Selasa, 09 Agustus 2016

JELAJAH INDONESIA. TN Komodo: Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Kalong Komodo

Pelabuhan Labuan Bajo dari teras kamar hotel Green Hill
Langit biru memayungi ketenangan lautan biru Pantai Labuan Bajo terlihat jelas dari jendela kamar hotel yang sepertinya sengaja dibuat demikian untuk memberikan pemandangan luar biasa elok bagi para tamu yang menginap di hotel Green Hill ini. Sambil menggerakan badan, mata saya tak lepas dari kemolekan pagi lautan biru Labuan Bajo bersama warna keemasan kapal-kapal yang berlabuh karena sinar matahari pagi. Tak puas hanya menikmati dari jendela kamar nan lebar selebar dinding kamar hotel, saya membuka pintu lalu melangkah keluar. Saya duduk di kursi yang tersedia di teras kamar hotel. Selain udara segar pagi hari bersama sapuan angin berbau
Di anjungan kapal menuju Pulau Rinca 
kesegaran laut, pemandangan yang tersaji nun jauh di horison bagaikan magnet yang tak bisa dilepaskan bagitu saja. Saya terpaku di kursi teras selama hampir 30an menit lalu beranjak ke restoran hotel guna sarapan. Richard telah lebih dahulu beranjak ke restoran yang terletak terpisah namun tetap di ketinggian sehingga para tamu bisa sarapan sambil menikmati keelokan pagi lautan Labuan Bajo dan sekitarnya. Berbagai jenis kapal di antara pulau-pulau memberikan aspek 3 dimensi bagi lukisan alam karya sang Pencipta di Labuan Bajo.



Selesai sarapan, kami kembali ke teras kamar hotel. Tak lama berselang, om Kancek (baca catatan sebelumnya) muncul dan menyapa hangat. Kami telah siap sedia meninggalkan hotel sehingga kami tidak lama menghabiskan waktu di teras kamar hotel Green Hill. Saya meminta seorang staf hotel
memindahkan koper saya ke ruang resepsion yang berjarak cukup jauh dari kamar, karena berada di
pinggir jalan raya. Saya telah memisahkan barang-barang yang perlu saya bawa selama 3 hari saat menginap di kapal untuk mengelilingi TN Komodo. Sisanya yang berada dalam koper saya titipkan di hotel hingga kami kembali ke Labuan Bajo dari TN Komodo. Dari kompleks hotel, kami belok kanan menyusuri jalan kota Labuan Bajo yang mulai mengeliat sibuk di pagi hari. Saya, Richard dan om Kancek berjalan ke pelabuhan rakyat yang terpisah dari pelabuhan kapal-kapal barang dan kapal Pelni. Pelabuhan ini berjarak sekitar 10an menit jalan kaki dari hotel. Saat kami tiba, kapal kayu cantik
Kapal-kapal yang berlabuh di sekitar pelabuhan
bercat biru laut dan putih salju telah menanti. Om Kancek mengenalkan saya dan Richard ke Anjas sang kapten kapal. Kapal ini akan dikemudikan Anjas dibantu 2 orang adiknya yang akan bersama saya dan Richard berkeliling TN Komodo selama 3 hari. Kami ngobrol beberapa menit dengan sang Kapten guna menentukan tempat-tempat yang akan kami kunjungi hari ini. Setelah mendiskusikan berbagai pilihan rute, akhirnya kami sepakat akan mengunjungi Pulau Rinca terlebih dahulu lalu berpindah ke Pulau Padar kemudian ke perairan Pulau Kalong Komodo. Kami akan bermalam di perairan Pulau Kalong Komodo guna melanjutkan perjalanan ke Pulau Komodo pada keesokan hari.

Bersma Anjas Sang Kapten kapal di ruang tengah kapal
Kapal kayu berwarna putih dan biru yang kami tumpangi memiliki 2 kamar, tidur ruang duduk, dapur dan kamar mandi sekaligus toilet serta tempat berjemur dan menikmati sinar matahari di atapnya. Satu kamar tidur dilengkapi tempat tidur tingkat masing-masing berukuran 2meter x 90cm yang menempel di dinding kapal. Satu kamar lagi yang ukurannya seluas tempat tidur king size. Tak butuh waktu lama, sang Kapten menghidupkan kapal sebagai penanda kami segera meninggalkan pelabuhan rakyat Labuan Bajo menuju TN Komodo. Adik-adik Anjas bergerak menarik jangkar lalu kapal mulai bergerak perlahan keluar dari dermaga menuju lautan lepas melewati puluhan kapal berbagai bentuk dan warna yang sedang parkir di lautan dekat pelabuhan rakyat tersebut. Kapal bergerak ke arah Utara, menuju pulau Rinca yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan kapal dari pelabuhan Labuan Bajo.

Dermaga dan jembatan masuk ke Pulau Rinca 
Saat kapal kami tiba, di sekitar pelabuhan pulau Rinca telah ada puluhan kapal yang buang sauh. Kapal kami merapat ke kapal lain yang telah terlebih dahulu tiba dan bersandar di dermaga. Saya dan Richard melewati kapal tersebut untuk tiba di dermaga kecil yang dihubungkan oleh jembatan kayu berwarna kelabu selebar 1 meteran ke daratan. Kedua sisi jembatan dipagari jenis kayu dan warna yang sama. Banyak monyet terlihat bermain di atas jembatan dan di sekitar pelabuhan. Tiga anak laki-laki sedang bermain di jembatan yang sekaligus menjadi dermaga itu. Saya mengajak mereka foto bersama lalu  melanjutkan perjalanan ke kantor TN untuk membeli tiket dan mendapatkan arahan perjalanan keliling Pulau Rinca guna
Gerbang masuk ke kantor TN dan loket tiket 
bertemu sang binatang purba. Di ujung jembatan kayu, saya dan  Richard belok kanan menyusuri setapak berwarna kecoklatan. Setapak ini dibangun berkelok mengikuti kontur tanah berbukit di sebelah kiri dan hamparan tanah kering dan pepohonan bakau di sebelah kanan. Setelah melewati bukit yang menjadi dinding alam di depan dermaga, kami menghadapi hamparan datar berjarak seratusan meter ke kantor TN. Sekitar 20an meter dari belokan di dinding bukit, gerbang selamat datang di pulau Rinca dengan patung komodo di kedua sisinya menyambut para pengunjung. Setelah melewati gerbang, kami terus berjalan perlahan menyusuri setapak menuju kantor TN yang telah terlihat dari gerbang dalam jarak 100an meter.

Para korban komodo
Masing-masing pengunjung membayar tiket masuk 80ribu rupiah. Tiket itu sudah termasuk kunjungan ke Pulau Komodo yang juga memiliki kantor penjualan tiket. Katanya tiket itu merupakan tiket terusan yang berlaku pada hari yang sama untuk kunjungan ke Pulau Komodo, namun pada esok hari saat mengunjungi Pulau Komodo, saya hanya menunjukan tiket terusan tersebut dimana kata petugas penerima, saya tidak perlu membeli tiket baru lagi. Thanks God :). Kepala TN di Pulau Rinca menyambut kami dengan ramah dan penuh senyum. Beliau secara singkat memberikan gambaran tentang TN Komodo dan komodo yang berada di Pulau Rinca.

Para ranger Pulau Rinca
Semua pengunjung wajib ditemani seorang guide terlatih yang disebut ranger. Saat kami lagi asyik berbincang, 2 turis mancanegara memasuki kantor Kepala TN yang disambut ramah oleh beliau. Dengan bahasa Inggris yang lumayan lancar, Kepala TN menyambut kedua turis itu dengan ramah dan tertawa ceria. Saat kedua turis itu meminta foto bersama dengan Kepala TN, saya dan Richard menggunakan kesempatan tersebut untuk pamit. Seorang ranger telah menunggu di bawah tangga kantor berbentuk rumah panggung tersebut. Ranger ini akan menemani dan menjadi guide kami menempuh rute menengah yang telah kami pilih dari 3 rute yang disediakan, yakni short, medium dan long. Mempertimbangkan ketersediaan waktu, karena kami masih akan ke Pulau Padar, kami memilih rute medium dengan pertimbangan kami dapat mengekplorasi alam Pulau Rinca sekaligus punya peluang lebih besar menemukan komodo di alam liar dibanding rute short. "Rute terpanjang memberi peluang lebih banyak menemukan komodo dan hewan liar khas Pulau Rinca, kata ranger sambil berjalan. Saya hanya mengangguk-angguk.

Komodo di sekitar mess karyawan TN
Dari bangunan kantor kepala TN, kami belok kiri menyusuri jalan tanah yang berada dalam kompleks bangunan kantor dan mess para staf, termasuk ranger TN Komodo di Pulau Rinca. Semua bangunan terbuat dari kayu dan berbentuk panggung dengan pintu yan tertutup rapat dan dan jendela yang sedikit terbuka sebagai jalan masuk keluar udara. Banyak komodo dewasa sedang berbaring atau berjalan-jalan di kolong bangunan mess para pekerja. "Mess tersebut memiliki dapur yang mengeluarkan aroma daging, sehingga komodo-komodo itu suka berkeliaran di sekitar mess. Karena itu semua pintu harus tertutup rapat mencegah komodo masuk ke dalam bangunan", kata ranger sambil menemani kami melangkah perlahan melewati kumpulan komodo yang berbaring malas di kolong dan halaman mess.
Komodo di sekitar mess karyawan TN
Kurang menarik untuk foto, pikir saya. Namun saya tetap saja mengambil beberapa foto sebagai dokumentasi telah pernah berkunjung ke tempat tersebut. Tiba-tiba satu komodo dewasa bangun dari tidur malasnya dan berjalan menghampiri kami. "lewat sini dan berjalan perlahan saja. Jangan lari ataupun panik", kata ranger sambil mengarahkan kami berjalan agak menjauh dan membiarkan komodo itu lewat dan berjalan di depan kami sehingga ranger bisa mengambil foto kami berjalan mengiringi si hewan purba sang pemilik pulau :).

Ranger terus mengarahkan kami melewati jalan tanah memasuki hutan yang pohon-pohon dan rerumputkannya mulai merangas. Tanah berdebu kecoklatan ditutupi sebaran guguran dedaunan berwarna kecoklatan diantara kerimbunan semak belukar berwarna senada terhampar
Komodo betina yang sedang menjaga sarangnya
sepanjang rute yang kami tempuh. Sesekali ayam hutan, rusa dan sapi muncul sekilas sambil berjalan menjauhi rombongan kami. Jalanan mulai mendaki menuju perbukitan yang hanya ditumbuhi rerumputan kering berwarna kecoklatan. Hanya ada satu atau 2 pohon di area perbukitan tersebut. "Itu komodo betina yang sedang menjaga sarang dan telur-telurnya", kata ranger menunjuk ke sebelah kanan kami. Saya celingukan mencari komodo yang dikatakan ranger sampai melihat seekor komodo yang berbaring diam. Warna kulitnya yang hampir senada dengan warna lokasi sarangnya menyamarkan keberadaan komodo tersebut jika ranger tidak menginformasikannya ke kami. "Komodo selalu membuat beberapa sarang
Teluk Pulau Rinca dari ketinggian perbukitan Pulau Rinca
untuk melindungi sarang yang berisi telur-telurnya dari para predator", lanjut ranger saat kami berhenti sejenak memberikan waktu ke saya dan Richard mengamati sang ibu yang dengan setia sedang menjaga telur-telur dalam salah satu sarangnya.

Saat kami makin mendaki bukit yang hanya ditumbuhi rerumputan kering tersebut, kami bertemu rombongan pengunjung lain. Semua berjalan ke puncak bukit yang  menyajikan lautan biru berpagar pepohoan bakau di depan kami nun jauh di bawah mengitari suatu teluk tak dikenal oleh kami para pengunjung yang asyik berfoto dengan latar teluk tersebut. Di bagian belakang, sisi kiri dan kanan tersaji
Pesona savana Pulau Rinca 
perbukitan savana coklat sejauh mata memandang. Tiba di puncak bukit tersebut, para ranger berdiri berkelompok mengamati para pengunjung yang asyik berfoto ria dalam kelompok masing-masing dengan berbagai gaya. Sekitar 30an menit bermain di puncak bukit ini, kami mengajak turun ranger karena panas terik matahari mulai terasa menyengat kulit. Kami turun melewati sisi lain bukit tersebut hingga tiba kembali di dekat kantor kepala TN. Ranger membawa kami ke depan satu bangunan panjang semi terbuka yang diisi beberapa kios penjual souvenir komodo dan kaos berbagai warna didominasi gambar
Komodo betina sedang menjaga telur-telurnya
komodo. Di sisi lain para penjual souvenir, terdapat toilet yang dilengkapi wastafel sehingga saya bisa membasuh wajah sejenak menghilangkan debu dan sengatan matahari di wajah dan tangan. Setelah itu, saya melihat-lihat souvenir dan membeli kaos sebagai oleh-oleh. Setelah memberikan tip ke ranger, saya dan Richard pamitan kembali ke pelabuhan. Kami kembali menyusuri jalan tanah yang diberi penanda barisan blok semen setinggi mata kaki di pinggir kiri dan kananya. Kami sekali lagi kemabli ke kapal kami melalui kapal lain yang masih sedang parkir di dermaga. Seorang kru kapal yang kami lewati bersama seorang kru kapal kami menarik dan menahan badan kapal kami agar saya dan Richard dapat menyeberang ke kapal kami. Tak lama setelah kami tiba, mesin kapal dihidupkan dan secara perlahan kami meninggalkann pulau Rinca menuju Pulau Padar.

Makan siang kami di atas kapal
Dalam perjalanan menuju Pulau Padar, kedua kru kapal yang adalah adik-adik sang Kapten menyajikan makan siang bagi kami di ruang tengah yang terbuka. Ruang ini berfungsi ganda sebagai ruang duduk menikmati pemandangan selama perjalanan, sebagai ruang makan sekaligus sebagai ruang santai menikmati hembusan angin laut. Ruangan terbuka ini dilengkapi meja dan bangku panjang berwarna biru seperti warna kapal. Nasi, ikan, ayam, sayur mayur bersama potongan buah pepaya segar tersaji di depan saya dan Richard. Makan siang yang sangat luar biasa nikmat di atas lautan TN Komodo. Pengalaman yang belum tentu akan terulang sepanjang sisa hidup kami.

Puncak bukti Pulau Padar yang berhasil kami daki dari pantai
Teh dan kopi bersama 1 termos air panas juga tersedia di meja ini sehingga kapan pun kami ingin membuat kopi atau teh bisa langsung bikin sendiri. Hingga akhir perjalanan kami selama 3 hari, makanan panas nan nikmat selalu tersedia bagi kami  3 kali sehari, yakni pagi, siang dan malam. Pelayanan yang sangat luar biasa dari kedua adik-adik Anjas yang bertindak sebagai koki sekaligus kru kapal kecil yang ditumpangi saya dan Richard. Selesai makan siang, saya menikmati semilir angin yang berhembus dari lambung kiri dan kanan kapal. Hanya riakan kecil gelombang laut Flores yang mengiringi perjalanan kapal kami melewati tebaran pulau berbagai ukuran di sepanjang jalur pelayaran yang sedang kami lalui.
Kapal biru yang mejadi rumah kami selama 3 hari
Richard telah menghilang ke dalam kamar. Karena hanya kami berdua penumpang di kapal nan cantik ini, Richard menempati kamar berukuran tempat tidur berukuran besar sekitar 2 x 2 meter, sedangkan saya menempati kamar dengan dipan tingkat. Kadang saya tidur di dipan bawah, kadang saya pindah ke atas. Sekitar 2 jam perjalanan dari Pulau Rinca, kami tiba di Pulau Padar. Lokasi kapal kami berlabuh tidak dilengkapi pelabuhan. Hanya ada air laut berwarna biru, garis pantai berpasir putih, tebing-tebing raksasa yang dicandai lidah-lidah ombak serta dinding dan punggung bukit yang dihampari savana coklat di terik matahari bulan September.

Pulau-pulau karang sepanjang perjalanan ke Pulau Padar

Pesona danau raksasa dari puncak bukit Pulau Padar 
Agar saya dan Richard bisa turun dan berjalan ke darat, Anjas memasang tangga kayu di salah satu sisi kapal. Tangga pendek tersebut hanya menggantung, tidak menyentuh dasar lautan tapi sangat membantu kami turun dari kapal lalu menjejak dasar laut. Tubuh kami basah setinggi dada, karena kapal tidak terlalu dekat ke darat mencegah kandas. Saya dan Richard berjalan perlahan mengarungi air menuju pantai yang berjarak selemparan batu. Hanya ada kami di lokasi tersebut. Hanya deburan ombak, terik matahari dan sesekali suara burung terdengar menyela senda gurau ombak dan tebing-tebing pulau yang menemani kami. Hamparan pasir putih sejauh mata memandang sepanjang garis pantai menarik dinikmati.
Pesona danau raksasa dari puncak bukit Pulau Padar 
Namun, kami memilih mendaki ke atas bukit setinggi ratusan meter dari pantai guna menikmati pesona pulau dan lautan sekitarnya. Jalan mendaki tidak terlalu mudah. Kaki-kaki kami menapaki setapak sempit berdebu tebal menuju puncak bukit. Kadang kaki kami tenggelam ke dalam debu setinggi mata kaki. Kadang tonjolan batu di jalan yang menjadi pijakan lepas begitu saja, sehingga kami harus sangat hati-hati melangkah. Sebelum memindahkan langkah, kami harus memastikan tonjolan batu atau tanah keras yang dijadikan pijakan tidak lepas saat berat tubuh beralih seluruhnya ke tempat tersebut. Kadang terpaan angin menerbangkan debu yang mengelus wajah dan masuk ke mata. Saya sesekali harus berhenti mengusap peluh dan membersihkan debu dari mata yang kelilipan dan berair.

Pesona danau raksasa dari puncak bukit Pulau Padar 
Perlahan namun pasti, kami terus mendaki berjalan mengikuti setapak yang telah dibuat para pendahulu. Setelah menghabiskan waktu pendakian sekitar 30an menit, akhirnya kami tiba di salah satu puncak punggung bukit di ketinggian pulau Padar. Dari puncak ini, kami bisa melihat kedua sisi Pulau Padar. Dua orang lelaki menyusul kami ke puncak bukit. Tak lama berselang, kedua lelaki tersebut, seorang bule dan seorang Indonesia tiba di lokasi yang sama dengan saya dan Richard berada. Sepertinya kedua lelaki tersebut sedang melakukan survey, karena mereka tidak berdiam lama di puncak bukit. Lelaki bule tersebut terus berjalan melewati kami menuju tempat yang lebih tinggi lalu melihat kiri, kanan, depan dan belakang. Keduanya berbicara sebentar lalu turun sambil melempar senum ke saya dan Richard. Panas terik menyengat kulit dan terpaan angin yang cukup kuat tidak menyurutkan niat kami berlama-lama di puncak bukit Pulau Padar menikmati pesona alam yang tak mungkin dinarasikan seluruhnya.
Kapal kami dan kapal si bule dari puncak bukit Pulau Padar
Saat saya berputar ke Barat, kedua sisi Pulau Padar menghadirkan pesona alam luar biasa. Ketenangan laut biru berbatas goresan pasir putih sepanjang garis pantai membentuk tiga kolam raksasa di kiri dan kanan pulau. Dua kolam raksasa itu membentang nun jauh di bawah di sebelah kiri, sedangkan satu kolam lagi membentang di sebelah kanan tempat perahu kami sedang berlabuh  - yang terlihat bagaikan sekepeting nokta di samudra biru nan tenang. Ketiga kolam laut raksasa tersebut dipisahkan jejeran perbukitan kecoklatan di tengahnya. Keindahan nan mempesona yang hanya bisa diabadikan dalam sepotong foto berukuran terbatas sehingga tak semua kemolekan itu dapat didokumentasikan dan diceritakan melalui foto dan rangkaian kata menjadi kalimat dan tuturan.

Pantai Pulau Padar tempat kapal kami berlabuh
Sekitar 30an menit berada di puncak, saya dan Richard memutuskan turun kembali ke kapal. Perjalanan turun terasa lebih sulit karena kemiringin bukit yang cukup terjal membuat kami harus menjaga keseimbangan tubuh dengan mencondongkan tubuh ke belakang guna memberikan kekuatan bagi kaki-kaki kami menapak pada tanah berdebu tebal dan kadang-kadang pada bebatuan yang mudah lepas. Dengan susah payah dan bermandikan keringat, kami akhirnya tiba di tepi pantai. Duduk sejenak di atas pasir putih melepaskan lelah sekaligus menikmati elusan angin laut dan hamparan lautan biru secara perlahan menghilangkan lelah dan penat. Saya memilih membaringkan tubuh di pasir halus yang terhampar, menikmati sejenak elusannya saat menyentuh kulit kedua kaki dan kedua tangan saya. RIchard terlihat asyik mengamat-amati cangkang kerang, siput laut dan bintang laut yang terhampar di sekitarnya. Saya mengingatkan Richard agar tidak mengambil apapun, walau itu benda mati. Sebagai penjelajah, prinsip yang saya pegang adalah hanya membawa kembali foto dari tempat-tempat yang pernah saya jelajahi.

Pulau2 karang dalam perjalanan ke Pulau Kalong Komodo
Setelah kami kembali ke kapal, kapal mengangkat sauh menuju perairan Pulau Kalong Komodo. TN Komodo memiliki 2 pulau bernama Kalong, satu diantaranya adalah Kalong Komodo karena terletak berdampingan dengan Pulau Komodo yang memungkinkan mengakses Pulau Komodo di pagi hari. Kapal kami kembali melayari lautan biru tenang dengan riak-riak kecil gelombangnya. Saya merasa terayun-ayunan dalam ayunan sehingga jatuh tertidur di bangku ruang tengah. Saat terjaga, saya memutuskan masuk kamar untuk berbaring sejenak menikmati ayunan kapal yang terus melaju di antara tebaran pulau berbagai ukuran dengan eksotisme masing-masing. Hari menjelang sore saat kapal tiba dan membuang sauh di lautan tenang perairan Pulau Kalong Komodo. Saya telah terbangun dan berjalan ke geladak kapal terus ke anjungan lalu duduk bersandar ke tiang layar. Beberapa kapal lain telah tiba dan berlabuh di perairan tersebut. Kapal terus mengayun perlahan mengikuti ayunan ombak. Saya menikmati eksotisme Pulau Kalong Komodo di sebalah kiri yang dipenuhi hamparan savana kecoklatan. Seekor kambing gunung terlihat nyata dari kapal yang berlabuh cukup dekat ke Pulau Kalong Komodo.

Perairan Pulau Kalong Komodo
"Ada yang buang daging ke laut ya?, tanya Anjas ke adik-adik-adiknya". Ternyata bau daging tersebut telah menarik elang-elang laut keluar dari rumah mereka di Pulau Kalong Komodo. Sore menjelang sunset diisi oleh kehadiran sejumlah elang laut yang terbang silih berganti di atas langit perairan Pulau Kalong Komodo. Sesekali seekor elang menukik ke laut menyambar ikan yang hanya terlihat oleh kedua matanya. Momen-momen yang sangat bagus untuk foto yang tak akan saya temukan di tempat lain. Kamera saya tak berhenti memotret dan mengabadikan momen tersebut hingga matahari bergulir ke horison barat. Langit berubah kuning lalu jingga hingga kegelapan secara perlahan merengkuh kawasan
Perairan Pulau Kalong Komodo saat sunset
sekitar. Awan tipis yang menutupi pesona sunset tak menghilangkan kesyahduan matahari kembali ke haribaan malam. Sesaat kemudian, ribuan kalong dengan suara gemuruh terbang meninggalkan rumah mereka di Pulau Kalong Komodo menuju Pulau Komodo. Peristiwa yang berlangsung sekitar 30an menit itu telah memaku saya di geladak kapal menikmati tiga momen berbeda. Momen-momen yang tidak akan saya peroleh jika tidak menginap di atas kapal di perairan ini, pikir saya. Makan malam telah siap saat malam telah benar-benar hadir. Hanya ayunan kapal dan lampu kapal-kapal lain yang terlihat di sekitar. Sisanya gelap gulita melengkapi kesunyian malam.  Sesekali terdengar suara burung malam dari Pulau Kalong Komodo. Suasana sempurna untuk beristirahat setelah selesai makan malam dan ngobrol ngarol ngidul dengan Richard dan Anjas.

Full moon di perairan Pulau Kalong Komodo
Saya terbangun saat bintang masih menggantung di langit gelap. Suara ribuan kalong yang kembali ke Pulau Kalong Komodo telah membangunkan saya untuk menikmati momen tersebut. Hanya gerakan samar-samar yang bisa tertangkap mata dan kamera HP yang saya gunakan mencoba merekam aktivitas kembalinya ribuan kelelawar ke rumah mereka. Bulan yang bersinar penuh sedikit membantu saya menangkap ribuan bayang-bayang hitam yang bergerak kembali dari Pulau Komodo bersama cuitan suara khas mereka. Saya terus menikmati momen tersebut sampai hanya tinggal satu atau 2 kelelawar saja yang terbang kembali. Saya lalu berjalan mengelilingi kapal menikmati sinar rembulan
dan bintang gemintang bersama semilir angin subuh. Richard, Anjas dan 2 kru kapal masih
Para kelelawar yang pulang menjelang pagi 
terlelap di tempat masing-masing. Kapal juga masih berada di tempatnya mengayun perlahan seirama alunan senyap ombak yang tak terlihat. Para pencipta puisi dapat menulis ribuan puisi tentang tempat ini, jika mereka hadir dan bermalam disini, pikir saya. Ketenangan dan kebisuan membius itu membuat saya melangkah kembali ke kamar. Menikmati ayunan kapal sambil tiduran di dipan kapal membuat saya terlelap hingga pagi hadir kembali di perairan Pulau Kalong Komodo. Saya buru-buru bangun lalu berjalan ke buritan kapal yang menghadap Timur. Saya ingin mendapatkan sunrise dari buritan. Sayangnya langit timur tertutup awan. Hanya rona jingga kemerahan yang saya lihat, saya memutuskan kembali ke kamar melanjutkan tidur yang terputus.

Sunrise di perairan Pulau Kalong Komodo 
"Sunrise, sunrise pak, teriak Anjas dari salah satu bagian kapal. Saya bergegas bangun dan kembali ke buritan sambil menentang kamera DSRL dan HP. Kilauan emas mentari pagi terlihat membuncah di langit Timur. "Ah, sepertinya ini sunrise terbaik yang pernah saya lihat dalam perjalanan jelajah saya beberapa tahun terakhir", kata saya ke Richard sambil tak berhenti memandang sang mentari pagi yang seperti terus tersenyum ke arah saya, Richard dan Anjas yang telah bergabung bersama kami menikmati kehadiran sang surya. Saya tersenyum lebar ke sang mentari sambil mencoba mengelusi dan menangkapnya dalam imaji telapak tangan. Saya meminta Richard membantu mengabadikan momentum tersebut. Langit sekitar mentari pagi juga berwarna keemasan, bahkan gumpalan-gumpalan awan sekitarnya juga mendapatkan efek emas sang mentari. "The golden sunrise that i ever
Sunrise di perairan Pulau Kalong Komodo
seen".
Fenomena alam luar biasa karya sang Khalik bagi daerah yang sangat kering alamnya, kata saya pada diri sendiri. Saya tak beranjak dari  buritan kapal hingga senyuman mesra sang mentari berganti sengatan tajamnya ke kulit telanjang bagian atas tubuh saya. Saya meninggalkan buritan kembali ke kamar meletakan kamera di atas tempat tidur lalu ke kamar mandi membersihkan diri. Anjas dan adik-adiknya telah menyediakan air tawar untuk kami gunakan mandi atau sekedar membasuh muka dan juga untuk sikat gigi selama perjalanan kami. Setelah rapi dan wangi lagi, saya dan Richard duduk di ruang tengah menghadapi sarapan yang sangat lengkap yang telah disediakan adik-adik Anjas. Kami menikmati sarapan sambil menikmati ayunan kapal yang mulai bergerak perlahan meninggalkan perairan Pulau Kalong Komodo menuju Pulau Komodo - meninggalkan kesan yang tak terlupakan seumur hidup saya...


Sunrise di perairan Pulau Kalong Komodo
Bersambung ke :
JELAJAH INDONESIA. TN Komodo: Pulau Komodo, Pantai Pink dan Gili Lawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...