Senin, 28 Juli 2014

PARIS - Bagian III: Mengapa disebut City of Love / Kota Cinta?

Bagian III: Seine River Gruise dan Gedung Montparnasse

Eiffel dari tepian sungai Seine


Come, follow me, kata salah satu pelayan restoran sambil mengambil botol minuman kosong yang saya pegang sekaligus mengajak saya keluar dari antrian. Saya diajak ke dapur hotel lalu pelayan restoran tersebut menuangkan air minum ke  botol kosong dan menyerahkan kembali botol berisi air tersebut ke saya. Merci (terima kasih) kata saya dalam bahasa Perancis lalu berbalik dan melangkah keluar dari restoran meninggalkan pelayannya yang telah berbaik hati membantu saya mendapatkan air minum dengan cepat tanpa harus antri bersama tamu restoran yang sedang mengantri untuk sarapan mereka.  Ya, saya telah siap untuk memulai petualangan pagi ini mengelilingi Paris setelah selesai makan pagi. Restoran telah buka pada jam 6pagi. Sebelum pintu restoran dibuka pun banyak tamu yang telah antri. Sepertinya semua yang antri di pintu restoran hotel adalah para turis yang tidak ingin kehilangan waktunya, sama seperti saya. Makan pagi ala Eropa yang disiapkan hotel telah saya habiskan sekitar 20 menit sejak saat saya mendapatkan meja sarapan. Setelah itu, saya lalu antri mengambil air minum sebagai bekal di jalan, karena saya tidak tahu apakah saya akan menemukan kios yang menjual minuman dan makanan kecil atau tidak, maka saya mempersiapkan diri dengan botol air mimum tersebut. Kemarin saat berkeliling, saya hanya melihat kios-kios penjual souvernir di berbagai tempat - yang tertata rapi. Tidak mau mengambil resiko mendapatkan kesulitan mencari minum saat keliling Kota Paris, saya lalu memutuskan membawa air minum dari hotel.

Di atas kapal yang menyusuri sungai Seine
Keluar dari pintu hotel saya berbelok ke sebelah kanan menyusuri jalan yang masih sepi menuju stasiun Metro yang terletak sekitar 50an meter dari hotel. Tujuan saya adalah ke dermaga kapal Sungai Sein yang terletak dekat Menara Eiffel. Tiket gratis yang saya peroleh dari tour akan saya gunakan sebagai pembuka petualangan saya di Paris hari ini. Tiba di stasiun Porte de La Villette, saya mengamat-amati kawasan sekitar mencari konter tiket. Ternyata masih sepi, namun pembelian tiket tersedia melalui mesin - yang dapat dibeli secara cash atau menggunakan kartu debit atau kredit. Mesin pembelian dengan cara cash menyediakan 2 fasilitas, yakni pembayaran menggunakan koin dan menggunakan uang kertas. Saya lalu membaca-baca informasi yang tersedia, dimana untuk turis disediakan tiket harian bisa 1 hari 2 hari atau 3 hari - yang harganya lebih murah dibandingkan jika beli tiket PP atau tiket 1 kali jalan (single trip) seharga 1,9 Euro (sekitar 30 ribu saat itu dengan kurs 15 ribu rupiah per Euro). Saya lalu memutuskan membeli tiket 1 hari (1 day trip) seharga 12 Euro (sekitar 150 ribu rupiah) yang dapat digunakan untuk berkeliling seluruh Paris dalam sehari menggunakan Metro. Stasiun bawah tanah Metro di kota-kota Eropa, termasuk Paris sangat bersih dan rapi. Informasi dalam bahasa Inggris juga tersedia sehingga memudahkan para turis seperti saya. Sekali lagi saya akan menggunakan Metro ke stasiun Champ de Mars untuk mencapai dermaga kapal di Sungai Sein. Karena dermaga tersebut letaknya persis di depan Menara Eiffel, maka stasiun tujuan saya sama dengan stasiun semalam saat saya kembali mengunjungi Eiffel di malam hari
Teman-teman seperjalanan
kemarin. Untuk mencapai Champ de Mars saya harus berganti Metro, tentunya hal tersebut tidak terlalu menyulitkan karena saya tinggal melihat papan informasi yang tersebar di stasiun transit. Berbeda dengan penggunaan komunter di Jakarta yang tidak menyediakan informasi rute kereta di stasiun-stasiunnya, kereta komuter atau Metro di kota-kota Eropa selalu menyediakan informasi tersebut di stasiun maupun di dalam kereta. Mungkin karena letak stasiun di bawah tanah dengan banyak lorong menuju pintu berbeda, maka informasi tersebut sangatlah perlu guna mencegah calon penumpang tersesat ke peron yang salah. Dari stasiun transit tersebut (seperti stasiun Manggarai di Jakarta dimana saya naik komuterline dari Bekasi, namun karena saya akan ke Tanah Abang, maka saya harus transit di Manggarai), saya hanya perlu berjalan mengikuti tanda panah yang mengarahkan saya ke suatu lorong yang terus saya ikuti sampai tiba di depan peron. Tak ada kata kereta terlambat di Kota ini. Sepertinya kereta selalu ada setiap 3 menit sehingga calon penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama.

Katedral Notre Dame dari atas sungai Seine
Sekitar 7 - 10 menit kemudian, saya telah keluar dari stasiun Champ de Mars. Melihat Menara Eiffel di pagi hari sangat berbeda dengan melihatnya di sore dan malam hari. Pagi berkabut memperlihatkan Eiffel dalam jarak dekat yang berwarna abu-abu. Saya berhenti mengambil beberapa foto lalu berjalan membelakangi Eiffel sekitar 30 meter lalu menuruni tangga menuju sungai kemudian menyusuri semacam pedestarian pinggiran sungai sekitar 40an meter menuju ke dermaga tempat kapal yang akan saya tumpangi menyusuri sungai Sein sedang menunggu. Di pinggir dermaga dekat ke pintu kapal yang sedang bersandar, saya disambut 2 gadis Perancis yang sambil terseyum ramah memeriksa tiket yang saya berikan ke mereka lalu mempersilahkan saya masuk ke kapal. Sama seperti kapal yang saya gunakan menyusuri sungai Thames di London, kapal ini juga terdiri atas 3 dek, yakni bawah, tengah dan atas. Saya memilih dek atas yang terbuka sehingga lebih mudah bergerak ke berbagai posisi untuk melihat dan mengambil foto. Tak lama
salah satu jembatan di atas sungai Seine
setelah saya memasuki kapal, motor kapal mulai menderu dan kapal secara perlahan bergerak ke tengah sungai meninggalkan dermaga. Kapal secara perlahan terus bergerak menjauhi Menara Eiffel terus menyusuri sungai. Seorang pemandu memberikan informasi lisan menggunakan bahasa Inggris melalui pengeras suara  tentang nama, sejarah dan pengunaan bangunan-bangunan ataupun jembatan-jembatan yang kami lalui. Salah satu yang mengesankan saya adalah Katedral Notre Dame. Jika dilihat dari jauh, bangunan Katedral Notre Dame berbentuk huruf T dengan menara kembar di depannya serta 1 menara berbentuk rumit di tengah-tengah bangunan yang mengingatkan saya akan kerumitan arsitektur Gereja Sagrada Familia di Barcelona (lihat catatan tentang Barcelona). Katedral tersebut sepertinya dibangun di atas delta sungai yang mempertemukan aliran suatu sungai lebih kecil dengan aliran sungai Seine sebagai sungai utamanya.

Pengalaman menyusuri sungai Thames di London dan Seine di Paris mengingatkan saya akan gagasan Gubernur Sutiyoso di Jakarta beberapa tahun silam yang menyediakan kapal melewati sungai Ciliwung. Saya coba membandingkan kondisi sungai Ciliwung dengan sungai Thames dan Seine yang berbeda bagaikan bumi dan langit. Menyusuri sungai Thames dan Sein, saya
Salah satu gedung dilihat dari atas sungai Seine
mendapatkan pelajaran sejarah luar biasa tentang negara-negara tersebut. Airnya sangat bersih dan tidak terlihat sepotong sampah pun serta tidak ada bau busuk menyengat seperti di sungai-sungai di Jakarta. Saya  hanya membayangkan jika saya menyusuri sungai Ciliwung, maka apa yang bisa saya peroleh? sejarah telah hilang. Pemandangan yang tersaji pun hanya sampah dan pemukiman kumuh sepanjang sungai beriringan dengan bau busuk menyakitkan hidung dan kepala. Kondisi yang tidak saya temukan di sungai Thames dan Seine. Selain kapal-kapal untuk para turis seperti saya, kedua sungai tersebut juga dilayari oleh kapal-kapal besar yang lalu lalang yang sepertinya membawa barang.

Sekitar 45 menit kemudian, penyusuran sungai Seine lengkap dengan sejarahnya berakhir. Saya dan para turis lain diturunkan di dermaga tempat kami naik di kaki Eiffel. Luar biasa, komentar saya dalam hati. Sambil berjalan kembali ke tangga tepi sungai menuju stasiun Metro Champ de Mars, saya terus mengamati daerah sekelilingnya. Eiffel terus saja mempesona saya - pantas menjadi ikon kota Paris, pikir saya. Kedua kaki Eiffel mengapit suatu jalan raya sehingga jika dilihat dari jauh sepertinya jalan tersebut berada di bawah selangkangan Eiffel. Salah satu  berbatasan dengan jalan, pelataran lalu sungai Sein. Sedangkan Pada sisi
kaki yang lain yang berseberangan dengan sungai Seine, terbentang suatu taman indah yang luas - mungkin seperti Monas di Jakarta yang diapit oleh taman-taman. Bedanya, tak ada PKL yang secara sembrono berjualan di dalam taman tersebut seperti di Monas. Sesuatu yang sangat kontradiktif dengan kondisi jalan dan taman-taman di Jakarta yang diduduki para PKL. Padahal taman tersebut tidak dipagari seperti Monas. Para pedagang diberi tempat-tempat khusus oleh pemerintah kota setempat. Hal yang sama juga saya lihat di kota-kota Eropa lainnya saat berkeliling. Kios-kios mereka - yang hampir semuanya berjualan souvenirs tertata rapi dan berada di tempat-tempat tertentu. Tidak menduduki trotoar ataupun jalan seperti di Jakarta.

Eiffel dari atas sungai Seine
Setelah puas melihat-lihat sekali lagi di Eiffel, saya merasa ingin kencing. Mata saya berkeliling mencari toilet namun tidak menemukan di sekitar tempat saya berdiri. Karena itu saya lalu berjalan ke stasiun dengan harapan akan menemukan toilet di stasiun Metro. Namun beruntunglah saya, karena di pedestarian menuju stasiun Metro yang tidak jauh dari Eiffel dekat dengan para penjual souvenir yang mulai membuka kiosnya, saya melihat suatu bangunan berbentuk selinder bertuliskan toilet. Saya lalu berjalan ke bangunan tersebut, dimana ada beberapa orang yang sedang antri. Saya lalu ikut antri dan mengamati bagaimana para pengantri di depan saya menggunakan toilet tersebut oleh karena tidak ada seorang pun penjaga toilet yang kelihatan sekitar situ. Ternyata toilet tersebut adalah toilet otomatis yang hanya dapat digunakan dengan memasukan koin 1 Euro ke dalam tempat koin, seperti memasukan koin ke kotak telpon umum di Indonesia pada tahun 90-2000an untuk dapat menggunakan telpon tersebut. Mekanisme yang sama digunakan oleh toilet ini. Saat pengguna keluar, maka penguna berikut harus menunggu sekitar 2 - 3 menit agar toilet secara otomatis membersihkan  pengguna sebelumnya. Pada dinding terpampang informasi tertulis dan lampu kecil dalam 3 warna berbeda, yakni merah, kuning dan hijau yang menginformasikan kepada pengguna tentang kondisi toilet apakah sedang digunakan (being used), sedang pembersihan otomatis (being cleaned automatically) atau kosong (vacant) sehingga dapat digunakan. Saat tiba giliran saya, saya memasukan koin 1 Euro ke tempat koin. Pintu toilet secara otomatis terbuka sehingga saya masuk
dan pintu kembali tertutup secara otomatis. Luas toilet tersebut sekitar 1,5 meter persegi dilengkapi wastafel, closet dan cermin. Saya hanya menggunakan toilet tersebut untuk kencing sehingga saya cepat selesai. Setelah melakukan pembersihan dengan tissue yang tersedia, saya mematut diri sekilas di cermin kemudian mendekati pintu dan berdiri menunggu pintu terbuka otomatis karena menggunakan sensor suhu tubuh manusia, dugaan saya. Ternyata pintu tidak terbuka sehingga saya mengamat-amati pintu tersebut dan menemukan tombol kecil yang saya tekan. Ujicoba tersebut berhasil karena pintu terbuka sehingga saya lalu melangkah keluar. Saat saya tiba di luar, pintu secara otomatis menutup dan terkunci, dimana toilet mulai proses pembersihan, termasuk penyiraman kencing saya tadi tentunya, pikir saya karena saya tidak bisa melakukan penyiraman atau flush sebab tidak tersedia fasilitas tersebut.


salah satu jembatan di atas sungai Seine 
Selesai urusan toilet, saya sempatkan mampir di salah satu kios souvenir yang terletak sekitar 5 meter dari toilet tersebut. Saat saya melihat-lihat, penjual yang sepertinya orang Asia Timur (mungkin India atau Banglades atau Srilanka) tersenyum dan bertanya apakah saya dari Malaysia atau Indonesia. Saat saya menjawab dari Indonesia, dengan ramah penjual tersebut mengatakan selamat pagi dan apa khabar?. Saya membalas ucapan selamat paginya dan kemudian menggunakan bahasa Inggris untuk percakapan selanjutnya karena saya yakin bahwa penjual tersebut hanya mengetahui beberapa patah kata bahasa Indonesia. Dari percakapan sekilas tersebut, penjual itu menceritakan bahwa banyak turis Malaysia dan Indonesia yang sering berbelanja di kiosnya. Karena itu, jika saya ingin membeli souvenir maka saya akan diberi harga khusus. Namun saya tahu dengan pasti itu hanyalah taktik penjualan. Karena itu setelah melihat beberapa barang dan harganya yang cukup mahal, saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah kemudian berlalu dari tempat tersebut.

salah satu stasiun Metro
Saya kembali menyusuri pedestarian menuju stasiun Metro. Kios-kios souvenir mulai buka sehingga saya mampir di beberapa kios guna melihat-lihat dan membandingkan harga-harga souvenir yang ingin saya beli. Namun saya tidak membeli satu pun souvenir di kios-kios tersebut karena berpikir bahwa pasti harganya lebih mahal 1 atau 2 Euro dibandingkan di tempat lain yang agak jauh dari tempat2 wisata utama tersebut. Karena masih pagi, maka saya hanya berjalan-jalan di sekitar Eiffel mengamati para pemain judi togel yang mulai membuka permainan secara berkelompok di pedestarian yang saya lalui. Beberapa teman menginformasikan kepada saya bahwa permainan tersebut ilegal sehingga sering diciduk polisi, namun para penjudi tersebut selalu kembali bermain untuk menipu para turis yang tertarik. Untuk itu, mereka selalu kucing-kucingan dengan polisi. Sama saja dengan di Indonesia, pikir saya. Saya pernah menjumpai permainan tipuan ini di pasar dan trotoar di beberapa kota di Indonesia. Mereka bermain dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 4 - 5 orang yang semuanya adalah teman. 1 orang bertindak sebagai bandar sedangkan lainnya bertindak sebagai turis yang ikut bermain dan menang untuk menarik pejalan kaki yang benar-benar adalah turis. Saya hanya mengamati dari jauh saja sambil pura-pura memotret pemandangan sekitar. Karena saya
Sebagian Paris dari Montpranasse
telah melewati stasiun Metro Champs de Mars, maka saya memutuskan untuk berjalan ke stasiun berikut, yakni Pont de l"Alma guna menggunakan Metro ke tujuan berikut yakni Menara Montparnasse. Oleh karena stasiun terdekat ke Montparnasse berada di jalur berbeda, maka saya harus berganti Metro di stasiun Viroflay Rive Gauche. Stasiun ini seperti statiusn transit Manggarai di Jakarta. Di stasiun Viroflay saya berganti Metro dari jalur kuning ke jalur hijau. Metro yang melalui jalur ini akan berakhir di stasiun Gare Montpranasse - yang adalah tujuan kunjungan saya setelah Seine River Cruise. Keluar dari stasiun, saya telah melihat bangunan tinggi menjulang yang terkesan modern seperti bangunan2 menjulang di Jakarta. Bedanya, bangunan ini merupakan satu-satunya bangunan menjulang di tempat tersebut. Dari brosurnya maupun websitenya tertulis montparnasse56. Saya terus berjalan menuju bangunan tersebut, masuk melalui salah satu pintu lalu bertanya kepada security sambil menunjukan tiket yang saya pegang. Security mengarahkan saya ke pintu lain - dimana banyak turis sedang antri untuk memasuki lift bangunan yang akan membawa saya ke lantai atas tempat saya akan menikmati

Eiffel dilihat dari Montpranasse
landscape kota Paris dari ketinggian. Saya menunjukan tiket ke 2 penjaga lift yang terdiri dari 1 laki-laki dan 1 perempuan berpakaian jas lengkap bersama dasi. Sambil tersenyum ramah mereka mengucapkan selamat datang dan mempersilahkan para pengunjung memasuki lift. Setelah dirasa cukup, pintu lift ditutup dan lift meluncur ke atas. Tak berapa lama, lift berhenti, pintu terbuka dan kami dipersilahkan keluar ke lobby lift oleh seorang penjaga berjas dan berdasi yang telah menunggu di lobby tersebut untuk mengarahkan pengunjung ke pintu masuk. Saya berjalan memasuki semacam aula yang terletak di samping kiri saya dari pintu keluar lift. Sebelah kanan aula yang saya masuki adalah toko souvenir, sedangkan sebelah kirinya ruang lapang yang dipenuhi para pengunjung - tua muda, laki perempuan. Dekat ke dinding-dinding kaca terdapat sejumlah teropong dan juga layar monitor seperti televisi. Saya berjalan mendekati salah satu teropong yang saya gunakan melihat-lihat kota dari ketinggian. Layar monitor memperlihatkan juga tempat-tempat utama yang menjadi ikon kota Paris - selain Menara Eiffel - yang juga menjadi tempat kunjungan turis lokal dan mancanegara. Untuk melihat dari dekat salah satu ikon tersebut, saya hanya perlu menyentuh foto bangunan di layar monitor tersebut yang kemudian mengeluarkan sejumlah informasi tertulis.

Bagian lain Paris dari Montpranasse
Dari brosur yang saya peroleh yang ditulis dalam bahasa Prancis - hanya sedikit informasi dalam bahasa Inggris, saya mengetahui bahwa bangunan ini diresmikan pada tahun 1997. Fondasinya sedalam 70 meter. Bangunan ini terdiri dari 56 lantai, memiliki 25 lift dengan kecepatan 6 meter per detik. Memiliki 7.200 jendela, lebih dari 5000 karyawan, memiliki 1.306 tangga dan dikunjungi sekitar 1 juta turis setiap tahun. Lantai dimana saya berada juga dilengkapi dengan fasilitas restoran dan toilet yang terpisah bagi perempuan dan laki-laki. Dari menara ini, pengunjung dapat melihat 11 ikon lain kota Paris, yakni Menara Eiffel, Arch de Triomphe, Invalides, Museum d'Orsay, Opera Garnier, Sacre Coeur, Louvre Museum, Notre Dame, Jardin du Luxembourg, Patheon dan Bastile. Semua bangunan bersejarah tersebut dapat dibaca informasi lengkapnya di layar monitor yang tersedia di lantai tempat para turis lalu lalang dan melihat-lihat dari ketinggian. Setelah puas melihat-lihat Eiffel dari bagian kiri Montpranasse, saya secara perlahan berbalik dan mengarah ke bagian kanan. Karena bagian kiri tempat saya tidak terhubung langsung ke sebelah kanan, maka akses ke sebelah kanan hanya bisa dilakukan dengan jalan balik melewati restoran dan tempat jual beli souvenirs. Beberapa layar monitor juga tersedia di bagian kanan bersama 2 perangkat audio visual yang bisa digunakan pengunjung untuk mengetahui sejarah Paris, Perancis dan juga tempat-tempat bersejarah yang dapat dilihat dari gedung tersebut, termasuk sejarah Montpranasse itu sendiri. Beberapa turis terlihat duduk selonjoran beristirahat sepertinya. Saya menduduki salah satu kursi kosong yang disiapkan di depan perangkat audio visual. Sambil nonton sajian dalam bahasa Inggris, saya melahap buah apel yang saya bawa dan simpan dalam ransel sebagai pengganjal perut.

Sekitar 1 jam saya berada di gedung Montparnasse - menikmati Paris dari ketinggian, terutama Menara Effiel dari sisi lain kota Paris. Saya lalu memutuskan sudah saatnya mengunjungi tempat lain di kota tersebut. Tempat kunjungan berikut adalah Katedral Notre Dame.  Keluar dari gedung Montpranasse, saya berbelok ke sebelah kiri menuju stasiun tempat saya turun sebelumnya saat akan mengunjungi gedung tersebut. Beberapa calon penumpang terlihat menarik koper dan juga membawa ransel di punggung mereka. Beberapa PKL membuka lapak yang tertata rapi di koridor terbuka antara gedung dan stasiun. Saya terus berjalan sambil mengamat-amati saja para PKL tersebut. Stasiun ini ternyata terintegrasi dengan mall 4 lantai. Karena penasaran, saya tidak turun ke stasiun di bawah  tanah, saya malah naik menggunakan eskalator ke lantai-lantai atas. Rasa ingin tahu saya terpuaskan dengan melihat-lihat bahwa jualan di mall tersebut hampir sama dengan jualan di mall-mall di Jakarta. Karena itu saya lalu kembali turun menuju stasiun di bawah tanah. Dari stasiun bawah tanah tersebut saya kembali mengggunakan Metro ke arah stasiun Saint Cyr. Sama seperti rute kedatangan saya ke gedung Montpranasse, saya turun di stasiun Viroflay Rive Gauche lalu mengambil Metro jalur kuning ke Saint-Michel Notre Dame.

BERSAMBUNG ke Notre Dame, Champ Elysees dan Arc de Triomphe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...