Kamis, 16 Oktober 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian V: Dari Yangon ke Bagan

Santai di tepi kolam renang Zfrreti hotel di Bagan
kring... kring...kring... dering bersahutan telpon hotel dan hp membangunkan saya di subuh hari dari kelelapan tidur semalam. "wake up call, sir" demikian suara lelaki dari meja resipsionis. "thanks", balas saya kemudian meletakan kembali gagang telp di tempatnya. Saya bangun dari tempat tidur dan beranjak ke jendela. Tirai jendela saya sibak untuk melongok kembali Pagoda Shwedagon di kejauhan dalam tamaram subuh. Setelah itu, saya beranjak ke kamar mandi lalu sikat gigi dan menyiram tubuh saya dengan air hangat dan dingin berganti-ganti untuk membersihkan tubuh sekaligus menghilangkan ngantuk yang masih menggayut di ujung pelupuk mata. Telah menjadi kebiasaan dalal perjalanan-perjalanan saya, saya selalu merapihkan semua barang bawaan saya pada malam terakhir di suatu tempat kunjungan. Dengan demikian, jika harus check out subuh hari seperti saat ini, maka tidak perlu terburu-buru yang dapat berakibat meninggalkan sesuatu di hotel.

Selesai mandi dan ganti, saya lalu beranjak keluar kamar. Semua lampu saya matikan dan pintu ditutup di belakang saya. Tiba di lantai bawah, saya menghampiri meja resepsionis yang dijaga 2 staf laki-laki. Saya menyerahkan kembali kunci kamar ke salah satu staf yang mengucapkan terima kasih dan menginformasikan kepada saya bahwa taksi yang akan saya gunakan ke airport telah menunggu. Taksi tersebut merupakan taksi yang kemarin saya gunakan berkeliling Yangon. Sebelum berpisah di area Pagoda Shwedagon, saya menanyakan kepada sopir taksi apakah dia bersedia mengantar saya ke airport di subuh hari ini sekaligus kami menegosiasikan biayanya yang kami sepakati sebesar 5000 kyat atau 5 dollar USA. Harga tersebut lebih murah 3000 kyat dibanding saat saya menggunakan taksi dari airport ke hotel sejumlah 8000 kyat.

Jalanan masih dalam kondisi sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melintas sehingga perjalanan saya dari hotel ke airport berlangsung dalam waktu sekitar 20 menit saja. Saya diturunkan di terminal domestik, karena saya akan menggunakan penerbangan domestik Bagan Air ke Bagan. Setelah bagasi saya diturunkan, saya memberikan uang pembayaran ke sopir taksi, mengucapkan terima kasih lalu menarik koper beroda saya memasuki bangunan terminal. Walau masih subuh, namun terminal telah diramaikan para calon penumpang berbagai maskapai yang berdiri mengantri di masing-masing konter. Konter maskapai Bagan Air baru akan dibuka 30 menit lagi saat saya menghampiri dan mencari informasi pada seorang staf maskapai yang mengenakan seragam kerja berwarna hijau dan putih, warna yang sama dengan warna pesawat Bagan Air. Karena masih memiliki waktu sekitar 30 menit, saya memutuskan memgambil duit di ATM sekitar airport.

Mesin ATM di Airport Yangon
Seorang petugas security yang saya tanyai tentang lokasi ATM menunjuk ke bangunan terminal internasional yang bersebelahan dengan terminal domestik. Setelah keluar dari terminal domestik, saya hanya perlu berjalan sekitar 25 meter lalu memasuki terminal internasional yang pintunya tidak terkunci. Terminal tersebut sepi, hanya terlihat seorang petugas security  yang berjaga di dalamnya. Saya lalu berjalan menghampiri salah satu mesin ATM yang menurut informasi tertulis di mesin tersebut dapat menerima berbagai jenis kartu ATM. Kartu ATM BNI saya keluarkan dari dompet dan masukin ke mesin ATM tersebut yang menyediakan dua pilihan bahasa, yakni Inggris dan Burma. Saya lalu mengikuti arahan mesin ATM yang kemudian bermasalah karena duit dan kartu ATM saya tidak keluar. Saya hanya mendapatkan tulisan eror di layar mesin ATM serta struck bukti pengambilan yang menujunjukan angka 0 di bagian pengambilan.  Berbagai upaya saya lakukan agar kartu ATM saya bisa dikeluarkan, namun semuanya gagal. Saya lalu berbicara ke satu-satunya security di gedung tersebut. Petugas tersebut berjalan ke satu konter di sebelah mesin ATM yang berjarak sekitar 1 meter - yang sepertinya adalah konter pelayanan para nasabah bank yang mesin ATMnya telah menelan kartu ATM saya. Kami membangunkan seorang perempuan yang sedang tertidur di atas kursi dalam ruang konter.  

Petugas keamanan menjelaskan masalah saya dalam bahasa Burma ke perempuan tersebut yang lalu meminta saya menelpon pelayanan 24 jam bank tersebut melalui nomor telpon yang tertera di mesin ATM. Saya meminta perempuan tersebut menelpon menggunakan HP saya. Setelah tersambung dan berbicara dalam bahasa Burma sekitar 2 menit, perempuan tersebut menyerahkan kembali HP saya sambil menjelaskan bahwa kartu ATM saya baru akan bisa dikeluarkan sekitar jam 10 pagi karena petugas yan gmenurus mesin baru akan masuk kantor pada jam 10an. Saya kembali menjelaskan kepada perempuan tersebut bahwa saya harus berangkat ke Bagan pada jam 7 pagi ini sambil menunjukan tiket saya. Perempuan tersebut lalu berusaha membangunkan seorang rekan laki-lakinya yang sedang tidur bergelung dalam selimut di lantai konter yang telah diberi alas seperti tikat. Sekitar 15 menit berusaha barulah rekannya benar-benar terbangun dan memberikan jawaban yang sama seperti jawabadan petugas call center yang telah ditelpon perempuan tersebut. Walau dongkol dengan situasi tersebut, namun saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan ke deretan kursi di ruang tunggu terminal tersebut.
Struck ATM yang menelan ATM saya 

Saya memutuskan untuk menenangkan diri dengan duduk pada salah satu kursi kosong di ruang tunggu tersebut sambil memikirkan beberapa seknario yang paling mungkin bisa saya gunakan dalam kondisi tidak punya uang tunai di Bagan dan Mandalay. Setelah  menenangkan diri, saya lalu menelpon call center 24 jam BNI di Jakarta untuk memblokir kartu ATM saya. Kemudian saya beranjak kembali ke terminal domestik untuk check in. Tiba di terminal domestik, suasana telah semakin ramai. Konter Bagan Air telah dibuka dilayani oleh 2 staf perempuan dan seorang staf laki-laki yang terlihat mengurus bagasi para penumpang. Saya ikut dalam antrian yang telah terbentuk dan secara perlahan terus maju. Tiba di depan konter, saya menyerahkan tiket dan menunjukan koper yang saya bawa untuk ditempatkan di bagasi pesawat. "Only this", tanya petugas perempuan di konter sambil menunjuk koper saya. "yes" balas saya sambil menyerahkan koper tersebut ke petugas laki-laki yang mengurus bagasi. Urusan administrasi check in dan bagasi selesai sekitar 5 menit. Dari konter check in, saya berbalik lalu berjalan ke arah kanan memasuki lorong ke ruang tunggu yang terletak di belakang konter check in.

Singkat kata, saya akhirnya boarding dan berangkat ke Bagan menggunakan pesawat Bagan Air dengan waktu tempuh 1 jam 12 menit - hampir sama dengan waktu tempuh Jakarta - Jogja. Para penumpang dilayani 2 pramugari dan 1 pramugara. Pesawat yang saya tumpangi merupakan pesawat yang masih menggunakan baling-baling dengan jumlah kursi 30an. Penumpang diberi snacks berupa 1 roti dan 1 croisant dan jus jeruk atau cocacola serta kopi dan teh. Langit berwarna biru dengan awan putih yang berarak di sana dan sini sampai pesawat mendarat dengan mulus di Airport Bagan. Saat masih di atas udara wilayah Bagan, kondisinya sangat kontras dengan Yangon yang terlihat hijau  karena masih banyak pepohonan. Wilayah Bagan didominasi warna coklat perbukitan serta hamparan dataran yang luas dalam warna sama. Di perbukitan maupun hamparan datar di bawah terlihat serakan candi dan pagoda dalam berbagai bentuk dan warna - bagaikan berada di atas negeri antah beranta dalam dongeng.

Pada saat kepala saya nongol keluar dari perut pesawat, udara panas berdebu langsung menyergap
Pesawat Bagan Air yang saya gunakan dari Yangon ke Bagan
padahal masih sekitar jam 9 pagi. Airportnya masih sederhana setaraf airport kelas II di Indonesia. Saat tiba dalam bangunan terminal, terlihat dominasi laki-laki berkain longi. Setelah mengambil bagasi, saya lalu berjalan ke pintu keluar. Sebelum tiba di pintu keluar, para turis, termasuk saya tentunya harus mampir di meja petugas yang terletak di samping dalam pintu keluar. Para turis diminta membayar biaya masuk ke tempat-tempat wisata di Bagan, yakni sebesar 15 dollar atau 15.000 kyat per orang. Duit saya semakin susut, pikir saya. Namun tidak ada pilihan sehingga saya membayar biaya masuk tersebut lalu diberi tiket seukuran kartu nama berwarna putih dengan gambar pagoda. Saya beranjak keluar setelah menerima tiket tanda pembayaran sekaligus menjadi izin masuk berkunjung ke berbagai kuil dan pagoda di Bagan yang totalnya berjumlah 3.122. Saya disambut seorang laki-laki tinggi langsing memakai longi dan baju lengan pendek warna coklat. Ternyata lelaki tersebut adalah sopir taksi yang menawarkan jasa mengantar saya ke hotel dengan harga 6000 kyat. Harga tersebut lebih murah 2000 kyat dari informasi yang saya peroleh di internet. Saya mengiyakan tawarannya sehingga koper saya diambil alih laki-laki tersebut sambil berjalan ke taksinya.

Bersama Khwa Khwa pada hari ke 2 saya di Bagan
Bahasa Inggris sopir taksi yang saya tumpangi lumayan bagus sehingga selama perjalanan airport - hotel, saya mendapatkan banyak informasi tentang Bagan, termasuk restoran, tempat penukaran uang dan lainnya. Saya meminta dia mampir di salah satu ATM di tepi jalan yang kami lalui. Saya ingin mencoba menggunakan ATM Bank Mandiri saya, walau saya tahu bahwa saya tidak menyimpan cukup banyak uang di bank Mandiri. Mobil lalu berhenti di satu ATM bank lokal yang terletak di pinggir jalan. Saya lalu masuk dan memasukan ATM Mandiri saya ke mesin ATM lalu  mengikuti arahan bahasa Inggris yang tersedia. Saya langsung terserang panik saat mesin tersebut tidak mengeluarkan sejumlah duit yang ingin saya tarik. Saya mencoba 2 kali lagi namun selalu gagal. 2 laki-laki setempat yang berada di sekitar ATM berinisiatif membantu dengan menyarankan saya untuk mencoba menarik dalam jumlah yang lebih kecil. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka
lalu mencoba lagi dan ternyata berhasil. Mereka tertawa senang saat melihat saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya kembali ke taksi dengan perasaan gembira yang saya tularkan ke sopir taksi. "The machine is great" kata saya dengan senang ke sopir. "I could take money from it", dilanjutkan dengan cerita tentang ketidakberuntungan saya dengan mesin ATM di airport Yangon. Saat tiba di hotel dan bisa mengakses wifi, saya langsung mengirim bbm ke staf keuangan kantor untuk mengirim transfer duit bulanan saya ke bank Mandiri saja, tidak ke BNI.

Masih dalam perjalanan menuju hotel, sopir taksi memberikan kartu namanya serta menawarkan jasa mengantar saya ke berbagai tempat wisata yang akan saya kunjungi. Harga jasa jemput berkeliling dan antar kembali ke hotel adalah 22.000 kyat untuk setengah hari dan 35.000 kyat selama 1 hari yakni dari pagi sekitar jam 8 sampai dengan sunset. Setelah selesai sunset barulah saya diantar kembali ke hotel. Pada kartu yang saya terima tertulis nama KHWA KHWA diucap COCO, namun saya lebih suka mengucapkannya menjadi JOJO yang mirip dengan nama panggilan saya Jo. Kelihatannya Khwa Khwa tidak keberatan dengan panggilan Jojo yang saya gunakan kepadanya sehingga kami semakin akrab. Saya utarakan ke Khwa Khwa bahwa saya juga ingin membeli longi sebagai oleh-oleh serta ingin memotret para bhiksu di pagi hari saat mereka mencari donasi makanan dari umat. Khwa Khwa menginformasikan kepada saya bahwa saya bisa mendapatkan longi dengan harga murah di pasar lokal setempat (hanya ada satu). Memotret para bhiksu juga bisa dilakukan di lokasi yang sama, yakni di jalan depan pasar. Khwa Khwa juga menginformasikan kepada saya restoran dan warung makan yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel.

Zfrreti Hotel - tempt saya menghabiskan 2 malam 3 hari di Bagan
Tak lama kemudian, taksi telah tiba di depan hotel Zfrreti yang saya booking. Sebelum turun, Khwa Khwa sekali lagi menanyakan persetujuan saya apakah akan menggunakan jasanya mengantar saya berkeliling?. Secara diplomatis, saya mengatakan akan meminta staf hotel menghubungi dia setelah saya beristirahat beberapa menit di hotel dan mengatur rute kunjungan saya. "okay, I will be waiting for your call from the hotel", katanya mengakhir pembicaraan kami karena telah tiba di depan hotel. Saya turun dan berjalan ke meja resepsionis yang terletak di bagian kanan dalam teras hotel yang terbuka ke jalan. Khwa Khwa menyusul sambil membawa koper saya yang kemudian diambil alih salah satu staf hotel. Saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah ke Khwa Khwa yang membalas dengan anggukan dan senyum lebar dan berlalu meninggalkan teras hotel kembali ke taksinya yang diparkir di depan hotel.

Kolam renang Zfrreti Hotel - Bagan 
Saya menjelaskan ke resepsionis bahwa bookingan saya adalah untuk besok, bukan hari ini. "It is okay, we still have room for you today. Howver, as you are coming in directly without booking for today, you have to pay 5 dollars additional charge" kata resepsionis tersebut. "It means you have to pay 55 dollar for today and another 50 dollar for the room that you have already booked online" lanjutnya. "Okay, I pay it accordingly", balas saya sambil mengeluarkan uang 100 dollar ditambah 5000 kyat yang saya serahkan ke resepsionis perempuan tersebut. Dalam hati sebenarnya saya heran, mengapa booking online lebih murah harganya daripada go show seperti saat ini. Namun menyadari bahwa itu aturan yang hanya dijalankan oleh mereka sebagai staf, maka saya hanya bertanya-tanya dalam hati.

Setelah administrasi hotel selesai, saya menyempatkan diri duduk beristrahat beberapa menit di teras sambil mengamati interior hotel dan
Jalan penghubug ke kamar-kamar Zfrreti Hotel - Bagan
menikmati jus jeruk yang disediakan hotel sebagai welcome drink. Di sebelah kiri - berlawanan posisi dengan meja resepsionis terdapat kolam renang - yang tidak sempat saya nikmati selama menginap 2 malam 3 hari di hotel tersebut. Di belakang antara batas teras dan bangunan kamar-kamar hotel terdapat 1 mesin ATM yang hanya beroperasi pada siang hari sehingga memudahkan saya mengambil uang tunai. Setelah menhabiskan minuman dan menerima kembali passport yang telah difotocopy oleh staf hotel, saya lalu meminta salah satu staf yang memakai baju lengan pendek putih dan longi hijau kotak-kotak mengantar saya ke kamar 310 di lantai 3 hotel tersebut. Saya juga meminta dibookingin pedati/dokar yang akan saya gunakan berkeliling hari ini. Saya memutuskan akan menggunakan taksi Khwa Khwa esok hari saja sehingga saya bisa mencoba moda transportasi yang berbeda.

Bersambung ke bagian VI : Keliling Bagan

Salah satu interior langit-langit teras Zfrreti Hotel - Bagan
Interior teras Zfrreti Hotel - Bagan

Senin, 06 Oktober 2014

MYANMAR : ONCE UPON A TIME. Bagian IV: Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda



Patung Budha di Ngar Htet Gyi Pagoda
"This is new building, replaced the old one that had been broken by fire", kata seorang bapak yang memakai kemeja lengan pendek warna krem dipadu longi warna coklat muda. Akhirnya kami ngobrol beberapa menit terkait sejarah keberadaan Pagoda Ngar Htet Gyi yang saya kunjungi setelah selesai mengunjungi Botahtaung Pagoda di tepi sungai Irrawaddy. Pagoda ini terletak pada arah yang berlawanan dengan Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung. Sepertinya terletak di ketinggian perbukitan kota Yangon. Satu patung Budha raksasa memakai baju besi berwarna kuning emas menjadi pusat/sentral dan mendominasi kuil tersebut. Patung Budha bersandar pada semcama kursi dari kayu jati berwarna coklat dan berukir indah. Berbeda dengan dua Pagoda yang telah saya kunjungi, bangunan Pagoda ini setengah terbuka, yakni dari pintu masuk yang menjadi batas ratusan anak tangga yang menghubungkan kuil tersebut dengan jalan raya serta sepanjang sisi kanan kuil. Sisi belakang yang berhadapan dengan Sang Budha ke arah kiri sampai dengan belakang Sang Budha adalah dinding tertutup dari lantai sampai ke langit-langit. Struktur bangunannya terbuat dari  lempengan besi baja yang menghubungkan lantai dengan atap serta samping kiri dan kanan bangunan. Lantainya ditutupi keramik warna merah hati, sedangkan bagian dimana umat duduk melakukan doa diberi karpet berwarna hijau.

Sajak pada lempengan batu di Ngar Htet Gyi
Di bagian belakang bangunan yang berhadapan dengan Sang Budha terdapat sajak pada lembaran batu berukuran sekitar lebar 75cm dan tinggi 1 meter. Pada pintu masuk kuil di sebelah kanan pengunjung terdapat semacam konter yang dijaga seorang orang perempuan. Saat saya ingin bertanya tentang tiket sambil menunjukan satu lembaran kyat, perempuan tersebut hanya menunjuk kotak donasi yang terletak sekitar 5 meter dari konter tersebut. Berbagai patung kecil dan lukisan disusun berderet sepanjang dinding pembatas pelataran sebelah kiri sampai dengan bagian belakang yang sejajar  pada lempengan batu tersebut.  Tiang-tiang kuil di bagian belakang dan dinding pembatas dihiasi keramik mosaik berukuran sekitar 3x3cm didominasi warna hijau muda pucat. Bangunan Pagoda berada dalam kompleks biara Ashay Tawya. Konon nama Pagoda tersebut diambil dari bentuk atapnya yang berlapis lima, sehingga Pagoda Ngar Htet Gyi artinya Pagoda beratap lima lapis.

Lonceng di Ngar Htet Gyi
Legenda setempat menceritakan bahwa patung Budha asli dengan tinggi sekitar 6,7 meter adalah sumbangan Pangeran Minyedeippa pada tahun 1558. Patung asli tersebut kemudian diperbesar pada tahun 1900 mencapai ketinggian sekitar 14 meter. Beberapa umat terlihat silih berganti datang dan pergi mendaraskan doa masing-masing. Sebelum mengucapkan doa, masing-masing dari mereka duduk bersimpuh mensedekapkan kedua belah tangan di dada lalu menunduk menyembah Sang Budha. Saya duduk termenung memandang dan mengagumi Sang Budha di depan sambil memikirkan betapa luar biasanya para seniman Burma yang menghasilkan karya seni indah tiada tara di depan saya. Keheningan sangat terasa hadir di sekeliling saya. Hanya gumanan doa para umat yang terdengar secara konsisten menghadirkan suasana religius. Sekitar 30 menit kemudian saya beranjak mengeliling kuil tersebut. Mengambil beberapa foto menarik kemudian beranjak keluar meninggalkan ruang utama Pagoda tersebut. Saya kembali menyusuri  ratusan anak tangga turun ke jalan raya dimana mobil yang saya gunakan sedang menunggu guna mengantar saya ke kuil / pagoda berikutnya.

Reclining Budha di Chauk Htet Gyi 
Depan reclining Budha
Tempat kunjungan berikutnya adalah Chauk Htet Gyi yang berjarak sekitar 700an meter dari Ngar Htet Gyi pada sisi jalan yang berbeda. Dari Ngar Htet Gyi di posisi yang lebih tinggi, saya telah dapat melihat bangunan Chauk Htet Gyi. Mobil yang saya gunakan tidak berbelok ke kiri menyusuri jalan utama menuju Kuil Chauk Htet Gyi melainkan mengambil jalan samping dan memutar dari belakang. Setelah tiba di tempat tujuan barulah saya memahami mengapa mobil mengambil jalan samping ke belakang disebabkan oleh gerbang kuil yang menghadap jalan samping yang terhubung ke jalan utama. Kompleks Kuil adalah ruang terbuka yang pada sisi kiri gerbang masuk terdapat jejeran kios yang menjual beragam souvenir. Kuil itu sendiri adalah suatu bangunan besar dengan jendela2 besar yang terbuka sehingga memudahkan cahaya dan angin memasuki bangunan. Bangunan kuil ini melindungi satu Patung Budha sangat besar dalam posisi tidur atau lebih sering dikenal dengan reclining budha - sama seperti Patung reclining Budha di Kuil Wat Pho di Bangkok, Thailand. Sama seperti bangunan Ngar Htet Gyi, struktur bagunan Kuil Chauk Htet Gyi terbuat dari besi baja. Reclining Budha atau Budha yang sedang berbaring dalam kuil tersebut berukuran panjang 65,85 meter yang merupakan perpanjangan dari aslinya pada tahun 1899 sepanjang 59,28 meter dengan tinggi sekitar 30 meter. Pembuatan reclining Budha ini dimulai pada tahun 1899 atas sumbangan seorang warga Burma bernama U Hpo Thar. Penyelesaiannya dilakukan dalam 3 tahap, yakni 1899, 1907 dan 1973. Pembangunan secara bertahap tersebut juga mengubah posisi reclining Budha tersebut. Pada awalnya, posisi kepala Budha mengarah ke Barat dengan wajah menghadap Selatan. Namun dalam penyelesaian di tahun 1973, posisi kepala mengarah ke Timur dengan wajah menghadap Utara.

Sajak pada lempengan batu
Saya terkagum-kagum melihat karya luar biasa tersebut. Secara perlahan saya berjalan dari posisi kepala ke arah kaki yang dikerjakan dengan sangat detail dan indah. Pada telapak kaki, tergambar masa hidup yang dilalui Budha. Dalam jarak sekitar 2 meter dari tapak kaki Budha tergantung semacam sajak yang ditulis  pada lempangan batu berukuran sekitar 1x2  meter. Beberapa bhiksu tua terlihat sedang duduk bersila memegang tasbih menggumankan doa masing-masing. Seorang bhiksu lain terlihat sedang asyik dengan HPnya. Pengunjung lokal maupun manca negara silih berganti datang dan pergi. Sekitar 3 meter dari kaki Budha agak ke samping kiri terdapat semacam panggung kecil yang saya gunakan mengambil foto yang cukup bagus. Pada saat saya sedang mengamat-amati kaki Budha dan juga lempengan batu yang tergantung di dekatnya, terlihat sepasang turis Jepang berusia paruh baya memotret beberapa kali. Saya menyarankan mereka menggunakan panggung kecil yang telah sayareclining Budha.
Informasi tentang ukiran-ukiran di kaki Budha
gunakan tersebut. Ternyata hasilnya cukup memuaskan mereka sehingga sambil membungkuk, pasangan tersebut tersenyum ramah sambil mengucapkan terima kasih . Saya tersenyum dan membalas ucapan mereka kemudian beranjak pergi mengarah ke pintu masuk untuk kembali ke mobil yang menunggu di halaman kuil. Sebelum keluar dari bangunan kuil, saya menyempatkan diri memberikan donasi ke kotak donasi yang tersedia dekat pintu masuk. Saya baru menyadari bahwa kompleks dan kuil ini tidak dibangun di atas ketinggian perbukitan ataupun tempat yang sengaja ditinggikan seperti kompleks dan 3 pagoda yang telah saya kunjungi sebelumnya - sehingga pengunjung ataupun umat perlu mendaki beberapa tangga guna memasuki kompleks kuil atau pagoda. Hanya tempat Budha yang dibuat menyerupai panggung dengan tinggi sekitar 1,5meter sebagai tempat berbaring



Shwedagon Pagoda di siang hari
"Now, we are going to Shwedagon, kata saya ke sopir setelah kembali ke mobil. Okay sir, balas sopir sambil menjalankan mobilnya keluar dari kompleks kuil Chauk Htet Gyi. Tak sampai sepuluh menit dari Chauk Htet Gyi, kami telah tiba di gerbang Timur Pagoda Shwedagon. Sopir menjelaskan kepada saya bahwa Shwedagon memiliki 4 pintu gerbang searah mata angin, yakni Timur, Barat, Utara dan Selatan. Saya diturunkan di gerbang Timur untuk memudahkan saya kembali ke hotel, karena gerbang Timur menghadap ke jalan utama yang akan saya lalui saat akan kembali ke hotel. Sebagaimana kesepakatan kami sebelumnya, saya minta didrop di kompleks Shwedagon, setelah itu sopir dan mobilnya telah selesai menjalankan tugas dan perannya. Sebelum turun, saya menghitung tarip ditambah 3.000 kyat sebagai tip yang saya berikan ke sopir atas jasanya mengantar saya berkeliling hari ini. Saat turun dari mobil, saya langsung memasukan sandal saya ke tas plastik yang telah saya bawa yang kemudian saya masukin ke dalam ransel. Saya kemudian melangkah perlahan menaiki tangga-tangga yang berjejer rapi menuju Pagoda Shwedagon di ketinggian. Kios-kios penjualan souvenir berjejer rapi di  sisi kiri dan kanan tangga.

Saat saya tiba di puncak, saya disambut seorang petugas laki-laki yang memakai baju putih lengan
Shwedagon di malam hari 
pendek dipadu longyi biru langit yang berdiri di depan loket penjualan tiket. Lokat penjualan tiket tersebut hanyalah sebuah meja yang dilengkapi 2 kursi. Seorang petugas perempuan dan laki-laki duduk berdampingan mengurus tiket masuk ke Shwedagon. Petugas laki-laki yang menyambut saya menyerahkan 1 peta informasi tentang Pagoda Shwedagon setelah saya membayar 8.000 kyat atau 8 dollar sebagai biaya tiket masuk. Sambil tersenyum ramah, petugas laki-laki tersebut menjelaskan sekilas tentang Pagoda Shwedagon sambil membuka dan menunjukan tempat-tempat penting di areal Pagoda sebagaimana tercantum dalam peta. Setelah selesai, saya mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan mengitari kompleks Pagoda tersebut dari pintu Timur. Sepanjang sisi kiri saya berderet sejumlah kuil dan stupa berisi patung Budha, para raja dan ratu serta para bhiksu dalam berbagai ukuran dan model dimana semuanya didominasi warna kuning emas. Sedangkan di sebelah kanan saya terletak Pagoda Shwedagon yang megah berwarna kuning emas juga. Stupa-stupa berbagai ukuran berwarna dominan emas dan putih berjejer mengelilingi Pagoda. Dalam stupa-stupa tersebut terdapat patung Budha berukuran lebih kecil dalam berbagai pose. Pada lokasi-lokasi tertentu diantara stupa-stupa tersebutpatung dan informasi hari-hari sembahyang dalam periode 7 hari kalender masehi, yakni Monday, Tuesday dan seterusnya yang ditulis dalam bahasa Burma dan Inggris.

Informasi pada peta yang dibagikan setelah saya membayar tiket masuk menyebutkan bahwa Pagoda
Salah satu kuil 
Shwedagon dibangun di atas bukit Sanguttara di Kotapraja Dagon. Tinggi Pagoda adalah sekitar 100 meter di area seluas 46 hektar, sedangkan komplek utama Pagoda meliputi 6 hektar. Pagoda dapat dikunjungi melalui 4 pintu masuk, yakni dari Selatan melalui Shwedagon Pagoda road, Barat melalui U Wisara road, Utara melalui Arzani road dan Timur melalui Gyatawya road. Akses pengunjung pada pintu-pintu masuk tersebut dapat menggunakan tangga atau eskalator. Namun saya tidak melihat eskalator di Pintu Timur yang saya gunakan masuk ke kompleks Pagoda. Konon Pagoda ini menyimpan 8 helai rambut suci Budha. 8 helai rambut tersebut diperoleh 2 orang pedagang Burma bernama Taphussa dan Ballika. Mereka bertemu Budha pada saat Budha mengalami pencerahan pada sekitar tahun 103 Saka atau tahun 600 sebelum Masehi. Kedua pedagang tersebut memberikan sedekah makanan kepada Budha. Budha lalu memberikan 8 helai rambutnya sebagai suatu berkat bagi keduanya.
Puncak Shwedagon di malam hari
Taphussa dan Ballika kembali ke tanah milik Okkalapa dan diterima oleh orang banyak yang dipimpin Okkalapa. Raja Okkalapa dan para pengikutnya lalu mengabadikan rambut suci Budha tersebut bersama 3 barang peninggalan Budha,  yakni Kukusanda Budha, pemurni air Kawnagamana Budha dan selimut Kassapa Budha dalam suatu tempat yang disucikan sebagai Shwedagon dengan tinggi sekitar 22 meter. Oleh karena berisi 4 barang peninggalan Budha yang telah mengalami pencerahan, maka dikenal sebagai Shwedagon atau tempat penyimpanan 4 peninggalan suci Budha.

Sejak tahun 600 sebelum Masehi sampai dengan abad ke 14,  Shwedagon dijaga oleh 32 raja dalam dinasti Okkalapa. Lalu sejak tahun 1372 Masehi oleh Raja Banya U, Banyayan, Banyagyandow, dan lainnya. Pada saat Ratu Shin Saw Pu naik tahta di tahun 1453, sang ratu meninggikan tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Budha tersebut menjadi 302 kaki (sekitar 92 meter). Raja Sinbyushin membangun kembali bangunan Pagoda Shwedagon pada tahun 1774 Masehi dengan tinggi 326 kaki atau sekitar 100 meter.  Ratusan atau bahkan ribuan patung berbagai ukuran dan dari berbagai bahan (batu permata, perunggu, perak, emas) merupakan sumbangan dari berbagai orang, termasuk orang kaya, ratu dan raja yang merentang sepanjang sejarah keberadaan Pagoda tersebut. Patung, kuil, pagoda-pagoda lebih kecil dan stupa-stupa yang berada dalam komplek Pagoda Shwedagon memiliki sejarah dan fungsi masing-masing bagi umat Budha.

Setelah mengeliling seluruh komplek, termasuk area belakang yang jarang dikunjungi turis manca
Di salah satu sudut dekat Pintu Timur
negara - dimana saya bisa membunyikan lonceng - saya lalu duduk beristrahat di teras salah satu bangunan kuil menunggu malam untuk melihat keindahan Shwedagon di malam hari sebagaimana yang terlihat di berbagai website. Semakin sore, kompleks Pagoda semakin ramai oleh umat yang datang dan bersembahyang ataupun para turis dari berbagai negara. Sekitar jam 4 sore, beberapa rombongan sukarelawan mulai menyapu seluruh kompleks Pagoda dengan cara berdiri berjejer membentuk barisan horisontal. Barisan horisontal penyapu yang didominasi perempuan tersebut bergerak searah jarum jam menyapu mengeliling Pagoda. Rombongan tersebut saling susul menyusul dengan jarak sekitar 10 meter antara rombongan satu dengan yang lainnya. Setelah pasukan penyapu selesai,  muncul pasukan pel didominasi laki-laki dalam formasi yang sama, yakni horisontal yang terdiri atas beberapa formasi yang saling susul.

Lampu-lampu mulai dinyalakan menjelang sunset sekitar jam 5.30an. Keindahan Pagoda di siang hari mulai berubah di senja beranjak malam. Pendaran warna keemasan beresonansi dengan nyala lampu sekitar menciptakan cahaya baru yang sangat indah. Apalagi saat kawasan sekitar telah benar-benar dilingkupi malam gelap. Hanya cahaya Pagoda Shwedagon yang nampak bersinar dan berpendar-pendar bahkan bisa dilihat dari jarak beberapa kilometer saat saya telah berjalan meninggalkan kompleks Pagoda tersebut kembali ke hotel sekitar jam 7 malam. Saat menuruni tangga dari puncak sampai dengan jalan raya, saya coba menghitung total keseleuruhannya adalah 150 anak tangga. Walau ujung akhir tangga yang bertemu jalan telah dilingkupi gelap, hanya sinar tamaram lampu para
Bersama bhiksu di salah satu kuil 
pedagang sekitar yang terlihat, namun para pengunjung terus menerus berjalan menaiki tangga-tangga yang ada menuju Pagoda Shwedong di puncak bukit. Tepat di ujung tangga yang tersambung dengan jalan, saya mengeluarkan sandal dari tas dan kembali mengenakannya lalu menyusuri jalanan tamaran di depan saya. Para pedagang yang kebanyakan menjual pernak-pernik dan buah masih lumayan ramai berjejer sepanjang jalan yang saya lalu. Mata saya mencari-cari pedagang makanan karena mulai berasa lapar dan saya tidak pasti apakah bisa memesan makanan di hotel. Sekitar 100 meter dari anak tangga terakhir ke Pagoda, saya melihat beberapa pedagang makanan yang berjejer di jalan yang saya lalui. Saya lalu mampir ke warung tenda yang terlihat cukup ramai. Beruntunglah pemiliknya seorang laki-laki paru baya yang mengenakan baju lengan pendek warna coklat dipadu longyi bisa berbahasa Inggris. Saya lalu meminta ayam goreng, sayur bayam dan nasi putih. Jika di Indonesia,  makanan warung tenda pinggir jalan kebanyakan disusun dalam gerobak yang diberi kaca sehingga minimal melindungi makanan tersebut dari debu, maka di Yangon dan beberapa kota lain yang saya kunjungi kemudian, makannya diletakan di atas meja terbuka. Saya sudah tidak memikirkan masalah higenitasnya, yang penting adalah perut saya tidak keroncongan yang dapat berimplikasi ke kambuhnya penyakit maag kronis saya. Saya hanya perlu membayar 500 kyat untuk seluruh makanan dan minum yang saya habiskan malam itu.

Membunyikan lonceng di bagian belakang
Selesai makan dan minum serta membayar harganya, saya beranjak dari warung dan kembali menelusuri jalan menuju ke hotel bermodalkan peta yang saya peroleh dari hotel pagi tadi. Jalanan yang saya lalui tidak memiliki lampu jalan seperti Jakarta yang terang benderang :). Hanya sinar lampu tamaram dari bangunan atau kendaraan yang lalu lalang. Pada satu pertigaan, saya menemukan semacam pos jaga yang diisi oleh beberapa anak muda berseragam

Shwedagon dari jendela kamar hotel di pagi hari
biru sedang asyik bermain kartu dan bersenda-gurau. Saya menghampiri mereka untuk menanyakan arah jalan ke hotel sambil memperlihatkan peta yang saya pegang. Salah satu dari mereka menjawab agar saya berjalan lurus saja lalu jika bertemu perempatan lagi, maka saya harus belok kanan. Saya mengucapkan terima kasih lalu menyeberangi pertigaan depan pos tersebut. Sekitar 50 meter dari pos tersebut saya tiba di satu jalan kecil di sebelah kiri saya yang terhubung ke jalan raya yang sedang saya telusuri. Insting saya mengatakan bahwa jalan kecil tersebut adalah jalan ke arah hotel tempat saya menginap malam itu. Percaya pada insting, saya lalu belok kiri memasuki jalan tersebut - yang ternyata benar karena sekitar 15 meter  kemudian saya melihat papan bertuliskan nama Clover Hotel. Sekitar jam 9 malam saat saya tiba di hotel yang sepi-sepi saja. Para staf mengucapkan selamat malam sambil
Shwedagon dari jendela kamar hotel di malam hari
tersenyum. Saya membalas ucapan mereka dan melanjutkan langkah saya ke lift untuk selanjutnya ke lantai 6 dimana kamar saya berada. Saya sempatkan berisitirahat sekitar 15 menit sebelum melangkah ke kamar mandi. Air hangat  dan dingin yang saya gunakan berganti-ganti saat mandi kembali menyegarkan tubuh yang kelelahan karena seharian berkeliling Yangon. Sebelum merebahkan diri ke tempat tidur berukuran king, saya sempatkan sekali lagi mengintip Shwedagon Pagoda dari jendela kamar. Saya mengambil beberapa foto terakhir Pagoda tersebut. Supaya tidak kesiangan, saya memasang alarm HP terlebih dahulu untuk membangunkan saya di subuh hari pada jam 4. Saya juga telp ke resepsionis meminta wakeup call. Setelah itu lampu-lampu kamar saya matikan dan tubuh pun saya baringkan ke tempat tidur yang terasa sangat nyaman. Good night everyone!!!

Bersambung: Bagian V: Bagan

Senin, 29 September 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian III : Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung.

Menara Sule Pagoda dari Jl. Anawratta
 Where are we going now? tanya saya ke sopir taksi yang saya gunakan. "Sule Pagoda is not so far from here, so we are heading to the pagoda now, balas sopir sambil menjalankan mobil. Alright, balas saya. Sekitar 5 menit dari restoran, saya telah melihat puncak pagoda berwarna kuning emas tersebut. Terlihat megah dan terletak tepat di suatu perempatan. Sebelah kiri dan kanan jalan yang kami lalui dipenuhi bangunan-bangunan tua yang sepertinya difungsikan seperti ruko-ruko di Indonesia. Dari perempatan, taksi berbelok ke kanan menyusuri sisi kiri pagoda lalu berbelok lagi ke kiri hingga tiba di bagian depan kiri dekat pintu gerbang pagoda. Bagian luar pagoda dikeliling oleh jejeran kios yang sedang tutup sehingga saya tidak bisa mengintip apa yang dijual di kios-kios tersebut. Terdapat juga beberapa tempat penukaran uang terlihat dari papan nama yang tertempel di bagian atas luar beberapa kios yang tertutup. Taksi diparkir pada tempat parkir yang dipenuhi mobil berbagai tipe dan merek. Antara tempat parkir dan pagoda dipisah oleh suatu pertigaan yang sangat ramai. Di tempat tersebut terlihat banyak orang menunggu bis maupun yang menyeberang ke berbagai arah, termasuk ke Pagoda Sule. Berhadapan dengan tempat parkir yang dipisah jalan, terlihat satu bangunan megah berwarna putih yang sepertinya berfungsi sebagai kantor. Sepertinya bangunan tersebut peninggalan Inggris dilihat dari gaya arsitekturnya. Berhadapan dengan Pagoda Sule dalam jarak sekitar 300 meter yang dipisah oleh jalan raya terdapat suatu bangunan gereja berwarna putih

Saya menyeberang mengikuti para penyeberang lainnya saat terlihat jalan agak sepi. Sama seperti menyeberang di Jakarta, para penyeberang yang harus ektra hati-hati karena kendaraan yang lalu lalang tidak mengurangi kecepatannya sama sekali. Beruntunglah jalan di depan pagoda sedang macet sehingga saya bisa menyeberang dengan lebih nyaman walau harus selap-selip diantara mobil-mobil yang tertahan kemacetan. Di depan gerbang masuk pagoda, saya disambut beberapa perempuan penjual bunga yang mengenakan longyi dan wajahnya berhias bedak tanaka :). "Flower for Budha?, sapa seorang perempuan saat saya menapak memasuki gerbang. Saya menggeleng sambil tersenyum. Saya lalu membungkuk melepaskan sandal, seorang perempuan yang duduk di depan suatu tempat penyimpanan sandal dan sepatu meminta saya menaruh sandal di tempat tersebut. Setelah itu, perempuan tersebut mengarahkan saya ke loket tiket
Gereja yang berhadapan dengan Sule Pagoda
yang terletak di sisi kanan saya. Saya berjalan ke loket dan membeli tiket masuk seharga 3 dollar atau 3000 kyat. Setelah itu, saya lalu menaiki tangga-tangga dari gerbang masuk ke Pagoda Sule yang terletak di ketinggian.

Wikipedia menulis bahwa Sule Pagoda terletak di tengah-tengah kota Yangon. Pagoda ini memiliki peran penting dalam ideologi, ekonomi, geografi dan sejarah politik kontemporer Burma, termasuk menjadi tempat berkumpul para demonstran tahun 1988 dan 2007 yang dimotori para bhiksu. Sule Pagoda dibangun sebelum Shwedagon Pagoda. Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun pada masa Budha sehingga telah berusia 2500 tahun. Menurut legenda orang Burma, tempat dimana Sule Pagoda dibangun adalah rumah dari roh suci berkuasa penuh bernama Sularata (Sule Nat). Raja para roh suci yang bernama Sakka ingin membantu raja legendaris Okkalab membangun suatu tempat suci bagi peninggalan rambut suci
Salah satu kuil yang dibangun mengelilingi Sule Pagoda
Budha pada tempat yang sama dimana tiga peninggalan Budha telah dikuburkan. Sayangnya, Sakka tidak tahu secara pasti dimana peninggalan-peninggalan tersebut telah dikuburkan di masa lalu. Namun, Sule Nat yang telah sangat tua telah menyaksikan kejadian besar tersebut. Karena itu, para dewa, roh-roh suci, dan manusia berkumpul di sekitar raksasa Sule dan menanyakan lokasi yang akhirnya diingat olehnya.

Pagoda Sule dijadikan pusat kota Yangon oleh Letnan Alexander Fraser dari para insinyur Bengal yang membangun jalan yang terletak di Yangon segera setelah pendudukan Inggris pada pertengahan abad 19. Jalan tersebut pada awalnya dinamai Jalan Fraser, namun sekarang telah berganti nama menjadi Jalan Anawratta dan masih tetap menjadi salah satu jalan utama di Yangon. Pagoda Sule adalah satu pagoda bergaya Mon berbentuk segi delapan dengan panjang 7,315 meter, setinggi 43,891 meter. Ukuran tersebut diperluas oleh Ratu Shin Sawbu pada tahun 1453-1472. Disekitar Pagoda terdapat 10 lonceng perunggu dalam berbagai ukuran serta berisi catatan nama para penyumbang dan tanggal sumbangan tersebut diberikan.  Legenda lain menceritakan nama Sule berasal dari kata Su dan Le yang artinya semak berduri liar. Legenda lain menghubungkan nama tersebut ke kata Cula dalam bahasa Pali yang artinya kecil / ceti atau pagoda kecil. Setelah saya mengunjungi beberapa pagoda lainnya, maka kata Cula tersebut sepertinya memiliki kebenaran karena ukuran Pagoda Sule lebih kecil dari pagoda-pagoda lainnya, terutama Shwdagon tentunya.

Sule Pagoda yang diapit oleh kuil-kuil sekelilingnya 
Pada saat saya berkunjung, beberapa kuil yang mengeliling Pagoda sedang direnovasi. Walau demikian, umat Budha terus masuk dan keluar mendaraskan doa masing-masing di kuil-kuil yang belum atau telah selesai direnovasi. Dari pintu masuk, saya belok kiri menyusuri jalan kecil dari keramik yang memisahkan kuil-kuil dan bangunan berbentuk memanjang seperti asrama dengan Pagoda yang terletak di tengah. Saya terus berjalan memutari pagoda melihat-lihat, mengambil foto-foto sampai saya tiba kembali di pintu masuk. Saya lalu menuruni tangga menuju gerbang di bawah dekat jalan yang telah saya ceritakan di atas. Perempuan yang berjaga di tempat sepatu dan sandal saat saya masuk ternyata tidak berada ditempatnya. Saya lalu mengambil sandal saya, memasukan 1000 kyat ke kotak donasi yang tersedia lalu berjalan keluar kembali ke tempat parkir dimana taxi sedang menunggu.

Bagunan di sebelah depan kiri Sule Pagoda
Taksi keluar ke arah kanan dari tempat parkir yang berlawanan dengan arah kedatangan. Sesampainya diperempatan belakang Pagoda Sule, taksi belok kiri melewati berbagai bagunan tua bergaya Eropa yang sepertinya bangunan-bangunan peninggalan Inggris. Setelah itu, taksi belok kiri lagi menyusuri jalan raya yang memisahkan sungai Yangon di sebelah kanan dengan bangunan-bagunan tua didominasi warna merah bata di sebelah kiri. Menurut cerita sopir, bangunan-bangunan tersebut peninggalan Inggris yang dahulunya digunakan sebagai perkantoran karena kawasan yang kami lewati merupakan kawasan pelabuhan dagang pada zaman kolonial Inggris. Setelah melewati satu perempatan lagi, kami lewat di

Salah satu bangunan peninggalan Inggris
depan bangunan Pasar Bogyoke Aung San yang terkenal di kalangan para pelancong dan merupakan salah satu tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi saat melancong ke Yangon. Sayangnya, pasar tersebut tutup pada hari Senin, yakni hari dimana saya sedang mengelilingi kota Yangon saat itu. Karena itu saya tidak dapat mampir melihat-lihat kesibukan pasar sekaligus mencari longyi. Saat saya katakan ke sopir bahwa saya ingin mencari longyi, sopir mengatakan sebaiknya saya mencari dan membeli di Mandalay saja yang lebih murah (sopir tahu bahwa saya akan berkunjung ke Mandalay setelah Yangon dan Bagan). Why, tanya saya. It is cheaper because the longyi is produced in Mandalay, balas sopir.

Kami tiba di satu perempatan lain tak jauh dari Pasar Bogyoke Aung San. Taksi lalu berbelok ke
Pagoda Botahtaung
kanan menuju Pagoda Botahtaung yang telah terlihat dari perempatan. Cuaca saat itu tidak terlalu bersahabat karena sedang gerimis. Sampai di gerbang samping, taksi berhenti menurunkan saya. Saat akan keluar dari taksi, sopir menyodorkan payung. Saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menerima payung tersebut.  Sopir mengatakan mobil akan diparkir di sebelah jalan sambil menunjuk ke tempat lain berjarak sekitar 10 meter dari tempat saya turun. Saya mengiyakan lalu berjalan ke arah pintu masuk pagoda. Saat saya akan melepaskan sandal, seorang petugas meminta saya  menemui petugas lain yang berjaga di semacam pos yang terletak di sebelah kanan gerbang samping. Saya menuju pos tersebut, masuk dan berbicara sesaat dengan seorang petugas perempuan yang menanyakan asal saya. Kemudian, petugas menyodorkan tiket masuk seharga 3000 kyat. Saya membayar tiket tersebut lalu berjalan keluar pos mengarah ke pintu masuk pagoda. Sandal saya lepas di pintu masuk yang saya letakan berjejer dengan sandal-sandal lain yang telah berada di tempat tersebut. Sekali lagi saya menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang kemudian menaiki beberapa anak tangga menuju bangunan utama.

Bagian dalam Pagoda Botahtaung
Wikipedia menulis bahwa Botahtaung artinya 1000 pejabat militer (1000 military officers). Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun oleh suku Mon yang adalah salah satu suku Austronesia yang menyebarkan Agama Budha di Asia, termasuk Thailand dan Burma / Myanmar. Pagoda ini dibangun dalam waktu yang sama dengan Pagoda Shwedagon. Bangunan aslinya hancur total pada masa Perang Dunia II. Karena itu, pagoda yang sedang saya kunjungi saat ini merupakan pengganti bangunan aslinya. Sepertinya kompleks dan bangunan pagoda ini seukuran dengan Sule Pagoda, namun dinding-dindingnya seperti dilapisi lembaran emas dari bawah hingga langit-langit - yang diberi pengaman. Menurut legenda setempat, di Pagoda ini juga tersimpan rambut suci Budha. Ruangan-ruangan di bagian dalam berbentuk segitiga dimana di ujung segitiga beberapa ruangan terlihat 1 atau 2 umat sedang duduk bersila mendaraskan doa. Pada sisi lain di ujung ruangan yang diberi pembatas kawat tebal sebagai pengaman berjejer berbagai aset pagoda tersebut yang sepertinya terbuat dari batu jade, perunggu, perak dan emas. Sepertinya semua barang sangat berharga sehingga disimpan dalam lemari pengaman bisa dilihat namun tidak bisa dijamah oleh pengunjung. Satu demi satu ruangan berdiding emas berukir berbagai
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
motif tersebut saya telusuri mengagumi keindahan Pagoda tersebut. Sekitar 45 menit kemudian, saya telah tiba di pintu masuk berpapasan dengan pengunjung lain yang baru tiba dan sedang berjalan masuk. Saya keluar ke pelataran di bawah tangga mengambil beberapa foto lalu berjalan keluar ke arah kanan untuk melihat Pagoda tersebut dari sisi luarnya. Gerimis yang masih berlangsung tidak menghalangi saya mengitari Pagoda tersebut. Sisi luar kiri Pagoda diapit oleh semacam sekolahan yang bersebelahan dengan satu kuil.

Di belakang Pagoda terletak satu bangunan memanjang semacam bangsal atau tempat pertemuan. Beberapa orang terlihat sedang tiduran ataupun duduk-duduk lesehan dalam bangsal tersebut. Di luarnya disediakan 2 gentong air minum beserta beberapa mug. Karena masih gerimis, saya memutuskan duduk di teras luar bangsal dekat ke gentong air sambil mengamat-amati pagoda dan lingkungan sekelilingnya. Saya dihampiri seorang lelaki Burma mengenakan baju lengan pendek kotak-kotak putih dan ber-longyi. Saya diajak ngobrol berbahasa Inggris tentunya. Lelaki tersebut memperkenalkan asalnya dari
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
Mandalay. Saat saya bertanya bagaimana dia / menggunakan alat transportasi apa dari Mandalay ke Yangon, dengan tersenyum si lelaki menjawab hanya perlu semedi. Saya membalas senyumnya dan mengangguk-anggukan kepala, namun tidak percaya sama sekali akan jawabannya yang menurut saya tidak masuk akal. Dugaan saya ternyata benar, karena setelah ngobrol ngorol ngidul sekitar 5 menit, lelaki tersebut menawari saya untuk berkeliling Pagoda bersamanya - tentunya dengan imbalan pada akhirnya. Membaca indikasi tersebut - yang telah saya ketahui dari informasi-informasi online yang saya pelajari, maka dengan halus tawaran tersebut saya tolak, "thanks but i have already visited all of the rooms inside the Pagoda as well as its surroundings, I am ready to move to other pagoda, timpal saya. Mendengar jawaban saya, keramahannya langsung sirna dan dia pun ngeloyor pergi begitu saja.

Bangunan yang mengeliling Pagoda Botahtaung
Setelah gerimis agak reda, saya bangun dan berjalan ke arah sebelah kiri saya atau kanan Pagoda yang belum saya hampiri. Pada bagian ini hanya ada pagar berjarakan sekitar 20 meter dari bangunan Pagoda yang membatasi Pagoda dengan lingkungan sekitarnya. Pada bagian ujung depan pelataran digantung satu lonceng berukuran sedang. Saya mampir beberapa menit mengamat-amati lonceng tersebut sambil mengambil beberapa foto. Selesai dari situ, saya masuk kembali ke bangunan Pagoda melalui pintu kiri, berlawanan dengan pintu yang saya gunakan saat keluar ke sebelah kanan Pagoda. Saya terus berjalan ke gerbang luar lalu memakai kembali sandal yang saya tinggalkan saat akan masuk ke bangunan Pagoda sebelumnya. Dugaan saya, Pagoda ini hanya dikunjungi oleh turis lokal atau umat atau oleh turis Asia karena saya tidak melihat seorang pun turis bule berkeliaran di lingkungan tersebut. Atau mungkin karena lagi gerimis sehingga para turis pada malas berjalan-jalan. Pada saat saya mengitari bagian
Lonceng yang terletak di kanan depan Pagoda Botahtaung
luar Pagoda saya hanya melihat seorang pengunjung Asia yang juga melihat-lihat daerah sekitar karena dari gaya pakaian dan ransel serta payung yang dibawa terlihat bahwa orang tersebut bukan orang lokal.

Mata saya celingukan mencari taksi yang saya gunakan karena hampir semua mobil yang diparkir di tempat yang ditunjukin sopir sebelumnya berwarna putih. Mungkin melihat saya celingukan mencari mobil tersebut, sopir mobil berinisiatif mengendarai mobil ke arah saya. Saya lalu membuka pintu kiri dan masuk ke mobil tanpa menunggu sopir membukakan pintu sebagaimana yang telah dilakukannya di beberapa tempat terdahulu. "Where we going now", tanya saya setelah duduk santai di dalam mobil. We are heading to Ngar Htet Gyi Pagoda, balas sopir. OK, jawab saya.

Bersambung ke bagian IV:  Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Sabtu, 20 September 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian II: Yangon

Para lelaki Myanmar mengenakan longyi (longji)
Good morning sir, sapa staf resepsionis saat saya menghampiri mejanya untuk mengkonfimasi mobil pesanan saya saat check in. Sambil tersenyum, saya balas mengucapkan "morning, how about the car for me today"?. It is ready, balas karyawan hotel. "you are lucky, we got a 1000 kyat (diucap chaat) discount for you, so you only pay 5000 kyat per hour", lanjut karyawan tersebut. Thanks you so much, balas saya sambil tersenyum lebar. "you are welcome sir, your car and driver are waiting for your journey. As your request, the driver can speak English, lanjut karyawan hotel tersebut. "that's great, balas saya sambil beranjak dari meja resepsionis. "enjoy your day, sir", demikian kata penutup karyawan hotel. "sure" balas saya mengakhir pembicaraan kami dan beranjak menuju pintu keluar lobby hotel.

Seorang lelaki berusia sekitar 30 tahunan tersenyum dan menyapa "good morning sir" saat kaki saya melangkah keluar dari pintu lobby. Saya tersenyum sambil membalas ucapan selamat paginya. 2 staf hotel yang menjaga pintu luar memperkenalkan saya ke sopir taksi yang akan saya gunakan tersebut. Sopir yang barusan menyapa saya membuka pintu mobil dan mempersilahkan saya masuk. Sopir juga memasuki mobil dan duduk pada tempatnya di bagian depan kemudian menghidupkan mobil dan mulai menjalankannya. Where are we going first sir, tanya sopir. we go to a travel agent to buy an airfare ticket, balas saya. Alright, we go to the travel agent recommended by the hotel staffs, kata sopir. Okay, balas saya. Mobil menyusuri jalan-jalan kota Yangon. Sepanjang jalan saya terus bercakap-cakap dengan sang sopir untuk mendapatkan berbagai cerita tentang kota tersebut. Di beberapa tempat, perjalanan kami tersendat karena kemacetan di jalan yang sedang kami lalui. Taxi berjalan melewati gedung-gedung apartemen sangat tua yang berjejer sepanjang jalan. Kadang melewati jejeran ruko-ruko tua yang ditandai oleh warna kehitam-hitaman dan juga kelupas cat di sana-sini. Jalan-jalan yang kami lalui tidaklah selebar jalan Sudirman dan Thamrin. Jalan-jalan tersebut terlihat seperti jalan-jalan di beberapa propinsi di kawasan Indonesia Timur yang pernah saya kunjungi. Di beberapa sudut kota, terlihat pembangunan gedung-gedung baru sedang dilakukan. Jalan yang  kami lalui kebanyakan dipenuhi taksi yang semuanya berwarna putih, sama warnanya dengan taksi yang saya gunakan. Kota juga dipenuhi berbagai taman nan hijau dan asri. Taman-taman di kota terlihat dirawat dengan  sangat baik dibandingkan dengan jalan dan gedung-gedung tuanya.

Staf travel agent yang melayani saya
Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di tempat tujuan, yakni Seven Diamond Express Travel. co. ltd. Travel agent tersebut terletak di salah satu jejeran ruko di No 93, Thein Phyu Road. Botahtaung Township, Yangon. Sopir taksi memarkir mobil, membukakan pintu dan mempersilahkan saya masuk ke kantor travel agent tersebut. Saya disambut seorang lelaki tua berwajah Asia Timur mengenakan baju lengan pendek motif kotak-kotak berwarna biru lembut dipadu dengan longyi warna biru tua motif kota-kotak kecil. Lelaki tersebut sepertinya menyapa dan menanyakan maksud saya dalam bahasa setempat yang tidak saya pahami, sehingga saya hanya menanggapi dengan tersenyum dan mengangkat bahu. Melihat hal tersebut, seorang perempuan muda yang duduk dekat pintu masuk memempersilahkan saya masuk terus ke dalam dengan cara menunjuk ke lantai 2 kantor tersebut. Lelaki tua yang menyambut saya berjalan terlebih dahulu memandu saya ke dalam. Saya perhatikan ruang bawah kantor tersebut sepertinya berukuran 10 x 3 meter. Di sebelah kanan saya berjejer para staf travel agent yang sedang bekerja di komputer masing-masing. Sedangkan pada sisi kiri saya berjejer bangku panjang yang diperuntukkan bagi tamu yang menunggu giliran. Di depan masing-masing meja karyawan disediakan 1 kursi bagi tamu yang langsung berhadapan dengan karyawan yang melayani penjualan tiket. Pada ujung ruangan di sudut bagian dalam, duduk seorang lelaki yang juga berwajah Asia Timur berusia sekitar 35 tahun yang saya duga adalah manajer travel agent tersebut dari gaya pakaian serta meja yang dilengkapi kursi kantor yang terpisah dari staf lainnya. Lelaki tersebut duduk menghadap tangga ke lantai 2 yang akan saya lalui. Saat tiba di depan tangga ke lantai 2 yang terletak sekitar 1, 5 meter dari meja manajer tersebut, sang manajer  berbicara dengan lelaki tua yang mengantar saya. Setelah itu, lelaki tua tersebut dengan menggunakan bahasa isyarat meminta saya melepas dan meninggalkan sandal saya di bawah tangga. Saya perhatikan si lelaki tua juga tidak memakai alas kaki sama sekali. Saya teringat banyak sandal dan sepatu terletak di depan pintu masuk kantor tersebut yang saya duga adalah milik para karyawan dan tamu travel agent tersebut.

Tiket seharga 105 dollar US
Saya terus mengikuti lelaki tua tersebut menaiki tangga ke lantai 2 setelah melepaskan dan meninggalkan sandal. Saya langsung dibawa menuju seorang karyawan perempuan berwajah khas campuran bule dengan rambut pirang bergelombang. Memperhatikan warna rambutnya, saya berkesimpulan warna tersebut adalah warna buatan menggunakan zat pewarna sebagaimana yang juga dijual di Jakarta. Saya dipersilahkan duduk di depan karyawan tersebut yang fasih berbahasa Inggris. Saya mengutarakan kebutuhan mendapatkan tiket pesawat ke Bagan. Karyawan tersebut menginformasikan ke saya beberapa maskapai yang menjalani rute Yangon - Bagan PP. "I am looking the cheapest one for you" kata karyawan tersebut sambil tersenyum ramah. "that's great, thanks a lot, balas saya. Dia kemudian menelpon beberapa kali setelah itu kembali berbicara dengan saya. "the cheapest flight is Mandalay Airways. However, it won't operate tomorrow". Another flight is Bagan Air, but the price is higher". "I am okay with any flights and prices, balas saya. "okay sir, wait for a moment please, balasnya lalu  mulai menelpon lagi. Setelah telpon diletakan, dia menginformasikan harga yang harus saya bayar, yakni 105 dollar ditambah 1000 kyat untuk airport tax. Jika tidak punya kyat, maka airport tax bisa dibayar menggunakan dollar juga. "okay, you can proceed further", kata saya. Karyawan tersebut lalu memanggil seorang rekan kerjanya kemudian berbicara dalam bahasa Myanmar. Sambil menunggu, saya mengamat-amati kantor tersebut. Panjang dan lebarnya sama dengan ruangan bawah yang telah saya lewati sebelumnya.

Hampir semua karyawan di ruangan tersebut, keduanya perempuan dan laki-laki mengenakan longyi. Beberapa dari mereka juga memakai bedak dingin khas Myanmar yang kemudian saya ketahui namanya adalah tanaka. Seorang karyawan lelaki yang duduk dekat dengan rekan perempuannya yang sedang mengurus tiket saya, terlihat duduk melipat kakinya ke atas kursi yang sedang diduduki sambil sesekali melirik saya, mungkin berpikir tentang asal usul saya yang berwajah sama dengan dia, namun hanya bisa berbicara bahasa Inggris :). Singkat cerita, saya mendapatkan tiket yand saya butuhkan, sambil tersenyum lebar, saya mengucapkan terima kasih lalu bangun dari tempat duduk saya menuju ke lantai bawah terus ke luar menuju taksi. Lelaki tua tersebut terus menemani saya sampai di taksi. Pada saat saya akan memasuki taksi, dengan bahasa isyarat lelaki tua tersebut meminta duit. Saya agak kaget, namun dengan ramah saya mengambil 500 kyat lalu menyerahkan pada lelaki tua tersebut. Dia menerimanya sambil tersenyum. Tangannya bergerak menutup pintu taksi kemudian beranjak pergi. Saya mengatakan kepada sopir taksi agar kami mencari makan siang di restoran yang menjual makanan khas Myanmar.

Makanan khas Myanmar
Sepertinya taksi mengarah ke pinggiran kota, karena makin sedikit bangunan bertingkat serta makin  banyak pepohonan di jalan-jalan yang kami lalui. Taksi juga bergerak mendaki ke arah perbukitan. Saya tidak menanyakan nama tempat tujuan, karena saya yakin tidak akan mengingat nama tersebut serta menuliskannya, karena ucapan dan tulisan kadang berbeda jauh. Sekitar 10 menit sejak berangkat dari kantor travel agent, kami tiba di suatu tempat yang sangat ramai di jam makan siang tersebut. Taksi di parkir di sebelah jalan berjejer dengan taksi dan  mobil lain yang telah parkir terlebih dahulu. Seorang tukang parkir mengatur mobil-mobil yang berjejeran di tempat tersebut, termasuk taksi yang saya gunakan. Sopir taksi mempersilahkan saya menuju restoran tersebut.  Dari luar terlihat restoran tersebut penuh, ramai dan sibuk. Saya terus berjalan ke dalam restoran mencari meja kosong. Seorang pelayan restoran menghampiri saya dan mengarahkan saya ke satu meja kosong yang sedang dibersihkan rekannya. Pada saat saya duduk, seorang pelayan restoran membawakan menu dan sepiring  besar berbagai jenis sayuran yang disusun melingkar dalam piring tersebut mengikuti bentuk bulat piringnya. Kumpulan sayuran tersebut terlihat seperti sayur pecel dalam kuliner Jawa. Di tengah-tengah piring sayuran diletakan 1 mangkuk bulat berisi sejenis kari yang dugaan saya dimakan dengan sayuran tersebut. Selain itu, saya juga diberi  1 mangkuk kecil kuah yang diberi gingseng dan kacang yang rasanya agak asam seperti sayur asam. Untuk lauk pauk, pengunjung dipersilahkan memilih sendiri beragam daging dan ikan yang telah tersedia dalam berbagai mangkuk kecil di bagian tengah antara dapur dan ruang makan. Saya beranjak ke jejeran mangkuk yang dijaga oleh puluhan perempuan dan laki-laki  muda yang semuanya mengenakan longyi warna hijau muda motif kotak-kotak serta baju lengan pendek berwarna putih. Saya memilih kari ayam, sayur bayam dan ikan kecil-kecil yang digoreng garing - seperti ikan dari danau Maninjau di restoran padang, namun ukurannya lebih besar. Saat saya makan, rasanya gurih. Lauk pilihan saya tersebut dipanasin terlebih dahulu sebelum diantar ke meja saya. Selesai memilih saya kembali ke meja saya dimana seorang pelayan mengantar nasi dalam tempat nasi bulat berbahan stainless - yang disusul dengan lauk pesanan saya. Sekitar 45 menit saya habiskan di restoran tersebut menikmati makanan khas Myanmar - yang mana bumbunya tidak terlalu terasa seperti makanan Indonesia atau Thailand. Selesai makan, saya beranjak ke kasir membayar makanan dan minuman yang telah saya habiskan. Total yang saya bayar adalah 8000 kyat atau sekitar 96.000 rupiah.

Bersambung ke Bagian III : Pagoda Sule, Botahtaung, Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda

Rabu, 03 September 2014

MYANMAR: Once Upon A Time. Bagian I - Perjalanan Jakarta - Bangkok - Yangon / Rangon

Pagoda Shwedagon dari Jendela Hotel Clover di malam hari
Saya punya 2 impian saat kelas 6 SD setelah mengikuti pelajaran sejarah dunia - yakni jalan-jalan ke London untuk melihat Big Ben dan GMT serta ke Myanmar, negeri ribuan pagoda dan bhiksu. Kedua impian masa kecil tersebut akhirnya terpenuhi. Perjalanan ke London telah saya lakukan pada tanggal 22 - 24 Agustus 2013 (lihat catatan perjalanan sebelumnya tentang London). Sedangkan perjalanan ke Myanmar baru terlaksana pada tanggal 25 - 30 Agustus 2014. Karena itu, perjalanan ke Myanmar adalah suatu siarah batiniah suatu impian yang sangat saya nikmati dan jiwai. Terasa seperti air yang melepaskan dahaga bertahun-tahun menyimpan impian tersebut sejak berumur 11 tahun.

Sebagaimana semua perjalanan saya ke berbagai pelosok tempat di Indonesia maupun dunia, rencana perjalanan ke tempat-tempat kunjungan tersebut saya siapkan dengan matang minimal 6 bulan sebelum perjalanan dilakukan. Dalam periode persiapan, saya mengecek semua informasi yang saat ini telah tersedia di internet dan dapat diakses secara bebas setiap waktu. Informasi pertama yang saya cari dan pelajari adalah tempat-tempat wisata di kota / negara yang akan saya kunjungi. Setelah itu daftar tempat kunjungan saya siapkan disusul pencarian hotel yang dekat dengan salah satu tempat kunjungan utama atau yang mudah diakses menggunakan sarana transportasi publik seperti kereta atau bis.

Pemandangan daratan Myanmar
Untuk kunjungan ke Myamar, saya membaca semua informasi online yang tersedia, terutama yang tertulis di www.wikitravel.com dan www.tripadvisor.com. Beberapa blog yang mengulas tentang Myanmar juga saya kunjungi dilanjutkan dengan melakukan komunikasi email ke penulis blog. Hal tersebut saya lakukan karena mempertimbangkan Myanmar sebagai salah satu negara yang baru terbuka untuk turis sehingga tidak banyak informasi yang tersedia. Dari berbagai informasi yang saya peroleh, saya memutuskan berkunjung ke 3 tempat di Myanmar, yakni Yangoon, Bagan dan Mandalay. Setelah itu, saya mulai mencari informasi tentang pengurusan visa, melakukan booking hotel dan mencari tiket pesawat dari Jakarta ke Myanmar secara langsung ataupun dari Jakarta via kota/negara lain seperti melalui Kuala Lumpur atau Singapore atau Thailand.

Pada saat pencarian informasi tentang pengurusan visa secara online, saya menemukan situs www.visamyanmar.com yang menyediakan jasa pengurusan visa untuk mendapatkan visa on arrival di salah satu airport, yakni Yangoon atau Mandalay yang merupakan airport penerbangan internasional masuk dan keluar Myanmar. Sebelumnya saya telah mendengar dari media massa Indonesia bahwa akan ada perjanjian bebas visa antara Myanmar dan Indonesia. Saya mencoba menelpon ke kedutaan Myanmar untuk mendapatkan kepastian informasinya. Sayangnya telepon saya selama beberapa kali tidak mendapatkan respons alias tidak ada yang mengangkat. Akhirnya saya memutusakan untuk menggunakan jasa pelayanan visa online berbayar sebesar 95 $Singapura ditambah pajak menjadi 101$ Sing. Keputusan yang salah karena 1 minggu setelah melakukan pembayaran menggunakan jasa pembayaran paypal, saya bisa menghubungi kedutaan Myanmar di Jakarta yang memberikan informasi bahwa perjanjian bebas visa untuk kunjungan 14 hari antara Indonesia dan Myanmar  mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2014. Saat saya menghubungi penyedia jasa online dan menginformasikan tentang hal tersebut, penyedia jasa yang bermarkas di Yangoon hanya bersedia mengembalikan 30$Sing dengan berbagai alasan. Saya hanya pasrah karena nasi telah menjadi bubur. Keinginan menggebu-gebu mengunjungi Myanmar menyebabkan saya terburu-buru mengurus visa yang sebenarnya tidak perlu lagi karena sebagai bagian dari negara-ASEAN, Myanmar telah memberlakukan bebas visa bagi warga Negara Indonesia yang berkunjung dalam periode 14 hari. Demikian juga sebaliknya. 

Booking hotel di 3 kota di Myanmar tidak sulit, karena kunjungan saya di bulan Agustus bukanlah musim liburan sehingga banyak hotel yang tidak fully booked menurunkan harga kamarnya. Harga normal hotel bintang 3 di musim liburan di Myanmar rata-rata seharga hotel bintang 5 di Jakarta. Melalui www.booking.com, tripadvisor.com dan agoda.com, saya membandingkan jenis kamar dan harganya dari berbagai hotel di 3 kota yang akan saya kunjungi, termasuk membaca review para tamu sebelumnya yang dipublikasikan oleh web-web tersebut. Akhirnya, saya membooking hotel Clover di Yangoon, hotel Zfretti di Bagan dan hotel Rama Mandalay di Mandalay. Di Yangoon, saya mengambil kamar hotel deluxe. Untuk kamar deluxe dengan view pagoda Shwedagon yang terkenal itu, saya harus menambah 10$US sehingga total harga kamar per malam adalah 95$US setara 9.500 Kyat (mata uang Myanmar - diucap Chaat) atau setara 1.140.000 rupiah dengan kurs 12.000 rupiah per 1 $US. Saya hanya mengambil 1 malam dengan pertimbangan saya akan berangkat ke Bagan menggunakan bis malam pada tanggal 26 malam yang akan tiba di Bagan pada tanggal 27 pagi. Keputusan yang kemudian berubah setelah tiba di Yangoon, yakni berangkat ke Bagan pada tanggal 26 pagi menggunakan pesawat Bagan Air. Harga kamar hotel Zfreeti di Bagan adalah 50 $US per malam. Melalui www.booking.com, saya membooking 1 malam saja, namun ternyata saya kemudian memutuskan menghabiskan 2 malam di Bagan. Untuk itu saya harus menambah 5 $US untuk 1 malam. Harga yang sama saya dapatkan pada kamar di hotel Rama Mandalay yakni 50 $US per  malam. Total keseluruhan biaya hotel di Myanmar adalah 95 $US (1 malam) di Yanggon + 105 $US di Bagan (2 malam) + 100 $US di Mandalay = 300 $US setara 3.600.000 rupiah untuk 5 malam 6 hari di Myamar. 

Saya memutuskan masuk ke Myamar melalui Bangkok, karena itu saya lalu mencari penerbangan murah Bangkok - Yangon pada tanggal 25 Agustus 2014. Penerbangan paling murah yang tersedia adalah Air Asia seharga 65 $US. Sedangkan pulangnya saya memutuskan keluar melalui Mandalay ke Bangkok dengan harga tiket 79 $US. Sebenarnya tiket Air Asia lebih murah jika dibeli 2 atau 3 bulan di muka, yakni tiket promo Mandalay - Bangkok seharga 50 $US. Dari Yangon malah lebih murah yakni seharga 30 dollar. Namun untuk itu, saya harus kembali dari Mandalay ke Yangon menggunakan bis seharga 18 dollar atau menggunakan pesawat seharga 95 dollar. Jatuhnya akan lebih mahal, karena walau dari kalkulasi biaya menggunakan bis kembali ke Yangon dari Mandalay bersama tiket pesawat akan lebih murah, namun saya kehilangan waktu dan juga pasti kelelahan menempuh perjalanan darat Mandalay-Yangon sekitar 10 jam. Oleh karena keputusan pembelian tiket Mandalay - Bangkok saya lakukan 2 minggu sebelum keberangkatan dari Jakarta ke Bangkok, maka harga tiket yang saya peroleh adalah 79 $US tersebut alias lebih mahal 29 $US dari harga promo 3 bulan sebelumnya saat saya mengintip-intip penjualan tiket online Airasia di bulan Mei 2014. 

Salah satu bagian Yangon 
Setelah semua persiapan selesai, saya lalu berangkat pada tanggal 23 Agustus 2014 menggunakan pesawat Garuda penerbangan Jakarta - Bangkok. Saya menghabiskan 2 malam di hotel Ibis Sathorn Bangkok yang saya gunakan mengungjuni beberapa tempat di Bangkok, termasuk ke tempat shopping terkenal, yakni Platinum dan Chatuchak, kemudian terbang ke Myanmar pada tanggal 25 Agustus pagi. Penerbangan Air Asia ke Yangon dilakukan dari Airport Don Muang di Bangkok pada jam 7 pagi. Saya memutuskan menginap di Hotel Ibis Sathorn karena mendapatkan harga promo kamar per malam 350.000 rupiah (tanpa sarapan) dan juga karena akses transportasi ke stasiun MRT Lumpini sangat dekat (hanya butuh jalan kaki sekitar 7 menit). Oleh karena penerbangan Air Asia dari Bangkok ke Yangon dilakukan pada jam 7 pagi, maka saya menggunakan taxi dari hotel ke airport pada jam 5 subuh. Pada malam sebelumnya saya telah melakukan online check in sehingga memudahkan saya saat tiba di bandara Don Muang. Taxi meter dari Hotel Ibis Sathorn ke Don Muang di subuh hari hanya 200 bath atau sekitar 80ribu rupiah. Di siang hari bersama biaya toll dan surcharge, biaya taxi sekitar 300 bath atau sekitar 120 ribu rupiah dari airport Don Muang ke Lumphini atau sebaliknya. Lama penerbangan Bangkok - Yangon adalah 1jam 30 menit. Namun karena waktu di Myanmar lebih lambat 30 menit dari waktu di Bangkok dan Jakarta, maka pesawat mendarat di Bandara Internasional Yangon pada jam 8 pagi alias waktu tempuh Bangkok - Yangon adalah 1 jam.

Bandara Internasional Yangon telah sedikit modern. Ruang kedatangan terletak di lantai 1 sehingga para penumpang menggunakan eskalator ke ruang pemeriksaan passport maupun konter visa on arrival di lantai dasar. Pada saat saya akan menjejakan kaki ke eskalator, listrik padam sehingga para penumpang yang akan ke lantai dasar ataupun yang telah berada di eskalator melanjutkan dengan turun secara manual alias berjalan kaki. Saya hanya tersenyum dan berucap dalam hati "welcome to Yangoon". Tiba di lantai dasar, saya masuk ke salah satu antrian yang telah ada ke konter pemeriksaan passport yang dikelompokan menjadi 3, yakni pemeriksaan passport warga negara Myanmar, warga asing dan pemeriksaan passport kalangan diplomatik. Antriannya tidak terlalu panjang, namun gerak maju antrian sangat lambat. Telah lebih dari 30 menit di antrian yang saya ikuti, namun terasa macet dan tidak pernah bergerak maju. Penasaran dengan situasi tersebut, saya lalu mengintip konter guna mengetahui penyebab kelambatan tersebut. Ternyata oh ternyata 2 petugas perempuan yang bekerja di konter yang akan saya lewati sedang bekerja sambil ngobrol dan ketawa-ketiwi. Karena itu, pemeriksanaan 1 passport membutuhkan waktu sekitar 5 7 menit. Sementara di antrian lain, gerak maju antrian lebih cepat. Sekali lagi saya tersenyum dan berkata dalam hati "welcome to Myanmar". Yah sejak berencana mengunjungi Myanmar, saya telah menyiapkan mental untuk menghadapi situasi-situasi tidak terduga, karena memaklumi kondisi negara yang sangat tertutup berpuluh tahun lamanya. Beruntunglah ada seorang petugas berseragam putih (celana dan baju putih) - petugas konter berseragam coklat kehitaman - mencoba mempercepat antrian saya dengan memindahkan beberapa pengantri ke konter-konter bagi warga Myanmar yang kosong karena tidak banyak warga Myanmar yang kembali ke negaranya menggunakan pesawat yang sama dengan saya. Selesai memeriksa dan mencap passpor saya, petugas menyerahkan kembali sambil tersenyum ramah. Saya membalas tersenyum dan mengangguk sambil mengambil passport lalu mengucapkan terima kasih dan berjalan ke luar.

Para perempuan mengenakan longyi (longji)

Setelah melewati konter pemeriksaan passport, saya berjalan ke luar area tersebut namun masih dalam gedung terminal kedatangan. Saya berjalan ke pintu keluar yang berada di sebelah kanan saya. Sebelum tiba di pintu keluar, saya harus melalui konter penjualan tiket taxi dan juga penukaran uang. Saya berhenti sejenak di konter penjualan tiket taxi yang dijaga dua perempuan muda mengenakan kain tradisional Myanmar yang disebut "longyi" (diucap longji). Satu diantara kedua perempuan tersebut menggunakan bedak dingin yang disebut "tanaka" berwarna kekuningan - di kampung saya, bedak sejenis sering digunakan para perempuan saat ke sawah di musim tanam maupun menuai. Namun di Myanmar, bedak tersebut digunakan secara umum oleh para perempuan dan laki-laki, terutama laki-laki muda - yang menggunakannya di rumah ataupun tempat kerja merupakan bagian dari tradisi dan budaya Myanmar. Longyi juga masih digunakan mayoritas penduduk Myanmar di rumah maupun tempat kerja - saya melihat tersebut di airport, jalan, restoran, hotel (terutama di Bagan dan Mandalay) serta juga di kantor agen penjualan tiket. Longyi perempuan lebih kaya motif dan warna dibanding longyi laki-laki yang bermotif / corak kotak-kotak semata. Harga longyi laki-laki berkisar antara 4 - 8 dollar per potong atau 4000 - 8000 kyat. Saat saya membeli beberapa potong di Bagan sebagai oleh-oleh balik ke Jakarta, saya mendapatkan harga 5000 kyat setelah tawar menawar dengan ibu-ibu yang menjual longyi tersebut. 

Shwedagon Pagoda di siang hari
Dari konter penukaran duit, saya lalu kembali ke konter taksi yang berjarak sekitar 5 meter. Saya menyerahkan 8.000 kyat lalu menerima tiket taxi. Lelaki penghubung yang telah berbicara dengan saya sebelumnya mengambil alih koper saya, berjalan keluar area kedatangan lalu menyerahkan koper tersebut ke sopir taxi yang menunggu di luar pintu airport. Lelaki penghubung berbicara dalam bahasa mereka - mungkin mengatakan hotel tujuan, lalu saya dipersilahkan masuk taksi dan taxi pun berjalan keluar lingkungan airport. Jalan dari airport ke hotel di tengah kota Yangon ternyata mengalami kemacatan di beberapa tempat. Membunuh waktu di tengah kemacetan kota Yangon, saya mengamat-amati situasi sekeliling jalan yang dilalui taksi yang saya gunakan. Sepertinya jumlah taksi lebih banyak daripada jumlah bis ataupun mobil pickup yang telah diberi tempat duduk dan dijadikan mobil angkutan umum (sama seperti di Kupang pada kunjungan terbaru saya ke kota kelahiran). Bedanya, pickup yang digunakan di Yangon terlihat telah dimakan usia alias telah tua dan bulukan. Sama seperti kondisi segelintir bis yang lalu lalang di jalanan yang dilalui taxi saya. Jika di Indonesia, kendaraan berjalan di sebelah kiri jalan, maka di Myanmar, kendaraan berjalan di sebelah kanan. Ada mobil yang setirnya terletak di kiri, namun ada juga yang ada di bagian kanan. Para penumpang (perempuan dan laki-laki) yang menumpang pick up maupun orang-orang yang berlalu lalang di jalananan semuanya menggunakan longyi. Sebagian besar juga masih nyirih :), terlihat dari gerakan mulut, warna bibir dan meludah di jalanan. Kondisi yang hampir sama dengan di NTT, terutama pulau Timor pada tahun 90an.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup mengesankan tersebut, saya akhirnya tiba di hotel. Sambil tersenyum, seorang petugas hotel membuka pintu taxi dan menyapa saya menggunakan 2 bahasa, yakni Myanmar dan Inggris. Mingalaba (Myanmar) dan welcome (Inggris), demikian ucapnya tersenyum ramah. Saya membalas tersenyum dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris. Saya diarahkan ke meja resepsionis yang dijaga 2 perempuan dan 1 laki-laki muda. Seorang staf perempuan meminta passport saya lalu mengecek copy dokumen yang tersedia di laci meja resepsionis, mencocokan identitas di passport saya dengan print out bookingan yang dipegangnya. Karena teringat informasi online tentang kamar dengan jendela view pagoda, maka saya menanyakan apakah saya bisa mendapatkan kamar dengan view pagoda. Petugas penerima menjawab bahwa saya bisa mendapatkan kamar tersebut dengan tambahan biaya 10 $US. Saya mengiyakan lalu membayar biaya tambahan tersebut. Sementara urusan administrasi penginapan diselesaikan, seorang staf lain membawakan jus jeruk dingin dan sapu tangan handuk untuk membasuh muka dan tangan. Setelah proses administrasi selesai, saya lalu menanyakan apakah saya bisa mendapatkan mobil rental dan berapa harganya untuk berkeliling Yangon hingga malam, termasuk mampir ke tempat makan siang. Staf yang mengurus administrasi saya mengatakan mereka bisa menghubungi taksi dengan tarif 6000 kyat / 6 dollar per jam. Staf hotel lalu mengeluarkan peta kota Yangoon dan menanyakan tempat-tempat mana yang akan saya kunjungi. Saya lalu memberi nomor pada tempat-tempat di peta yang akan saya kunjungi, yakni 7 tempat - yang akan ditutup dengan kunjungan ke Pagoda terbesar dan terkenal di Yangon, yakni Shwedagon yang terletak dekat hotel. Sambil memperlihatkan tempat-tempat yang telah saya tandai tersebut, saya meminta staf hotel menegosiasikan penurunan harga sewa per jam karena saya akan menggunakan mobil tersebut sampai dengan malam hari. Saya juga meminta sopir yang bisa berbahasa Inggris serta makan siang di restoran yang menyediakan makanan khas Myanmar. Setelah semuanya selesai, saya lalu beranjak ke kamar di lantai 6 diantar seorang staf hotel.

Shwedagon Pagoda dari jendela kamar hotel Clover di Yangon
Kamar yang saya tempati ternyata cukup luas. Selain tempat tidur ukuran king size, kamar juga dilengkapi seperangkat sofa dan meja. Fasilitas lainnya adalah fasilitas standar hotel berbintang seperti TV layar datar, pemasak air, kulkas dll. Sandal mandi juga tersedia. Penasaran dengan view pagoda melalui jendela kamar, saya lalu beranjak membuka tirai jendela dan mendapatkan kenyataan bahwa pagoda nun jauh di cakrawala. sekitar 2 atau 3 kilometer jauhnya dari hotel. Pandangan ke pagoda agak terhalang oleh bangunan lain berjarak sekitar 100 meter dari jendela tempat saya berdiri. Walau demikian, saya masih bisa memandang dan mengagumi pagoda berwarna keemasan di kejauhan. Saya mengambil kamera dan mengabadikan hal tersebut. Saya tidak perlu menyesali 10 dollar tambahan yang telah saya bayarkan untuk mendapatkan kamar ini. Buat apa disesali, tidak ada gunanya kata para tetua. Pelajarannya adalah jangan terlalu percaya pada promosi online dalam bentuk gambar karena gambar online dan kenyataan bisa berbeda. Walau view pagoda diperoleh, namun view tersebut tidak sama dengan imaginasi saat melihat gambar online. Keteledoran saya yang lain adalah tidak memeriksa kamar saya terlebih dahulu untuk memastikan saya mendapatkan view yang setimpal dengan duit yang saya bayarkan.

Bersambung kebagian II: Yangon 


JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...