Sabtu, 20 Februari 2016

JELAJAH JEPANG: HIROSHIMA - Peace Memorial Building, Hiroshima Peace Memorial Park dan Cenotaph for A-Bomb Victims

Dalam gerbong Shinkansen ke Hiroshima
Perjalanan kereta Shinkansen dari stasiun Shin Osaka ke Hiroshima ditempuh dalam waktu sekitar 2jam 30 menit dengan mampir di beberapa stasiun kota-kota lain sebelum tiba di Hiroshima. Karena saya mulai terbiasa dengan sistem kereta api di Jepang, maka saya sudah tidak disorientasi dan bingung saat turun di stasiun Hiroshima. Stasiun Hiroshima berada dalam suatu bangunan modern 2 lantai. Selain peron kereta dalam dan luar kota, stasiun juga diisi mall, supermatket, restoran dan berbagai toko. Stasiun ini memiliki 2 pintu keluar, yakni Utara dan Selatan.  Karena belum mengetahui letak hotel yang telah saya pesan di sekitar stasiun, maka saya berjalan menuju pintu selatan. Sebagaimana biasa, saya harus menunjukan JR Pass saya ke petugas di loket samping pintu keluar masuk. Saat saya menunjukan JR Pass sekalian saya menanyakan letak hotel Grandvia Hiroshima. "North Gate", kata petugas menunjuk ke dalam bangunan stasiun. "Arigato", balas saya sambil tersenyum. Saya berjalan kembali ke dalam bangunan stasiun lalu belok kanan mengikuti arah informasi digital di langit-langit stasiun yang menunjukan arah ke Pintu Utara. Sebelum tiba di Pintu Utara, saya harus sekali lagi melewati pintu masuk keluar di dalam bangunan stasiun yang juga bergandengan dengan loket petugas stasiun. Karena bagian menuju Pintu Utara tersebut merupakan stasiun Shinkansen. Setelah menunjukan JR Pass, saya melewati pintu tak berpalang di samping loket terus menuju Utara.

Sepotong Hiroshima dari kamar hotel Grandvia
Di ujung bangunan menuju Pintu Utara, saya diberi pilihan turun menggunakan eskalator atau tangga ke lantai dasar karena ternyata tempat saya dan para penumpang lain hilir mudik saat ini berada di lantai 1. Karena saya membawa koper, maka saya memilih menggunakan eskalator. Tiba di lantai dasar, saya belok kiri mengikuti tanda panah dan informasi tertulis dalam bahasa Inggris. Puluhan meter dari eskalator dan tangga di lantai dasar, saya menemukan pintu keluar ke halaman stasiun. Saat saya keluar pintu, saya melihat bangunan hotel Grandvia Hiroshima berada di sebelah kiri saya berjarak sekitar 100 meter dari Pintu Utara. Ternyata hotel ini berada tepat di samping stasiun Hiroshima. Halaman depan Pintu Utara sekaligus merupakan tempat parkir kendaraan pribadi dan bis dimana halte bis tepat di samping pintu masuk keluar hotel Grandvia berjarak sekitar 30an meter.

Loby hotel Grandvia Hiroshima
Kehangatan udara Hiroshima menjelang siang berganti kesejukan AC saat saya memasuki hotel. Tidak ada petugas yang berjaga di depan pintu seperti di hotel-hotel berbintang di Indonesia yang biasanya dijaga sekuriti pemeriksa bom dan petugas buka dan tutup pintu. Dari pintu masuk dan keluar saya belok kanan ke meja resepsionis. Setelah berada di dalam hotel barulah saya tahu bahwa hotel dan stasiun memiliki jalan penghubung di lantai 1 alias saya dan para tamu hotel yang akan menggunakan kereta bisa langsung menuju stasiun Shinkansen melalui jalan penghubung tersebut yang hanya dibatasi satu pintu otomatis terbuka saat ada orang yang akan lewat.  Saya menyerahkan paspor dan bukti tertulis pemesanan kamar. Sambil check in, saya menanyakan ketersediaan bus gratis bagi tamu hotel ke tempat-tempat wisata di Hiroshima - informasi ini telah saya peroleh di internet saat membaca review para tamu yang pernah menginap di hotel Grandvia Hiroshima. Resepsionis perempuan yang melayani saya mengambil brosur informasi berwarna merah yang didalamnya telah tersedia rute dan halte-halte ke tempat-tempat yang akan dikunjungi dari hotel dan kembali lagi ke hotel. Saya hanya perlu menunjukan brosur tersebut bersama JR Pass saya ke sopir bis kata resepsionis. Setelah saya menerima tanda bukti titip koper dan bukti bayar kamar
Suasana kota Hiroshima
selama 1 malam seharga 10.400 yen atau sekitar 1,3juta rupiah tanpa makan pagi, saya bergegas keluar ke halaman hotel depan Pintu Utara stasiun Hiroshima. Banyak orang sedang antri di lokasi tersebut dalam beberapa baris menunggu bis tujuan berbeda. Hanya sedikit yang antri di halte bis wisata Hirsohima. Saya cepat-cepat ikut antrian karena bis yang didominasi warna merah seperti warna brosur yang saya pegang terlihat menuju halte tempat para calon penumpang sedang antri.

Bis wisata ini merupakan jenis bis sedang seperti bis-bis kopaja dan metromini di
Suasana kota Hiroshima
Jakarta, namun kondisinya berbeda sangat jauh bagaikan bumi dan langit dengan kopaja atau metromini di Jakarta. Saya menunjukan brosur wisata Hiroshima bersama kartu JR Pass saya ke sopir. Sopir memotret JR Pass saya menggunakan kamera saku lalu mengangguk. Saya masuk dan memilih kursi sebelah kanan di belakang sopir dengan pertimbangan memudahkan saya keluar karena  bisnya hanya memiliki satu pintu masuk keluar di depan samping sopir. Dari halte depan hotel, bis menuju gerbang lalu belok kiri menyusuri jalanan Hiroshima menjelang siang hari. Saat bis menyusuri jalan-jalan Hiroshima serta menurunkan dan menaikan penumpang di halte-halte, saya melihat suatu kota yang sangat modern dan tertata rapi. Jalan-jalannya lurus bersama bangunan-bangunan modern vertikal. Tak terlihat sedikitpun ketradisionalan Jepang di Hiroshima.

Prasasti dan reruntuhan bangunan bom atom
Bis berhenti di beberapa halte menurunkan sekaligus menaikan penumpang sebelum tiba di halte reruntuhan bangunan yang menjadi peringatan bom atom Hiroshima. Tujuan utama saya mengunjungi Hiroshima adalah mengunjungi tugu peringatan bersejarah tersebut. Sebelum tiba di setiap halte, pengumuman dalam bahasa Jepang dan Inggris selalu disampaikan melalui rekaman suara yang telah disiapkan. Di kiri atas kepala sopir juga tersedia informasi digital  tentang halte tujuan sehingga memudahkan penumpang bis mencocokan dengan brosur yang dipegangnya. Saya turun di halte Hiroshima Peace Memorial atau the Atomic Bomb Dome dalam bahasa Inggris atau Genbaku Domu dalam bahasa Jepang atau Kubah Perdamaian Mengenang Hiroshima dalam bahasa Indonesia. Bangunan Hiroshima Peace Memorial tidak jauh dari halte tersebut. Bangunan ini didesain oleh seorang arsitek Chenya bernama Jan Letzel pada tahun 1915. Saya melangkah memasuki kompleks terbuka bangunan peringatan bom atom Hiroshima tersebut. Reruntuhan bangunan dipagari
Satu-satunya yang tertinggal dari bom atom Hiroshima
pagar besi dan dikeliling taman yang dipenuhi pepohonan rindang serta air mancur kecil di samping belakang. Dua prasasti dalam bahasa Jepang dan Inggris dibangun di halaman depan berisi informasi latar belakang bom atom Hiroshima.  Samping kanan kompleks monumen tersebut dibatasi pedestarian yang bersisian dengan sungai Aioi. Konon sungai tersebut dipenuhi mayat dari 70.000 korban mati saat bom atom terjadi pada tahun 1945. Saat saya berada di tempat tersebut, sungai terlihat sangat bersih dan rapi. Saya berkeliling lokasi sekitar bersama pengunjung lain yang juga asyik memotret dan melihat-lihat. Di sudut kanan depan berbatasan dengan sungai dibangun patung perempuan, laki-laki dan anak-anak
Sudut kanan kawasan reruntuhan bangunan bom atom
mengeliling satu prasasti batu setinggi 2 meter. Saya duduk di salah satu batu sambil merenung dan mengamati reruntuhan bangunan yang kerangkanya masih terlihat kokoh. Sesekali terlihat para turis sedang melayari sungai berair jernih yang memisahkan lokasi reruntuhan bangunan Hiroshima Peace Memorial dengan Hiroshima Memorial Park. Tak sedikitpun saya membaui sengatan sengitnya bau busuk sungai-sungai di Jakarta di tempat tersebut. Sepoi angin siang dan kerindangan dedaunan pohon halaman depan Hiroshima Peace Memorial terasa menenangkan. Sepanjang pedestarian dari depan jalan hingga jembatan
Sungai Hiroshima yang dulu penuh mayat korban bom atom
Aioi yang melintasi sungai ke taman terlihat keindahaan perubahan warna-warni daun pohon di musim gugur. Keindahan dan keelokan yang menjadi alasan saya mengunjungi dan menjelajah Jepang hingga tiba dan menjelajah Hiroshima di siang hari ini.

Setelah puas menikmati kawasan sekitar, saya mulai menyusuri pedestarian di samping sungai sambil sesekali memotret. Reruntuhan bangunan Hiroshima Peace Memorial merupakan obyek utama seluruh pengunjung di siang hari itu. Seorang lelaki paruh baya - sepertinya orang Asia Selatan - meminta saya memotret dirinya dengan latar reruntuhan bangunan
Pedestarian penghubung lokasi reruntuhan dengan taman
peninggalan bom atom Hiroshima.  Selesai memotret lelaki tersebut saya melanjutkan perjalanan ke halaman belakang. Di sudut halaman belakang berbatasan dengan pedestarian disediakan papan informasi berisi foto dan tulisan yang menceritakan sejarah gedung dan bom atom. Saya antri di belakang pengunjung lain menunggu giliran bisa membaca sekaligus memotret informasi yang tersedia. Dari tempat tersebut saya belok kiri menuju air mancur kecil yang terletak sekitar 15an meter. Sekitar air mancur terdapat beberapa pedagang buku-buku sejarah Hiroshima dan bom atom dalam bahasa Jepang. Saya melihat-lihat sesaat kemudian mengucapkan terima kasih dan berjalan kembali
Air mancur dalam lokasi reruntuhan bangunan bom atom
ke pedestarian meneruskan jelajah saya.

Saya tiba di pertigaan dekat jembatan yang melintas di atas sungai Hiroshima. Di sebelah kiri saya terdapat 3 resto yang dipenuhi pengunjung. Kemungkinan sebagian besar adalah turis dan penjelajah seperti saya yang sedang berada di kawasan sekitar situ. Saya menyeberang jalan menuju salah satu restoran. Tujuan saya adalah restoran Jepang yang terletak persis di depan jalan yang sedang saya seberangi. Namun karena penuh, saya berjalan terus ke samping restoran Jepang tersebut lalu masuk ke satu restoran lain yang menyediakan menu makan Italia yang didominasi spageti. Pelayan mempersilahkan saya masuk dan mengantar saya ke satu meja kosong. Saya memilih menu makan siang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama berupa spageti tiram dan makanan penutup ditambah bonus 1 es krim. Saya membayar 1250yen atau sekitar 140ribu rupiah untuk 1 set makan siang yang saya habiskan.

Hiroshima Memorial Park
Saya mampir di stan eskrim di sebelah kanan depan restoran untuk mengambil jatah eskrim saya. Pelayan mengatakan es krim favorit di tempat tersebut adalah es krim macha atau es krim teh hijau yang tentunya saya ingin coba. Setelah menerima es krim, saya berjalan membelakangi restoran menuju jembatan guna menyeberang ke Hiroshima Memorial Park atau Taman Kenangan Hiroshima. Puluhan pengunjung perempuan dan laki-laki dewasa, tua hingga anak-anak hilir mudik di kawasan tersebut. Beberapa bahkan berdiri menopangkan tangan ke palang-palang jembatan menikmati aliran air sungai di bawah
Hiroshima Memorial Park
atau sekedar memandang diam kawasan sekitar. Tiba di ujung jembatan, saya belok kiri menyusuri jalan setapak di pinggir sungai menuju bagian dalam taman. Saya tiba di kompleks museum peringatan bom atom Hiroshima yang terletak di bawah tanah. Karena saya tidak punya banyak waktu, saya terus berjalan menyusuri jalanan dalam taman yang sepi. Saya menikmati reruntuhan dedaunan musim gugur yang seperti sengaja dibiarkan bertebaran di atas tanah dalam taman tersebut. Sedangkan diatasnya pohon-pohon berhiaskan warna-warni daun kuning, merah dan hijau.

Cenotaph for A-Bomb Victims
Ujung jalan dalam taman yang saya susuri membawa saya ke suatu pelataran terbuka seluas ratusan meter persegi yang masih berada dalam taman. Puluhan meter dari ujung jalan yang saya susuri terlihat tugu peringatan para korban bom atom yang disebut Cenopath for A Bom Victims. Tugu berbentuk kanopi penutup kereta kuda di Eropa abad pertengahan terlihat direnungi beberapa pengunjung. Saya memotret dan berjalan ke tugu peringatan tersebut. Di depan tugu berjarak sekitar 2 meter ada pengunjung yang meletakan karangan bunga lalu menundukan kepala seperti berdoa. Saya hanya berdiri bisu memperhatikan aktivitas para pengunjung yang khusuk berdoa sambil mencoba memotret tanpa mengganggu mereka.
Susana kota Hiroshima
Saat saya perhatikan dengan teliti, saya dapat melihat reruntuhan bangunan bom atom dari ruang terbuka kanopi tugu peringatan para korban bom atom. Dengan kata lain, tugu peringatan ini berada dalam satu garis lurus dengan satu-satunya reruntuhan bangunan bom atom. Saya heran karena secara fisik dan kasat mata seharusnya reruntuhan bangunan tersebut berada di sebelah kanan taman saat saya berdiri menghadap tugu Cenotaph for A-Bomb Victims. Kawasan sekitar terasa sangat lenggang karena luasnya taman dibanding sedikit pengunjung. Hal yang bagus bagi saya karena dengan demikian saya dapat memotret dengan leluasa tanpa terhalang hilir mudik manusia di kawasan tersebut.

Sungai Aioi yang memisahkan lokasi reruntuhan dan taman
Dari lokasi Cenotaph for A-Bomb Victims, saya berjalan arah jalan raya melewati taman yang cukup luas. Sesekali saya berhenti dan duduk di bangku-bangku kayu bersandaran dalam taman tersebut menikmati sepi dan tenangnya Hiroshima Memorial Park tersebut. Setelah puas berkeliling dan memotret, saya berjalan ke jalan raya dan menyeberangi jembatan di sisi lain menuju halte tempat saya turun sekitar 1 jam silam. Saat saya masih berada dalam jarak seratus meter, bis wisata warna merah terlihat mendekati halte tersebut. Saya berlari kencang menuju halte guna tidak ketinggalan bis karena pasti saya harus menunggu sekitar 30an menit lagi jika saya terlambat. Dengan nafas tersengal-sengal saya tiba di
Jembatan sekaligus pedestarian di atas sungai Hiroshima
halte dan langsung melompat ke dalam bis. Brosur dan JR Pass saya tunjukin ke sopir lalu masuk ke dalam bis menempati salah satu kursi kosong. Ternyata bis melaju memutari taman hingga tiba di bagian seberang lalu belok kiri di lampu merah mengarah kembali ke stasiun Hiroshima dan hotel Grandvia. Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit dari halte depan reruntuhan bangunan Hiroshima Peace Memorial, bis tiba di halte Pintu Utara stasiun Hiroshima. Saya bergegas turun dan berlari ke dalam stasiun mengejar waktu sekaligus kereta ke Itsukushima guna mengunjungi Kuil Miyajima di Pulau tersebut.


Sudut lain kota Hiroshima




Bersambung


1 komentar:

  1. I like the place, it's very beautiful
    thank you for the meaning, very helpful
    Next

    BalasHapus

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...