Rabu, 30 Juli 2014

PARIS - Bagian IV: Jawaban Mengapa disebut City of Love / Kota Cinta.

Depan Katedral Notre Dame
Bagian IV : Notre Dame, Champs Elysees, Arc de Triomphe dan Ponts des Arts (Jembatan Cinta)

Karena saya tidak tahu secara pasti harus turun di stasiun mana yang terdekat ke Notre Dame, saya memutuskan turun di Saint Michel. Saat kepala saya nongol di atas tanah, kawasan sekeliling saya terlihat ramai dengan manusia yang berlalu lalang. Semuanya mengarah atau balik dari Notre Dame. Ya, Katedral tersebut tidak terlalu jauh dari stasiun Saint Michel. Saya berjalan perlahan menikmati suasana sekitar, termasuk melihat-lihat kios-kios souvenirs yang berjejer dari stasiun sampai dengan pertigaan jalan yang memisahkan Katedral dengan bangunan lainnya. Katedral tersebut berdiri kokoh di tepi sungai Seine. Untuk mencapai halaman Katedral dari stasiun Saint Michel saya harus menyeberang 2 kali karena Katedral tersebut diapit oleh pertigaan jalan yang seperti berbentuk T yang memisahkan Katedral dari kerumunan bangunan lain maupun kesibukan bisnis souvenir dan makanan di pinggir jalan lainnya. Halaman Katedral adalah tanah berwarna kekuningan bercampur pasir halus sehingga sangat berdebu jika angin bertiup bahkan sepoi-sepoi - seperti warna tanah liat di Indonesia. Depan Katedral
dibangun panggung berundak-undak seperti tangga yang memberikan tempat bagi para pengunjung duduk selonjor diatasnya menikmati bangunan Katedral dari luar. Setelah melihat-lihat halaman Katedral, saya bergabung dengan antrian para turis lain yang berjumlah sangat banyak sehingga antrian cukup panjang untuk memasuki Katedral. Pintu Katedral terdiri atas 3 berbentuk pintu berkubah/berkanopi yang berdiri kokoh di kiri, kanan dan tengah. Hanya 2 pintu yang dibuka dan digunakan, yakni bagian kiri dan kanan. Pintu sebelah kanan saya digunakan sebagai pintu masuk, sedangkan pintu sebelah kiri digunakan sebagai pintu keluar bagi para pengunjung. Ketiga pintu tersebut berukir para malaikat dan orang-orang suci dalam kepercayaan Khatolik. Semua pintu tersebut berkanopi dari lantai sampai dengan langit-langitnya dengan ketebalan sekitar 1 meter. Semuanya berwarna abu-abu. Sedangkan bangunan Katedral berwarna krem. Terlihat sangat indah dan megah luar biasa. Sepertinya tidak tersisa ruang kosong seinci pun dari pintu-pintu tersebut yang tidak dipahat dan diukir menggunakan suatu imajinasi seni tingkat tinggi.

Satu-satunya foto diri di dalam Notre Dame
Saya terus berjalan hingga tiba di dalam. Suasana dalam Katedral terasa syahdu dan religius. Tak ada suara dari para  pengunjung yang hilir mudik di dalam Katedral. Semuanya berjalanan dalam hening. Hanya lampu blitz kamera yang kadang berpendar. Suasana seperti ini saya temui juga di Katedral lainnya di negara Eropa lainnya. Kebanyakan pengunjung yang sedang duduk dalam keheningan atau sedang berdoa adalah generasi tua. Hanya sedikit anak muda yang terlihat duduk hening atau berdoa di depan Altar. Dinding-dinding Katedral dihias indah dalam selera seni tinggi. Lampu-lampu gantung yang dinyalakan tidak terlalu menyingkap suasana tamaram dalam Katedral - mungkin sengaja diatur demikian guna menghadirkan suasana religius. Para pengunjung secara tidak langsung dipaksa untuk tidak berisik ataupun bercakap-cakap satu sama lain. Saya terus berjalan ke arah belakang Altar. Ketika saya bertemu seorang pengunjung perempuan yang sedang memotret di dekat saya, saya meminta pengunjung tersebut meangabadikan 1 foto kenangan di dalam Notre Dame. Ya saya hanya punya 1 foto tersebut sebagai kenangan di dalam Katedral. Itupun agak buram karena kekurangan cahaya. Jendela-jendela kaca patri warna-warni berbentuk persegi, semi bulan dan bulat menghiasi dinding-dinding bangunan di kiri dan kanan hingga ke langit-langit. Selain memberikan keindahan, jendela-jendela tersebut juga
salah satu sisi kanan bagian dalam Notre Dame
memantulkan sinar matahari ke dalam Katedral yang memberi cahaya alami walau tidak terlalu terang seperti saat saya berada di luar bangunan. Bagian dalam Katedral terbagi dalam 3 blok besar, yakni kiri, kanan dan tengah. Blok kiri dan kanan berupa lorong yang pastinya digunakan umat dan para pejabat gereja atau bahkan raja dan ratu serta para pejabat pemerintah pada masa lalu untuk masuk dan keluar dari Katedral tersebut. Lorong tersebut sekarang digunakan oleh para pengunjung untuk masuk dan keluar. Bagian tengah merupakan aula tempat ibadah yang langsung menghadap Altar yang terletak di tengah-tengah sebelah belakang bagian dalam Katedral. Altar berada satu garis lurus dengan pintu masuk bagian tengah yang tertutup bagi para pengunjung. Di depan altar sampai 3/4 bagian ke arah pintu masuk tengah disediakan bangku-bangku kayu berwarna coklat pudar - yang
Lorong bagi umat dan pengunjung
merupakan ciri khas bangku gereja di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di sebelah blok kiri dan kanan dekat ke jendela-jendela kaca patri terdapat semacam kamar-kamar (chambers) berhiaskan lukisan maupun patung dilengkapi kursi atau bangku besi berwarna kehitaman. Tiang-tiang berwarna krem betemu di langit-langit membentuk kubah terlihat sangat kokoh dan artisitik karena berbentuk agak bulat dan seperti berlapis-lapis antara ukuran besar dan kecil yang menyatu bagaikan akar pohon yang jalin menjalin satu sama lain. Jalinan tersebut bertemu kembarannya membentuk kubah penopang langit-langit nun jauh di atas. Saya habiskan lebih dari 1 jam di dalam Katedral melihat berbagai karya seni yang terpampang indah di dalam Katedral Notre Dame. Pada salah satu bagian di sebelah kiri di bagian belakang setelah Altar, disediakan meja tempat lilin bersama lilin yang masih sedang menyala karena telah dibakar para pengujung terdahulu maupun lilin yang masih utuh untuk digunakan pengunjung lain. Lilin-lilin yang disediakan adalaah lilin-lilin seperti lilin aroma terapi berbentuk bulat pipih dalam wadah alumunium. Di samping meja lilin tersebut, tersedia kotak donasi. Saya mengambil satu lilin, membakarnya lalu hening sejenak dalam doa. Setelah selesai, lilin yang masih menyala tersebut saya letakan berdampingan dengan lilin pengunjung lain yang masih menyala. Saya mengambil 1 Euro dari dompet dan memasukannya ke dalam kotak donasi. Lalu saya berkeliling lagi menyusuri lorong yang mengarah ke pintu keluar.

Pilar-pilar di dalam Notre Dame
Nama lengkap Katedral ini adalah Notre Dame de Paris yang adalah bahasa Perancisnya Our Lady of Paris. Sepertinya ini sebutan kehormatan umat Khatolik Paris bagi Bunda Maria, karena saya melihat Patung Bunda Maria berdiri kokoh menggendong bayi Yesus di bagian depan Katedral Notre Dame. Konon, arsitektur Notre Dame merupakan salah satu arsitektur gothik terbaik Perancis. Notre Dame juga merupakan bangunan gereja terbesar dibanding bangunan gereja-gereja lainnya di dunia. Di dalam bangunan juga tersedia replika Katedral yang menceriterakan kilas balik bangunan tersebut selama beberapa abad sejak dibangun pada tahun 1163 dan selesai pada tahun 1345. Bangunan memiliki panjang 128 meter, lebar dan tinggi sama-sama berukuran 69 meter. Dari lantai bangunan  hingga puncak menara kembar terlihat seperti bangunan yang memiliki 3 1/2 lantai. Memiliki 387 anak tangga dari lantai dasar ke puncak menara. Tepat saat kunjungan saya, pengurus Katedral sedang merayakan ulang tahun Katedral. Untuk itu mereka menyediakan semacam liontin bulat dari logam berlapis emas atau perak seharga 5 Euro. Pembelian dilakukan dengan cara memasukan koin 5 Euro ke kotak yang disediakan. Sama seperti membeli minuman dingin di halte-halte transjakarta. Saat koin telah masuk, maka pembeli tinggal menekan tombol liontin yang dipilih, lalu liontin tersebut akan keluar dari lubang yang tersedia. Saya membeli 1 liontin sebagai kenang-kenangan :). Masih siang, namun langit Paris sedang berawan sehingga membawa kesejukan saat saya keluar dari Katedral. Pengunjung semakin banyak yang duduk di panggung yang disediakan di depan Katedral. Saya sempatkan mengambil beberapa foto kemudian mata mulai jelajatan mencari toilet. Petunjuk bertuliskan toilet dan tanda panah yang mengarahkan saya ke ruang bawah tanah di sebelah kiri bangunan Katedral. Saya lalu berjalan ke arah tersebut lalu menuruni tangga ke dalam tanah. Dalam perjalan tersebut, saya bertemu beberapa pengunjung lain yang berjalan ke atas sehingga saya yakin bahwa toilet tersebut berfungsi. Sesampainya didalam saya harus antri. Untunglah dilakukan pemisahan antara toilet perempuan dan laki-laki. Antrian ke toilet
Salah satu sudut berhiaskan kaca patri
laki-laki lebih sedikit dari antrian ke toilet perempuan. Terlihat beberapa suster mengawasi antrean dan mempersilahkan pengunjung menggunakan toilet yang kosong saat pengguna sebelumnya keluar. Setelah giliran saya selesai, saya lalu keluar lagi kembali ke atas tanah menghirup udara Paris. Setelah beristrahat sejenak di bawah kerindangan salah satu pohon di sebelah kiri depan Katedral, saya lalu melangkah keluar dari halaman Katedral. Saya menyeberang ke arah jejeran restoran dan kios-kios souvenir. Sudah saatnya saya belanja souvenir, pikir saya. Tiba di jalan yang dijejeri kios dan restoran-restoran tersebut, saya memutuskan untuk masuk dan menyusuri gang-gang yang ada di antara kios dan restoran-restoran tersebut. Tak apa-apa jika saya sesekali tersesat supaya bisa mengetahui seperti apa suasana kota ini di bagian belakangnya. Ternyata bagian belakang sama ramai dengan bagian depan. Saya terus berjalan menyusuri suatu gang hingga melewati sekitar 3 atau 4 blok bangunan yang didominasi kios souvenir dan restoran. Turis juga tak kalah ramai berlalu-lalang di gang tersebut. Karena tidak menemukan tempat yang cukup sepi dari turis, akhirnya saya memutuskan berjalan balik ke arah Katedral guna kembali ke stasiun yang saya perkirakan ada di sebelah kiri saya. Setelah tiba kembali ke jalan besar, ternyata perkiraan saya salah karena saya telah melewati stasiun Saint Michel yang terletak di sebelah kanan saya.

Stasiun Metro
Tiba di stasiun, saya sempatkan duduk beristrahat sejenak sambil membuka dan mempelajari peta yang selalu saya bawa dalam ransel. Seorang tunawisma terlihat sedang tidur terlelap di salah satu bangku stasiun pada peron yang berlawanan dengan peron tempat saya menunggu Metro. Karena masih ingin beristrahat, saya mengabaikan Metro yang baru saja tiba. Selesai mempelajari peta dan memutuskan rute yang akan saya tempuh ke Champs Elysees yang adalah jalan terkenal di Paris sama seperti La Rambla di Barcelona atau semacam Malioboro di Jogja yang sangat terkenal di Indonesia. Namun, setelah saya tiba di Champs Elysees dan juga kemudian di La Rambla Barcelona, Malioboro tidak dapat dibandingkan dengan kedua jalan ini. Dari rute Metro di peta yang saya pegang, saya harus berganti Metro untuk mencapai Champs Elysees. Saya lalu memasuki Metro yang tiba ke arah stasiun akhir Versailles Chateau sehingga saya bisa turun di
Stasiun Metro
stasiun Invalides lalu menggunakan Metro jalur ungu ke arah Pointe du Lac. Saya turun di  Stasiun Concorde (hanya 1 stasiun dari Invalides) lalu berganti Metro di jalur kuning kecil arah La Defence. Sebenarnya stasiun Concorde juga berada dalam area Champs Elysees. Namun karena melihat indahnya stasiun-stasiun Metro Paris dengan desain dan warna berbeda, maka saya memutuskan berkeliling ke beberapa stasiun terlebih dahulu untuk foto-foto sebelum keluar ke Jalan  Champs Elysees. Saya lalu turun di stasiun Champs Elysees Clemenceau. Selesai foto, saya kembali naik ke Metro yang tiba di stasiun tersebut, kemudian turun di stasiun Franklin D Roosevelt. Selesai foto-foto, naik lagi ke Metro lalu turun di  stasiun Charles de Gaulle Etoile. Selesai foto di stasiun ini saya memutuskan untuk keluar karena dugaan saya jaraknya telah cukup jauh dari Champs
Stasiun Metro
Elysees. Saat kepala saya nongol di atas tanah, pemandangan pertama yang terpampang adalah Arc de Triomphe yang menurut catatan Wikipedia merupakan salah satu ikon kota Paris yang terletak di tengah-tengah Champs Elysees Avenue. Champs Elysees sendiri merupakan jalan dengan panjang sekitar 2 km yang menghubungkan istana Concorde dan istana Charles de Gaulle. Lebar jalan ini sekitar 30 - 40 meter terdiri atas jalan kendaraan di tengah yang diapit oleh pedestarian / trotoar yang sepertinya sama lebar dengan jalan kendaraan. Jalan kendaraan dan pedestarian dibatasi jejeran pohon yang ditanam dalam garis lurus dari ujung ke ujung jalan tersebut. Batas pinggir luar pedestarian adalah jejeran toko butik dan perkantoran. Merek-merek terkenal seperti Louis Vuitton, Gucci, Cartier, Zara semuanya ada di jalan ini. Ada juga restoran, pub dll berderet sepanjang jalan. Di atas pedestarian yang sangat lebar tersebut terdapat restoran-restoran dan kios-kios souvenir dan juga bunga yang berdiri dalam jarak tertentu sehingga tidak bersesakan dan kumuh. Ratusan atau bahkan ribuan pejalan kaki hilir mudik di jalan ini. Banyak juga yang sedang nongkrong di restoran-restoran yang ada atau bahkan hanya duduk-duduk di bangku-bangku yang tersedia sepanjang jalan tersebut.

Ujung jalan Champs Elysees dekat Arc de Triomphe
Karena Arc de Triomphe juga terletak di Champs Elysees, maka saya tidak kehabisan waktu untuk mengunjungi 2 tempat berbeda.  Pertama yang saya kunjungi dan amati adalah Arc de Triomphe. Sama seperti bangunan abad pertengahan lainnya. Bangunan bersejarah ini juga berwarna krem atau coklat muda cenderung kuning. Bagaikan kaki raksasa yang berdiri kokoh mengangkangi Champs Elysees. Bangunan ini memiliki 4 pintu menghadap 4 mata angin tentunya. 2 diantara pintu-pintu tersebut seperti mengangkangi  Champs Elysees sehingga mengingatkan saya akan Menara Eiffel. Terdapat 4 patung yang diletakan di dasar tugu. Tugu ini didesain pada tahun 1806 oleh Jean Chalgrin sebagai tugu peringatan bagi para pejuang yang gugur dalam revolusi Perancis dan perang-perang Napoleon. Di bawah tugu terdapat pusara peringatan bagi para prajurit tanpa nama yang gugur dalam perang dunia I. Konon desain tugu terinspirasi dari Arch of Titus pada zaman Romawi. Tugu sejenis dalam bentuk yang lebih kecil terlihat juga di kawasan Museum Louvre. Bentuk tugu yang sama saya lihat juga di kompleks Colloseum di Roma.  Wikipedia selanjutnya menginformasikan bahwa bangunan ini merupakan tugu tertinggi didunia sebelum penyelesaian tugu sejenis di Mexico City pada tahun 1938 setinggi 67 meter. Arc de Triomphe juga menjadi model bagi tugu peringatan sejenis di Kota Pyongyang setinggi 60 meter atau lebih tinggi dari Arc de Triomphe yang hanya setinggi 50 meter, lebar 45 meter dan tebal 22 meter. Tiket masuk bagi orang dewasa adalah 9,50 Euro. Gratis bagi pengunjung  berumur di bawah 18 tahun, para difabel dan warga negara-negara Uni Eropa yang berumur 18 - 26 tahun. Selain dapat dicapai dengan Metro dari stasiun Charles de Gaulle Etoile, tugu ini dapat dicapai menggunakan bus no 22, 30, 31, 52, 73 dan 92. Jam buka adalah jam 10 pagi sampai 11 malam di bulan April - September dan jam 10 pagi sampai 10.30 malam di bulan Oktober sampai dengan Maret. Pengunjung akan menggunakan lift dari lantai dasar ke museum  yang  menyajikan berbagai model tugu-tugu sejenis dan juga sejarah dan konstruksi Arc de Triomphe. Dari museum tersebut, pengunjung hanya perlu mendaki 46 anak tangga ke puncak tugu untuk melihat Paris dari ketinggian.

Depan Arc de Triomphe (tengah jalan Champs Elysees
Mengikuti contoh turis lainnya yang berfoto dengan latar belakang Arc de Triomphe, saya lalu menyeberang pembatas yang membagi 2 jalan kendaraan di jalan Champs Elysees tersebut. seorang polisi berdiri mengawasi para turis yang asik berfoto ria di tempat tersebut. Karena tempat pengambilan foto terletak persis di tengah-tengah jalan yang dilalui kendaraan, maka saya harus ekstra hati-hati. Namun, nampaknya para pengemudi mobil dan juga polisi setempat telah maklum akan kelakuan para turis. Dugaan saya, tempat foto ini telah digunakan berulang dan tahunan oleh para turis sehingga orang lokal dan polisi telah terbiasa. Karena sempitnya area pengambilan foto, maka para turis yang akan mengambil foto di tempat tersebut harus antri satu per satu. Selesai foto-foto, saya kembali menyeberang ke pedestarian dan mulai menyusuri jalan tersebut dari barat ke Timur. Saya masuk ke beberapa toko butik hanya untuk melihat-lihat interior dan juga harga-harga barang yang sangat mahal. Menu dan juga harga porsi makanan di restoran-restoran tenda di atas pedestarian pun saya intip. Sepiring piza seharga 20 Euro sangat mahal bagi saya tentunya. Rata-rata harga makanan ada dalam kisaran 20 - 45 Euro.

Setelah menyusuri sisi kiri Champs Elysees sekitar 700 meter dari arah Arc de Triomphe,
Menyusuri Champs Elysees
saya lalu menyeberang guna menyusuri sisi kanan jalan tersebut.  Di sisi kirinya terletak butik jam Cartier yang terkenal seantero dunia karena di butik inilah Lady Diana membeli jam tangan bagi Dody Al Fayed di malam hari sebelum kecelakaan yang merengut nyawa mereka. Karena itu, saya sempatkan mengabil foto diri dengan latar belakang toko jam tersebut. Pada sisi sebelah jalan berdiri megah toko butik Louis Vuitton. Saya akhirnya tiba kembali di Arc de Triomphe dari sisi seberang jalannya. Mata saya jelajatan mencari bangku untuk selonjor mengistrahatkan kaki yang kelelahan karena telah menyusuri hampir 1.5 km Champs Elysees di kedua sisinya. Karena tidak melihat bangku, saya lalu berjalan menuju suatu toko yang di emperannya sedang duduk selonjor beberapa orang. Saya nongkrong di tempat ini sekitar 1 jam memperhatikan manusia berbagai bangsa dengan warna kulit dan gaya pakaian berbeda terus menerus berlalu lalang di Champs de Elysees. Ada juga beberapa kelompok judi togel yang membuka lapak judi di seberang jalan tersebut. Tidak ada polisi yang mengawasi karena itu mereka terus berusaha menarik perhatian para pejalan kaki.

Depan toko Cartier
Saya memperhatikan 2 gadis yang mengejar beberapa pejalan kaki sambil menawarkan gelang aneka warna dan bentuk. Namun mereka yang ditawari terlihat terus berjalan sambil menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan sebagai tanda penolakan. Semakin sore, Champs Elysees semakin ramai dipenuhi para pejalan kaki di kedua sisinya. Kendaraan yang lalu lalang di jalurnya seperti kalah banyak dengan jumlah para pejalan kaki. Restoran-restoran juga terlihat penuh. Beberapa pengunjung terlihat antri menunggu giliran. Saya teringat kembali Jalan Malioboro yang sangat terkenal di Indonesia yang ternyata kalah jauh dari segi luas dan pengaturannya. Mungkin saja Malioboro terkenal karena para PKL yang penuh sesak berjejalan menjual barang dengan harga murah meriah sebagai oleh-oleh sepanjang jalan tersebut. Kondisi tersebut tidak terlihat di Champs Elysees. Di ujung kanan Champs Elysees yang dekat ke Arc de Triomphe terlihat beberapa kereta kuda dan juga semacam becak motor yang ngetem menunggu turis sepertinya. Champs Elysees terlihat sangat lebar dan luas, artistik dan bebas dari sampah produksi manusia. Hanya terlihat dedaunan kering yang bertebaran karena pepohonan yang ditanam sepanjang jalan tersebut. Pantas saja jalan ini menjadi salah satu ikon kota Paris bahkan ada yang mengatakan belum ke Paris jika belum mampir di Champs Elysees.

Stasiun Metro
Setelah kelelahan sirna, saya bangun dan berjalan menyeberang jalan menuju stasiun Charles de Gaulle Etoile. Saya akan ke tempat tujuan berikut, yakni Pont des Arts atau Bridge of Love atau Jembatan Cinta - mungkin ini yang menyebabkan Paris disebut City of Love?.  Untuk mencapai Pont des Arts, saya harus turun di stasiun Metro Pont Neuf yang berada di jalur pink.  Untuk itu saya seharusnya turun di stasiun transit  Musee du Louvre. Namun karena dalam peta saya melihat stasiun Musee du Louvre bertetangga dengan stasiun Pont Neuf, saya memutuskan turun dan keluar di stasiun Musee du Louvre lalu berjalan ke Pont des Art. Hanya sekitar 5 menit saya telah turun di stasiun Musee du Louvre yang terletak di belakang bangunan Museum Louvre. Saya harus menyeberang 2 kali untuk mencapai tempat tujuan saya. Setibanya saya di Pont des Arts, ratusan orang sedang berada di atas jembatan tersebut dengan berbagai aktivitas masing-masing. Kedua sisi jembatan yang berpagar besi digantungi jutaan gembok aneka warna dan bentuk dengan tulisan dalam berbagai bahasa. Saya berjalan perlahan menyusuri jembatan yang melintang di atas sungai Seine. Pont des Arts merupakan jembatan pedestarian alias hanya untuk pejalan kaki. Karena itu di kedua sisinya yang berbatasan dengan bantaran sungai diberi tangga berundak-undak. Banyak pengunjung yang hanya berdiri menyandar sambil memperhatikan aliran sungai Sein di bawah atau memandang gedung-gedung tua di sekitarnya.

Gembok-gembok cinta di Pont des Arts
Wikipedia mencatat sejarah Pont des Arts dimulai pada sekitar tahun 1802 - 1804, pada masa pemerintahan Kaisar Napoleon 1. Pont des Arts merupakan jembatan besi pertama yang dibangun di Paris yang melintasi sungai Seine. Jembatan ini sejak awalnya hanya difungsikan sebagai pedestarian atau jembatan bagi para pejalanan kaki melintasi kedua sisi sungai Sein yang menghubungkan Institut du France di satu sisi dengan Palais du Louvre di sisi lain sungai. Konstruksi baru jembatan tersebut dilakukan pada tahun 1981 dan diresmikan pada tanggal 27 Juni 1984 oleh Presiden Jacques Chirac. Kedua sisi jembatan berpagar besi warna hijau yang dipenuhi gembok cinta. Lantainya terbuat dari papan berwarna keabuan mungkin karena sering dilalui pejalan kaki dan pengunjung sehingga terlihat tua dan kusam. Kedua sisi yang berbatasan dengan pinggiran sungai diberi tangga berundak 2 lapis. Jembatan
Masih di Pont des Arts
ini juga digunakan sebagai tempat pameran dan juga pertunjukan berbagai seni lukis, gambar dan foto. Tidak ada catatan tentang waktu penggunaan kedua sisi jembatan tersebut sebagi tempat gembok-gembok cinta dari berbagai belahan dunia. Wikipedia hanya mencatat sejarah penggunaan gembok cinta dimulai sekitar 100 tahun silam pada era perang dunia I. Dalam legenda Serbia diceritakan asal muasal gembok cinta bermula di jembatan Most Ljubavi di Kota Vrnjacka Banja. Konon seorang gadis bernama Naja dari kota tersebut jatuh cinta terhadap seorang pegawai pemerintah Serbia bernama Relja. Setelah mereka berkomitmen mengikat cinta mereka satu sama lain dalam pertunangan, sang pemuda harus pergi berperang di Yunani. Di negara tersebut, Relja jatuh cinta terhadap seorang perempuan setempat dari Corfu. Akibatnya pertunangan Nada dan Relja berantakan / putus. Nada patah hati yang membawanya menuju kematian. Sejak itu, para perempuan kota Vrnjacka yang memiliki kekasih mulai menuliskan nama mereka dan kekasihnya di gembok yang dipasang pada terali-terali jembatan tempat Nada dan Relja bertemu dan jatuh cinta satu sama lain. Gembok-gembok cinta mulai bermunculan di negara-negara Eropa lainnya pada tahun 2000an.




Pont des Arts dari arah Museum Louvre
Suasana semakin sejuk, sore hari mulai menaungi Kota Paris. Beberapa pasangan terlihat berciuman atau hanya berpelukan mesra memandangi senja sungai Seine. Tidak sedikit juga yang seorang diri menikmati kebisuan Pont des Arts. Saya menyempatkan diri mengambil beberapa foto dan juga meminta seorang turis mengambil foto diri saya. Sekitar 1 jam menghabiskan waktu di jembatan ini, saya memutuskan untuk meninggalkannya. Terlihat beberapa pasang turis sedang berjongkok dan mencoba mencari cela diantara jutaan gembok guna memasang gembok mereka sendiri. Beberapa yang telah selesai, berdiri sambil berpelukan lalu bersama-sama melempar kunci gembok ke sungai Seine. Mungkin saat sungai tersebut banjir, maka kunci-kunci tersebut akan terbawa banjir ke laut?. Tak ada yang tahu, tak perlu pula mencari jawabannya. Berita terbaru tentang Pont des Arts adalah kisi-kisi jembatan yang digantungi jutaan gembok itu runtuh pada Juni 2014. Apakah keruntuhan itu akan meruntuhkan pula cinta kasih para kekasih yang mengikatkan janji dan komitmen di gembok-gembok cinta yang terpasang di kedua sisi jembatan tersebut? Tak ada yang tahu. Satu hal yang pasti, Paris dikenal dunia sebagai City of Love. Apakah asal-muasal julukan tersebut adalah dari gembok-gembok cinta tersebut?. Mungkin saja, karena ternyata gembok-gembok cinta tersebut tidak hanya terpasang di Pont des Arts, beberapa jembatan lain di atas sungai Sein juga telah mulai digantungi gembok-gembok cinta, walau belum sesesak Pont des Arts.

Saatnya pergi ke tempat tujuan berikut, pikir saya sambil mulai berlalu dari tempat tersebut. Saya
Belakang Museum Louvre
menyeberang di perempatan menuju Museum Louvre. Namun sore telah tiba, maka saya tidak mungkin mengunjungi museum tersebut dan juga saya bukanlah pengagum benda-benda purbakala sehingga saya bersedia mengeluarkan 13 Euro (Sekitar 170an ribu rupiah) untuk kunjungan singkat ke dalam Museum tersebut. Dari perempatan belakang museum Louvre, saya belok kiri menyusuri pedestarian yang membentang sepanjang jalan tersebut sambil menikmati suasana sejuk sore hari Kota Paris. Saya berhenti di beberapa tempat untuk mengambil foto bangunan-bangunan tua, taman dan juga orang yang berlalu lalang. Perjalanan menyusuri pedestarian tersebut ternyata membawa saya tiba di stasiun Metro Pont Neuf yang berdekatan dengan jembatan Pont Neuf  yang adalah jembatan tertua di Kota Paris. Jembatan berwarna kuning keemasan di sore menjelang malam terlihat sangat indah, kokoh dan artistik. Dibangun pada tahun 1578 dan selesai 1607 dengan panjang 232 meter dan lebar 22 meter. Setelah mengambil beberapa foto, saya lalu beranjak ke stasiun Metro Pont Neuf guna menuju tujuan berikut, yakni Concorde Square.

Obeliks di Concorde Square 
Dari stasiun Pont Neuf di jalur pink, saya transit di stasiun Musee du Louvre di jalur kuning lalu naik Metro ke arah stasiun La Defense. Hanya 1 stasiun dari Musee du Louvre, saya telah tiba di stasiun Concorde. Keluar dari stasiun Metro saya langsung menuju ruang publik yang sangat luas yang dikenal dengan nama Concorde Square. Di sini, saya menikmati satu tugu obeliks berusia jutaan tahun setinggi 23 meter yang terbuat dari batu granit merah. Obeliks ini berasal kuil Luxor di  Kota Luxor, Mesir yang diberikan ke raja Perancis sebagai suatu hadiah. Awalnya, obeliks tersebut merupakan benda milik raja Rames II yang digunakan sebagai suatu tugu atau prasasti peringatan atas pemerintahannya. Bentuknya ramping dan menjulang mencerupai piramida mini. Selain obeliks tersebut juga ada 8 patung yang dipasang di delapan sudut lapangan tersebut. Patung-patung tersebut mewakili 8 kota Perancis. Selain itu juga terdapat 2 air mancur yang sangat indah di malam hari saat lampu-lampu dinyalakan yang membuat keduanya berwarna kuning keemasan. Konon katanya, jika pengunjung meninggalkan koin di air mancur tersebut, maka pengunjung tersebut akan mendapat keberuntungan dalam hidupnya. Legenda yang sama dengan ikon kota Florence (lihat catatan tentang Florence dan air mancur Trevi di Roma (lihat catatan tentang Roma).

Air Mancur sejajar Obeliks di Concorde Square
Hanya sedikit pengunjung yang bertebaran di berbagai sudut lapangan seluas lebih dari 8 hektar tersebut yang merupakan square terbesar di Paris. Concorde Square merupakan salah satu tempat bersejarah dalam sejarah Perancis, terutama di masa revolusi Perancis. Nama awalnya adalah Place Louis XV sebagai penghormatan terhadap Raja Perancis tersebut. Namun seiring perjalanan sejarah Perancis, terutama pada masa revolusi Perancis, sqaure tersebut berganti nama menjad Place de le Revolution bersamaan dengan penghancuran patung Louis XV di square tersebut. Sejarah Perancis juga mencatat tempat ini sebagai tempat hukuman bagi 1,100 orang menggunakan guillotine pada masa Perancis dikuasai Dinasti Jacobin. Setelah berganti nama beberapa kali lagi, akhirnya pada tahun 1830, tempat tersebut dinamai Place de la Concorde hingga saat ini.  


Stasiun Metro
Malam telah tiba. Saatnya kembali ke hotel, walau sebenarnya mengeliling Paris sekali lagi di malam hari akan luar biasa, namun saya telah kehabisan tenaga, terutama di bagian kaki. Ssaya harus beristirahat karena akan menjalani perjalanan panjang sekitar 9 jam dari Paris ke Wilderswill di Swiss. Sekali lagi saya menggunakan Metro kembali ke hotel. Untuk itu, saya naik dari stasiun Concorde ke stasiun Musee du Louvre lalu berganti Metro dari jalur kuning ke pink menuju stasiun akhir di Porte de la Villette. Sudah saatnya mencari makan malam, mandi, packing dan beristrahat mempersiapkan diri bagi perjalanan ke Jungfraujoch, Swiss. Sebelum tiba di hotel, saya memutuskan mampir di salah satu restoran yang berjejer di seberang jalan depan hotel. Setelah melihat-lihat menu beberapa restoran di jejeran tersebut, saya memutuskan mampir di restoran yang menjual steak untuk makan malam. Pemilik sekaligus penjualnya adalah orang Timur Tengah. Saat saya sedang menikmati steak, masuk 4 gadis menggunakan hijab. Sang pemilik/penjual mengucapkan Assalammuallaikum yang dibalas serentak oleh para gadis tersebut. Rombongan ini duduk bersebelahan dengan meja saya sehingga saya sempatkan kenalan dan ngobrol sekedarnya. Ternyata mereka berasal dari Malaysia dan sedang sekolah di London. Mereka menggunakan tour agent yang sama dengan saya - untuk mengunjungi Paris hanya pada waktu weekend.  
Stasiun Metro




BERSAMBUNG: Swiss: Wilderswil, Jungfraujoch dan Interlaken!!

2 komentar:

  1. Very well done written and described.
    Wish I had a chance to travel like that :(

    BalasHapus
  2. Thanks a lot for stopping by and leaving the comment. Very appreciated

    BalasHapus

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...