Rabu, 03 September 2014

MYANMAR: Once Upon A Time. Bagian I - Perjalanan Jakarta - Bangkok - Yangon / Rangon

Pagoda Shwedagon dari Jendela Hotel Clover di malam hari
Saya punya 2 impian saat kelas 6 SD setelah mengikuti pelajaran sejarah dunia - yakni jalan-jalan ke London untuk melihat Big Ben dan GMT serta ke Myanmar, negeri ribuan pagoda dan bhiksu. Kedua impian masa kecil tersebut akhirnya terpenuhi. Perjalanan ke London telah saya lakukan pada tanggal 22 - 24 Agustus 2013 (lihat catatan perjalanan sebelumnya tentang London). Sedangkan perjalanan ke Myanmar baru terlaksana pada tanggal 25 - 30 Agustus 2014. Karena itu, perjalanan ke Myanmar adalah suatu siarah batiniah suatu impian yang sangat saya nikmati dan jiwai. Terasa seperti air yang melepaskan dahaga bertahun-tahun menyimpan impian tersebut sejak berumur 11 tahun.

Sebagaimana semua perjalanan saya ke berbagai pelosok tempat di Indonesia maupun dunia, rencana perjalanan ke tempat-tempat kunjungan tersebut saya siapkan dengan matang minimal 6 bulan sebelum perjalanan dilakukan. Dalam periode persiapan, saya mengecek semua informasi yang saat ini telah tersedia di internet dan dapat diakses secara bebas setiap waktu. Informasi pertama yang saya cari dan pelajari adalah tempat-tempat wisata di kota / negara yang akan saya kunjungi. Setelah itu daftar tempat kunjungan saya siapkan disusul pencarian hotel yang dekat dengan salah satu tempat kunjungan utama atau yang mudah diakses menggunakan sarana transportasi publik seperti kereta atau bis.

Pemandangan daratan Myanmar
Untuk kunjungan ke Myamar, saya membaca semua informasi online yang tersedia, terutama yang tertulis di www.wikitravel.com dan www.tripadvisor.com. Beberapa blog yang mengulas tentang Myanmar juga saya kunjungi dilanjutkan dengan melakukan komunikasi email ke penulis blog. Hal tersebut saya lakukan karena mempertimbangkan Myanmar sebagai salah satu negara yang baru terbuka untuk turis sehingga tidak banyak informasi yang tersedia. Dari berbagai informasi yang saya peroleh, saya memutuskan berkunjung ke 3 tempat di Myanmar, yakni Yangoon, Bagan dan Mandalay. Setelah itu, saya mulai mencari informasi tentang pengurusan visa, melakukan booking hotel dan mencari tiket pesawat dari Jakarta ke Myanmar secara langsung ataupun dari Jakarta via kota/negara lain seperti melalui Kuala Lumpur atau Singapore atau Thailand.

Pada saat pencarian informasi tentang pengurusan visa secara online, saya menemukan situs www.visamyanmar.com yang menyediakan jasa pengurusan visa untuk mendapatkan visa on arrival di salah satu airport, yakni Yangoon atau Mandalay yang merupakan airport penerbangan internasional masuk dan keluar Myanmar. Sebelumnya saya telah mendengar dari media massa Indonesia bahwa akan ada perjanjian bebas visa antara Myanmar dan Indonesia. Saya mencoba menelpon ke kedutaan Myanmar untuk mendapatkan kepastian informasinya. Sayangnya telepon saya selama beberapa kali tidak mendapatkan respons alias tidak ada yang mengangkat. Akhirnya saya memutusakan untuk menggunakan jasa pelayanan visa online berbayar sebesar 95 $Singapura ditambah pajak menjadi 101$ Sing. Keputusan yang salah karena 1 minggu setelah melakukan pembayaran menggunakan jasa pembayaran paypal, saya bisa menghubungi kedutaan Myanmar di Jakarta yang memberikan informasi bahwa perjanjian bebas visa untuk kunjungan 14 hari antara Indonesia dan Myanmar  mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2014. Saat saya menghubungi penyedia jasa online dan menginformasikan tentang hal tersebut, penyedia jasa yang bermarkas di Yangoon hanya bersedia mengembalikan 30$Sing dengan berbagai alasan. Saya hanya pasrah karena nasi telah menjadi bubur. Keinginan menggebu-gebu mengunjungi Myanmar menyebabkan saya terburu-buru mengurus visa yang sebenarnya tidak perlu lagi karena sebagai bagian dari negara-ASEAN, Myanmar telah memberlakukan bebas visa bagi warga Negara Indonesia yang berkunjung dalam periode 14 hari. Demikian juga sebaliknya. 

Booking hotel di 3 kota di Myanmar tidak sulit, karena kunjungan saya di bulan Agustus bukanlah musim liburan sehingga banyak hotel yang tidak fully booked menurunkan harga kamarnya. Harga normal hotel bintang 3 di musim liburan di Myanmar rata-rata seharga hotel bintang 5 di Jakarta. Melalui www.booking.com, tripadvisor.com dan agoda.com, saya membandingkan jenis kamar dan harganya dari berbagai hotel di 3 kota yang akan saya kunjungi, termasuk membaca review para tamu sebelumnya yang dipublikasikan oleh web-web tersebut. Akhirnya, saya membooking hotel Clover di Yangoon, hotel Zfretti di Bagan dan hotel Rama Mandalay di Mandalay. Di Yangoon, saya mengambil kamar hotel deluxe. Untuk kamar deluxe dengan view pagoda Shwedagon yang terkenal itu, saya harus menambah 10$US sehingga total harga kamar per malam adalah 95$US setara 9.500 Kyat (mata uang Myanmar - diucap Chaat) atau setara 1.140.000 rupiah dengan kurs 12.000 rupiah per 1 $US. Saya hanya mengambil 1 malam dengan pertimbangan saya akan berangkat ke Bagan menggunakan bis malam pada tanggal 26 malam yang akan tiba di Bagan pada tanggal 27 pagi. Keputusan yang kemudian berubah setelah tiba di Yangoon, yakni berangkat ke Bagan pada tanggal 26 pagi menggunakan pesawat Bagan Air. Harga kamar hotel Zfreeti di Bagan adalah 50 $US per malam. Melalui www.booking.com, saya membooking 1 malam saja, namun ternyata saya kemudian memutuskan menghabiskan 2 malam di Bagan. Untuk itu saya harus menambah 5 $US untuk 1 malam. Harga yang sama saya dapatkan pada kamar di hotel Rama Mandalay yakni 50 $US per  malam. Total keseluruhan biaya hotel di Myanmar adalah 95 $US (1 malam) di Yanggon + 105 $US di Bagan (2 malam) + 100 $US di Mandalay = 300 $US setara 3.600.000 rupiah untuk 5 malam 6 hari di Myamar. 

Saya memutuskan masuk ke Myamar melalui Bangkok, karena itu saya lalu mencari penerbangan murah Bangkok - Yangon pada tanggal 25 Agustus 2014. Penerbangan paling murah yang tersedia adalah Air Asia seharga 65 $US. Sedangkan pulangnya saya memutuskan keluar melalui Mandalay ke Bangkok dengan harga tiket 79 $US. Sebenarnya tiket Air Asia lebih murah jika dibeli 2 atau 3 bulan di muka, yakni tiket promo Mandalay - Bangkok seharga 50 $US. Dari Yangon malah lebih murah yakni seharga 30 dollar. Namun untuk itu, saya harus kembali dari Mandalay ke Yangon menggunakan bis seharga 18 dollar atau menggunakan pesawat seharga 95 dollar. Jatuhnya akan lebih mahal, karena walau dari kalkulasi biaya menggunakan bis kembali ke Yangon dari Mandalay bersama tiket pesawat akan lebih murah, namun saya kehilangan waktu dan juga pasti kelelahan menempuh perjalanan darat Mandalay-Yangon sekitar 10 jam. Oleh karena keputusan pembelian tiket Mandalay - Bangkok saya lakukan 2 minggu sebelum keberangkatan dari Jakarta ke Bangkok, maka harga tiket yang saya peroleh adalah 79 $US tersebut alias lebih mahal 29 $US dari harga promo 3 bulan sebelumnya saat saya mengintip-intip penjualan tiket online Airasia di bulan Mei 2014. 

Salah satu bagian Yangon 
Setelah semua persiapan selesai, saya lalu berangkat pada tanggal 23 Agustus 2014 menggunakan pesawat Garuda penerbangan Jakarta - Bangkok. Saya menghabiskan 2 malam di hotel Ibis Sathorn Bangkok yang saya gunakan mengungjuni beberapa tempat di Bangkok, termasuk ke tempat shopping terkenal, yakni Platinum dan Chatuchak, kemudian terbang ke Myanmar pada tanggal 25 Agustus pagi. Penerbangan Air Asia ke Yangon dilakukan dari Airport Don Muang di Bangkok pada jam 7 pagi. Saya memutuskan menginap di Hotel Ibis Sathorn karena mendapatkan harga promo kamar per malam 350.000 rupiah (tanpa sarapan) dan juga karena akses transportasi ke stasiun MRT Lumpini sangat dekat (hanya butuh jalan kaki sekitar 7 menit). Oleh karena penerbangan Air Asia dari Bangkok ke Yangon dilakukan pada jam 7 pagi, maka saya menggunakan taxi dari hotel ke airport pada jam 5 subuh. Pada malam sebelumnya saya telah melakukan online check in sehingga memudahkan saya saat tiba di bandara Don Muang. Taxi meter dari Hotel Ibis Sathorn ke Don Muang di subuh hari hanya 200 bath atau sekitar 80ribu rupiah. Di siang hari bersama biaya toll dan surcharge, biaya taxi sekitar 300 bath atau sekitar 120 ribu rupiah dari airport Don Muang ke Lumphini atau sebaliknya. Lama penerbangan Bangkok - Yangon adalah 1jam 30 menit. Namun karena waktu di Myanmar lebih lambat 30 menit dari waktu di Bangkok dan Jakarta, maka pesawat mendarat di Bandara Internasional Yangon pada jam 8 pagi alias waktu tempuh Bangkok - Yangon adalah 1 jam.

Bandara Internasional Yangon telah sedikit modern. Ruang kedatangan terletak di lantai 1 sehingga para penumpang menggunakan eskalator ke ruang pemeriksaan passport maupun konter visa on arrival di lantai dasar. Pada saat saya akan menjejakan kaki ke eskalator, listrik padam sehingga para penumpang yang akan ke lantai dasar ataupun yang telah berada di eskalator melanjutkan dengan turun secara manual alias berjalan kaki. Saya hanya tersenyum dan berucap dalam hati "welcome to Yangoon". Tiba di lantai dasar, saya masuk ke salah satu antrian yang telah ada ke konter pemeriksaan passport yang dikelompokan menjadi 3, yakni pemeriksaan passport warga negara Myanmar, warga asing dan pemeriksaan passport kalangan diplomatik. Antriannya tidak terlalu panjang, namun gerak maju antrian sangat lambat. Telah lebih dari 30 menit di antrian yang saya ikuti, namun terasa macet dan tidak pernah bergerak maju. Penasaran dengan situasi tersebut, saya lalu mengintip konter guna mengetahui penyebab kelambatan tersebut. Ternyata oh ternyata 2 petugas perempuan yang bekerja di konter yang akan saya lewati sedang bekerja sambil ngobrol dan ketawa-ketiwi. Karena itu, pemeriksanaan 1 passport membutuhkan waktu sekitar 5 7 menit. Sementara di antrian lain, gerak maju antrian lebih cepat. Sekali lagi saya tersenyum dan berkata dalam hati "welcome to Myanmar". Yah sejak berencana mengunjungi Myanmar, saya telah menyiapkan mental untuk menghadapi situasi-situasi tidak terduga, karena memaklumi kondisi negara yang sangat tertutup berpuluh tahun lamanya. Beruntunglah ada seorang petugas berseragam putih (celana dan baju putih) - petugas konter berseragam coklat kehitaman - mencoba mempercepat antrian saya dengan memindahkan beberapa pengantri ke konter-konter bagi warga Myanmar yang kosong karena tidak banyak warga Myanmar yang kembali ke negaranya menggunakan pesawat yang sama dengan saya. Selesai memeriksa dan mencap passpor saya, petugas menyerahkan kembali sambil tersenyum ramah. Saya membalas tersenyum dan mengangguk sambil mengambil passport lalu mengucapkan terima kasih dan berjalan ke luar.

Para perempuan mengenakan longyi (longji)

Setelah melewati konter pemeriksaan passport, saya berjalan ke luar area tersebut namun masih dalam gedung terminal kedatangan. Saya berjalan ke pintu keluar yang berada di sebelah kanan saya. Sebelum tiba di pintu keluar, saya harus melalui konter penjualan tiket taxi dan juga penukaran uang. Saya berhenti sejenak di konter penjualan tiket taxi yang dijaga dua perempuan muda mengenakan kain tradisional Myanmar yang disebut "longyi" (diucap longji). Satu diantara kedua perempuan tersebut menggunakan bedak dingin yang disebut "tanaka" berwarna kekuningan - di kampung saya, bedak sejenis sering digunakan para perempuan saat ke sawah di musim tanam maupun menuai. Namun di Myanmar, bedak tersebut digunakan secara umum oleh para perempuan dan laki-laki, terutama laki-laki muda - yang menggunakannya di rumah ataupun tempat kerja merupakan bagian dari tradisi dan budaya Myanmar. Longyi juga masih digunakan mayoritas penduduk Myanmar di rumah maupun tempat kerja - saya melihat tersebut di airport, jalan, restoran, hotel (terutama di Bagan dan Mandalay) serta juga di kantor agen penjualan tiket. Longyi perempuan lebih kaya motif dan warna dibanding longyi laki-laki yang bermotif / corak kotak-kotak semata. Harga longyi laki-laki berkisar antara 4 - 8 dollar per potong atau 4000 - 8000 kyat. Saat saya membeli beberapa potong di Bagan sebagai oleh-oleh balik ke Jakarta, saya mendapatkan harga 5000 kyat setelah tawar menawar dengan ibu-ibu yang menjual longyi tersebut. 

Shwedagon Pagoda di siang hari
Dari konter penukaran duit, saya lalu kembali ke konter taksi yang berjarak sekitar 5 meter. Saya menyerahkan 8.000 kyat lalu menerima tiket taxi. Lelaki penghubung yang telah berbicara dengan saya sebelumnya mengambil alih koper saya, berjalan keluar area kedatangan lalu menyerahkan koper tersebut ke sopir taxi yang menunggu di luar pintu airport. Lelaki penghubung berbicara dalam bahasa mereka - mungkin mengatakan hotel tujuan, lalu saya dipersilahkan masuk taksi dan taxi pun berjalan keluar lingkungan airport. Jalan dari airport ke hotel di tengah kota Yangon ternyata mengalami kemacatan di beberapa tempat. Membunuh waktu di tengah kemacetan kota Yangon, saya mengamat-amati situasi sekeliling jalan yang dilalui taksi yang saya gunakan. Sepertinya jumlah taksi lebih banyak daripada jumlah bis ataupun mobil pickup yang telah diberi tempat duduk dan dijadikan mobil angkutan umum (sama seperti di Kupang pada kunjungan terbaru saya ke kota kelahiran). Bedanya, pickup yang digunakan di Yangon terlihat telah dimakan usia alias telah tua dan bulukan. Sama seperti kondisi segelintir bis yang lalu lalang di jalanan yang dilalui taxi saya. Jika di Indonesia, kendaraan berjalan di sebelah kiri jalan, maka di Myanmar, kendaraan berjalan di sebelah kanan. Ada mobil yang setirnya terletak di kiri, namun ada juga yang ada di bagian kanan. Para penumpang (perempuan dan laki-laki) yang menumpang pick up maupun orang-orang yang berlalu lalang di jalananan semuanya menggunakan longyi. Sebagian besar juga masih nyirih :), terlihat dari gerakan mulut, warna bibir dan meludah di jalanan. Kondisi yang hampir sama dengan di NTT, terutama pulau Timor pada tahun 90an.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup mengesankan tersebut, saya akhirnya tiba di hotel. Sambil tersenyum, seorang petugas hotel membuka pintu taxi dan menyapa saya menggunakan 2 bahasa, yakni Myanmar dan Inggris. Mingalaba (Myanmar) dan welcome (Inggris), demikian ucapnya tersenyum ramah. Saya membalas tersenyum dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris. Saya diarahkan ke meja resepsionis yang dijaga 2 perempuan dan 1 laki-laki muda. Seorang staf perempuan meminta passport saya lalu mengecek copy dokumen yang tersedia di laci meja resepsionis, mencocokan identitas di passport saya dengan print out bookingan yang dipegangnya. Karena teringat informasi online tentang kamar dengan jendela view pagoda, maka saya menanyakan apakah saya bisa mendapatkan kamar dengan view pagoda. Petugas penerima menjawab bahwa saya bisa mendapatkan kamar tersebut dengan tambahan biaya 10 $US. Saya mengiyakan lalu membayar biaya tambahan tersebut. Sementara urusan administrasi penginapan diselesaikan, seorang staf lain membawakan jus jeruk dingin dan sapu tangan handuk untuk membasuh muka dan tangan. Setelah proses administrasi selesai, saya lalu menanyakan apakah saya bisa mendapatkan mobil rental dan berapa harganya untuk berkeliling Yangon hingga malam, termasuk mampir ke tempat makan siang. Staf yang mengurus administrasi saya mengatakan mereka bisa menghubungi taksi dengan tarif 6000 kyat / 6 dollar per jam. Staf hotel lalu mengeluarkan peta kota Yangoon dan menanyakan tempat-tempat mana yang akan saya kunjungi. Saya lalu memberi nomor pada tempat-tempat di peta yang akan saya kunjungi, yakni 7 tempat - yang akan ditutup dengan kunjungan ke Pagoda terbesar dan terkenal di Yangon, yakni Shwedagon yang terletak dekat hotel. Sambil memperlihatkan tempat-tempat yang telah saya tandai tersebut, saya meminta staf hotel menegosiasikan penurunan harga sewa per jam karena saya akan menggunakan mobil tersebut sampai dengan malam hari. Saya juga meminta sopir yang bisa berbahasa Inggris serta makan siang di restoran yang menyediakan makanan khas Myanmar. Setelah semuanya selesai, saya lalu beranjak ke kamar di lantai 6 diantar seorang staf hotel.

Shwedagon Pagoda dari jendela kamar hotel Clover di Yangon
Kamar yang saya tempati ternyata cukup luas. Selain tempat tidur ukuran king size, kamar juga dilengkapi seperangkat sofa dan meja. Fasilitas lainnya adalah fasilitas standar hotel berbintang seperti TV layar datar, pemasak air, kulkas dll. Sandal mandi juga tersedia. Penasaran dengan view pagoda melalui jendela kamar, saya lalu beranjak membuka tirai jendela dan mendapatkan kenyataan bahwa pagoda nun jauh di cakrawala. sekitar 2 atau 3 kilometer jauhnya dari hotel. Pandangan ke pagoda agak terhalang oleh bangunan lain berjarak sekitar 100 meter dari jendela tempat saya berdiri. Walau demikian, saya masih bisa memandang dan mengagumi pagoda berwarna keemasan di kejauhan. Saya mengambil kamera dan mengabadikan hal tersebut. Saya tidak perlu menyesali 10 dollar tambahan yang telah saya bayarkan untuk mendapatkan kamar ini. Buat apa disesali, tidak ada gunanya kata para tetua. Pelajarannya adalah jangan terlalu percaya pada promosi online dalam bentuk gambar karena gambar online dan kenyataan bisa berbeda. Walau view pagoda diperoleh, namun view tersebut tidak sama dengan imaginasi saat melihat gambar online. Keteledoran saya yang lain adalah tidak memeriksa kamar saya terlebih dahulu untuk memastikan saya mendapatkan view yang setimpal dengan duit yang saya bayarkan.

Bersambung kebagian II: Yangon 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...