Minggu, 10 Agustus 2008

PELAYANAN PUBLIK : Meretas Jalan Baru Mengayuh Dunia Antah Berantah di Habitat

PELAYANAN PUBLIK : MERETAS JALAN BARU MENGAYUH DUNIA ANTAH BERANTAH DI HABITAT

Desau ombak mengalun mellow mengelus mesra tepian pantai Tanrusampe, Binamu Jeneponto telah mengayunkan ku di kelelapan malam dalam kamar hotel Bintang Karaeang yang terletak di tepian pantai tersebut. Suara serangga malam makin membuai tubuh dan pikiran ku dalam kesenyapan tidur malam ku…. Mimpi malam itu tak bersisa saat semburat di ufuk timur bersama kicauan burung dan desau gelombang membangunkan ekstasi tidur panjang ku yang melepaskan total rasa penat dan capek perjalanan Makassar – Jeneponto – Bulukumba – Jeneponto sekaligus pertemuan-pertemuan marathon dengan lembaga-lembaga independen pengawal Pelayanan Publik di Jeneponto dan Bulukumba.

Tubuh ku terus terbaring dalam diam menikmati nyanyian alam di pagi itu. Pikiran ku mengembara kembali ke hari-hari perjalanan kemarin. Makssar – Jeneponto dalam waktu tempuh 2,5 jam perjalanan bermobil serasa menapak rute udara Jakarta – Makassar. Berbeda dengan perjalanan udara, perjalanan darat menghadirkan panorama indah sepanjang jalan…. Mayoritas jalan yang terlalui beraspal mulus terutama untuk rute Makassar – Gowa – Takalar dan sebagian rute Takalar – Jeneponto. Menjelang kota Jeneponto, jalan mulai berlubang di sana dan di sini… sopir mobil yang ku tumpangi menginformasikan bahwa sebagian dari jalan tersebut baru saja diperbaiki beberapa bulan silam… dengan bercanda ku tanggapi saja bahwa sebagian duit pembangunan ditabung pelaksana proyek sehingga kualitas dan kuantitas bahan dikurangi yang mengakibatkan jalan yang baru diperbaiki tersebut telah berlubang-lubang setelah 2 – 3 bulan dilalui kendaraan yang lalu lalang… sang sopir hanya mengangguk-angguk tanpa memahami ke mana arah pemibicaraan ku sampai ku jelaskan detailnya barulah wajahnya sumringah tanda mengerti yang dilanjutkan dengan komentar-komentar sarkastiknya…

Lepas dari kondisi jalan tersebut, perjalanan Gowa – Takalar – Jeneponto menyajikan perpaduan panorama hijau persawahan luas membentang dilingkari bebukitan hijau di ujung horizon… rumah-rumah penduduk dengan antene TV nan menjulang berlomba dengan pertumbuhan menara-menara komunikasi dan tiang-tiang listrik yang berjejer sepanjang jalan seperti bersaing dan berdesak-desakan dengan pohon-pohon asam rimbun yang berjejer sepanjang jalan yang membelah areal persawahan ke kiri dan kanan. Mata ku menangkap beberapa kumpulan kerbau yang asik bercanda ditingkahi tarian burung-burung sawah yang terbang silih berganti tak henti… sesekali panorama tersebut berganti jejeran rumah-rumah penduduk dengan antenna-antena TV dan juga spanduk berbagai usaha dan juga kampanye para pemimpin daerah yang tersenyum sumringah menatap jalanan membuai angin lewat serasa menyapa kendaraan yang lalu silih berganti yang dijejeri bentangan jemuran rumput laut di jalan-jalan terlewati.

Menapaki jalan Takalar – Jeneponto, panorama secara perlahan mulai berganti--- kehijauan sawah mulai berganti kecoklatan padang tambak garam luas membentak hingga tepian laut di ujung langit biru lembayung. Jalanan di depan rumah-rumah penduduk dihiasi karung2 garam berbagai ukuran… di beberapa tempat hiasan tersebut berganti jejeran kios kecil memajang Ballo – minuman tradisional dari pohon lontar serta rangkaian buah lontar muda yang dijual sebagai kudapan…. Berani mencoba? Tanya sang sopir…. Maaf belum bisa sekarang…. Aku hanya kuatir sakit perut saat tiba di Jeneponto, sementara sejumlah agenda pertemuan harus dituntaskan di kota tersebu lalu beralih ke Bulukumba… rencananya saat balik ke Makassar, aku akan mencoba tantangan tersebut… sayangnya kami balik di pagi hari saat para pedagang belum menjajakan dagangannya sehingga keinginan mencoba hanya bisa dipendam...

Menejelang kota Jeneponto, jalan mulus mulai dihiasi lubang… mobil bergucang ke kiri dan kanan… kerikil berlapis aspal pun beterbangan tiada henti saat tergilas pinggiran ban… tak terasa mentari terik sedang garang di siang itu saat tubuh ku memasuki haribaan kota Jeneponto.. aku meminta sopir mencari rumah makan untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum datang ke tempat rapat. Sopir menawarkan coto dengan daging kuda… dengan senyum kecut aku menolak tawaran tersebut karena tidak terbayangkan untuk mencicipi daging kuda yang adalah binatang kesayangan ku saat kecil di desa. Sang sopir pun bertutur tentang segala makanan yang berdaging kuda sebagai bagian dari kekayaan budaya kuliner Jeneponto. Kami akhirnya mampir di rumah makan yang menyajikan menu ikan bandeng bakar, ayam goreng dan sop. Setelah bersantap siang, saya lalu menuju lembaga yang menggagas dan mengawal kelahiran Perda Pelayanan Publik – suatu jalan baru meretas rimba birokrasi lokal yang sukar dilalui para pegiat Ornop… dunia antah berantah… jalan penuh tantangan yang akan ku tapaki dalam mendorong teman-teman di habitat ku untuk bekerja bersama kaum birokrat dan legislator progresif melalui Tata Kelola Pemerintahan Daerah – jalan baru yang sedang ku retas merangkai setapak gagasan, konsep hingga kerja-kerja riel di sektor Pelayanan Publik yang mulai tumbuh bertebaran di seantero pelosok, terutama Sulawesi… Jeneponto dan Bulukumba telah mengawalinya… Makassar sedang mengikuti… dimana dan kapan lagi yang menyusuli… merenda serpihan-serpihan yang sama di Bima, Jawa Timur, Semarang dan Lampung… mendorong tersedianya standar pelayanan minimal dan mekanisme penanganan keluhan di sektor Pelayanan Publik sebagai pilihan ku kembali berkarya di habitat… “Selamat datang kembali ke HABITAT”, demikian teman-teman pergerakan di Sulawesi Tengara menyapa ku saat bertemu mereka kembali 3 bulan silam saat kunjungan pertama ku meretas jalan baru di provinsi tersebut.

Tanpa terasa ngobrol asyik selama 4 jam telah menyapa rembang petang saat harus pamit melanjutkan perjalanan ke Bulukumba. Salam perpisahan dengan sejumlah agenda untuk membangun kerjasama terukir indah di buku catatan yang selalu menyertai perjalanan ku. Mobil yang ku tumpangi kembali menyusuri jalanan aspal menuju Bulukumba dalam waktu tempuh 1,5 jam di ujung hari. Kontak yang ku peroleh dari seorang teman di Makassar menjanjikan untuk menjemput ku saat tiba di kota yang hanya selalu ku lewati bertahun silam saat masih berkarya di KEMALA… saat ini, secara khusus aku berkunjung ke kota tersebut untuk bertemu para pengurus Komisi Transparansi dan Partisipasi – yang proses pembentukannya di mulai tahun 2003 silam melalui Perda Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten tersebut. Jalan yang ku lalui terus menyusur tepian teluk Bone menghadirkan keharuman angin laut bersama tarian gelombang menyapa pantai sang kekasih abadinya.

Panorama jalan masih dihiasi hamparan sawah hijau hingga wilayah Bantaeng yang mulai berganti tambak-tambak garam membentang sejak tepian jalan hingga bibir pantai Lamalaka yang terlihat telanjang dari kaca mobil yang ku tumpangi. Jejeran perahu nelayan berbaris rapi seperti para tentara yang berbaris diam dan bisu.....Saat mobil memasuki kawasan Bantaeng – Balukumba, paparan alam mulai berubah kocoklatan karena dihiasi pohon-pohon yang merangas dedaunannya dan rumput-rumput kering seperti menanti tetesan air langit dengan penuh kerinduan. Jarak antar ketiga kabupaten tersebut tidak lah terlalu jauh, namun panorama yang kontraktif itu terus menghadirkan tanya tak terjawab hingga aku kembali ke hutan-hutan beton di tempat tinggal ku yang telah ku akrabi tahun demi tahun.

Akhirnya, aku tiba juga di kota Bulukumba. Kontak person yang telah ku hubungi menjemput ku di suatu pertigaan untuk mempertemukan ku dengan 2 pengurus teras Komisi Transpransi dan Partisipasi. Kami bertemu dan ngobrol di Warung Kopi. Ketua dan Sekretaris Komisi beserta anggota DPRD serta beberapa birokrat sedang kongkow sore di Warung Kopi tersebut sehabis mengikuti siding DPRD hari itu yang membahas RAPBD tahun 2008. Kontak ku lalu memperkenalkan ku dengan mereka, namun aku tidak sempat bersua tangan dengan sang anggota DPRD karena ketidak-peduliannya untuk berkenalan dengan ku…”siapa sih loe… saya bukan lah kelas mu” kata hati sang legislative… bhatin ku… aku pun mengacuhkannya hanya berjabatan tangan dengan yang lain terutama para pengurus dan anggota Komisi yang berada di Warkop tersebut… lalu mengalun lah obrolan yang terkait pada dinamika proses kelahiran Perda dan Komisi tersebut… suatu perjalan berliku penuh warna menohok berbagai kepentingan yang harus dikompromikan melalui tekanan public tak henti sejak awal prosesnya di tahun 2003 hingga kelahirannya di tahun 2006 bersama gonjang ganjing pemilihan pengurus selama 1 tahun hingga angin keterbukaan mulai menghampiri di tahun 2008 dengan adanya alokasi anggaran di RAPBD Kabupaten setempat bagi Komisi tersebut memulai perjalanannya sebagai suatu sejarah baru bagi public Bulukumba….

Malam sedang menggoda mayapada saat mobil yang ku gunakan memutar balik dan menyusuri jalanan Bulukumba – Bantaeng – Jeneponto… aku memutuskan berhenti dan menangguk malam di Kota Kuda itu… menikmati deburan ombak teluk bone yang sedang bercengkrama dengan bibir-bibir pantai…. Mendekapkan diri dalam pelukan sang bayu yang sedang berdansa diiringi nyayian para jangkrik dan burung malam… melelapkan tubuh dan jiwa ku dalam ayunan empuknya haribaan hotel nan apik dan bersih serta terawat. Ketukan di pintu mengembalikan ku ke hari baru yang akan ku lalui… menyusuri kembali perjalanan Jeneponto – Takalar – Gowa – Makassar untuk selanjutnya bertolak ke Palu lalu Kendari bertemu teman-teman lama di habitat sambil meretas jalan baru mengayuh dunia antah berantah Pelayanan Publik sebagai salah satu bentuk nyata aplikasi prinsip-prinsip GOOD GOVERNANCE melalui fasilitasi reformasi sektor Pelayanan Publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...