Senin, 29 September 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian III : Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung.

Menara Sule Pagoda dari Jl. Anawratta
 Where are we going now? tanya saya ke sopir taksi yang saya gunakan. "Sule Pagoda is not so far from here, so we are heading to the pagoda now, balas sopir sambil menjalankan mobil. Alright, balas saya. Sekitar 5 menit dari restoran, saya telah melihat puncak pagoda berwarna kuning emas tersebut. Terlihat megah dan terletak tepat di suatu perempatan. Sebelah kiri dan kanan jalan yang kami lalui dipenuhi bangunan-bangunan tua yang sepertinya difungsikan seperti ruko-ruko di Indonesia. Dari perempatan, taksi berbelok ke kanan menyusuri sisi kiri pagoda lalu berbelok lagi ke kiri hingga tiba di bagian depan kiri dekat pintu gerbang pagoda. Bagian luar pagoda dikeliling oleh jejeran kios yang sedang tutup sehingga saya tidak bisa mengintip apa yang dijual di kios-kios tersebut. Terdapat juga beberapa tempat penukaran uang terlihat dari papan nama yang tertempel di bagian atas luar beberapa kios yang tertutup. Taksi diparkir pada tempat parkir yang dipenuhi mobil berbagai tipe dan merek. Antara tempat parkir dan pagoda dipisah oleh suatu pertigaan yang sangat ramai. Di tempat tersebut terlihat banyak orang menunggu bis maupun yang menyeberang ke berbagai arah, termasuk ke Pagoda Sule. Berhadapan dengan tempat parkir yang dipisah jalan, terlihat satu bangunan megah berwarna putih yang sepertinya berfungsi sebagai kantor. Sepertinya bangunan tersebut peninggalan Inggris dilihat dari gaya arsitekturnya. Berhadapan dengan Pagoda Sule dalam jarak sekitar 300 meter yang dipisah oleh jalan raya terdapat suatu bangunan gereja berwarna putih

Saya menyeberang mengikuti para penyeberang lainnya saat terlihat jalan agak sepi. Sama seperti menyeberang di Jakarta, para penyeberang yang harus ektra hati-hati karena kendaraan yang lalu lalang tidak mengurangi kecepatannya sama sekali. Beruntunglah jalan di depan pagoda sedang macet sehingga saya bisa menyeberang dengan lebih nyaman walau harus selap-selip diantara mobil-mobil yang tertahan kemacetan. Di depan gerbang masuk pagoda, saya disambut beberapa perempuan penjual bunga yang mengenakan longyi dan wajahnya berhias bedak tanaka :). "Flower for Budha?, sapa seorang perempuan saat saya menapak memasuki gerbang. Saya menggeleng sambil tersenyum. Saya lalu membungkuk melepaskan sandal, seorang perempuan yang duduk di depan suatu tempat penyimpanan sandal dan sepatu meminta saya menaruh sandal di tempat tersebut. Setelah itu, perempuan tersebut mengarahkan saya ke loket tiket
Gereja yang berhadapan dengan Sule Pagoda
yang terletak di sisi kanan saya. Saya berjalan ke loket dan membeli tiket masuk seharga 3 dollar atau 3000 kyat. Setelah itu, saya lalu menaiki tangga-tangga dari gerbang masuk ke Pagoda Sule yang terletak di ketinggian.

Wikipedia menulis bahwa Sule Pagoda terletak di tengah-tengah kota Yangon. Pagoda ini memiliki peran penting dalam ideologi, ekonomi, geografi dan sejarah politik kontemporer Burma, termasuk menjadi tempat berkumpul para demonstran tahun 1988 dan 2007 yang dimotori para bhiksu. Sule Pagoda dibangun sebelum Shwedagon Pagoda. Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun pada masa Budha sehingga telah berusia 2500 tahun. Menurut legenda orang Burma, tempat dimana Sule Pagoda dibangun adalah rumah dari roh suci berkuasa penuh bernama Sularata (Sule Nat). Raja para roh suci yang bernama Sakka ingin membantu raja legendaris Okkalab membangun suatu tempat suci bagi peninggalan rambut suci
Salah satu kuil yang dibangun mengelilingi Sule Pagoda
Budha pada tempat yang sama dimana tiga peninggalan Budha telah dikuburkan. Sayangnya, Sakka tidak tahu secara pasti dimana peninggalan-peninggalan tersebut telah dikuburkan di masa lalu. Namun, Sule Nat yang telah sangat tua telah menyaksikan kejadian besar tersebut. Karena itu, para dewa, roh-roh suci, dan manusia berkumpul di sekitar raksasa Sule dan menanyakan lokasi yang akhirnya diingat olehnya.

Pagoda Sule dijadikan pusat kota Yangon oleh Letnan Alexander Fraser dari para insinyur Bengal yang membangun jalan yang terletak di Yangon segera setelah pendudukan Inggris pada pertengahan abad 19. Jalan tersebut pada awalnya dinamai Jalan Fraser, namun sekarang telah berganti nama menjadi Jalan Anawratta dan masih tetap menjadi salah satu jalan utama di Yangon. Pagoda Sule adalah satu pagoda bergaya Mon berbentuk segi delapan dengan panjang 7,315 meter, setinggi 43,891 meter. Ukuran tersebut diperluas oleh Ratu Shin Sawbu pada tahun 1453-1472. Disekitar Pagoda terdapat 10 lonceng perunggu dalam berbagai ukuran serta berisi catatan nama para penyumbang dan tanggal sumbangan tersebut diberikan.  Legenda lain menceritakan nama Sule berasal dari kata Su dan Le yang artinya semak berduri liar. Legenda lain menghubungkan nama tersebut ke kata Cula dalam bahasa Pali yang artinya kecil / ceti atau pagoda kecil. Setelah saya mengunjungi beberapa pagoda lainnya, maka kata Cula tersebut sepertinya memiliki kebenaran karena ukuran Pagoda Sule lebih kecil dari pagoda-pagoda lainnya, terutama Shwdagon tentunya.

Sule Pagoda yang diapit oleh kuil-kuil sekelilingnya 
Pada saat saya berkunjung, beberapa kuil yang mengeliling Pagoda sedang direnovasi. Walau demikian, umat Budha terus masuk dan keluar mendaraskan doa masing-masing di kuil-kuil yang belum atau telah selesai direnovasi. Dari pintu masuk, saya belok kiri menyusuri jalan kecil dari keramik yang memisahkan kuil-kuil dan bangunan berbentuk memanjang seperti asrama dengan Pagoda yang terletak di tengah. Saya terus berjalan memutari pagoda melihat-lihat, mengambil foto-foto sampai saya tiba kembali di pintu masuk. Saya lalu menuruni tangga menuju gerbang di bawah dekat jalan yang telah saya ceritakan di atas. Perempuan yang berjaga di tempat sepatu dan sandal saat saya masuk ternyata tidak berada ditempatnya. Saya lalu mengambil sandal saya, memasukan 1000 kyat ke kotak donasi yang tersedia lalu berjalan keluar kembali ke tempat parkir dimana taxi sedang menunggu.

Bagunan di sebelah depan kiri Sule Pagoda
Taksi keluar ke arah kanan dari tempat parkir yang berlawanan dengan arah kedatangan. Sesampainya diperempatan belakang Pagoda Sule, taksi belok kiri melewati berbagai bagunan tua bergaya Eropa yang sepertinya bangunan-bangunan peninggalan Inggris. Setelah itu, taksi belok kiri lagi menyusuri jalan raya yang memisahkan sungai Yangon di sebelah kanan dengan bangunan-bagunan tua didominasi warna merah bata di sebelah kiri. Menurut cerita sopir, bangunan-bangunan tersebut peninggalan Inggris yang dahulunya digunakan sebagai perkantoran karena kawasan yang kami lewati merupakan kawasan pelabuhan dagang pada zaman kolonial Inggris. Setelah melewati satu perempatan lagi, kami lewat di

Salah satu bangunan peninggalan Inggris
depan bangunan Pasar Bogyoke Aung San yang terkenal di kalangan para pelancong dan merupakan salah satu tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi saat melancong ke Yangon. Sayangnya, pasar tersebut tutup pada hari Senin, yakni hari dimana saya sedang mengelilingi kota Yangon saat itu. Karena itu saya tidak dapat mampir melihat-lihat kesibukan pasar sekaligus mencari longyi. Saat saya katakan ke sopir bahwa saya ingin mencari longyi, sopir mengatakan sebaiknya saya mencari dan membeli di Mandalay saja yang lebih murah (sopir tahu bahwa saya akan berkunjung ke Mandalay setelah Yangon dan Bagan). Why, tanya saya. It is cheaper because the longyi is produced in Mandalay, balas sopir.

Kami tiba di satu perempatan lain tak jauh dari Pasar Bogyoke Aung San. Taksi lalu berbelok ke
Pagoda Botahtaung
kanan menuju Pagoda Botahtaung yang telah terlihat dari perempatan. Cuaca saat itu tidak terlalu bersahabat karena sedang gerimis. Sampai di gerbang samping, taksi berhenti menurunkan saya. Saat akan keluar dari taksi, sopir menyodorkan payung. Saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menerima payung tersebut.  Sopir mengatakan mobil akan diparkir di sebelah jalan sambil menunjuk ke tempat lain berjarak sekitar 10 meter dari tempat saya turun. Saya mengiyakan lalu berjalan ke arah pintu masuk pagoda. Saat saya akan melepaskan sandal, seorang petugas meminta saya  menemui petugas lain yang berjaga di semacam pos yang terletak di sebelah kanan gerbang samping. Saya menuju pos tersebut, masuk dan berbicara sesaat dengan seorang petugas perempuan yang menanyakan asal saya. Kemudian, petugas menyodorkan tiket masuk seharga 3000 kyat. Saya membayar tiket tersebut lalu berjalan keluar pos mengarah ke pintu masuk pagoda. Sandal saya lepas di pintu masuk yang saya letakan berjejer dengan sandal-sandal lain yang telah berada di tempat tersebut. Sekali lagi saya menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang kemudian menaiki beberapa anak tangga menuju bangunan utama.

Bagian dalam Pagoda Botahtaung
Wikipedia menulis bahwa Botahtaung artinya 1000 pejabat militer (1000 military officers). Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun oleh suku Mon yang adalah salah satu suku Austronesia yang menyebarkan Agama Budha di Asia, termasuk Thailand dan Burma / Myanmar. Pagoda ini dibangun dalam waktu yang sama dengan Pagoda Shwedagon. Bangunan aslinya hancur total pada masa Perang Dunia II. Karena itu, pagoda yang sedang saya kunjungi saat ini merupakan pengganti bangunan aslinya. Sepertinya kompleks dan bangunan pagoda ini seukuran dengan Sule Pagoda, namun dinding-dindingnya seperti dilapisi lembaran emas dari bawah hingga langit-langit - yang diberi pengaman. Menurut legenda setempat, di Pagoda ini juga tersimpan rambut suci Budha. Ruangan-ruangan di bagian dalam berbentuk segitiga dimana di ujung segitiga beberapa ruangan terlihat 1 atau 2 umat sedang duduk bersila mendaraskan doa. Pada sisi lain di ujung ruangan yang diberi pembatas kawat tebal sebagai pengaman berjejer berbagai aset pagoda tersebut yang sepertinya terbuat dari batu jade, perunggu, perak dan emas. Sepertinya semua barang sangat berharga sehingga disimpan dalam lemari pengaman bisa dilihat namun tidak bisa dijamah oleh pengunjung. Satu demi satu ruangan berdiding emas berukir berbagai
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
motif tersebut saya telusuri mengagumi keindahan Pagoda tersebut. Sekitar 45 menit kemudian, saya telah tiba di pintu masuk berpapasan dengan pengunjung lain yang baru tiba dan sedang berjalan masuk. Saya keluar ke pelataran di bawah tangga mengambil beberapa foto lalu berjalan keluar ke arah kanan untuk melihat Pagoda tersebut dari sisi luarnya. Gerimis yang masih berlangsung tidak menghalangi saya mengitari Pagoda tersebut. Sisi luar kiri Pagoda diapit oleh semacam sekolahan yang bersebelahan dengan satu kuil.

Di belakang Pagoda terletak satu bangunan memanjang semacam bangsal atau tempat pertemuan. Beberapa orang terlihat sedang tiduran ataupun duduk-duduk lesehan dalam bangsal tersebut. Di luarnya disediakan 2 gentong air minum beserta beberapa mug. Karena masih gerimis, saya memutuskan duduk di teras luar bangsal dekat ke gentong air sambil mengamat-amati pagoda dan lingkungan sekelilingnya. Saya dihampiri seorang lelaki Burma mengenakan baju lengan pendek kotak-kotak putih dan ber-longyi. Saya diajak ngobrol berbahasa Inggris tentunya. Lelaki tersebut memperkenalkan asalnya dari
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
Mandalay. Saat saya bertanya bagaimana dia / menggunakan alat transportasi apa dari Mandalay ke Yangon, dengan tersenyum si lelaki menjawab hanya perlu semedi. Saya membalas senyumnya dan mengangguk-anggukan kepala, namun tidak percaya sama sekali akan jawabannya yang menurut saya tidak masuk akal. Dugaan saya ternyata benar, karena setelah ngobrol ngorol ngidul sekitar 5 menit, lelaki tersebut menawari saya untuk berkeliling Pagoda bersamanya - tentunya dengan imbalan pada akhirnya. Membaca indikasi tersebut - yang telah saya ketahui dari informasi-informasi online yang saya pelajari, maka dengan halus tawaran tersebut saya tolak, "thanks but i have already visited all of the rooms inside the Pagoda as well as its surroundings, I am ready to move to other pagoda, timpal saya. Mendengar jawaban saya, keramahannya langsung sirna dan dia pun ngeloyor pergi begitu saja.

Bangunan yang mengeliling Pagoda Botahtaung
Setelah gerimis agak reda, saya bangun dan berjalan ke arah sebelah kiri saya atau kanan Pagoda yang belum saya hampiri. Pada bagian ini hanya ada pagar berjarakan sekitar 20 meter dari bangunan Pagoda yang membatasi Pagoda dengan lingkungan sekitarnya. Pada bagian ujung depan pelataran digantung satu lonceng berukuran sedang. Saya mampir beberapa menit mengamat-amati lonceng tersebut sambil mengambil beberapa foto. Selesai dari situ, saya masuk kembali ke bangunan Pagoda melalui pintu kiri, berlawanan dengan pintu yang saya gunakan saat keluar ke sebelah kanan Pagoda. Saya terus berjalan ke gerbang luar lalu memakai kembali sandal yang saya tinggalkan saat akan masuk ke bangunan Pagoda sebelumnya. Dugaan saya, Pagoda ini hanya dikunjungi oleh turis lokal atau umat atau oleh turis Asia karena saya tidak melihat seorang pun turis bule berkeliaran di lingkungan tersebut. Atau mungkin karena lagi gerimis sehingga para turis pada malas berjalan-jalan. Pada saat saya mengitari bagian
Lonceng yang terletak di kanan depan Pagoda Botahtaung
luar Pagoda saya hanya melihat seorang pengunjung Asia yang juga melihat-lihat daerah sekitar karena dari gaya pakaian dan ransel serta payung yang dibawa terlihat bahwa orang tersebut bukan orang lokal.

Mata saya celingukan mencari taksi yang saya gunakan karena hampir semua mobil yang diparkir di tempat yang ditunjukin sopir sebelumnya berwarna putih. Mungkin melihat saya celingukan mencari mobil tersebut, sopir mobil berinisiatif mengendarai mobil ke arah saya. Saya lalu membuka pintu kiri dan masuk ke mobil tanpa menunggu sopir membukakan pintu sebagaimana yang telah dilakukannya di beberapa tempat terdahulu. "Where we going now", tanya saya setelah duduk santai di dalam mobil. We are heading to Ngar Htet Gyi Pagoda, balas sopir. OK, jawab saya.

Bersambung ke bagian IV:  Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...