Minggu, 10 Agustus 2008

Terbang Menerbang : Antara Merpati - Expressair dan Batavia Air

TERBANG MENERBANG : Antara Merpati – Expressair dan Batavia Air
Di Indonesia, mayoritas pengguna jasa penerbangan udara pasti cukup mengenal Merpati sebagai salah satu airlines terkemuka yang melayani mobilitas penduduk hingga ke daerah-daerah terpencil di seluruh pelosok negeri, termasuk Papua. Layanan penerbangan Merpati di pulau ini sangat signifikan membuka isolasi daerah-daerah pegunungan Papua yang hanya dapat dijangkau menggunakan jasa penerbangan udara. Tanpa Merpati dan berbagai penerbangan perintis lainnya, dapatlah dipastikan bahwa daerah-daerah terisolir di Papua tidak akan terjangkau oleh layanan pembangunan secara cepat.
Pada sisi lain, layanan maskapai ini tidak mengalami peningkatan kualitas dari tahun ke tahun. Selalu tidak on time telah menjadi kebiasaan buruk maskapai ini. Sepertinya, waktu bukan lah sesuatu yang berharga bagi Merpati. Berulang kali menggunakan jasa Merpati, membuat saya mulai muak terhadap layanan yang tidak professional dari Merpati. Manajemen penumpang juga sangat buruk, kadang 2 penumpung memegang boarding pass dengan seat yang sama – yang lalu menimbulkan saling tunjuk hidung saat boarding yang membuat pramugari dan pramugara jadi kebingunan mengatur penumpang. Banyak diantara armada pesawat yang digunakan juga telah tua, terutama ke wilayah-wilayah Indonesia Timur. Menggunakan jasa penerbangan Merpati harus siap terhadap ketidak-pastian seat hingga waktu keberangkatan dan kedatangan yang juga tidak pasti.
Saya pernah mendapatkan pengalaman buruk beberapa tahun lalu saat harus menggunakan jasa penerbangan Merpati. Saat itu, saya masih bertugas sebagai Program Officer KEMALA untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku. Biasanya saya menggunakan jasa penerbangan Garuda. Namun suatu saat, saya tidak mendapatkan seat di Garuda untuk penerbangan Jakarta – Makassar, sehingga saya menggunakan penerbangan Merpati untuk Jakarta – Makassar yang diteruskan ke Kendari – Makassar – Palu – Makassar – Jakarta. Saat kembali dari Palu ke Makassar, terjadilah kasus saya tidak bisa berangkat pada tanggal penerbangan yang telah tercatat di tiket karena seat saya telah dijual ke orang lain dengan alasan saya tidak rekonfimasi tiket saya untuk penerbangan Makassar – Jakarta. Padahal seseorang di kantor Merpati Makassar telah menelpon saya sehari sebelumnya untuk rekonfirmasi tersebut. Saya akhirnya marah-marah lalu mengatakan akan menuntut Merpati untuk membayar biaya hotel dan kerugian waktu saya karena tidak bisa kembali ke Makassar. Mendengar hal tersebut, staf yang menelpon meminta waktu untuk bicara dengan Kepala Perwakilannya. Lalu dia menelpon lagi dan mengabarkan bahwa saya dapat berangkat pada hari yang sama tetapi jam berbeda. Saya tidak setuju dan menuntut berangkat ke Jakarta pada tanggal dan jam yang tercantum sesuai tiket, karena jadwal meeting saya telah menyesuaikan dengan tanggal dan waktu perjalanan balik saya ke Jakarta. Setelah beradu argument beberapa kali melalui telpon, akhirnya saya dapat berangkat pada tanggal dan jam seperti yang tertera di tiket. Ternyata saat pesawat take off di Bandara Hassanudin Makassar, saya melihat masih terdapat 10 seats yang kosong. Padahal saat beradu argument di telpon, mereka mengatakan seat penuh. Gila.
Pengalaman buruk saya yang lain adalah saat saya menggunakan jasa penerbangan Merpati dari Jakarta ke Ambon. Saat akan check in di subuh hari sekitar jam 5am, petugas check in mengatakan bahwa pesawat tidak bisa berangkat karena sedang terjadi kerusakan teknis. Waktu terus berjalan sampai sekitar jam 8pagi saat beberapa penumpang mulai menuntut agar dialihkan ke maskapai lain yang berangkat ke Ambon pada hari yang sama. Setelah urus sana urus sini, sekitar 1 jam kemudian petugas mengatakan bahwa tiket yang kami pegang adalah tiket penumpang cadangan sehingga tidak bisa diprioritaskan menggunakan jasa penerbangan lain. Betapa marahnya saya dan beberapa penumpang lain bernasib sama karena merasa ditipu oleh Merpati. Setelah negosiasi beberapa kali, akhirnya disepakati, tiket kami akan diubah statusnya menjadi OK, tapi dengan penerbangan esok hari. Untuk itu, pihak Merpati memberi ganti rugi uang transport ke para penumpang.
Esoknya, saat saya check in, saya diberitahu bahwa tiket saya hanya berstatus OK sampai ke Makassar. Tentu saja saya jadi marah-marah karena tujuan saya adalah Ambon, bukan Makassar. Saya minta bicara dengan Kepala Kantor – yang lalu dipertemukan dengan duty manager – yang memberi janji akan menelpon ke Makassar untuk memastikan saya mendapatkan seat Makassar – Ambon. Karena tidak mau dikadalin, saya meminta identitas lengkap bersama no telponnya. Namun, ternyata sesampainya di Makassar, saya tidak mendapatkan kesulitan, karena petugas mengatakan bahwa seat untuk saya telah tersedia karena telah mendapat telpon dariJakarta.
Demikian, 2 pengalaman buruk saya saat menggunakan jasa penerbangan Merpati. Saya akhirnya berjanji pada diri saya bahwa penggunaan jasa penerbangan Merpati hanya akan saya gunakan sebagai pilihan terakhir semata, jika penerbangan ke tempat tujuan masih bisa menggunakan jasa penerbangan lain. Jika tidak, maka tentu saja tidak ada alternative, sehingga saya harus siap mental menghadapi kekacauan manajemen Merpati.
Pengalaman buruk saya lainnya adalah saat menggunakan jasa penerbangan Expressair dari Manokwari ke Jakarta pada tanggal 18 Desember 2006 – guna mengikuti meeting IFAD dan launching People centered Development Program (PDP). Saat itu seat yang masih tersedia hanyalah Expressair, karena Batavia dan Merpati telah closing hingga tanggal 24 Desember. Tanpa berpikir dua kali, saya memutuskan membeli tiket expressair penerbangan Manokwari – Jakarta pada tanggal 18 Desember 2006, pukul 11 pagi. Saya diminta check in pada pukul 9am. Namun, saya baru tiba di airport Redani Manokwari pada pukul 9.30. Pada saat check in, petugas mengatakan bahwa pesawat terlambat sekitar 2 jam, karena itu keberangkatan pukul 11 akan menjadi pukul 13. Saya lalu memutuskan untuk check in saja dan menunggu di airport. Ternyata keputusan yang saya sesali kemudian, karena keberangkatan pesawat tertunda sampai sekitar pukul 15.
Kurang ajarnya, tidak ada sedikitpun informasi diberikan kepada para penumpang tentang penundaan berjam-jam tersebut. Penumpang dibiarkan menunggu dalam ketidak pastian di ruang tunggu yang sangat panas, pengap dan penuh asap rokok serta bau keringat menyengat yang berbaur campur aduk.
Pengalaman yang agak berbeda saya dapatkan di maskapai Bataviasaat saya menggunakan jasa penerbangan tersebut dari Jayapura ke Manokwari pada tanggal 2 Januari 2007.
Pada beberapa kalangan, Batavia Air dikenal cukup tepat waktu dan memberikan pelayanan yang cukup professional. Saya pernah menggunakan jasa penerbangan maskapai ini beberapa tahun silam saat mengunjungi keluarga di Kupang – Timor Barat. Keluarga saya juga selalu menggunakan jasa Batavia saat berkunjung ke Jakartaataupun Jogja – tempat tinggal adik bungsu saya.
Dulu saya tidak pernah memperhatikan kualitas layanan Batavia. Namun, setelah mengalami beberapa kali pengalaman buruk dengan beberapa maskapai penerbangan, maka saat akan menggunakan jasa suatu penerbangan saya mulai memperhatikan dan mengingat cara dan kualitas pelayanan para airlines, termasuk Batavia tentunya.
Karena baru mulai memperhatikannya saat pertama kali menggunakannya dari Jayapura ke Manokwari pada tanggal 2 Januari 2007 tersebut, maka saya belum mendapatkan banyak hal untuk dibandingkan dengan maskapai lainnya.
Dalam catatan saya, cara dan kualitas layanan saat check in cukup baik. Pengalaman buruk saya dengan Batavia Air terjadi saat boarding. Karena saya harus memindahkan semua barang bawaan saya dari Jayapura ke Manokawari, maka saat check in saya harus membayar lima ratus ribu rupiah untuk kelebihan bagasi. Itupun setelah mengeluarkan 1 koper kecil yang saya pikir dapat saya tempatkan di hand carry bagasi diatas seat saya di pesawat.
Saat boarding, saya berusaha menjadi orang terdepan sehingga bisa mendapatkan tempat lapang bagi bagasi saya. Saaat memasuki pesawat dari pintu yang terletak di ekor pesawat. Saya berpapasan dengan para pramugari yang berdiri mengamati para penumpang yang mulai memasuki pesawat. Saat berpapasan itu, saya mencoba tersenyum, namun ternyata senyuman saya tidak berbalas. Mereka hanya diam pasang muka tembok. Saat saya berusaha memasukan kopor kecil saya ke tempat bagasi diatas seat saya, tidak ada seorang pramugari pun yang bergerak membantu, walau melihat saya kesulitan memasukan koper ke tempat bagasi. Satu diantara mereka hanya berkomentar bahwa koper saya terlalu tebal. Saat saya bertanya “lalu bagaimana”?. Pramugari yang berkomentar tentang ketebalan koper saya itu lalu menunjuk row kursi belakang sambil berkata “coba taruh sini saja, mungkin tidak ada penumpangnya”, lalu dia kembali ngobrol dengan temannya sesame pramugari – alias mengacuhkan kesulitan saya. Mereka ngobrol sendiri. Demikian pula saat pesawat tiba di Manokwari, senyum mereka tak sekilas pun tersungging. Saya hanya melihat mereka tersenyum saat ada penumpang yang ingin membeli barang jualan mereka di atas pesawat. So BETAPA MAHALNYA senyuman pramugari Batavia Air L.

3 komentar:

  1. memang... di Indonesia ini
    seharusnya ada peraturan yg tercantum.... berisi harus selalu tersenyum ... harus selalu ramah kepada siapa saja tdk terkecuali kepada gembel sekalipun... nyebelin yah...

    BalasHapus
  2. nasib.... nasib...

    BalasHapus
  3. kalau gak kuat bawa barang banyak/berat sebaiknya jangan dipaksakan juga pak dan jangan marah kalau tidak dibantu pramugari saat menaikkan barang ke bagasi kabin karena bukan itu tugas utama mereka dalam 'menjaga kenyamanan penumpang selama penerbangan'. Harus berani capek sendiri kalau memang berniat bawa barang banyak. Peraturan bagasi kabin <7kg salah satunya karena kemampuan kita rata-rata segitu.

    BalasHapus

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...