Minggu, 20 Maret 2016

JELAJAH INDONESIA. LEMBATA: Pantai Waijarang, Wolor Pass / Bukit Cinta dan Bukit Doa Waijarang

Aksi Aken Udjan di Pantai Waijarang
Kendaraan yang kami tumpangi belok kanan di suatu tempat di tepi pantai. Pantai ini sepertinya telah dikelola karena memiliki lahan parkir dan beberapa pondok tempat istrirahat bagi pengunjung sekaligus mungkin tempat bagi para pedagang makanan dan minuman - yang tidak terlihat di sekitar situ saat rombongan kami tiba. Daun-daun kering pohon ketapang yang kemungkinan sengaja ditanam guna memberikan kesejukan di sekitar lokasi terlihat bersebaran campur aduk dengan rerumputan kering berwarna kecoklatan karena musim kemarau. Beberapa sepeda motor terlihat berada di tempat parkir. Sepertinya kendaraan-kendaraan tersebut milik panitia yang telah terlebih dahulu tiba di
Sekeping Pantai Waijarang
lokasi tersebut. Satu demi satu anggota rombongan turun dari bis dan truk lalu berhamburan ke tepi pantai berpasir kecoklatan sepanjang sekitar 1km. Foto sana foto sini dilakukan oleh masing-masing orang. Beberapa terlihat berjalan menjauh mencoba menyusuri pasir pantai menjauh ke sebelah kiri dan kanan saya mencoba mencari obyek foto. Nun jauh diseberang terlihat Ile Boleng berdiri kokoh dan sedang bercengkerama dengan gumpalan awan putih  yang sepertinya enggan meninggalkan puncak gunung berapi tersebut. "Pantai Waijarang", kata Aken Udjan seorang pemuda setempat saat saya bertanya dan minta tolong memotret beberapa pose saya di pantai tersebut.

Sedang berkenalan di Pantai Waijarang
Sekitar 30an menit menikmati keindahan Pantai Waijarang, panitia mengumpulkan seluruh anggota rombongan di bawah kerindangan pepohonan di lokasi tersebut. Acara perkenalan dipimpin seorang lelaki paru baya (saya lupa namanya). Rombongan berdiri dalam lingkaran tak beraturan lalu satu demi satu memperkenalkan dirinya. Acara perkenalan yang berlangsung sekitar 15an menit tersebut berakhir dengan informasi panitia bahwa rombongan akan berpindah ke lokasi berikut bernama bukit Wolor Pass atau disebut juga bukit Cinta. Rombongan kembali ke kendaraan masing-masing guna melanjutkan perjalanan ke Wolor Pass. Iring-iringan kendaraan keluar lokasi parkir lalu belok kanan menyusuri jalan raya menuju Wolor Pass.

Ile Boleng dari Wolor Pass
Truk yang saya tumpangi meliuk-liuk mendaki jalan perbukitan yang kadang berubah menjadi jalanan tanah dan berbatu sehingga menimbulkan kegoncangan dan juga debu beterbangan saat sang pengemudi harus mengerem truk karena adanya lubang di jalan yang sedang kami lewati. Udara sore segar bersama sepoi angin sangat terasa diantara goncangan truk. Jalanan yang kami lalui seperti membelah perbukitan berwarna kecoklatan dan kadang hitam karena habis terbakar. Di beberapa tempat, bis melewati jejeran perbukitan di sebelah kiri, sedangkan lautan biru dan Ile Boleng berada nun jauh di sebelah kanan. Rimbunan pohon kelapa bersama garis pantai yang sedang dicumbui lidah-lidah ombak berwarna putih meninggalkan kesan mendalam hingga akhirnya kami tiba di Wolor Pass.

Landscape Pulau Lembata dari Bukit Doa Waijarang
Beberapa tukang laki-laki terlihat masih sedang bekerja membenahi kawasan Wolor Pass saat saya dan rombongan tiba. Konon banyak pasangan menjadikan bukit ini sebagai tempat berkasih mesra sambil menikmati senja sehingga Wolor Pass mendapatkan nama Bukit Cinta. Jalan setapak dari semen selebar setengah meteran menghubungkan beberapa pondok yang telah dibangun di lokasi tersebut dengan pondok utama yang bertengger di puncak bukit - tempat rombongan turun dan menyebar ke sekitar lokasi tersebut. Pondok-pondok tersebut menjadi lokasi strategis bagi pengunjung menikmati senja hari ataupun sunset yang pastinya terlihat sangat elok dari lokasi tersebut. Kondisi geografis dengan spots
Landscape Pulau Lembata
kontur bertingkat di Wolor Pass memberikan pilihan bagi anggota rombongan mencari
Landscape Pulau Lembata dari Bukit Doa Waijarang
foto terbaik bagi diri sendiri ataupun group masing-masing. Panitia telah menyediakan kelapa muda bagi semua peserta. Saya duduk di salah satu tangga di halaman pondok utama menikmati perjalanan senja di kejauhan. Pulau Adonara dan Ile Boleng terlihat anggun di seberang. Dua kapal kayu terlihat melintas selat yang memisahkan Pulau Adonara dan Pulau Lembata dari Wolor Pass. Kesejukan angin sore terasa membelai kawasan sekitar. Selesai memotret beberapa obyek di sekitar lokasi tersebut, saya duduk santai menikmati suasana menjelang senja. Jejeran perbukitan di kiri, kanan dan belakang seperti tirai bergelombang yang memagari Wolor Pass. Nun jauh di lembah, riak biru air
laut yang sedang dilayari kapal kayu berlatar Pulau Adonara dan Ile Boleng serta sang mentari yang sedang berjalan kembali ke peraduannya telah menjadi lukisan raksasa nan indah dan elok.

Landscape Pulau Lembata dari Wolor Pass
Air kelapa yang disajikan dalam  buah kelapa berwarna hijau saya seruput pelan-pelan menikmati rasa manis dan segarnya. Mata saya tak lepas dari lukisan raksasa yang tersaji di depan. Beberapa anggota rombongan masih asyik berfoto. Beberapa mulai berjalan menyusuri setapak semen menuruni Wolor Pass menuju jalan raya di bawah bukit. Lainnya, sama seperti saya sedang menikmati keindahan alam senja yang mungkin tidak akan kami temukan di tempat lain. Wolor Pass bukan akhir perjalanan kami sore ini. Panitia meminta kami kembali ke kendaraan masing-masing karena kami akan bertolak ke lokasi terakhir kunjungan hari ini, yakni Bukit Doa Waijarang. Di Bukit Doa Waijarang, kami akan menikmati jingga senja sang mentari kembali ke haribaannya. Panitia dibantu beberapa anggota rombongan berteriak memanggil anggota rombongan yang telah berjalan ke bawah bukit agar kembali ke kendaraan. Namun entah mendengar atau tidak, mereka terus berjalan menuju jalan raya yang akan dilalui kendaraan kami menuju Bukit Doa Waijarang. Akhirnya kami membiarkan anggota rombongan yang memilih berjalan kaki meneruskan perjalanan mereka. Saat kendaraan kami berpapasan dengan para pejalan kaki di jalan raya, mereka memilih melanjutkan jalan kaki.

Diorama Jalan Salib di Bukit Doa Waijarang
Kendaraan yang kami tumpangi kembali meliuk-liuk menelusuri jalanan yang membela perbukitan disekitarnya hingga tiba di bawah Bukit Doa. Dari lokasi tersebut, kami harus berjalan kaki ke puncak bukit melewati jalan setapak buatan yang masih sangat sederhana. Jalan setapak ini merupakan jalan salib bagi umat Khatolik menuju puncak bukit tempat Bunda Maria sedang berdiri agung memberkati alam sekitarnya sambil menatap sang senja menuju peraduannya. Di lokasi tertentu telah dibangun diorama perjalanan salib Yesus hingga disalibkan, mati dan dikuburkan. Diorama-diorama seukuran tubuh orang-orang dewasa tersebut dibangun sepanjang setapak ke puncak bukit. Saya berlomba dengan anggota rombongan lainnya menyusuri jalan yang terus menanjak demi sunset yang akan segera tiba. Perjalanan ke puncak bukit tidaklah mudah karena saya harus mendaki
3/4 perjalanan mendaki Bukit Doa Waijarang
kemiringan terjal bukit tersebut di beberapa lokasi. Jalan setapak selebar 1 meteran tersebut dibangun memutari  setengah punggung bukit menuju puncak. Pengunjung ataupun umat tidak perlu mendaki lurus ke puncak bukit sehingga lebih hemat tenaga. Namun saya tetap saja ngos-ngosan dan harus berhenti sejenak di puncak lokasi-lokasi terjal yang telah saya lalui sebelum mendaki lagi. Keringat mengalir deras seiring perjalanan saya mendekati puncak bukit. Warna jingga sang mentari semakin membuncah saat saya telah mencapai 3/4 pendakian yang saya tempuh. Saya sempatkan memotret keindahan itu dari suatu pohon gersang yang sendirian berdiri teguh di lokasi tersebut diapit karang-karang bukit yang sedang saya daki.

Sunset di Bukit Doa Waijarang
Saya terus mendaki hingga tiba di puncak tempat Bunda Maria tersenyum syahdu dengan posisi tangan terbuka seperti sedang menyambut kehadiran saya  yang telah menempuh jalan salib yang cukup  melelahkan. Seorang anggota rombongan telah tiba terlebih dahulu dan telah mengambil posisi strategis memotret sang mentari yang terus berjalan menuju sarangnya. Saya mengambil tempat di sebongkah batu cadas berwarna hitam dikeliling rerumputan berwarna coklat setinggi pinggang orang dewasa. Mata saya tak pernah lepas dari lubang pengintip kamera Canon sahabat setia saya di setiap perjalanan. Jari saya terus menerus menekan tombol pemotretan mendokumentasikan keelokan senja Bukit Doa Waijarang hingga sunset menghilang di horizon. Anggota rombongan telah susul-menyusul tiba di lokasi tersebut. Namun semuanya terhipnotis keindahan jingga senja sehingga hanya
Para pemburu sunset di Bukit Doa Waijarang
 desau goyangan rerumputan kering yang terdengar di sore itu sampai hilangnya matahari dari pandangan. Semua menikmati keelokan alam senja itu tanpa suara bahkan napas masing-masing orang sepertinya ikut terhisap dalam keindahan itu sehingga tidak terdengar tarikan ataupun hembusannya. Saya akhirnya sadar masih ada Bunda Maria yang berdiri anggun di belakang lokasi saya menikmati keelokan senja. Saya bangun dan berjalan perlahan ke lokasi Bunda Maria untuk mengamati lebih dekat sang Bunda sekaligus memotret.

Sunset di Bukit Doa Waijarang
Kendaraan yang kami gunakan ternyata telah berada di sekitar lokasi tersebut melalui jalan bagi kendaraan yang telah dibangun hingga puncak bukit dari sisi lain punggung bukit yakni di belakang sang Bunda. Sedangkan jalan salib yang saya dan anggota rombongan lainnya telah lalui berada di sisi kiri Bunda Maria. Satu demi satu anggota rombongan meninggalkan puncak bukit Doa Waijarang menuju kendaraan masing-masing. Setelah semua lengkap, kendaraan yang kami tumpangi beringsut perlahan meninggalkan puncak bukit kembali ke jalan raya menuju Hotel Palem Indah tempat rombongan menginap
Sekeping Pantai Waijarang
menghabiskan malam guna acara lain esok hari. Kegelapan telah sempurna memeluki bumi mengiringi perjalanan kami kembali ke hotel. Sesekali terlihat kerlap-kerlip lampu di Pulau Adonara saat truk yang saya tumpangi melewati punggung bukit yang terbuka di sebelah kirinya. Ile Boleng sudah tidak terlihat karena telah terlelap dalam kesunyian dan kemesraan kegelapan malam. Saya lupa bertanya ke Aken Udjan mengapa Pantai Waijarang dan Bukit Doa Waijarang punya nama yang sama walau keduanya berjarak puluhan kilometer?...


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...