Sabtu, 23 September 2017

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote 
Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tepi Pantai ini dihalangi satu pulau karang kecil berjarak sekitar 750an meter di sebelah kanan saat saya berdiri menghadap pantai. Karena itu, gelombang laut di lokasi ini cukup bersahabat. Saat perahu masih berjarak 500an meter dari tepi pantai, dua marinir telah melompat dan berenang ke pantai. Saya hanya berdiri memperhatikan mereka berenang lalu kadang berhenti dan bercanda di dalam laut. Perahu Pak Ardin terus mengayun perlahan menuju pantai sampai dasarnya menyentuh pasir sehingga perahu tak bisa maju lagi. Satu demi satu para prajurit turun. Para prajurit marinir dan tentara masing-masing membawa dus atau kantung atau karung perbekalan mereka yang dibawa dari Pulau Rote. Yani turun terlebih dahulu lalu saya. Saat kaki saya menjejak pasir, air laut masih setinggi paha. Saya berjalan perlahan menuju pantai sambil memperhatikan sekeliling kami. Hanya rombongan kami yang berada di pantai ini. Di pantai berdiri 1 pondok kecil beratap daun tanpa dinding. Para-para setinggi dada orang dewasa menjadi tempat duduk beberapa prajurit yang menunggu semua penumpang meninggalkan perahu. Di sebelah pondok dalam jarak sekitar 10an meter berdiri papan Selamat Datang di Pulau Ndana. Papan berwarna oranye dengan tulisan warna kuning tersebut mejadi satu-satunya penanda keberadaan manusia di Pulau tersebut.

Barak para prajurit di Pulau Ndana
Beberapa prajurit muncul dari setapak yang menghubungkan pantai dan barak. Mereka menjemput teman-teman mereka sekaligus mengambil alih barang-barang bawaan ke barak. Saya mengajak rombongan kami foto-foto terlebih dahulu di depan papan Selamat Datang barulah melanjutkan perjalanan kami ke barak yang berjarak sekitar 500an meter dari pantai. Sambil jalan, saya ngobrol dengan Dwi, salah satu marinir yang menyambut kami di pos singgah mereka di Oeseli, Pulau Rote. Sambil ngobrol, mata saya tak lepas dari lingkungan sekitar yang sangat sepi dan adem. Ruang kosong antara barak dan pantai berupa lapangan terbuka yang hanya ditumbuhi rerumputan warna coklat etinggi betis. Padang rumput berwarna coklat tersebut menjadi obyek foto yang sangat indah.

Setapak ke lokasi Patung Jenderal Soedirman
Saat hampir tiba di barak, Dwi menunjuk Patung Jenderal Sudirman di sebelah kanan kami yang sepertinya berada dalam satu garis lurus dengan pulau karang di pantai. "jika mo maen ke situ silahkan ikut saja jalan ini", kata Dwi sambil menunjuk setapak di samping kanan depan barak. Saya mengucapkan terima kasih lalu mengajak Yani belok kanan menuju setapak melanjutkan perjalanan kami ke kompleks Patung Jenderal Sudirman untuk menikmati sunset yang hampir tiba. Dalam perjalan, kami bertemu 3 marinir yang juga berjalan ke arah setapak tersebut dari setapak lain di belakang barak. Kami saling bersalaman dan ngobrol ngarol ngidul tentang berbagai hal. Ketiga marinir tersebut menuju pos pemantau yang berdekatan dengan Patung Jenderal Sudirman yang berjarak sekitar 500an meter dari barak. Saat hampir tiba di tempat tujuan kami, ketiga marinir tersebut mengambil jalan ke kiri sedangkan saya dan Yani ke kanan ke arah Patung Sudirman. "ntar mampir ke tempat kami ya mas", kata marinir yang terliat lebih senior dari 2 temannya. "siap pak", balas saya dengan senyum ramah.

Senja bersama Jenderal Soedirman
Saya dan Yani tiba di area Patung Jenderal Sudirman yang dipagari pagar besi berbentuk persegi setinggi pinggang saya. Kami membuka gerbang yang tidak terkunci lalu masuk ke dalam kawasan berpagar dan berlantai semen. Kami duduk mengamati patung setinggi sepuluan meter tersebut sambil mengeluarkan kamera dan memasang kaki tiga. Selanjutnya kami mulai sesi foto :) sambil berjalan mengitari patung dan melihat-lihat lebih dekat.  Matahari terus melangkah perlahan ke arah barat diiringi semilir bayu senja. Setelah puas foto dari berbagai sudut, saya duduk menikmati sunset yang telah terbentuk sempurna di horison barat. Warna jingga itu secara berlahan menghilang dalam pelukan ufuk meninggalkan bias-bias kemerahan semata. Lukisan indah goresan Sang Ilahi terciptan di tempat ini. Setelah puluhan tahun hanya menyimpan cerita ibunda tentang Pulau Ndana, akhirnya kaki saya menjejak pulau yang dulunya menjadi wilayah kekuasaan Manek (Kepala Suku) Nusak Thie dari marga / fam Messakh - marga ibu dari garis ayahnya. Pulau yang kemudian menurut cerita telah diserahkan Manek Thie ke Pemerintah Negara Republik Indonesia - yang lalu menjadikannya sebagai pos terdepan di bagian terselatan wilayah Negara Republik Indonesia.

Sunset di Pulau Ndana
Saat mentari telah sempurna menghilang di haribaan horison, saya dan Yani keluar dari kompleks Patung Sudirman dan menutup kembali gerbang. Kami masih sempat memanfaatkan sisa cahaya sore - yang dikenal kalangan fotografer sebagai blue light. Kami bergantian foto di sekitar prasasti berwarna putih yang menjadi tempat peringatan pembangunan Patung dan  juga informasi lainnya tentang Pulau Ndana. Setelah itu, kami beralih ke pos pemantauan yang tidak jauh dari lokasi Patung. Dua dari tiga prajurit yang berjalan bersama saya dan Yani dari setapak hingga ke area Patung Sudirman - menyambut kami dengan ramah. Pos ini dilengkapi kamar tidur, ruang tamu, dapur, kamar mandi dan toilet. Saya permisi ke kamar mandi terlebih dahulu untuk cuci muka dan kaki. Saat saya kembali ke ruang tamu, 2 gelas teh hangat telah terhidang di atas meja.

Dipan prajurit yang menjadi tempat tidur saya malam ini
Malam telah sempurna saat saya dan Yani meninggalkan kedua prajurit di pos tersebut. Kami berjalan dalam kegelapan malam ditemani suara jangkrik, kodok, serangga malam hingga burung malam. Berjuta bintang menghiasi langit Pulau Ndana menemani perjalanan saya dan Yani kembali ke barak para prajurit bangsa yang menjaga pulau ini. Dua prajurit sedang duduk santai sambil merokok dalam keremangan malam di suatu gundukan kecil di luar barak. Saya dan Yani berjalan menghampiri mereka, berjabat tangan, mengenalkan diri dan duduk ngobrol bersama mereka beberapa saat. Setelah itu, saya dan Yani berpindah ke teras terbuka di bagian samping belakang. Kami bergabung dengan beberapa prajurit yang sedang bercanda sambil ngopi dan merokok ditemani musik dangdut. Prajurit Dwi, satu dari para marinir yang bertemu kami di Oeseli serta bersama-sama menggunakan perahu Pak Ardin ke Pulau Ndana mengajak kami masuk ke dalam barak dan menunjuk 2 tempat tidur yang telah disediakan bagi saya dan Yani untuk istirahat malam. Saya mengucapkan terima kasih lalu mulai bersiap untuk mandi. Tentu saja, saya harus mandi karena badan terasa lengket akibat tersiram air laut sepanjang perjalanan Oeseli - Ndana sore tadi.

Barak para prajurit 
Sambil menyiapkan perlengkapan mandi, saya mengamati barak para prajurit yang menjaga pulau ini. Barak ini merupakan suatu aula terbuka yang diisi tempat tidur dan lemari sederhana para prajurit di kedua sisinya. Tempat tidur yang terbuat dari kayu (dipan) berukuran lebar sekitar 90 cm berjejer di kiri dan kanan barak membentuk lorong panjang di tengah. Antar dipan berjarak sekitar 1 meter. Beberapa dipan dilengkapi kelambu gantung, termasuk dipan tempat saya akan tidur malam ini. Di depan masing-masing dipan terdapat lemari sederhana dari kayu berwarna kecoklatan setinggi 2 meter dengan lebar sekitar 75cm yang warnanya senada dengan warna dipan. Mungkin satu paket, duga saya.

Dari ujung samping belakang barak, saya berjalan melewati lorong menuju ruang tengah - melewati kamar komandan yang tertutup - di pagi hari, saya berkenalan dengan sang komandan yang masih muda bernama Arjuna La Ode. Di ruang tengah saya keluar melewati pintu kiri menuju tempat mandi di belakang barak. Beberapa prajurit masih mandi, sedangkan beberapa sedang duduk-duduk dan ngobrol di bangku kayu di bawah naungan pohon besar di belakang kamar mandi. Saya dan Yani bergabung sambil menunggu prajurit yang sedang mandi selesai. Kamar mandi sederhana dengan lebar sekitar 2x2 meter tersebut tidak berpintu. Air mandi dipompa dari sumur di belakang kamar mandi lalu dialirkan melalui pipa-pipa ke dalam 2 ember bak besar di dalam kamar mandi tersebut. Saya dan Yani bergantian memompa air untuk kami masing-masing dan mandi secara bergiliran. Beruntung, lampu di tempat tersebut sangat tamaran sehingga saya tidak risih saat harus mandi bugil di kamar mandi yang tak memiliki pintu.

Makam malam 
Selesai mandi, saya kembali ke barak dan duduk ngobrol dengan beberapa prajurit di teras samping belakang diiringi musik dangdut, kopi dan rokok. Karena saya tidak minum kopi dan merokok, saya hanya menemani mereka ngobrol ngalor-ngidul. Bosan di tempat tersebut, saya mengajak Yani pindah tempat. Kami berjalan ke teras depan yang menghadap jalan setapak ke pantai yang kami lalui sore tadi saat tiba. Di teras ini seorang prajurit senior sedang ngobrol dengan beberapa anggota rombongan dari Bank NTT yang telah tiba sore tadi. Karena mereka tiba duluan, mereka  mendapatkan kamar tidur bagi tamu yang disediakan di barak tersebut. Saya dan Yani bergabung mendengarkan obrolan mereka dan sesekali ikut bertukar cerita. Namun yang lebih banyak bercerita atau menjadi tokoh malam ini adalah prajurit senior yang menemani kami. Obrolan kami terhenti, saat  makan malam dihidangkan. Prajurit senior yang menemani kami pamit meninggalkan kami. Kami semua berpindah ke tikar yang telah digelar di ruang tamu. Di atas tikar tersebut telah terhidang nasi panas, ikan bakar, potongan timun, kecap yang telah diberi irisan cabe dan bawang serta kerupuk.

Selesai makan malam, kami masih sempat ngobrol ngarol-ngidul tentang pengalaman jelajah masing-masing. Dua anak muda laki-laki dari Bank NTT merupakan para penjelajah seperti saya. Mereka sangat suka menghabiskan waktu menjelajah NTT. Mereka juga suka banget snorkeling sehingga saya hanya mendengarkan cerita-cerita mereka tentang perjalanan jelajah mereka menikmati pesona keindahan NTT. Kulit mereka berwarna hitam gelap karena sering terbakar matahari saat snorkeling. Suatu ketika mereka akan keliling Indonesia dan juga dunia, pikir saya sambil mendengar cerita-cerita mereka. Obrolan kami berakhir karena kantuk mulai membuat kami menguap bergantian dan pelupuk mata mulai terasa berat. Saya dan Yani pamit kembali ke bagian belakang barak yang menjadi tempat istirahat kami malam ini.

Kami masuk melalui pintu samping yang berseberangan dengan pintu samping ke arah kamar mandi, 2 prajurit terlihat terlelap di lantai hanya beralaskan bantal lusuh :(. Saya merasa bersalah karena mungkin saya dan Yani telah mengambil tempat tidur mereka malam ini. Melewati lorong, saya menyapa beberapa prajurit yang terlihat sedang menyiapkan diri untuk istirahat malam. Beberapa prajurit masih asyik ngobrol ditemani kopi, rokok dan musik dangdut di bagian teras belakang samping. Saya menurunkan kelambu dan mulai berbaring mencoba melelapkan diri guna menyiapkan tenaga bagi jelajah esok hari. Musik dangdut dan suara ketawa para prajurit di teras samping belakang mengantar saya ke dalam kelelapan tidur di malam gelap itu. Saya terbangun subuh hari karena kepanasan. Sekeliling telah sepi, para prajurit telah terlelap di tempat masing-masing. Saya membuka jendela membiarkan angin subuh Pulau Ndana menyejukan tubuh saya. Saya kemudian berusaha tidur lagi hingga akhirnya kembali terlelap.

Siap menyambut kunjungan Panglima pagi ini
Saya terbangun oleh kesibukan para prajurit yang menyiapkan perlengkapan masing-masing karena akan ada kunjungan Panglima pada hari ini. Kicauan burung dan udara segar pagi hari menghadirkan sensasi kesegaran pada tubuh dan pikiran saya. Saya cuci muka dan kumur-kumur - menggunakan air di botol aqua yang selalu saya bawa - melalui jendela barak dekat tempat tidur saya. Setelah itu, saya merenggangkan tubuh lalu berjalan ke luar barak. Saya mulai menyusuri setapak samar-samar yang tertutup rerumputan. Saya berjalan menuju pantai di bagian Utara karena ingin menjelajah hutan di bagian tersebut yang terlihat dari barak. Saya berjalan melewati padang rumput yang masih berhiaskan embun pagi. Matahari pagi mulai perlahan keluar dari peraduannya menyinari alam sekitar. Saat sinarnya bertemu embun pagi yang menggantung lembut di ujung-ujung daun rerumputan, perpaduan keduanya menghasilkan kristal-kristal pelangi yang hilang saat embun tersebut menguap karena sinar matahari semakin kuat.

Lautan rumput 
Sekitar 2km menyusuri padang rumput, saya memutuskan kembali ke barak karena hutan kecil yang ingin saya jelajahi  ternyata masih jauh. Hutan tersebut terlihat dekat dari barak, namun ternyata jarak pandang dengan jarak jalan berbeda ukuran. Saya teringat peringatan seorang prajurit semalam agar tidak berjalan sendiri di Pulau Ndana. Saat balik, saya tidak kembali ke barak. Saya berjalan lurus menuju setapak yang mengarah ke pantai tempat perahu dan boat berlabuh menurunkan dan menaikan penumpang. Saya ingin memotret pulau karang dekat pantai yang kemarin saya lihat saat kami tiba di pantai. Saya juga ingin menyusuri dan menjelajahi keindahan pantai itu karena belum saya lakukan karena hari telah menjelang malam saat saya, Yani dan para prajurit tiba kemarin di lokasi tersebut.

Jalan ku masih panjang dan lama 
BERSAMBUNG.


JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...