Selasa, 05 Juli 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Waerebo, Cancar dan Labuan Bajo

Di depan rumah adat Niang Gendang - Waerebo
Saya dan Timo meninggalkan Waerebo di pagi hari saat para penghuninya masih sedang terlelap. Kabut masih sedang menggantung di ujung subuh saat kami keluar dari rumah adat Niang Gena Maro (baca catatan sebelumnya tentang Waerebo : Negeri di Balik Langit). Saya ingin tiba di Denge secepatnya untuk melanjutkan perjalanan ke Cancar menikmati panorama sawah sarang laba-laba sebelum ke Labuan Bajo. Para ibu yang pagi ini bertugas di dapur telah sibuk menghidupkan api, namun saya tidak ingin menunggu sarapan disajikan. Para ibu akhirnya membekali saya dan Timo sekantong kerupuk singkong yang telah digoreng. Saya juga masih punya sekantong buah markisa yang saya beli kemarin. Dengan modal kerupuk dan buah markisa, saya dan Timo melangkah meninggalkan Waerebo. Perjalanan pulang ke Denge lebih cepat dari perjalanan kami dari Denge ke Waerebo. Kami menempuh waktu 2 jam perjalanan Waerebo ke Denge yang menurut Timo adalah rekor waktu tercepat selama dia menemani para tamu yang datang dan pergi ke Waerebo selama hampir 3 tahun. Rekor yang sama dari Denge ke Waerebo karena kami hanya menempuh jarak 9km dalam waktu 2 jam 45 menit. Waktu tempuh rata-rata yang dibutuhkan pengunjung lainnya berkisar 3-4 jam. 

Jalan Denge - Pos 1
Perjalanan pulang lebih cepat karena jalan yang kami lalui lebih banyak menurun. Saya juga telah hafal kondisi jalan sehingga lebih mudah menapakan kaki di tempat yang tepat :). Setelah melewati Pos 1 (baca catatan sebelumnya tentang Dintor - Waerebo), saya dan Timo bertemu sekelompok turis Perancis di jalan berbatu yang sedang dipadatkan itu. Sekitar 1 kilometer kemudian, kami bertemu sepasang turis lain. Kami saling bertukar sapa dan ngobrol sambil mengaso sejenak. Laki-laki yang berasal dari Australia memakai celana pendek, kaos oblong sandal gunung dan topi. Perempuan yang dari Philipina memakai gaun, sepatu kulit dan topi pantai. Sepasang kekasih berlainan kebangsaan dan gaya.  Saya tak yakin mereka akan tiba di Waerebo melihat gaun dan sepatu yang dipakai perempuan, kata saya ke Timo. Saat kami tiba di Denge, Yudi dan Mako belum tiba menjemput kami. Di tempat ini kami bertemu satu rombongan turis Belanda yang adalah tamu Waerebo lodge (baca catatan sebelumnya tentang Dintor), karena mereka diantar truk pemilik Waerebo lodge yang dikenali Timo. "Timo, coba tanya ke para pemuda itu, apakah mereka mo antar kita ke Dintor. Ntar kita bayar
Denge
masing-masing 10ribu", kata saya ke Timo ketika saya melihat beberapa pemuda bersepeda motor sedang parkir di pinggir jalan. Timo menyampaikan pertanyaan saya dalam bahasa lokal yang dengan senang hati diterima. Saat dalam perjalanan ke Dintor, kami bertemu Yudi dan Mako yang sedang membawa mobil untuk menjemput saya dan Timo.  Saya meminta Yudi dan Mako kembali ke Dintor, sedangkan saya dan Timo melanjutkan dengan sepeda motor yang telah kami sewa.

Tiba di Waerebo lodge, saya mandi lalu berganti pakaian dan sarapan bersama Yudi dan Mako. Timo juga melakukan hal yang sama karena Timo akan menemani kami ke Labuan Bajo. Setelah mengantar saya sampai Labuan Bajo, Yudi dan Mako akan kembali ke Ende melalui Ruteng sehingga Timo bisa numpang di mobil yang sama untuk turun di Ruteng. Selesai sarapan saya menyelesaikan administrasi pembayaran sewa kamar bersama makanan dan minuman yang disediakan istri om Martinus yang adalah pemilik sekaligus pengelola Waerebo lodge di Dintor. Saya hanya membayar 450 ribu rupiah untuk penginapan selama 2 malam bersama makan dan minumnya, termasuk untuk Yudi dan Mako yang menunggu saya kembali dari Waerebo.

Cancar 
Perjalanan kembali dari Dintor ke Ruteng menyediakan 3 pilihan jalan berbeda dengan plus-minus masing-masing. Setelah saya, Yudi, Mako dan Timo mendiskusikan pilihan-pilihan yang tersedia, saya memutuskan kami kembali ke Ruteng melalui jalan yang sama saat kami datang ke Dintor. Saya tidak mau mengambil resiko kehabisan bensin di jalan atau mendapatkan halangan lainnya jika mengambil rute lain walau akan mendapatkan pengalaman berbeda. Setelah melewati jalan berliku yang kadang berlubang-lubang selama hampir 3 jam,  kami tiba di jalan trans Flores di kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. Saya meminta Yudi langsung ke Labuan Bajo dengan mampir sesaat di Cancar. Saya ingin mendapatkan pesona dan keelokan sunset di Labuan Bajo yang pernah saya nikmati tahun 2014 (baca catatan
Cancar
perjalanan di Labuan Bajo pada tahun 2014). Yudi langsung belok kiri dari pertigaan jalan kecil yang kami lalui ke jalan trans Flores yang lebar dan beraspal bagus. 30an menit kemudian kami tiba di Cancar. Yudi membawa kami ke halaman satu rumah penduduk di bawah bukit di pinggir jalan Cancar. Saat kami semua keluar dari mobil, seorang lelaki sedang duduk di kursi plastik seperti sedang menjaga sesuatu di halaman belakang rumah tersebut. Ternyata lelaki tersebut merupakan pemilik rumah yang halamannya akan kami atau pengunjung lain lewati menuju atas bukit di belakang rumahnya guna melihat pesona sawah berbentuk sarang laba-laba. Saya membayar 40ribu rupiah sebagai tiket bagi kami berempat melewati halaman rumah lelaki tersebut menuju bukit pandang sawah laba-laba.

Timo di Cancar
Kami harus mendaki jalan tanah berdebu ke atas bukit setinggi 30an meter. Di beberapa bagian, jalan mendaki tersebut diberi penahan dari kayu sebagai injakan kaki para pengunjung. Saat tiba di atas, kami harus mencari spot strategis untuk melihat sekaligus memotret bentuk sarang laba-laba sawah yang terhampar jauh di lembah. Bukit yang kami daki hanya ditumbuhi semak belukar. Di beberapa bagian tersedia jalan-jalan setapak yang dibuat para pengunjung. Sinar matahari nan terik terasa menggigiti kulit namun tidak bisa dihindari karena tidak ada pepohonan sebagai peneduh di atas bukti tempat kami
Cancar
menikmati keindahan sawah laba-laba. Lembah di bawah bukit dipenuhi barisan sawah laba-laba sejauh mata memandang. Sawah laba-laba merupakan satu-satunya di dunia yang hanya ada di Manggarai, Flores, NTT, Indonesia. Sawah ini disebut Lingko oleh orang Manggarai. Konon, pembagian lahan sawah yang berbentuk sarang laba-laba itu dimulai dari tengah oleh tua adat yang memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk itu. Tua adat akan berdiri dan memasang patok pada poros lahan yang akan dijadikan sawah oleh suatu suku. Dari patok itulah ditarik garis ke ujung-ujung terluar lahan. Garis-garis milik keluarga berbeda dalam satu suku itulah yang membentuk pola seperti sarang laba-laba. Setelah memotret sawah laba-laba dari beberapa tempat di atas bukit kami berlalu meninggalkan punggung bukit dan kembali ke halaman pemilik rumah menuju mobil yang kami tinggalkan di situ.

Pelabuhan Labuan Bajo dari kamar hotel Green Hill Butique
Dari Cancar, kami melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo sebagai tempat transit bagi saya menuju Taman Nasional (TN) Komodo. Rencananya saya akan menghabiskan 3 hari di TN Komodo. Saya akan menginap diatas kapal kayu yang telah saya sewa seharga 5,5 juta rupiah selama 3 hari. Sohib, sodara sekaligus teman saya bernama Richard akan bergabung di Labuan Bajo sore ini. Kami akan bertemu dan menginap di hotel yang sama di Labuan Bajo, yakni di Green Hill Boutique Hotel. Setelah menempuh waktu hampir 4 jam melewati barisan perbukitan dan juga sawah hijau seluas ratusan hektar di daerah Lembor, rombongan kami tiba di Labuan Bajo menjelang sore. Yudi kesulitan mencari hotel karena letak hotel tersebut tersembunyi di atas bukit di belakang satu restoran Italia di kota Labuan Bajo. Setelah memutari kota
Pelabuhan Labuan Bajo dari kamar hotel Green Hill Butique
Labuan Bajo 3 kali, akhirnya kami menemukan papan nama hotel yang tergantung bersebelahan dengan papan nama restoran Italia di tepi jalan utama kota Labuan Bajo. Ruang resepsionis berada di pinggir jalan utama yang dipenuhi jejeran berbagai kios, toko, warung, restoran, homestay dan hotel. Yudi, Mako dan Timo memindahkan koper saya ke ruang resepsionis. Setelah menyelesaikan administrasi check in, termasuk pembayaran kamar untuk 1 malam, saya menyelesaikan urusan pembayaran sewa mobil dan jasa Timo menemani saya di Waerebo. Saya berpisah dengan Yudi, Mako dan Timo di resepsionis Green Hill Boutique Hotel. Walau hari telah sore, namun Yudi ingin langsung pulang ke Ende. Mungkin mereka akan menginap di Ruteng sebagaimana rencana di Dintor. 

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Seorang staf hotel mengangkat koper saya dan membawanya ke kamar hotel yang berjarak puluhan anak tangga di atas bukit dari ruang resepsionis. Hotel ini hanya memiliki beberapa kamar yang dibangun dalam 2 baris di ketinggian berbeda mengikuti kontur tanah berbukit. Saya mendapatkan satu kamar di bangunan baris depan. Kamar dan interiornya bertema vintage dengan jendela lebar yang terbuka menghadap lautan di kejauhan. Dari kamar, saya bisa melihat kapal dan perahu motor yang melintas di teluk Labuan Bajo. Saat saya sedang berleha-leha di kamar sambil menikmati panorama pelabuhan, saya  menerima khabar melalui WA dari Richard yang telah tiba menggunakan pesawat garuda dari Bali. Ternyata Richard lebih mudah menemukan hotel tempat kami menginap malam ini, karena sopir taksi bandara telah sering mengantar tamu ke hotel ini.

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Melalui kamar atau teras depan kamar, para tamu bisa menikmati keindahan senja hari pelabuhan Labuan Bajo. Namun, para staf hotel menginformasikan ke saya bahwa lokasi strategis menikmati sunset adalah di restoran yang berjarak sekitar 20an meter dari kamar. Saya dan Richard memesan minum sore dan minta disediakan di restoran terbuka yang menyediakan pemandangan ke sebagian kota Labuan Bajo di bawah dan juga teluk Labuan Bajo. "Matahari akan menghilang di belakang Pulau Bidadari", kata salah satu staf hotel. Saya hanya mengangguk sambil berpikir, oh ternyata itu pulau Bidadari yang berada dalam daftar kunjungan saya setelah pulau Kanawa di TN Komodo. Letaknya tidak terlalu jauh dari teluk Labuan Bajo karena terlihat dari restoran hotel Green Hill Boutique. Perairan Pulau Bidadari merupakan salah satu lokasi diving dan snorkling di Labuan Bajo. 

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Saat sunset menjelang, saya dan Richard berpindah dari teras kamar ke restoran hotel. Warna kekuningan menuju jingga mulai muncul di horison Barat bersama bergulirnya matahari secara perlahan menuju peraduan malam. Semakin lama, semburat jingga langit semakin kuat seiring makin dekatnya perjalanan matahari tiba ke tujuan akhir di malam hari. Bulatan sempurna sang senja menghadirkan pesona tak terkatakan yang hanya bisa dinikmati pada saat yang tepat di tempat yang tepat juga. Kamera DSRL dan HP saya bergantian mendokumentasikan daya magis sunset Labuan Bajo sore itu. Tak ada suara, hanya belaian lembut angin sore terasa samar hingga menghilangnya sang raja siang secara perlahan ke dalam pelukan dewi malam.

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Selesai menikmati keindahan sunset Labuan Bajo, saya dan Richard kembali ke teras kamar. Kami bercakap-cakap sambil menunggu om Kancek. Om Kancek adalah penghubung saya di Labuan Bajo yang saya kenal dari teman seorang rekan kerja di Jakarta. Kami telah berkomunikasi beberapa kali melalui telpon untuk mengatur rencana perjalanan saya di TN Komodo. Sekitar jam 7 malam, om Kancek tiba di hotel. Sekali lagi kami membicarakan rencana perjalanan selama 3 hari di TN Komodo sekaligus urusan pelunasan sewa kapal. Om Kancek tidak bisa menemani saya dan Richard karena ada urusan lain. Namun om Kancek menjamin nahkoda kapal telah berpengalaman dan mengetahui semua tempat yang akan kami jelajahi selama 3 hari.
Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Saya hanya mengiyakan lalu kami berpisah dengan janji akan dijemput dan diantar om Kancek ke kapal esok pagi. Kami keluar bersama dari hotel untuk mentransfer pembayaran kapal, sekaligus saya dan Richard akan mencari makan malam di salah satu warung atau restoran yang bertebaran sepanjang jalan utama kota Labuan Bajo. Kami juga dapat menikmati suasana malam kota kecil yang sedang mengeliat karena telah menjadi destinasi para pengunjung domestik dan manca negara. Di jalan, kami berpapasan dengan beberapa turis manca negara yang berpakaian seadaanya, termasuk hanya memakai sandal jepit. Pakaian khas para divers atau snorklers manca negara seperti yang pernah saya jumpai di Bali dan Lombok.


Salah satu penghuni rumah adat Niang Gendang di Waerebo
Bersambung ke TN Komodo : Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Kalong Komodo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...