Minggu, 10 Agustus 2008

Tapak Tapak Pembawa Ember

Manokwari – Jakarta – Jayapura

Minggu, 17 Desember 06
Melepaskan diri di akhir pekan, terutama di hari minggu merupakan sesuatu yang menyenangkan. Walau tak banyak yang bisa dikunjungi untuk dilihat di Manokwari.
Hari ini, saya bangun jam 6 pagi seperti biasa walau di hari Minggu, ternyata jendela tidur harian ku tidak bisa diajak kompromi untuk tidur melewati jam 6 pagi. Karena ketiadaan kesibukan hari ini, maka saya mengisi waktu dengan baca buku lalu main game di PDA ku. Ingin nonton berita, namun di Jakarta baru jam 4 subuh sehingga dapat dipastikan belum ada berita di televisi.

Saat jam menunjuk angka 8 pagi, kaki ku menjejak lantai menuju kamar mandi. Setelah cuci muka dan sikat gigi, saya menuju meja makan menyantap makan pagi dan teh panas yang telah disiapkan pemilik rumah kost ku. Selama tinggal di rumah kost ini, saya mulai terbiasa makan pagi – yang bukan roti panggang dan aneka jus sebagaimana kebiasaan pagi ku di Jakarta. Ibu kost saya memiliki katering dan usaha penjualan kue sehingga saya tidak kesulitan mendapatkan makanan enak di tempat tinggal ku di Manokwari. Saat pulang ke rumah di sore hari, 1 gelas teh panas bersama sepiring kue telah menanti. Tanpa terasa kebiasaan itu membuat berat badan ku mulai naik. Celana ku mulai terasa sempit sehingga menyadarkan saya untuk lebih berhati-hati mengkonsumsi makanan dan minuman.
Manokwari tidak memiliki fasilitas hiburan dan olah raga yang cukup layak seperti di Jakarta ataupun Jayapura. Fasilitas outdoornya juga sangat minim. Hanya tersedia 1 fitness club dengan peralatan sederhana yang mulai lapuk. Karena tiada pilihan lain, maka saya akhirnya memutuskan untuk berolah-raga di tempat fitness tersebut. Semua anggota club fitness adalah laki-laki berbagai usia yang berolah-raga seadanya. Tempat fitness tersebut berukuran sekitar 20 m2 tanpa fasilitas AC apalagi loker. Tersedia 2 kamar mandi menggunakan bak air - yang tidak pernah digunakan oleh para anggota - nampak dari kotor dan joroknya kamar mandi tersebut. Air di bak-bak mandi tersebut seperti tidak pernah diganti hari berbilang bulan. Jendela-jendela ruang fitness sangat lah kecil seperti jendela-jendela penjara. Saat suatu hari saya bercakap-cakap dengan salah satu tukang bersih-bersih tempat tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa berbagai peralatan sederhana yang digunakan tempat fitness dibeli dari Pasar Rumput Jakarta beberapa tahun silam.

Waktu untuk exercise pun sangat singkat, yakni pukul 16.00 s/d 18.00. Walau hanya 2 jam, namun ternyata banyak anggota yang hanya berolahraga sekitar 30 s/d 60 menit saja karena udara yang sangat panas, pengap dan bau keringat yang sangat tajam dari para member. Baru latihan 15 menit saja, keringat telah mengucur deras dari semua pori-pori tubuh. Saking panas dan pengapnya ruangan tersebut, kadang beberapa member tidak memakai baju ataupun bersepatu dan bersandal alias telanjang dada dan kaki saat berolah-raga.
Di hari Minggu pagi s/d sore sekitar jam 4, kota terasa Manokwari sepi dari kesibukan bisnis. Pertokoan, warung hingga restoran tutup sampai sekitar pukul 4 sore. Bahkan satu-satunya internet point di kota tersebut malah tutup selama hari Minggu. Karena itu, pada hari Minggu saya membiasakan diri beribadah di pagi hari lalu beristirahat di rumah. Kadang pak Jemie (pemilik rumah) mengajak saya keliling ke pantai dan tempat-tempat lain sekedar berkeliling mengahabiskan waktu.

Saya beribadah di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Petrus yang letaknya dekat kampus UNIPA - tentu saja dekat pula dengan rumah kost ku. Mayoritas jemaat di gereja tersebut adalah mahasiwa. Untuk ukuran setempat, gereja tersebut cukup besar dan memadai. Pada hari-hari besar Kristen, biasanya gereja penuh sesak oleh jemaat dan tumpah ruah sehingga pihak gereja biasanya menyediakan tenda tambahan di sisi-sisi gereja. Setelah 2 kali mengikuti ibadah di gereja tersebut, barulah saya sadari bahwa sepertinya ada aturan tidak tertulis tentang pemisahan tempat duduk para lelaki dan perempuan. Tempat duduk di gereja tersebut terbagi menjadi 3 kolom, yakni kiri, tengah dan kanan - yang saat saya perhatikan pengelompokannya menjadi sebelah kanan hanya diduduki kaum perempuan, bagian tengah diduduki oleh laki-laki dan perempuan, sementara bagian kiri hanya diduduki oleh para laki-laki. Kebersamaan antar jemaat sangatlaah kental. Selama 2 kali mengingikuti ibadah Minggu, saya tidak membawa buku nyanyian karena saya lupa bawa dari Jakarta. Saat puji-pujian dilantunkan, tetangga tempat duduk saya tidak segan berbagai buku untuk dinyanyikan bersama J.

Senin, 18 Desember
Hari ini saya berangkat ke Jakarta mengikuti 2 pertemuan di BAPPENAS, yakni pertemuan review hasil perjalanan team IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan Launching People Centered Development Program (Program Pembangunan berbasis Masyarakat) untuk Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat. Keberangkatan ku ke Jakarta adalah menggantikan Program Coordinator (PC) UNDP yang tidak hadir karena mulai cuti pada tanggal 17 Desember. PC telah menginformasikan keberangkatan ku itu pada malam tanggal 16 Desember 2006, namun keputusan baru diambil pada tanggal 17 – yang mana Sekretaris Program menelpon saya dari kantor Jayapura meminta saya berangkat ke Jakarta secepatnya untuk mengikuti kedua pertemuan tersebut diatas. Setelah menerima telpon tersebut, saya pun go show mencari tiket ke agen penerbangan Merpati dan Batavia – yang sayangnya telah close sampai tanggal 24 Desember 2006. Karena itu, saya lalu meminta sopir mengantar saya ke salah satu travel agen yang ada di kota tersebut.

Saya akhirnya mendapatkan tiket penerbangan Expressair untuk keberangkatan tanggal 18 Desember ke Jakarta melalui Makassar. Walau sebenarnya saya ingin berangkat hari Sabtu atau Minggu tanggal 16 atau 17, namun saya tidak mendapatkan tiket keberangkatan pada tanggal tersebut. Apalagi tidak ada penerbangan pada hari Minggu di kota tersebut, sehingga saya akhirnya pasrah berangkat hari Senin.

Pada hari Senin, tanggal 18 Desember 2006, jam 9 pagi saya berangkat ke Airport diantar mobil pemilik rumah – yang saya bayar Rp. 100.000,- saya tiba di airport sekitar jam 9.30. Saat check in, petugas memberitahu saya bahwa kemungkinan penerbangan baru akan terjadi pada pukul 13.00, bukan pada pukul 11.00 sebagaimana tercantum di tiket. Karena saya malas kembali lagi ke rumah, maka saya putusin menunggu saja di airport – yang ternyata sangat melelahkan karena pesawat yang akan menerbangkan saya dan penumpang lainnya ke Jakarta via Makassar baru tiba pukul 15.00. Tentu saja saya dan penumpang lainnya sangat mendongkol, namun apa mau di kata. Kami tak punya pilihan lain selain pasrah menerima nasib menunggu di airport yang panas, pengap serta menikmati tajamnya bau keringat dan asap rokok yang berbaur menjadi satu.

Saat tiba di Jakarta, sang Dewi Malam sedang mulai mengintip peraduan sang Surya menunggu sang Surya melepaskan lelah diperaduannya. Saat keluar dari Airport Sukarno Hatta, kemacetan Jakarta langsung menyergap taxi yang ku tumpangi. Mobil beringsut perlahan sampai tiba di pintu tol pertama. Lepas pintu tol, perjalanan mulai lancar hingga tiba di rumah. Orang rumah kaget melihat saya tiba-tiba muncul di gerbang karena saya tidak memberi khabar apapun tentang kedatangan ku ke Jakarta. Setelah menyerahkan oleh-oleh dan ngobrol beberapa menit, saya lalu pamit untuk pangkas rambut sekaligus mampir sauna di Hotel Santika guna menghilangkan kepenatan sekaligus memuaskan kerinduan ku pada kebiasaan-kebiasaan harian ku saat masih di Jakarta. Tanpa terasa pukul 22.30 barulah saya tiba kembali ke rumah.

Selasa, 19 Desember.
Saat pagi merekah, saya meninggalkan peraduan langsung ke kamar mandi untuk cuci muka. Saya sarapan terlebih dahulu lalu beranjak ke kamar untuk mandi dan bertukar pakaian kerja yang telah disiapkan pembantu. Saya pun melangkah ke jalan raya guna mendapatkan taxi mengantar saya ke kantor BAPPENAS di Jl. Taman Surapati 2 – sebagai tertera dalam undangan – sebagai tempat pertemuan hari ini. Saat tiba sekitar pukul 9.20, ruangan yang rencananya akan digunakan untuk pertemuan masih gelap gulita, tentu saja masih dalam keadaan kosong. Satpam lalu bertanya ke OB yang lalu menyalakan lampu dan mempersilahkan saya menunggu dalam ruangan.

Karena waktu memulai pertemuan telah lewat, tapi berlum seorang pun yang nongol, maka saya menjadi gelisah dan bertanya-tanya dalam hati “apakah saya masuk ke tempat yang salah?”. Saya lalu menelpon Yani Marzidik dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) – yang saya kenal saat mendampingi team IFAD di Manokwari. Dari telpon itulah saya mengetahui bahwa pertemuan pagi itu ditunda ke lain waktu yang akan ditentukan kemudian. Mendapatkan informasi tersebut, saya lalu menelpon beberapa konsultan team yang saya kenal untuk konfirmasi berita tersebut, namun ternyata mereka juga tidak mengetahui langsung dari BAPPENAS, bahkan beberapa dari mereka telah dalam perjalanan ke tempat pertemuan dimaksud.

Tak berapa lama setelah telpon-telpon tersebut, seorang laki-laki memasuki ruangan tempat pertemuan – dimana saya seorang diri menunggu di dalamnya. Saya lalu tersenyum dan mengangguk, kami lalu bersalaman dan berkenalan. Namanya Adi dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal - rekan kerja Yani tentunya. Dia juga tidak mengetahui penundaan pertemuan tersebut, sehingga saya menyampaikan informasi yang saya peroleh dari rekan kerjanya itu. Kami lalu sepakat untuk langsung mendatangi dan meminta konfirmasi ke penyelenggara pertemuan (BAPPENAS). Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami dipertemukan dengan seorang staf yang bertanggung-jawab terhadap pertemuan tersebut – yang mengkonfirmasi kebenaran penundaan waktu pertemuan tersebut. Setelah mendapatkan kepastian berita tersebut, saya dan Adi lalu keluar dan berpisah ke tempat kami masing-masing.
Saya lalu menuju kantor Jakarta – yang terletak di Menara Thamrin. Saat akan memasuki kantor tersebut, saya harus melewati pemeriksaan keamanan seperti biasa. Namun karena saya memiliki ID Card sebagai staf, maka pemeriksaan yang harus saya lalui tidak lah lama. Walau demikian, saya tetap saja harus mengisi formulir sebagai tamu – yang akan menemui seseorang di kantor tersebut – karena kantor saya di Manokwari – bukan di Jakarta. Petugas keamanan bertanya “siapa yang akan saya temui?” bu Yanti, jawab ku. Saya diminta menemui Adi – sang resepsionis - yang telah saya kenal karena kami telah ngobrol beberapa kali saat saya orientasi selama 3 hari di kantor UNDP Jakarta di awal recruitment ku. Adi lalu menelpon ke bu Yanti di dalam, kemudian saya diantar seorang petugas keamanan ke dalam. Rasanya aneh, karena saya diperlakukan sebagai tamu - walau saya memiliki ID card UNDP. Walau demikian, saya menerima saja keanehan tersebut sebagai bagian dari prosedur standar yang harus dilalui oleh staf UNDP yang tidak berkantor di Menara Thamrin.

Saat bertemu bu Yanti, dia sedang sibuk mepersiapkan acara launching People centered Development Program (PDP) Papua Irian Jaya Barat (PIRJA) - yakni salah satu acara yang akan saya ikuti pada tanggal 20 Desember sebagai bagian dari agenda kedatangan ku ke Jakarta. Salah satu kesibukan bu Yanti saat itu adalah mempersiapkan draf MoU yang akan ditanda-tangani oleh UNDP, BAPPENAS serta Gubernur Irian Jaya Barat dan Papua. Di sela-sela kesibukannya itu, kami ngobrol sana sini tentang berbagai aktivitas ku di Manokwari, termasuk masalah dengan si kutu. Ternyata bu Yanti serius menanggapi masalah tersebut sehingga dia langsung berjanji akan mengatur pertemuan dengan Bu Judith – yang adalah manajer proyek Cap2015 – tempat si kutu bekerja sebagai konsultan. Pada beberapa komentar, bu Yanti menyatakan bahwa si kut hanyalah konsultan – yang tidak memiliki otoritas menggunakan nama ataupun mengambil keputusan mewakili UNDP. Otoritas itu ada pada saya sebagai orang manajemen dalam posisi sebagai Program Officer.

Saya tidak menyangka bu Yanti secara serius menanggapi masalah ku dengan si kutu, saya hanya meminta agar bu Yanti membantu saya “menahan” si kutu sekitar 1 bulan di Jakarta sehingga saya punya waktu mempersiapkan pertemuan penyusunan Annual Work Plan PDP PIRJA 2007 antara UNDP dengan BAPPEDA Provinsi IJB. Oleh karena pada satu sisi, si kutu memusuhi saya sebagaimana telah saya ceritakan pada bagian 4 (Merenda Hari Menghadapi Masalah), pada sisi lain, dia memiliki pengaruh dan hubungan cukup dekat dengan Kepala BAPPEDA – yang harus saya dekati untuk mendapatkan keputusan politik darinya bagi dilakukannya pertemuan penyusunan AWP PDP 2007 dengan stafnya.

Singkat kata, acara launching PDP pada tanggal 20 sore di kantor BAPPENAS berlangsung sukses. Acara diawali penanda-tanganan MoU oleh BAPPENAS, UNDP dan Gubernur Papua – Gubernur IJB tidak hadir. Setelah itu, pidato-pidato, lalu konferensi pers kemudian makan malam. Sambil makan malam, team UNDP melobi Gubernur Papua untuk melakukan pertemuan tersendiri guna memdiskusikan kebutuhan cost sharing diantara kedua pihak. Segera setelah selesai standing dinner, kedua pihak bertemu di ruang pertemuan Menteri BAPPENAS selama sekitar 3 menit. Pihak UNDP terdiri dari Pak Bo, Ibu Marcia, Ibu Jiah, Ibu Yanti, Saya dan Robert (PO UNDP untuk Papua). Pihak Provinsi Papua terdiri dari Pak Gubernur (Pak Barnabas), Sekretaris BAPPEDA Provinsi (Pak Giay), Ketua Papua Multi Donor Advisory Board/PMAB sekaligus anggoda MRP (pak Madepa) dan Sekretaris Pribadi Gubernur (Ronald). Kedua pihak mencapai kesepakatan politik yang secara operasional akan ditindak-lanjuti oleh BAPPEDA Provinsi Papua dan Kantor UNDP Jayapura.

Pada tanggal 21 pagi, saya kembali berkunjung ke kantor Jakarta, karena keberangkatan ku ke Jayapura baru akan dilakukan pada tanggal 21 malam sekitar jam 10 menggunakan penerbangan Garuda. Di kantor, saya lalu dipertemukan dengan Bu Judith (Manajer Proyek Cap2015) oleh bu Yanti. Kami bertiga ngobrol di tempat bu Yanti. Saya lalu menceritakan lagi kisah yang sama ke bu Judith tentang masalah saya dengan si kutu yang adalah salah satu stafnya. Cerita saya diselingi berbagai komentar bu Yanti maupun bu Judith sendiri. Dari obrolan tersebut, saya mendapat kesan, bu Judith juga telah cukup mengetahui berbagai sifat buruk si kutu. Namun, dia menutup mata terhadap hal-hal tersebut, karena si kutu memiliki kemampuan lobby guna memuluskan proses implementasi berbagai kegiatan proyek di Irian Jaya Barat, terutama bersama BAPPEDA Provinsi sebagai mitra kerja. Pada sisi lain, bu Yanti bersikukuh bahwa si kutu tidak berwenang menggunakan nama UNDP dan tidak memiliki otoritas apapun apalagi menghalang-halangi saya sebagai PO UNDP - karena status si kutu hanyalah konsultan yang hired oleh Bappenas - bukan UNDP. Dari pembicaraan tersebut saya baru melihat ketegasan dan kemarahan bu Yanti yang belum pernah saya lihat selama interaksi saya denganya. Sementara disisi lain, bu Judith tidak memiliki jalan keluar untuk masalah tersebut, karena ketergantungannya yang cukup tinggi terhadap keberadaan si kutu di Manokwari guna memuluskan berbagai rencana kerja Cap2015 bersama BAPPEDA dan beberapa pihak terkait lainnya.

Saat bu Yanti mengusulkan suatu solusi – yang cenderung menjauhkan si kutu dari Manokwari, atasan si kutu selalu berputar-putar tentang kemampuan lobby dan network si kutu di Papua. Akhirnya kedua pihak sepakat agar masing-masing menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya. Secara khusus, saya meminta bu Judith untuk mengendalikan si kutu semampunya secara bertahap – sehingga tidak menimbulkan masalah baru lagi dengan saya di Manokwari. Tanpa terasa, obrolan kami telah memakan waktu berjam-jam sampai melewati jam makan siang. Bu Judith lalu meminta no telpon saya dan memberikan beberapa dokumen kerja Cap2015, termasuk rencana kerja tahun 2007 dan draf RPJM Provinsi IJB yang telah selesai kerjakan oleh BAPPEDA Provinsi IJB dengan bantuan para konsultan Cap2015. Karena saya harus terburu-buru belanja, maka documen RPJM tersebut, saya tinggalkan di bu Yanti dengan janji akan saya ambil copynya saat cuti bulan Januari 2007 ke Jakarta.

Saya lalu pamit ke bu Yanti lalu melangkah keluar dari kantor. Karena tidak punya waktu tersisa untuk makan siang, maka saya sempatkan diri membeli sepotong sandwich di kafe lantai dasar Menara Thamrin. Sandwich tersebut saya makan dalam taxi yang mengantar saya ke Mal Taman Aggrek guna bertemu Rico – yang telah membantu saya membeli beberapa pesanan para kolega saya di Jayapura sebagai hadiah natal. Patricia meminta dibeliin oleh-oleh parfum Kenzo Flower. Sylvia minta dibeliin Guci Samrud? Sementara Marghareta tidak meminta sesuatu, namun karena mereka bertiga selalu membantu saat saya perlukan, maka saya putusin untuk membeli saja parfum bagi ketiganya sebagai oleh-oleh. Karena telah menghitung ketersediaan waktu tidak mencukupi, maka saya telah meminta mitra bisnis saya, yakni Rico untuk membelikan dulu parfum-parfum tersebut.

Saya tiba di MTA sekitar pukul 16.30. Rico melalui telpon menyampaikan kepada saya bahwa sekitar pukul 17.00 baru kami dapat bertemu, karena saat itu dia masih sibuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantornya yang terletak di lantai 5 MTA. Saya lalu mengisi waktu dengan berkeliling baca buku di Gramedia – akhirnya saya membeli 2 buah novel dan 3 buku pelajaran bahasa Inggris bagi level Advanced karena saya ingin meningkatkan kemampuan dan kefasihan berbahasa Inggris saya, terutama di bagian tulis menulis. Setelah lewat pukul 17.00, saya menelpon Rico untuk mendapatkan kepastian waktu kami bisa bertemu. Rico menyatakan segera turun ke lantai bawah, saya menunggu di depan Gramedia. Kami lalu bertemu dan berjalan ke counter penjualan HP karena saya ingin membeli HP baru mengganti HP Nokia saya yang telah cukup lama. Kami berdua akhirnya membeli HP Sony Ericson K800i yang sedang ngetren. Tanpa sempat makan malam berdua, kami langsung balik ke rumah menggunakan taxi karena waktu terus berjalan, padahal sekitar pukul 20, saya harus berangkat dari rumah ke Bandara – padahal kemarin, saya menyatakan akan traktir Rico, namun menyadari keterbatasan waktu yang ada – Rico katakan traktiran saya ditunda saja ke bulan Januari 2007 saat saya cuti ke Jakarta. Betapa baik dan penuh pengertiannya rekan bisnis sekaligus sahabat saya ini. Thank you my best friend J.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...