Sabtu, 14 Agustus 2010

KOTA KUPANG: Karang-Karang Yang Berubah, Karang-Karang Yang Merangas dan Karang Karang Yang Teguh

Karang-Karang Yang Berubah

Senja di pantai Kota Kupang
Setelah 3 tahun lebih tidak mengunjungi kampung halaman akhirnya pada Juli 2010, saya berkesempatan pulang kampung. Keberangkatan pesawat Garuda yang sedianya terjadi pada jam 7an pagi akhirnya molor hingga jam 11an karena 2 alasan, yakni masalah teknis yang membuat pesawat rem mendadak saat akan tinggal landas, lalu berbalik ke apron. Masalah kedua, saat pesawat akan tinggal landas ada seorang penumpang yang sakit sehingga pesawat balik lagi ke apron untuk menurunkan penumpang tersebut. Tentu saja, semua penumpang mengerutu, namun kondisi tersebut diluar kontrol sehingga harus diterima dengan lapang dada. Kedua kejadian tersebut juga membuat para
Bandara El Tari 
penumpang akhirnya saling bertukar sapa karena merasa sama sama senasib sepenanggungan. Apalagi saat keinginan-tahuan dari mereka yang tidak tau ditanggapi oleh mereka yang tau sedikit-sedikit sehingga bisa terangkai suatu cerita utuh tentang mengapa pesawat Garuda penerbangan Jakarta-Kupang harus balik 2 kali ke apron. Komunikasi akhirnya muncul diantara penumpang untuk paling tidak berbagi cerita tentang apa yang terjadi.

Sejak memasuki pesawat saya sudah kesal, karena saat check in, saya minta seat sebelah aisle (gang) tapi koq malah nomor kursi ku di tengah. Tentu saja saya hanya bisa kesal diam-diam terhadap petugas check in yang tak bisa lagi saya omelin. Saat berada dalam pesawat, saya duduk diapit 2 laki-laki, yakni seorang anak muda yang bekerja di kantor BPS Jakarta - duduk dekat jendela, sementara yang sebelah gang adalah seorang lelaki paruh baya dimana dari gayanya seperti seorang pengusaha. Akhirnya, saya asyik ngobrol dengan karyawan BPS tersebut, karena sebagai orang yang baru pertama kali akan berkunjung ke kota Kupang, banyak hal yang ingin diketahuinya. Dengan mengandalkan ingatan saya yang terbatas tentang kota kelahiran yang saya kunjungi sekitar 3 tahun silam, saya membagikan beberapa informasi umum seperti oleh-oleh, makanan, penduduk, budaya dll, termasuk julukan Kupang sebagai Kota Karang yang ternyata telah diketahui juga oleh pemuda tersebut.

Sekeping Kota Kupang dari udara
Singkat cerita saat sore menjelang pukul 4, pesawat yang saya tumpangi melayang-layang di atas Kota Kupang. Perubahan iklim membuat beberapa bagian kota yang tidak diokupasi pemukiman penduduk masih nampak hijau. Namun ciri khas padang rumput berwarna kecoklatan terhampar luas di bawah sejauh mata memandang. Pesawat akhirnya soft landing di Bandara Eltari. Saat saya keluar dari pintu pesawat, terpaan angin dan udara panas menyengat langsung menyambut. Cepat-cepat saya melangkahkan kaki ke terminal. Saya menyerahkan tag bagasi ke salah satu porter yang berdiri berjejer bersama rekannya di bagian dalam depan pintu terminal. Sambil menunggu porter membereskan bagasi, saya diam-diam menguping pembicaraan 2 orang pria paruh baya di belakang saya. Mendengar betapa serunya pembicaraan mereka, secara perlahan saya berbalik untuk
Dominasi warna coklat musim kemarau di Kota Kupang
memperhatikan dan mendengar lebih jelas percakapan yang sedang terjadi. Ternyata salah satu pria tersebut menceritakan peristiwa penundaan penerbangan pagi tadi sambil menunjukan kartu Garuda Frequent Flayer (GFF)nya yang berwarna biru. Dengan yakin dan bangga, pria pemegang kartu GFF menceritakan bahwa pesawat sebenarnya tidak bisa berangkat hari itu, namun dia berhasil meyakinkan pilot untuk berangkat karena kartu yang dipegangnya, sambil menambahkan dengan penuh percaya diri, bahwa dengan kartu tersebut, dia bisa memerintahkan apa saja kepada Garuda, termasuk memprioritaskan keluarga dan teman-temannya terbang bersama garuda. Pria pendengarnya juga hanya terkagum-kagum sambil mengamati kartu GFF biru di tangan pria satunya lagi. Tentu
Hutan buatan yang juga merana di dekat Bandara El Tari
saja, saya diam-diam tersenyum geli memperhatikan kejadian tersebut dan mendengar bualan pria paruh baya tersebut. Salah satu ciri khas para lelaki di kota kelahiran ku "pikir saya sambil tersenyum geli". Sebagai pemegang kartu GFF Platinum, saya mengetahui dengan pasti status, hak dan juga level pemegang kartu GFF warna biru... ha ha ha ha... ada-ada aja, demikian komentar saya dalam hati.

Akhirnya, bagasi saya diangkut keluar menuju taxi oleh porter yang gembira menerima duit 20 ribu rupiah yang saya sodorkan untuk jasanya mengangkut satu tas sedang dan 1 dus printer yang dipesan adik lelaki ku. Taxi-taxi bandara
Gerbang masuk wilayah kampus almamater saya
ternyata tidak berubah sejak era saya masih anak-anak. Taxi biru kusam dengan fisik yang telah rapuh dan rombeng, namun masih tetap dipakai antar jemput penumpang. Walau taxi telah rombeng-rombeng dan tanpa AC yang membuat keringat mulai mengalir membasahi Polo Tshirt yang saya kenakan, namun alunan musik tempo tinggi dan cepat yang diperkuat boaster berdentam-dentam tiada henti dalam taxi tersebut. Salah satu ciri khas kota Kupang yang belum berubah, pikir saya sambil mencoba menikmati suasana tersebut. Saya membiarkan saja sopir memutar musik seenaknya, tanpa mengomentari. Sambil menahan napas mendengarkan dentaman musik yang serasa memukul-mukul gendang telinga dan jantung, saya mengarahkan pandangan ke lanscape jalanan yang dilalui. Pohon-pohon merangas
Jalan depan kampus Universitas Nusa Cendana
bergoyang dalam angin sore dikelilingi hamparan-hamparan rumput yang didominasi warna kecoklatan. Tidak banyak yang berubah di sekeliling bandara, termasuk jalan raya yang membentang dari bandara ke arah kota yang dibuat 2 jalur, namun tetap saja kelihatan sempit. Di jalur keluar bandara depan penjara Penfui sedang dilakukan pelapisan jalan. Hanya itu aktifitas yang berarti di sore itu. Saat taxi membelah jalan di depan Kampus Universitas Nusa Cendana, saya mengamati kampus almamater tenpat saya menghabiskan beberapa tahun belajar hukum. Lumayan banyak perubahan yang terjadi seperti gerbang megah, pagar dan pepohonan hijau depan gerbang. Selain itu, semuanya masih seperti dulu. Karang-karang, rumput-rumput liar dan semak-semak di sekeliling kampus sepanjang jalan yang dulu saya lalui bersama teman-teman saat kuliah masih tidak berubah. Warna khas kecoklatan dan udara gersang itu masih seperti dulu saat saya mahasiswa. Ada satu penambahan kecil lain di tepi jalan depan gerbang, yakni adanya bengkel sepeda motor.

Bundaran Penfui
Saat ibunda belum almarhumah, setiap kali berkunjung ke kampung halaman saya akan langsung ke desa tempat bunda tercinta menunggu rumah bersama ayahanda dan berbagai ternak peliharaan mereka. Saat bunda telah almarhumah, maka kunjungan dan menginap saya harus dibagi secara adil ke suadara-saudara kandung yang telah tinggal tersebar karena menikah dan juga bekerja. Malam pertama tiba di Kupang, saya nginap di rumah sekaligus tempat bisnis adik bungsu di Kelurahan Oesapa. Si bungsu mengajak saya makan malam, tentu saja dengan senang hati. Saat ditanya ingin, makan apa dengan segera saya jawab daging se'i dan bunga pepaya. Si bungsu lalu mengajak saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan yang terletak di Kelapa Lima. Sepiring nasi panas bersama sepiring se'i bakar, 10 tusuk sate, semangkuk kacang brene bon dan bunga pepaya seharga 46 ribu rupiah tandas ke perut saya dan si bungsu,a... Malam makin larut sehingga tubuh penat pun harus dibringkan, namun tidur ku tak bisa lelap karena rumah merangkap tempat bisnis tersebut terletak di tepi jalan Timor Raya yang setiap saat selalu dilalui kendaraan. Kebisingan jalan raya terasa sangat mengganggu, namun akhirnya kepenatan membuat saya terlelap jua di penghujung pagi.

Angkot di Kota Kupang
Setelah sarapan dan mandi di hari kedua, saya menuju ATM di kompleks hotel Kristal Oeba menggunakan angkot. Saat memasuki angkot, napas saya langsung pengap karena remang-remangnya ruang angkot diakibatkan oleh tempelan stiker berbagai bentuk, motif dan warna yang memenuhi seleruh permukaan kaca jendela samping atas dan bawah hingga kaca depan. Stiker Yesus disalib bersanding stiker Marlin Monroo dan Acnes Monika. Stiker facebook dan yahoo messenger bersanding dengan stiker berbahasa Indonesia dialek Kupang berbunci Su Tapee Saa :). Berbagai hiasan seperti boneka warna warni berbagai model, gantungan berbentuk hati warna warni hingga player khusus untuk mobil, sekarang telah berganti flash disk atau cakram cd. Bagian bawah tempat duduk dipenuhi speaker yang dipagari ram-ram kawat sehingga kaki penumpang tak bisa beranjak ke kolong tempat duduk karena terhalang pagar kawat yang melindungi jejerean speaker di bawah tempat duduk penumpang.
asesoris lainnya meramaikan angkot yang saya tumpangi bersama dengan dentuman musik tiada henti. Jika dulu setiap angkot menggunakan

Pantai Kelapa Lima
Saya ingin memperhatikan lanscape di luar angkot, namun terhalang berbagai stiker yang memenuhi kaca angkot dari depan hingga belakang. Akhirnya saat kembali dari ATM, saya memilih duduk di depan dekat sopir sehingga bisa mengamati perubahan yang terjadi sepanjang jalan yang dilalui angkot. Beberapa tempat di sebelah kiri jalan yang saya lewati dari Oeba hingga Pasir Panjang dan Kelapa Lima telah berubah. Karang-karang pantai Paradiso mulai berubah karena sedang dibangun serta dipagari dan diberi tulisan besar, Bukan Jalan Umum.. jejeran restoran pun mulai berbaris sepanjang pantai tersebut yang telah mengubah ruang publik itu menjadi tempat-tempat pribadi milik para pengusaha restoran dan hotel. Di beberapa hamparan tepian pantai pun mulai bermunculan lapak-lapak penjual ikan yang tidak tertata secara baik oleh Pemkot. Kesan kumuh dan jorok itu tak bisa dihindarkan lagi. Bau menyengat ikan kering bersama angin yang menerpa hidung terasa menyesakan dada saat angkot melewati lapak-lapak di tepi jalan raya Oeba - Oesapa, yah karang-karang itu telah mulai berubah... kumuh, jorok dan bau. Akses ke ruang-ruang publik semakin sulit karena mulai beralih menjadi ruang-ruang privat.. tapi SIAPA PEDULI???.  Saya bukan pejabat daerah, saya bukan anggota parlamen daerah yang punya kuasa dan wewenang mengurus tata ruang dan izin pembangunan hotel dan restoran... Ah saya hanya lahir dan besar di kota karang nan cantik ini... saya hanyalah seorang pengelana, seorang penjelajah yang melihat, mendengar, memotret dan menulis...

Bersambung

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...