-batu cadas yang digunakan sebagai tanggul telah terpisah dari badan tanggul lalu berserakan di sekitar pantai membentuk landasan bebatuan bagi Pantai Paga.
Pantai Paga
Mata saya menangkap satu patung raksasa di puncak bukit berwarna coklat yang tebingnya menjadi batas dengan Pantai Paga. "Itu patung Yesus", kata Mo'at. Patung Yesus terlihat membelakangi Pantai Paga - tempat saya dan Mo'at sedang duduk menikmati hempasan gelombang di tanggul - saat saya menggunakan lensa tele kamera DSRL saya guna melihat lebih dekat ke Patung tersebut. "Patung tersebut menghadap dan memberkati Desa Paga di balik bukit", kata Mo'at saat saya bertanya mengapa Patung Yesus dibuat membelakangi Pantai Paga. Puluhan meter di sebelah kiri tempat saya dan Mo'at duduk
Patung Yesus di puncak bukit Paga
menikmati hempasan gelombang, beberapa perahu nelawan tertambat di sekitar pantai tersebut. Di sebelah kanan dalam jarak ratusan meter dari kami, di sekitar tebing terlihat juga puluhan perahu nelayan dalam berbagai warna sedang tertambat sehingga menciptakan lukisan lain di sekitar pantai Paga.

Saya dan Mo'at menuju Pantai Koka yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan dari Pantai Paga. Awalnya Mo'at ragu-ragu ke Pantai Koka yang dalam ingatannya berjarak cukup jauh dari jalan trans Flores. Kami berdiskusi dan menghitung ketersediaan waktu tersisa sebelum malam tiba. Mengunjungi pantai di malam hari di Pulau Flores bukanlah sesuatu yang kami inginkan bersama. Ketidaktahuan akan kondisi jalan dan waktu tempuh akan menjadi masalah bagi kami jika dipaksakan. Walau Mo'at berasal dari Maumere namun tidak semua orang setempat mengetahui kondisi dan lokasi pantai yang menjadi tujuan perjalanan sore ini. Saya mengandalkan sepotong informasi dari internet, sedangkan Mo'at hanya mengandalkan ingatan samarnya tentang Pantai Koka. Kami hampir saja melewati pertigaan jalan menuju pantai Koka karena asyik diskusi di mobil yang sedang melaju. Mata saya sempat melihat informasi tertulis dan gambar pada standing banner di sebelah kiri jalan samping pertigaan. Moa't menghentikan mobil di dekat banner sehingga kami bisa membaca informasi yang tersedia. "Ah jaraknya hanya 4km dari jalan ini", kata saya ke Mo'at. "Yuk kita jajal, toh masih sore, lanjut saya. Mo'at membelokan mobil memasuki jalan lebih kecil menuju pantai Koka melewati kebun-kebun kakao  / coklat yang bertebaran di kiri dan kanan jalan hingga kami tiba di Pantai Koka. Gerbang dijaga seorang lelaki paruh baya yang meminta kami membayar 5000 rupiah sebagai ongkos masuk.

Pantai Koka
Awalnya Koka bernama Ma'u Gerambesi, demikian Riki -  nama penjaga pantai dan loket penjualan tiket di Pantai Koka - memulai ceritanya, mengoreskan keramahan Timur. Karena pantai ini sering disinggahi kumpulan burung yang bermigrasi dari Australia yang
Pantai Koka
menikmati kelimpahan cacing laut di pantai tersebut sebagai makanan mereka, maka penduduk setempat menamai pantai ini dengan "koka", yakni suara yang keluar dari ribuan burung migran tersebut, lanjut Riki. Pantai Koka terbagi ke dalam 2 bagian yang dipisahkan satu  bukit kecil di tengah kedua pantai tersebut. Bagian kiri disebut Ma'u Ata Laki yang hanya boleh digunakan para lelaki untuk mandi. Bagian kanan disebut Ma'u Ata Fai yang hanya boleh menjadi tempat mandi para perempuan. Namun saat ini, para pengunjung tidak peduli lagi dengan aturan  tersebut. Keduanya, perempuan dan laki-laki sering mandi bersama di kedua lokasi Pantai Koka.

Pantai Koka
Pantai Koka menghadirkan pasir tepung berwarna khaki. Pantai berbentuk cekungan itu dikitari tebing-tebing tinggi yang menjadi dinding alam memisahkan pantai dari pemukiman dan ladang penduduk sekitar. Saat saya dan Mo'at tiba sore itu terlihat sepasang anak muda bersama keluarga dan seorang fotografer sedang melakukan foto pre-wedding di lokasi itu. Saya menikmati selingan tersebut sambil duduk di salah satu pondok beratap daun kelapa di bawah naungan satu pohon ketapang besar. Jejeren pondok penjual kelapa muda dan makanan serta minuman lain berjejer rapi dalam jarak 10an meter dari tepi pantai.
Bersama Mo'at di pantai Koka
Beberapa menit menikmati aktivitas foto pre-wedding, saya bangun dan berjalan-jalan menikmati pasir pantai nan lembut dari sisi kanan ke sisi kiri dan sebaliknya. Mo'at menemani saya sambil ngobrol. Sesekali kami berhenti untuk memotret panorama pantai ataupun memotret diri masing-masing secara bergantian. Kadang kami berdua melakukan selfie sehingga kami bisa punya foto bersama. Sebagaimana dalam perjalanan jelajah saya di tempat-tempat lain, para sopir saya beri latihan singkat dasar-dasar fotografi sehingga bisa membantu saya memotret, terutama memotret diri saya di tempat-tempat indah yang pernah kami datangi. Hal yang sama saya lakukan untuk Mo'at - sekaligus mencairkan relasi kami sebagai sopir dan penyewa mobil menjadi teman perjalanan.



Pantai Koka
Hari hampir gelap sehingga saya dan Mo'at pamit dari Riki yang sejak tadi menemani kami. Hanya kami bertiga yang tersisa di pantai tersebut. Saya dan Mo'at menikmati suasana sunyi pantai Koka sambil menikmati cerita Riki yang selalu berganti topik, termasuk pengalamannya merantau di Malaysia dan Jakarta sampai suatu saat memutuskan pulang kampung dan sekarang bekerja sebagai penjaga pantai sekeligus menyewakan ban bagi para pengunjung yang ingin bermain air laut pantai Koka. Saya menjabat erat Riki lalu kembali memasuki mobil guna melanjutkan perjalanan ke desa Moni di kaki gunung Kelimutu. Riki seperti enggan melepaskan kami pergi. Riki terus menemani dan mengobrol dengan saya melalui jendela mobil yang saya buka. Mo'at menjalankan mobil secara perlahan memberi waktu bagi saya dan Riki menyelesaikan obrolan perpisahan kami.

Mo'at di Pantai Koka
Setelah meninggalkan pantai Koka sekitar 3 jam membelah jalan trans Flores di malam hari, akhirnya kami tiba di Moni - kampung yang telah sedang berubah menjadi tempat singgah pengunjung manca negara untuk menjelajah Kelimutu dan sekitarnya. Saya telah merencanakan nginap di Moni guna memudahkan saya mengakses puncak Kelimutu di subuh hari menunggu terbitnya sang mentari menyapa danau 3 warna yang selalu berubah sepanjang perjalanan waktu dari tahun ke tahun. John - demikian nama lelaki berambut gimbal - yang adalah pemilik dan pengelola bungalow Watugana di Moni -  menyambut ramah saya dan Mo'at. Setelah mengantar saya ke kamar, John kembali mengantar secangkir teh panas bagi saya dan secangkir kopi bagi Mo'at guna menghangatkan tubuh kami yang sedang tenggelam dalam udara dingin malam itu di desa Moni.

Pantai Koka
Saya dan Mo'at harus berpisah di Moni, karena mobil yang saya gunakan harus dibawa kembali ke Maumere atas perintah pemilik mobil. Mo'at hanyalah sopir pengganti yang tidak punya akses langsung ke pemilik mobil untuk menjelaskan kesepakatan yang telah saya lakukan dengan sopir mobil yang sebenarnya, yakni mobil harus mengantar saya sampai Ende di esok hari. Sepertinya sopir asli menyembunyikan harga dan waktu sewa-menyewa mobil tersebut ke pemilik mobil sehingga pemilik mobil meminta mobil kembali ke Maumere malam itu guna mengantar pelanggan lain dari kota tersebut ke Larantuka. Setelah mendiskusikan segala konsekuensinya bagi Mo'at, akhirnya saya melepaskan Mo'at membawa pulang mobil sewaan tersebut pada malam hari itu juga ke Maumere. Karena kesepakatan mengantar saya sampai Ende dibatalkan sopir asli, maka saya juga hanya membayar 1 juta dari 1,5 juta yang kami sepakati. Karena Mo'at dan mobil yang saya sewa harus balik ke Maumere malam itu juga, maka saya menyibukkan om John mencarikan kendaraan pengganti bagi saya agar bisa mengakses puncak Kelimutu di subuh hari sekligus untuk mengantar
Pantai Koka
saya ke Ende. Om John hanya memperoleh ojek motor yang akan mengantar saya ke puncak Kelimutu dengan harga 150ribu rupiah. Ojek akan menjemput saya subuh hari, dimana saya akan berangkat bersama para pengunjung lain yang menginap di bungalow yang sama atau di penginapan lain sekitar situ. Perjalanan ke Ende akan menggunakan bis atau mobil lain yang akan dicarikan om John esok hari karena  malam telah larut. Setelah mendapatkan kepastian kendaraan ke puncak Kelimutu pada subuh esok hari, saya pamit kembali ke kamar untuk membersihkan tubuh lalu tidur guna mendapatkan kesegaran dan tenaga baru. Kamar mandi dilengkapi air panas sehingga memudahkan saya mandi dalam udara dingin yang serasa mengigit tulang. Selesai mandi dan berganti pakaian bersih, saya membaringkan diri ke tempat tidur ukuran queen yang dilengkapi kelambu putih. Saya menurunkan kelambu memayungi dan menutup tempat tidur guna menghindari nyamuk dan serangga malam lainnya. Malam semakin sunyi di kaki Kelimutu sebelum saya terlelap. Saya memasang alarm HP agar membangunkan saya di subuh hari..
Pantai Koka
Bersambung..

Sabtu, 21 Mei 2016

JELAJAH INDONESIA. LEMBATA: Gunung Api Batutara dan Perjalanan ke Larantuka, Flores Timur

Gunung api Batutara di subuh hari
Para anggota rombongan yang ingin melihat pesona dan keindahan letupan gunung api Batutara telah bangun di awal subuh. Saat saya tiba di lobby hotel, sebagian anggota rombongan telah duduk betebaran di kursi-kursi lobby menunggu keberangkatan ke pelabuhan guna menumpang kapal cepat ke lokasi gunung api Batutara. Beberapa sedang berdiri dan merokok sambil ngobrol di teras hotel. Pesona, keelokan dan keindahan letupan Batutara hanya bisa dilihat dan dinikmati saat langit masih gelap sehingga panitia mengatur keberangkatan kami di subuh hari. Saat semua anggota rombongan telah siap, kami diminta naik ke bis-bis yang telah siap sedia di halaman hotel. Perjalanan hotel ke
Gunung api Batutara di subuh hari
pelabuhan ditempuh sekitar 10an menit. Tiba di pelabuhan, kapal cepat yang akan kami tumpangi telah menunggu. Satu per satu anggota rombongan memasuki kapal di keremangan subuh. Setelah semua anggota rombongan, panitia dan kru kapal telah berada dalam kapal, nahkoda menghidupkan mesin dan mulai menjalankan kapal meninggalkan pelabuhan. Kami akan menempuh perjalanan laut selama 2 jam karena itu saya memilih kembali tidur di kapal yang kadang-kadang terangkat dan terhempas gelombang. "Untung gelombang tidak terlalu besar sehingga tidak ada anggota rombongan yang pusing dan muntah-muntah", demikian kata-kata Denny salah satu pemimpin rombongan, saat kami tiba di lokasi gunung api Batutara. "Saat kami membawa rombongan wartawan foto, ada beberapa yang muntah-muntah karena gelombang besar", lanjut Denny. Saya hanya tersenyum kecut mendengar kalimat-kalimat Denny.

Gunung api Batutara di subuh hari
Subuh masih gelap di sekitar pulau tempat gunung api Batutara berada. Kapal terus menerus diombang-ambingkan gelombang karena kapal tidak membuang jangkar dan berlabuh di pantai sekitar gunung api Batutara. Semua anggota rombongan telah terbangun dan siaga di tempat masing-masing menunggu semburan lava api berwarna merah terang di tengah kegelapan subuh. "Wow, demikian dengung kekaguman para anggota rombongan saat melihat semburan lava pijar Batutara. Semburan lava pijar terus menerus terjadi dalam rentang waktu 20-25 menit. Dari jendela kapal bagian dalam, saya beralih ke luar dan bergabung dengan anggota rombongan lain yang sedang duduk atau berdiri
Gunung api Batutara di subuh hari
menikmati pesona semburan lava. Kapal terus menerus bergoyang sehingga menyulitkan posisi stabil kamera memotret pesona semburan magma pijar merah menyala. Saking asyik memotret menggunakan kamera DSRL, saya lupa menggunakan kamera HP yang seharusnya lebih stabil. Beruntunglah dalam kondisi memotret yang tidak stabil karena goyangan kapal, foto-foto yang dihasilkan justru terlihat seperti lukisan abstrak :).

Gelombang dan arus laut membuat kapal kadang menjauh dari titik pandang sehingga nahkoda kapal beberapa kali menghidupkan
Lagi sarapan di kapal
mesin kapal guna mendekatkan kembali kapal ke semburan lava hingga matahari tersibak sempurna di horizon Timur. Saat lingkungan sekitar telah terang benderang, pesona merah api magma yang tersembur ke langit gelap pun menghilang berganti gumpalan debu setinggi puluhan meter saat sang gunung mengeluarkan lava dari perut bumi. Kapal cepat yang kami tumpangi bergerak mengelilingi pulau kecil yang menjadi lokasi gunung api Batutara - seolah mengucapkan selamat tinggal - lalu melaju kembali ke  Pulau Lembata yang terentang dalam jarak waktu tempuh kapal cepat sekitar 2 jam dari lokasi gunung api Batutara. Anggota rombongan dan para ABK sempatkan sarapan teh dan kopi serta kue-kue yang disediakan panitia sebelum kapal meninggalkan lokasi Batutara.

Hanya debu yang terlihat di pagi hari
Setelah menempuh waktu sekitar 2 jam, kapal cepat yang membawa rombongan tiba kembali di dermaga Pulau Lembata. Satu demi satu anggota rombongan meninggalkan kapal. Matahari pagi telah bersinar cerah menerangi alam sekitar di bawah langit Lembata yang berwarna biru terang dihiasi gumpalan-gumpalan awan kecil seperti lukisan raksasa buah tangan sang Pencipta. Sebelum kami meninggalkan dermaga, saya meminta semua anggota rombongan berkumpul untuk foto bersama sebagai kenangan kami, karena setelah meninggalkan Pulau Lembata saat tour berakhir, kami belum tentu akan bertemu kembali. Selesai foto-foto, masing-masing anggota rombongan berjalan ke bis dan truk yang telah menunggu sekitar 20an meter dari dermaga.

Para anggota rombongan di dermaga Lembata
Rencana hari ini, rombongan akan melanjutkan perjalanan ke desa Lamalera, tanah para pemburu ikan paus yang telah terkenal hingga ujung dunia. Karena saya dalam kondisi tidak sehat disebabkan serangan batuk terus-menerus, saya memutuskan tidak meneruskan perjalanan di Pulau Lembata. Saya memisahkan diri dari rombongan yang meneruskan perjalanan ke Lamalera untuk melihat perburuan ikan paus secara tradisional. Staf hotel menginformasikan 2 pilihan transportasi laut dari Lembata ke Larantuka, Ibukota Kabupaten Flores Timur, yakni kapal cepat atau kapal kayu dengan jam keberangkatan, waktu perjalanan dan harga tiket yang berbeda. Perjalanan menggunakan kapal cepat Lembata - Larantuka ditempuh dalam waktu 2 jam sedangkan dengan kapal kayu memakan waktu sekitar 4 jam. Dengan menggunakan ojek yang saya bayar 20 ribu rupiah dari hotel ke pelabuhan Lembata, saya tiba sekitar jam 12 siang di pelabuhan. Saya memilih menggunakan kapal kayu dengan pertimbangan bisa menikmati landscapes sepanjang perjalanan.

Pelabuhan Lembata
Kapal kayu bercat hijau pupus yang saya tumpangi berangkat jam 12.30 di siang hari nan cerah. Kapal yang saya tumpangi ini berukuran lebar sekitar 10 meter dan panjang 20an meter terdiri atas 2 dek penumpang. Saya memilih dek atas sehingga bisa memotret secara leluasa sepanjang perjalanan. Kapasitas muat kapal melebihi jumlah penumpang yang hanya puluhan sehingga beberapa penumpang memilih tidur di bangku-bangku kapal yang kosong. Bangku yang saya duduki juga kosong - sepertinya para penumpang lain tidak berminat duduk dekat saya yang menenteng kamera sehingga mungkin disangka wartawan.

Ile Ape dari pelabuhan Lembata
Saya tidak salah memilih kapal kayu dalam perjalanan ke Larantuka. Kapal melaju pelan di lautan yang sangat tenang. Gelombang laut hanyalah riak-riak kecil yang tak sedikitpun menggoyangkan kapal. Saya bebas berjalan ke sana-sini mencari posisi terbaik untuk memotret berbagai obyek sepanjang perjalanan. Ile Ape masih berdiri tegak di belakang kapal seakan mengucapkan selamat jalan. Nun jauh di sisi kanan, Ile Boleng di Pulau Adonara tersenyum dan melambai sendu mengantar perjalanan saya menuju Larantuka. Perahu-perahu nelayan yang sedang mencari ikan berayun-ayun di lautan
Panorama Pulau Lembata di sebelah kiri kapal 
lepas di sebelah kanan bersamaan dengan tarian camar-camar laut yang melayang di langit biru cerah dan sesekali menukik ke lautan menyambar ikan untuk makan siangnya. Pantai-pantai indah bersama perbukitan coklat dan hitam dengan sedikit pepohonan sebagai selingan terlihat bagaikan lukisan raksasa goresan sang Pencipta di sebelah kiri kapal kayu yang terus melaju tenang.

Empat jam perjalanan laut seperti tak terasa karena saya asyik menikmati panorama alam luar biasa yang terpampang di kiri dan kanan kapal sepanjang perjalanan. Kapal kayu singgah sekitar 20an menit di pelabuhan lokal Pulau Adonara. "Pelabuhan Waiwerang", kata anak lelaki penjual pisang goreng yang saya beli saat anak tersebut
Ile Boleng di Pulau Adonara dari Pelabuhan Waiwerang
bersama teman-temannya menaiki kapal dan bekeliling menjual makanan dan minuman. Sekantong plastik pisang kapok setengah matang yang digoreng garing menemani sisa perjalanan saya dari pelabuhan Waiwerang ke Larantuka. Pisang kapok merupakan salah satu favorit saya saat sarapan ataupun minum teh sore di kampung halaman ketika liburan sekolah. Ayahanda tercinta secara khusus menanam pisang kapok di halaman samping rumah di kampung guna bisa dipanen saat saya liburan sekolah menengah sampai dengan menyelesaikan kuliah dan bekerja selama beberapa tahun di Kupang sebelum hijrah ke Jakarta. Mendapatkan pisang kapok goreng di pelabuhan Waiwerang merupakan suatu keistimewaaan bagi saya dalam perjalanan laut Lembata - Larantuka. Rasa manis gurihnya berbeda jauh dengan kue pisang yang dijual para penjual gorengan di seantero Jakarta.

Pelabuhan Larantuka 
Sore hari telah menghampiri Kota Rainha Larantuka saat kapal kayu yang saya tumpangi merapat ke pelabuhan kapal-kapal kayu. Deretan rumah dan bangunan diselingi pepohonan terlihat bagaikan lukisan lain yang terhampar di pandangan saat kapal mengayun perlahan mendekati pelabuhan. Ile Mandiri berdiri kokoh menopang langit Kota Larantuka. Lengan-lengannya terentang untuk memeluk dan mengucapkan selamat datang bagi warga yang pulang ataupun para pelintas seperti saya. Di sisi kanan pelabuhan terlihat satu kapal penumpang PELNI sedang berlabuh. Saat kapal berlabuh sempurna, para porter berhamburan masuk. Dengan menenteng ransel kamera dan menarik koper,
Pelabuhan Larantuka
saya turun ke pelabuhan menghampiri para tukang ojek yang telah siap sedia di sekitar lokasi tersebut. "Kemana pak?, tanya salah satu pengojek. "Ke hotel terdekat", jawab saya. Koper saya diambil-alih salah satu pengojek yang menempatkannya di bagian depan sepeda motor dekat kakinya. Saya menaiki ojek yang melaju meninggalkan pelabuhan menyusuri jalanan kota Larantuka. Tak sampai 10an menit, pengojek memasuki halaman hotel bernama Lestari. Saya turun dan masuk ke lobby hotel menuju meja resepsionis yang dijaga seorang perempuan muda. Hotel ini terlihat seperti rumah besar dari halaman depannya. Meja resepsionis berada di sebelah kiri pintu masuk, sedangkan di sebelah
Tempat saya menginap di Larantuka
kanannya terdapat 2 stel sofa bagi para tamu. "ada kamar kosong?", tanya saya. "ada, kata resepsionis sambil menyodorkan daftar harga kamar yang diprint pada kertas HVS ukuran A4 dan telah dilaminating. Hanya ada 2 tipe kamar, yakni tipe ekonomi dan standar. Saya memilih kamar standar yang dilengkapi fasilitas AC seharga 250 ribu rupiah per malam.

Saya memilih bermalam di hotel daripada di rumah saudari sepupu yang menikah dan tinggal di Larantuka. Sorenya, saudari sepupu bersama suaminya menjemput serta meminta saya pindah ke rumah mereka, namun saya menolak karena saya telah membayar kamar serta saya tidak ingin merepotkan mereka :). Walau terus didesak oleh sepupu perempuan saya, namun saya bertahan tetap nginap di hotel. Akhirnya kami berkompromi, saya mengunjungi rumah mereka yang berjarak 10an menit kendaraan bermotor dari hotel. Kami mengakhiri malam dengan makan bersama 2 ponakan perempuan saya di rumah makan ikan bakar yang terletak di depan hotel Lestari tempat saya menginap malam itu. Saya dan keluarga sepupu berpisah
Teras depan kemar-kamar Hotel Lestari Larantuka
di rumah makan. Saya kembali ke hotel dan mereka kembali ke rumahnya. Dari suami sepupu, saya mendapatkan nomor HP pemilik mobil yang dapat saya sewa dan gunakan dari Larantuka ke Ende dengan menyinggahi beberapa tempat dalam daftar yang telah saya buat dari Jakarta, termasuk Danau Kelimutu. Saya akan berganti mobil di Ende menggunakan mobil sewaan yang disopiri Yudi, salah satu pemuda Ende yang telah saya kenal tahun 2014 saat menyinggahi kota tersebut dan mengunjungi Danau Kelimutu (baca catatan perjalanan tahun 2014 di Ende dan Danau Kelimutu). Karena saya tidak mendapatkan sunrise di Danau Kelimutu pada jelajah tahun 2014, maka saya jadwalkan lagi perjalanan ke Danau Kelimutu pada Jelajah Flores : Timur ke Barat pada tahun 2015 ini.

Jalan depan Hotel Lestari Larantuka di pagi hari
Bersambung...

Jumat, 13 Mei 2016

JELAJAH INDONESIA. LEMBATA: Desa Lamawalo dan Pulau Nuhanera

Bersama para penari cilik di pasar rakyat Tokojaeng
Hari ini rombongan tour menuju Lamawalo dan Nuhanera untuk snorkling dan trekking. Rombongan diangkut 3 kendaraan yang terdiri dari 1 truk dan 2 bus (baca catataan sebelumnya). Setelah meninggalkan kota, kami memasuki kawasan pedesaan melewati jalan berliku yang membelah padang dan bukit-bukit savana berwarna kecoklatan. Pepohonan dan rerumputan terlihat merangas, hanya batang dan ranting yang terlihat perkasa menantang langit bertahan dalam musim panas yang sangat terik dan menyengat di Pulau Lembata. Sesekali kendaraan yang saling beriringan melewati perkampungan yang terlihat sepi. Mungkin penduduknya sedang berada di kebun atau pantai dan laut menjalankan pekerjaan mereka sebagai petani dan nelayan.

Tulang belulang ikan paus
Sekitar 1 jam dari hotel,  iring-iringan kendaraan berhenti di pinggir jalan yang sedang kami lalui. Saya keluar bis mengikuti anggota rombongan lainnya menyeberang ke sisi kanan jalan. Kami sekedar singgah di tempat tersebut untuk  melihat kerangka ikan paus yang terdampar. Kerangka paus tersebut masih utuh dari kepala sampai dengan ekor yang telah tersusun rapi. Kerangka yang terletak di pinggir jalan tersebut hanya diberi tenda daun kelapa sekedarnya. Selesai melihat-lihat dan foto-foto sebagaimana biasa, satu per satu anggota rombongan kembali ke kendaraan masing-masing. Sebelum meninggalkan tempat tersebut, saya sempatkan memotret keindahan teluk di belakang kerangka ikan paus. Lautan biru yang sedang surut meninggalkan endapan lumpur yang ditumbuhi anakan bakau bersanding kehijauan pepohonan bakau yang cukup rimbun di sekelilingnya. Desa Watodiri, Kecamatan Ile Ape Timur, demikian kata Aken Udjan ke saya saat saya menanyakan nama tempat kerangka ikan paus dipamerkan di alam terbuka tersebut.



Bis dan truk yang kami tumpangi terus meliuk mengikuti jalan aspal berliku yang masih cukup bagus. Sesekali bis di depan kendaraan yang saya tumpangi berhenti guna memberikan kesempatan kepada anggota rombongan mendokumentasikan panorama sekitar, terutama keperkasaan gunung Ile Ape di kejauhan. Kadang kami melewati rimbunan pepohonan tanpa daun yang mensiasati musim kering di Lembata. Saat hujan menjejak tanah, pepohonan tersebut akan menghijau lagi sebagaimana pengalaman masa kecil saya dengan pohon-pohon jati di kebun keluarga di kampung. Alam punya mekanisme survive sendiri, pikir saya menikmati pesona coklat yang sesekali diselingi kehijauan tanaman di pekarangan
Pantai pasar rakyat Tokojaeng
dan kebun-kebun penduduk. Ile Ape tak pernah hilang dari pandangan - berdiri kokoh menopang langit dan seperti memberikan perlindungan pada dunia di bawahnya saat tidak aktif. Di sisi kanan jalan terhampar teluk berair biru laut yang menjadi lokasi peternakan mutiara sekaligus menyediakan sumber makanan dan pencaharian bagi para nelayan setempat.

Menempuh perjalanan sekitar 3 jam, akhirnya rombongan tiba di tempat tujuan. Semua anggota rombongan keluar dari kendaraan yang diparkir di pinggir jalan. Rombongan disambut para tetua adat berpakaian adat lengkap yang menjalankan prosesi penyambutan dari pinggir jalan tersebut menuju tempat istirahat di pinggir pantai. Kami menempuh perjalanan sekitar 750 meter dari pinggir jalan utama ke tepi pantai desa Lamawalo.
Penyambutan di area pasar rakyat Tokojaeng, Lamawalo
Sebelum tiba di tepi pantai, rombongan sekali lagi disambut upacara adat Lembata. 2 pria berpakaian adat memegang parang panjang berdiri kokoh dan menghalangi perjalanan rombongan ke tepi pantai. Kedua parang panjang tersebut disilangkan membentuk huruf X. Di belakang kedua pria tersebut berdiri para ibu berpakaian adat dan barisan rapi anak-anak lelaki dalam pakaian adat. Setelah kedua anggota rombongan selesai berbalas sambutan - rombongan tour diwakili para tetua adat yang telah menyambut dan mengawal dari pinggir jalan utama - rombongan diterima. 2 wakil rombongan tour yang terdari dari 1 laki-laki dan 1 perempuan maju menerima kalungan selendang sebagai tanda penerimaan. Musik tradisional menggelegar diikuti tarian kedua pria perkasa, para ibu dan juga barisan anak laki-laki tersebut mengiringi perjalanan perlahan rombongan memasuki area istirahat di tepi pantai.

Pantai pasar rakyat Tokojaeng
Jalan yang sedang kami lalui memisahkan pantai di sebelah kanan dengan lapangan luas dan perumahan penduduk di sebelah kiri. Ile Ape masih tetap terlihat seperti mengawal kampung Tokojaeng tempat kami akan beristirahat dan menaiki perahu menuju tempat snorkling. Lokasi istirahat rombongan di tepi pantai tersebut merupakan lokasi pasar rakyat setempat. Kios-kios kecil beratap daun kelapa dijaga para perempuan muda hingga sepuh bersarung tenunan Lembata. Kios-kios tersebut menjual berbagai jenis barang yang diproduksi sendiri seperti tenunan dan makanan kecil hingga barang-barang industri. Anggota rombongan memisahkan diri masing-masing setelah tiba di lokasi pasar rakyat Tokojaeng. Masing-masing menyibukan diri ke kios-kios di pasar tersebut atau duduk menikmati panorama lautan melalui kerindangan pohon beringin besar yang berada di lokasi tersebut sambil  menikmati kelapa muda yang disiapkan panitia. Saya berkeliling lalu mengajak anak-anak penari tadi berfoto-foto. Anggota rombongan lainnya sedang bercakap-cakap dengan pemilik sekaligus penjual di beberapa kios. Mungkin sedang tawar menawar lalu membeli, terutama kain tenunan berbagai corak, warna dan ukuran dengan harga bermacam ragam juga tentunya.

Snorkling di teluk berjarak 20an menit dari pasar rakyat
Saat perahu-perahu bermotor telah siap, panitia mengumumkan pembagian rombongan ke 3 kelompok yang akan menggunakan 3 perahu motor berbeda menuju tempat snorkling. Kejernihan air laut membelai kulit kaki saya, saat saya melangkah memasuki air menuju perahu motor yang parkir sepuluan meter dari tepi pantai. Karena beberapa anggota rombongan mengalami kesulitan naik perahu yang cukup tinggi, panitia agak sibuk menyiapkan kursi sebagai tangga. Sementara saya telah berada di atas perahu dan memilih tempat di bagian depan sehingga bisa menikmati keindahan alam sekeliling saat perahu melaju menuju tempat snorkling. Setelah semua anggota rombongan berada dalam perahu,
nahkoda menjalankan perahu secara perlahan membelah air biru laut nan jernih dan tenang menuju zona snorkling berjarak 20an menit dari pantai pasar rakyat Tokojaeng di Desa Lamawalo yang menjadi tempat penyambutan rombongan. Ketiga kapal motor kayu beriringan dalam jarak puluhan meter yang mencari tempat terbaik masing-masing di teluk tersebut. Ile Ape berdiri tegar memayungi kawasan sekitar. Saat kapal motor kayu yang saya tumpangi berhenti di tempat tujuan, beberapa anggota rombongan mempersiapkan diri lalu terjun ke kebiruan air laut yang sangat transparan sehingga rombongan yang tinggal di atas kapal dapat  menikmati aktifitas anggota rombongan yang sedang snorkeling. Saya memilih tetap di atas perahu, karena tidak memiliki peralatan snorkeling - walau bisa menggunakan alat snorkeling secara bergantian, namun saya tidak terlalu suka bermain air laut di terik matahari yang pasti akan membakar kulit :).

Tarian barter
Sekitar 1 jam para snorkers menikmati keindahan bawah laut teluk Desa Lamawalo - beberapa bergantian menggunakan peralatannya - satu demi satu kembali ke atas kapal motor kayu masing-masing. Kapal memutar haluan kembali ke tepi pantai pasar rakyat yang sejam lalu kami tinggalkan. Tiba di lokasi pasar rakyat, panitia telah menyiapkan makan siang dengan menu makanan lokal berupa nasi jagung, ikan lawar, sayuran dan lainnya. Selesai makan siang, rombongan disuguhi tarian barter yang merupakan ilustrasi cara berdagang orang Lembata berupa barter antara komunitas yang hidup di tepi pantai dengan komunitas yang hidup di kawasan pegunungan. Warga tepi pantai membawa ikan dan garam yang dibarter dengan hasil bumi pegunungan berupa jagung, singkong dan ubi.

Ile Ape dari puncak bukit Pulau Nuhanera
Sore menjelang saat rombongan dalam 3 kapal motor kayu bergerak menuju kawasan Pulau Nuhanera guna melanjutkan kegiatan snorkeling di lokasi berbeda. Sekitar 30an menit melayari riak-riak air laut biru jernih, rombongan tiba di tepi pantai Pulau Nuhanera yang juga berbentuk teluk sehingga riak air laut seperti riakan air danau semata. Saya turun dari kapal dan berjalan ke tepi pantai berpasir coklat muda / khaki. Terik matahari menyengat kulit sehinga saya berjalan ke tenda daun kelapa yang terpasang di tepi pantai itu. Keindahan pantai dicemari berbagai jenis sampah plastik yang ditinggalkan para penggunjung sebelumnya. Anggota rombongan penyuka snorkling telah membagi diri ke dalam beberapa kelompok dan mulai menikmati keindahan bawah air teluk Pulau Nuhanera. Anggota rombongan lainnya, seperti saya memilih menepi dan beristirahat sejenak di kerindangan tenda daun kelapa atau di bawah kerindangan satu pohon besar di tepi pantai tersebut.

Sebagian rombongan di puncak bukit Pulau Nuhanera
Puas menikmati keindahan sekitar bersamaan dengan condongnya sang mentari ke horizon Barat, saya dan anggota rombongan lain yang tidak melakukan snorkling memilih mendaki ke puncak bukit Pulau Nuhanera. Warna kehitaman perbukitan karena bekas terbakar tersebut sangat kontras dengan warna biru lautan dan langit yang mendominasi panorama sekitar. Saya bersama 3 orang teman mulai mendaki dari belakang tenda daun kelapa yang meneduhi kami. Kami membuat jalur baru yang lebih dekat ke tempat kami berteduh. Kelompok lain memilih menggunakan jalur yang telah ada menuju puncak bukit Pulau Nuhanera. Setelah menempuh waktu sekitar 45 menit, kedua rombongan pendaki bertemu di puncak Nuhanera, menikmati panorama semua sisi Pulau Nuhanera dan sekitarnya yang
Sebagian rombongan di puncak bukit Pulau Nuhanera
seperti berada dalam danau karena ketenangan lautan yang mengeliling Pulau Nuhanera. Sekitar 30an menit berada di puncak, termasuk acara foto-foto bersama, rombongan memutuskan turun kembali ke tepi pantai karena matahari semakin condong ke Barat. Saat rombongan tiba di tepi pantai, para anggota rombongan snorkeling telah berada di perahu motor masing-masing menunggu anggota rombongan pendaki. Ketiga perahu motor yang ditumpangi anggota rombongan mulai bergiliran meninggalkan pantai saat semua anggota rombongan telah berada di masing-masing perahu motor. Di perahu motor yang saya tumpangi ada anggota rombongan, yakni Yuki yang berulang tahun sehingga
Ultah Yuki di atas kapal yang melaju pulang ke Tokojaeng
nyanyian selamat ulang tahun berkumandang di atas perahu motor yang sedang melayari ketenangan lautan sekitar Pulau Nuhanera kembali ke pantai Pasar Rakyat Tokojaeng Desa Lamawalo, Pulau Lembata guna melanjutkan perjalanan menggunakan bis dan truk ke hotel.

Jingga berpadu lembayung senja sedang berbinar di ufuk Barat saat perahu-perahu motor meninggalkan pantai Pulau Nuhanera. Kegelapan malam telah menutupi kawasan sekitar saat ketiga  perahu motor yang kami tumpangi merapat di pantai Pasar Rakyat Tokojaeng. Masing-masing anggota rombongan masuk ke bis dan truk yang telah menanti di tepi pantai untuk mengantar kami kembali ke hotel. Hanya tersisa kegembiraan bersama rasa penat dan lelah seharian
Senja di Ile Ape
bermain di kebiruan laut dan langit yang mengapit savanna coklat dan hitam. Setelah makan malam, semua kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat mempersiapkan tenaga bagi perjalanan subuh hari mengunjungi gunung/pulau berapi Batutara yang bererupsi setiap 20an menit melontarkan abu dan batu panas diiringi nyala kemerahan api dari perut bumi.

Bersambung...



JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...