Sabtu, 20 Februari 2016

JELAJAH INDONESIA. JAWA TENGAH: Perjalanan Semarang ke Candi-Candi Gedong Songo.

Depan Warung Soto Ibu Mirah
Pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat mulus di Airport Achmad Yani di Semarang pada jam 7 pagi. Saya harus menunggu sekitar 30an menit karena mobil yang akan saya gunakan mengunjungi beberapa tempat di hari pertama Jelajah Jawa Tengah belum tiba. Udin meminta maaf berkali-kali atas keterlambatannya. "Tidak apa-apa", kata saya menenangkannya sambil tersenyum. "Kita mampir ke tempat sarapan yang ada di sekitar jalan yang kita lalui", kata saya ke Udin. "Mo sarapan apa, tanya Udin. "makanan khas Semarang saja", balas saya. sekitar 15an menit kemudian, Udin menghentikan mobil di jejeran ruko 2 lantai di salah satu tempat tak jauh dari jalan raya yang kami lalui.

Warung Soto Ibu Mirah ini berada di ujung jejeran bangunan ruko. Saya harus menunggu beberapa saat karena semua bangku dan meja dipenuhi para pengunjung yang asyik menikmati sarapan masing-masing. Meja dan bangku kayu diatur berjejer rapi dalam bangunan ruko tersebut. Di ujung belakang sebelah kanan terdapat meja dengan bahan2 soto yang diracik seorang ibu paruh baya yang juga bertindak sebagai kasir. Sambil menunggu, saya memesan seporsi soto dan segelas teh manis panas sehingga saat saya mendapatkan tempat duduk, makanan dan minuman yang saya pesan segera terhidang. Di atas meja juga tersedia sate ayam, sate sapi dan sate telur puyuh yang semuanya telah direbus matang yang ditaruh dalam 1 baskom sedang ditutupi plastik transparan. Di meja
Meracik soto sekaligus kasir
tersebut juga tersedia beberapa jenis kerupuk dan potongan-potongan tempe goreng. Hidangan ini mengingatkan saya pada hidangan sejenis di restoran soto gading kesukaan saya di samping stasiun Duren Kalibata, Jakarta yang telah digusur dan entah pindah kemana. Dengan lahap saya menghabiskan sarapan tersebut bersama 3 tusuk sate. Udin yang menemani saya sarapan telah selesai dan sedang menikmati rokoknya di halaman. Selesai sarapan, saya menuju ibu paru baya yang menjadi kasir di ujung belakang warung tersebut.  "Berapa bu", tanya saya kepada si ibu yang terlihat sibuk mengatur para pelayan sekaligus  mengurus pembayaran para pengunjung. "lima enam, kata si ibu sambil mulutnya komat-kamit menghitung tambahan sate dan tempe yang saya dan Udin habiskan. "murah amat, batin saya sambil memberikan 60 ribu rupiah. Saya keluar menuju mobil setelah menerima uang kembalian. Saat di halaman, saya melihat toko Indomaret di ujung lain jejeran ruko tersebut. Saya memutuskan mampir ke Indomaret membeli biskuit, air mineral dan juga rokok untuk Udin.

Salah satu keindahan Indonesia
Sekitar 30an menit menyusuri jalanan dari warung tersebut menuju kompleks candi Gedong Songo, mobil tiba di hamparan sawah berundak yang sedang menghijau. Saya meminta Udin menghentikan mobil di pinggir jalan. Saya turun  memotret gratis salah satu keindahan Indonesia di tepi jalan tersebut. Tak puas memotret dari pinggir jalan, saya turun ke pematang sawah yang terletak lebih rendah sekitar 1 meter dari pinggir jalan. Dari pematang, saya memotret lebih dekat para ibu yang sedang menanam padi. Saya bercakap-cakap beberapa saat dengan seorang ibu sambil minta izin memotret. "mo taroh di TV mana?, saya malu karena basah dan kotor", kata si ibu sambil senyum malu. "Buat saya saja bu" balas saya, sambil memotret ibu yang mulai tertawa. Saya terus berjalan menyusuri pematang mencari
Kesibukan ibu-ibu petani di pagi hari
sudut lain memotret sawah dan aktifitas para ibu sekaligus mencari jalan kembali ke jalan raya. Udin sedang asyik merokok di pinggir jalan dekat mobil saat saya tiba. Saya dan Udin melanjutkan perjalanan melewati gunung, lembah, desa dan kota wilayah Jawa Tengah menuju Gedong Songo. Berbagai pemandangan ganti berganti memanjakan mata sepanjang perjalanan Semarang - Gedong Songo. Hembusan udara segar terus membelai wajah dan hidung saya dari jendela mobil yang sengaja saya biarakan terbuka 1/4 bagian demi menikmati perjalanan jelajah saya di Jawa Tengah.

Denah dan keterangan kompleks candi Gedong Songo
Kami tiba sekitar jam 10.00 pagi di pertigaan menuju kompleks Candi Gedong Songo. Jalan menuju kompleks candi sedang dalam perbaikan, namun karena masih pagi, maka belum terlalu banyak kendaraan berseliweran yang dapat mengakibatkan kemacetan. Jalanan terus mendaki dan meliuk ke kiri dan ke kanan saat mobil menelusuri jalanan ke kompleks candi. Sepanjang perjalanan saya melihat restoran, homestay dan hotel menyembul di antara pemukiman. Udara semakin terasa sejuk bersama mentari pagi yang sepertinya mengintip malu di antara barisan awan kelabu dan putih bagaikan kapas. Parkiran mobil masih lapang saat kami tiba sehingga Udin dengan mudah memarkir mobil. Udin memilih menunggu di sekitar tempat parkir sedangkan saya keluar dari mobil dan berjalan menuju loket tiket masuk yang terletak di ketinggian 1 meter berjarak sekitar 5 meter dari parkiran mobil. Setelah mengantongi tiket masuk seharga 7.500 rupiah, saya berjalan menuju gerbang yang dijaga 2 petugas laki-laki. Saya menyerahkan tiket lalu berjalan masuk. Saya memilih jalur kiri menuju denah kompleks candi. Di area tersebut juga hadir beberapa tukang kuda yang menawarkan jasa penyewaan kuda seharga 80.000 rupiah sekali pakai mengelilingi kompleks candi yang cukup luas dan berbukit-bukit tersebut.

Menikmati keindahan dan keelokan Gedong Songo
Gedong artinya rumah sedangkan Songo artinya sembilan dalam bahasa Jawa. Jadi Gedong Songo
artinya Sembilan Rumah yang adalah penamaan bagi 9 candi di kompleks Gedong Songo yang berada di lereng Gunung Unggaran. Walau disebut Gedong Songo atau sembilan candi, namun candi-candi Gedong Songo hanya ada dalam 5 kelompok yang disebut Gedong I, II, III, IV dan V. Kompleks candi dikeliling hutan pinus lebat yang terlihat sangat hijau saat saya berkeliling di lokasi tersebut. Candi-candi tersebut dibangun dalam kelompok terpisah-pisah yang jarak satu dengan lainnya cukup jauh sehingga memerlukan waktu sekitar 2 - 3 jam bagi pengunjung yang ingin melihat semua candi tersebut dengan kondisi jalan mendaki dan menurun
dalam kondisi sangat bagus. Saya memutuskan menggunakan kuda mengelilingi kompleks percandian tersebut. Tukang kuda menuntun kuda saya sekitar 5 menit lalu menyerahkan kendali kuda ke saya. Karena saya memiliki pengalaman naik kuda masa kecil di desa, maka saya mudah menyesuaikan diri dengan kuda yang sedang saya naiki dan kendalikan. "Jika jalan menurun, badan dimiringkan ke belakang, jika mendaki, badan dimiringkan ke depan, sedangkan saat datar, badan tegak lurus", kata tukang kuda sambil mengiringi saya. "siap bang", balas saya sambil mengendalikan kuda berjalan perlahan agar tukang kuda tidak tertinggal.

Candi Gedong I
Kuda saya jalankan perlahan menikmati kesegaran dan kesejukan udara pegunungan yang bersih serta kehangatan sinar mentari pagi. Jalan berbatu terus mendaki melewati hutan-hutan kecil yang seperti memagari candi-candi di lokasi-lokasi terpisah. Perhentian pertama berjarak sekitar 1km dari tempat saya menaiki kuda. Di lokasi berbentuk pelataran terbuka tersebut tersedia tempat duduk yang digunakan para penunggung kuda amatir seperti saya sebagai alas kaki naik dan turun dari kuda. Berapa pendopo dengan para pedagang kaki lima mengisi pelataran tersebut - menyediakan tempat istrahat bagi para pengunjung. Setelah turun dari kuda, saya berjalan ke kanan lalu mendaki tangga-tangga batu menuju kompleks candi di atas bukit. Kompleks yang saya kunjungi tersebut disebut Gedong I yang terdiri dari 1 candi utuh dan 2 reruntuhan yang belum selesai ditata kembali menjadi bangunan candi. Candi-candi Gedong Songo  merupakan candi Hindu seperti candi Prambanan di Yogyakarta. Ciri khas candi Hindu adalah pada bentuk bangunan yang ramping atau langsing. Saya masuk ke satu-satunya candi utuh di kompleks tersebut guna melongok bagian dalam candi. Ruang dalam terlihat lembab serta adanya bekas-bekas pembakaran dupa dan sisa-sisa sesembahan. Selain saya, candi Gedong I juga sedang
Candi Gedong I
dikunjungi rombongan anak-anak SD berseragam pramuka dipimpin seorang guru. Lagu-lagu perjuangan yang dikumandangkan anak-anak itu membuat bulu kuduk merinding. Saya melihat-lihat dan mengambil beberapa foto bangunan candi dan kawasan sekitar, termasuk beberapa anak yang saya minta foto bersama. Dengan senang hati beberapa anak bergabung foto bersama - keramahan khas Indonesia pikir saya saat asyik berpose bersama generasi masa depan bangsa ini.

Naik dan turun kuda ke lokasi candi Gedong I
Saya kembali ke tukang kuda yang sedang menunggu dengan setia di pelataran berjarak 100an meter dari lokasi candi Gedong I. Kami melanjutkan perjalanan ke lokasi Gedong II sampai dengan V. Ratusan orang terlihat hilir mudik, terutama kelompok-kelompok anak sekolah dasar. Jalanan mendaki, menurun dan berkelok-kelok. Lereng Gunung Unggaran dipenuhi pepohonan rimbun seperti pagar yang memagari kompleks Gedong Songo. Sebelum mencapai lokasi candi Gedong II, saya melewati sumber air panas yang mengepulkan asap keputihan bersama bau belerang yang cukup kuat. Saya hanya sempat berfoto di
lokasi tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke Gedong II. Lokasi Gedong II yang berbentuk persegi empat tersebut terletak di bawah jalan dengan beda ketinggian sekitar 2 meter.  Dengan hati-hati saya menapak turun dari sisi kanan halaman Gedong II.  Dalam pelataran persegi empat tersebut terdapat
Siap menuju candi Gedong II
sepasang candi berbentuk sama. Namun saat saya mendekat untuk mengamati arsitekturnya, kedua candi tersebut memiliki perbedaan detail ukiran dewa-dewi di dinding-dinding luarnya. Dari percandian Gedong II, saya dan tukang kuda meneruskan perjalanan ke Gedong III sampai dengan V. Setelah itu kami meniti jalan pulang ke gerbang naik-turun kuda. Hari semakin siang, pengunjung semakin ramai di kawasan sekitar. Karena kompleks Gedong Songo sangat luas, maka para pengunjung tidak menumpuk dan bergerombol di lokasi tertentu saja. Para pengunjung baik individu, berpasangan ataupun berkelompok 3-6 orang tersebar di hampir seluruh area yang tidak dilarang aksesnya oleh pengelola.

Candi Gedong II
Turun dari kuda, saya menyerahkan 100 ribu rupiah ke tukang kuda sebagai pembayaran atas jasanya. Tarif PP dari gerbang kedatangan dan keberangkatan menggunakan kuda adalah 80ribu rupiah dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Setelah menyerahkan kembali tali kekang kuda dan mengucapkan terima kasih, saya berjalan ke toilet yang terletak di samping kanan lokasi naik-turun kuda. Selesai dari toilet, saya menyusuri jalanan menurun melewati para pedangang souvenirs, makanan dan minuman menuju tempat parkir. Udin sedang asyik merokok dan minum kopi bersama 3 lelaki lain di pendopo sebelah tempat parkir. Mungkin sesama sopir, pikir saya. Saat melihat saya menghampiri mobil, Udin pamit
Jalan setapak dalam kompleks Gedong Songo
dari teman-temannya dan berjalan ke mobil.

Rencananya selesai dari Gedong Songo, kami akan mengunjungi Pagoda Budhagaya Watugong di Unggaran. Namun dalam obrolan di mobil, Udin mengusulkan mampir di Taman Gua Maria Kereb Ambarawa sebelum ke Pagoda. Tentu saja saya tidak menolak usulan tersebut, karena Udin lebih tahu tempat-tempat menarik yang dapat saya kunjungi dan jelajahi, namun tidak saya peroleh infornya di internet. Karena saya menyetujui usulannya, Udin mengarahkan mobil ke lokasi Taman Gua Maria Kereb Ambarawa yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan mobil dari kawasan percandian Gedong Songo.

Menuju Taman Gua Maria Kereb Ambarawa





Bersambung...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...