Minggu, 03 Juli 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Waerebo - Negeri di Balik Langit

Kampung adat Waerebo
Waerebo merupakan salah satu dusun di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, NTT.  Dusun ini terletak di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut. Karena itulah, jalan ke Waerebo merupakan jalan yang terus mendaki sejak dari Denge. Tujuh rumah adat berbentuk kerucut beratap daun rumbia atau lontar merupakan bagian dari dusun Waerebo yang dihuni 40 Kepala Keluarga (KK). Mata pencarian utama penduduk Waerebo adalah bertani kopi dan menenun. Saat saya menjelajah Waerebo, saya menemukan kopi di mana-mana. Pohon-pohon kopi di kebun-kebun penduduk. Biji-biji kopi dalam karung di rumah-rumah penduduk serta biji-biji kopi yang dijemur di halaman-halaman rumah. Para tamu juga disuguhi kopi tumbuk dan teh. Walau saya telah berpantang minum kopi hitam selama beberapa tahun, saat di Bajawa dan Waerebo, saya memilih minum kopi karena ingin menikmati kelezatan kopi Flores yang sangat terkenal.

Atap Niang Gendang / rumah induk 
Asal usul penduduk Waerebo memiliki dua versi. Satu versi menceritakan dongeng turun temurun leluhur lelaki yang berasal dari satu kampung dekat Kota Ruteng saat ini. Versi lain menceritakan leluhur lelaki penduduk Waerebo berasal dari tanah Minang. Kedua versi ini  memiliki kesamaan, yakni perjalanan leluhur lelaki yang perpindah beberapa tempat hingga tiba di Waerebo lalu memutuskan menetap dan beranak pinak di Waerebo. Sejak leluhur lelaki sampai dengan saat ini, Waerebo telah memiliki 19 generasi. Sebagian penduduk Waerebo saat ini berada di kampung Kombo yang menjadi kembaran Waerebo. Di kampung Kombo penghuninya tidak terikat adat untuk membangun dan menjaga rumah-rumah adat sebagaimana di Waerebo. Akses ke pelayanan publik juga lebih mudah di kampung Kombo
Niang Gendang 
dibandingkan kampung asli mereka yang telah menjadi destinasi turis domestik dan manca negara. Waerebo yang menyandang predikit arsitektur tradisional warisan dunia versi UNESCO telah dikelola dengan baik untuk kenyamanan para pengunjung, terurama turis asing yang sering berkunjung dalam jumlah 5-10 orang per rombongan. Selain kopi, ekonomi penduduk Waerebo digerakan oleh kunjungan turis yang puncaknya pada bulan November setiap tahun bersamaan dengan perayaan adat tahun baru Waerebo, demikian cerita pak Rafael - salah satu tetua suku yang menerima kunjungan saya di rumah induk bernama Niang Gendang. Posisi Niang Gendang terletak di tengah dan diapit 6 rumah adat dengan masing-masing 3 di kiri dan 3 di kanan. Posisi Niang Gendang lebih tinggi dari 6 rumah adat lainnya serta memiliki penanda berbeda di bagian atapnya seperti tanduk kerbau. Sedangkan 6 rumah adat lainnya hanya berbentuk seperti huruf I. 

7 rumah adat Waerebo
Ketujuh rumah adat Waerebo disebut Mbaru Niang. Masing-masing rumah memiliki nama sendiri-sendiri. Rumah induk di tengah - yang menjadi tempat wajib bagi setiap tamu masuki saat pertama menginjakan kaki di Waerebo bernama Niang Gendang. Selanjutnya berurutan ke sebelah kanan dari yang terdekat ke Niang Gendang adalah Niang Gena Ndorom, Niang Gena Jekong dan Niang Gena Mandok. Urutan di sebelah kiri dari yang paling dekat ke Niang Gendang adalah Niang Gena Pirum, Niang Gena Jintam dan Niang Gena Maro. Niang Gena Maro dijadikan tempat menginap bagi para pengunjung dan tamu pada hari-hari biasa karena konon katanya tidak ada lagi penerus penghuni rumah adat Niang Gena Maro. Saat dilakukan event tertentu yang dihadiri ratusan pengunjung, ketujuh rumah adat Waerebo difungsikan sebagai penginapan. Masing-masing rumah adat memiliki tinggi 
Niang Gendang diapit Niang Gena Ndorom & Niang Gena Pirum
sekitar 5meter. Masing-masing rumah adat memiliki 5 tingkatan yang memiliki nama dan fungsi berbeda. Rumah induk / Niang Gendang lebih besar dan lebih tinggi dari keenam rumah lainnya. Tingkatan tertinggi atau tingkatan kelima bernama Hekang Kode sebagai tempat para leluhur. Hekang Kode terbuat dari anyaman bambu yang disebut Langkar. Tingkatan keempat disebut Lempa Rae merupakan tempat penyimpanan persediaan makanan atau lumbung pangan. Tingkatan ketiga bernama Lentar sebagai tempat penyimpanan benih tanaman pertanian dan perkebunan. Tingkatan kedua disebut Lobo yang merupakan tempat penyimpanan peralatan makan, minum dan barang lainnya. Tingkatan pertama atau paling bawah bernama Tenda yang menjadi pusat aktibitas para penghuni sebagai kamar tidur, ruang pertemuan, dapur, ruang makan dan sebagainya. Di halaman depan Niang Gedang / rumah induk terdapat altar yang disebut Compak sebagai tempat pelaksanan berbagai upacara adat. Compak merupakan tempat tersuci di kampung Waerebo dan juga kampung-kampung adat lainnya di Manggarai. 

Bersama pak Rafael di dalam Niang Gendang
Rumah Induk atau Niang Gendang tempat saya disambut dan diupacarai secara adat memiliki 8 kamar bagi 8 keluarga. Kamar-kamar ini bersusun melingkar mengikuti bentuk melingkar bagian dalam rumah adatnya. Bagian paling depan sisi kiri dan kanan pintu dijadikan ruang terbuka sebagai ruang duduk dan tidur. Pola pengaturan ruang yang sama berlaku di 5 rumah lainnya.

Berbeda dengan Niang Gendang yang memiliki 8 kamar, kelima rumah lain hanya memiliki 6 kamar yang dihuni 6 keluarga di masing-masing rumah. Sedangkan 1 rumah bernama Niang Gena Maro tidak memiliki kamar karena disediakan bagi para tamu atau pengunjung, demikian ringkasan cerita Pak Rafael dan Timo saat kami meneruskan percakapan setelah selesai acara penerimaan secara adat.



Anak-anak sedang bermain di halaman















Bersama Timo di halaman
Sekitar jam 1 siang, Pak Rafael mempersilahkan saya beristirahat ti rumah adat Niang Gena Maro. Rumah ini terletak di ujung terjauh sebelah kiri Niang Gendang atau rumah pertama di sebelah jalan masuk keluar kompleks. Niang Gena Maro yang diperuntukan bagi para tamu dilengkapi dapur terpisah di belakang. Di bawah rumah dapur yang dibangun berbentuk panggung tersebut telah dibangun kamar mandi dan toilet berjarak sekitar 5 meter dari dapur. Para ibu sedang sibuk menyiapkan makan siang bagi saya dan Timo karena hanya kami berdua yang menjadi tamu siang ini. Kami disuguhi kopi dan buah-buahan terlebih dahulu sebelum makan siang siap dihidangkan. Saya memberikan uang 350ribu ke Timo untuk diserahkan ke para ibu sebagai ongkos menginap bersama makanan dan minuman selama sehari saya berada di Waerebo. Harga tersebut merupakan harga yang disepakati para tetua adat dan diberlakukan Yayasan pengelola rumah-rumah adat Waerebo yang adalah penduduk Waerebo. Harga tersebut berlaku bagi semua pengunjung baik domestik maupun manca negara. "Para ibu yang bertugas mengurus tamu telah memiliki jadwal masing-masing sesuai aturan yang disepakati bersama para tua adat dan Yayasan", kata Timo saat saya menggali lebih jauh urusan dapur. 

Bentuk Niang Gena Maro sama persis dengan Niang Gendang atau rumah induk. Bedanya Niang
Bagian dalam Niang Gena Maro
Gena Maro tidak memiliki kamar seperti di rumah induk dan juga 5 rumah adat lain yang dihuni penduduk Waerebo. Lantai Niang Gena Maro yang terbuat dari bilah-bilah papan telah diberi hamparan tikar tebal sebagai tempat tidur para tamu dari samping pintu masuk melingkar mengikuti bentuk bulat rumah hingga sisi lainnya. Di salah satu sudutnya bertumpuk puluhan bantal dan kain selimut pembungkus tubuh di malam hari saat tidur. Timo memgambil 2 bantal dan 2 selimut bagi kami berdua. Kami memilih tempat di sebelah
Pulang dari kebun di sore hari
kiri pintu masuk sebagai tempat istirahat. Di dinding sisi kiri pintu belakang menuju dapur dijadikan etalase berbagai produk pertanian dan tenunan penduduk Waerebo. Sarung tenunan berbagai bentuk dan warna tergantung rapi. Di bawahnya, di atas lantai papan Niang Gena  Maro disediakan dan dijual kopi Waerebo yang telah dikemas dalam berbagai ukuran. Tersedia juga madu, buah-buahan segar, gelang dan cincin dari akar dan kayu yang diatur rapi di atas lantai tempat gantung sarung tenunan. "Berapa harga kain tenunan ini?, tanya saya ke Timo. Timo meneruskan pertanyaan saya dalam bahasa setempat ke para ibu yang sedang sibuk di dapur. "Lima ratus ribu rupiah", kata Timo setelah mendapatkan jawaban dari dapur. Saya memilih dan membeli 2 kain tenunan serta sebungkus kopi bubuk bermerek Waerebo seharga 60 ribu rupiah.

Menjemur kopi di halaman 
Karena setelah makan siang tidak ada kegiatan, maka saya memilih tiduran sambil ngobrol dengan Timo. Saya sempat terlelap karena saat terbangun Timo sudah tidak berada di samping saya. Saya melihat seorang pemuda sedang asyik dengan laptop di sudut lain rumah adat yang saya tempati. Saya bangun dan menghampiri pemuda tersebut mengajak kenalan dan bercakap-cakap. Namanya Bunga, salah satu staf Yayasan pengelola rumah-rumah adat Waerebo. Bunga sedang mengerjakan pembukuan. Pernah kuliah di Makassar, Sulawesi Selatan. Akhirnya Bunga memilih kembali ke kampung berkerja membantu para tua adat mengelola Yayasan. Bunga merupakan satu-satunya orang muda diantara para orang tua dan anak-anak yang saya jumpai selama saya berada di kampung adat Waerebo.

Pelangi di air terjun pada waktu yang tepat
Timo muncul saat saya sedang asyik bercakap-cakap dengan Bunga. "Pak, mo ke air terjun?, tanya Timo dalam nada mengajak. "Berapa jauh?, tanya saya. "Sekitar 4 kilometer, balas Timo". "Ayo, balas saya memenuhi ajakan Timo sekaligus meninggalkan Bunga yang terus menekuni pembukuan Yayasan. Saya dan Timo keluar dan berjalan beriringan melewati setapak diantara rumah adat Niang Gena Jekong dan Niang Gena Mandok yang berhadapan dengan Niang Gena Maro yang menjadi tempat menginap saya dan Timo atau rumah bagi para tamu. 

Timo di air terjun
Keluar dari kompleks rumah-rumah adatWaerebo, kami berdua berjalan melewati kebun-kebun kopi penduduk yang membuat saya mengetahui penghasilan utama penduduk Waerebo adalah kopi. Setapak yang kami tempuh lebih kecil dari setapak Denge - Waerebo atau sebaliknya (baca catatan sebelumnya tentang Waerebo: Negeri di Balik Langit). Setapak ini hanya selebar 30-40an cm yang merupakan jalan warga Waerebo ke kebun-kebun mereka di lembah maupun punggung-punggung bukit dan gunung sekitar kampung itu. Beruntung saya menggunakan sepatu gunung sehingga saya tidak kesulitan meniti dan menjejak setepak di punggung-punggung gunung yang sangat terjal di beberapa tempat. Kadang saya bahkan harus merangkak dan perpegangan pada akar-akar pohon rambat atau ranting dan batang pohon yang melintang di atas setapak yang sedang kami lalui. Sebelum tiba di air terjun, kami melewati satu sungai berair sangat jernih yang menarik saya ingin mandi di situ, namun Timo meminta saya meneruskan perjalanan kami ke air terjun yang hanya berjarak satu blok lagi di balik sungai itu.

Kolam pemandian dari batu di air terjun Pelangi
Tingginya sekitar 10 meter dengan valume air yang tidak terlalu besar karena sedang puncak musim kemarau yang berdampak pada ketersediaan debit air. Air terjun jatuh ke kolam bulat dari batu dengan garis tengah berukuran sekitar 3-4 meter. Airnya sangat dingin saat saya mencoba mencelupkan tangan ke dalam kolam. Namun, saya ingin menjajal dan menikmati kesegaran air terjun Waerebo di tengah hutan alam ini. Timo menawarkan dirinya mencoba terlebih dahulu. Namun karena kami tidak tahu kedalaman kolam, saya meminta Timo agar mandi langsung di air terjunnya saja. Dengan
Pelangi di air terjun 
hanya mengenakan celana dalam, Timo berjalan sangat hati-hati ke dinding tebing batu di belakang air terjun. Saat Timo sedang asyik mandi di bawah shower air terjun, sinar matahari jatuh tepat ke butir-butir air terjun yang lalu membentuk lingkaran pelangi di air terjun. "Timo, ada pelangi, kata saya menunjuk ke air terjun. Timo tidak bertahan lama di bawah siraman shower alam air terjun. Timo keluar dari siraman shower air terjun sesaat untuk melepaskan dingin air yang memeluk tubuhnya kemudian masuk lagi. Setelah mengulang beberapa kali, Timo akhirnya berhenti dan meninggalkan lokasi air terjun kembali ke tempat kering. Saya menggantikan Timo mencoba shower air terjun yang telah saya duga airnya sangat dingin.  Karena airnya sangat-sangat dingin, saya hanya bisa bertahan 3 kali masuk dan keluar siraman air terjun pelangi itu. Rasa dingin airnya bagaikan air yang baru dikeluarkan dari kulkas atau sedingin es yang membekukan.

Membantu orang tua membereskan jemuran kopi
Berbeda dengan saat saya dan Timo berjalan ke air terjun. Saat kami kembali dari air terjun ke kampung Waerebo, jalan terus menanjak dan mendaki karena lokasi air terjun berada di suatu lembah berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari kampung Waerebo. Hari hampir sore saat saya dan Timo tiba kembali di rumah adat Niang Gena Maro. Gumpalan-gumpalan awan sedang berarak di langit biru. Sepertinya hari akan hujan, pikir saya. Beberapa anak perempuan dan laki-laki asyik bermain di halaman menemani para orang tua mereka yang mulai keluar dari 6 rumah adat untuk membereskan dan mengangkat jemuran kopi karena kuatir hujan akan turun. Halaman rumah-rumah adat tersebut terlihat sibuk oleh perempuan dan laki-laki bahkan beberapa anak ikut membantu para orang tua mereka mengumpulkan dan memasukan biji-biji kopi ke dalam karung. Biji-biji kopi yang telah masuk karung diangkut ke masing-masing rumah adat tempat tinggal masing-masing keluarga pemilik kopi yang menjemur kopi di atas terpal di halaman itu.

Pulang dari kebun
Beberapa perempuan dan laki-laki terlihat pulang dari kebun masing-masing sambil memikul kayu bakar ataupun hasil kebun berupa buah dan sayuran. Semuanya berseliweran di halaman bersama kesibukan mengangkat jemuran kopi. Halaman yang awalnya sangat sepi sejak saya dan Timo tiba sampai dengan kepergian kami ke air terjun Pelangi tiba-tiba berubah riuh oleh para penghuni rumah-rumah adat yang keluar ke halaman mengurus jemuran kopi masing-masing. Timo membantu seorang nenek tua yang sedang membereskan jemuran kopinya di salah satu terpal. Selesai membantu sang nenek, Timo bergabung ke pak Rafael yang sedang bercengkerama dengan cucu-cucunya di halaman salah satu rumah adat. Saya mengamati semua kesibukan tersebut sambil memotret. Kesibukan sore di halaman mengejutkan saya yang mengira sebagian besar penghuni sedang berada di kebun. Ternyata dugaan saya salah karena di siang hari sebagai besar penghuni berada dalam rumah adat masing-masing.

Membereskan jemuran kopi
Karena kampung adat Waerebo berada dalam lembah yang dipagari jejeran bukit dan gunung, maka kepergian surya di senja hari tidak terlihat. Senja dengan cepat hadir di Waerebo saat kesibukan membereskan jemuran kopi selesai bersamaan dengan datangnya gerimis yang hanya sesaat. Ketika langit kembali berwarna biru, saya dan Timo telah berganti celana panjang dengan sarung tenunan yang saya beli siang tadi dari para ibu di rumah adat Niang Gena Maro. Saya meminjamkan satu kain tenun itu ke Timo lalu kami berdua bergaya di halaman ketujuh rumah adat untuk foto-foto. Awalnya kami berdua selfie, namun
seorang ayah muda menggendong anak laki-laki menghampiri kami sehingga kami minta foto
bersama sekalian meminta ayah muda tersebut memotret saya dan Timo yang sedang bergaya memakai kain tenunan Manggarai. Saat kami sedang asyik foto, sepasang perempuan dan laki-laki  muda berjalanan memasuki halaman. "Selamat sore, sapa si perempuan muda sambil tersenyum dan mengangguk ramah. Lelaki pasangannya hanya tersenyum dan mengangguk. Kami balas mengucapkan selamat sore. Keduanya berjalan melewati kami menuju rumah induk (Niang Gendang). Sama seperti penyambutan saya secara adat pagi tadi, pak  Rafael telah menunggu di Niang Gendang untuk menyambut mereka secara adat.

Membersihkan kopi
Pasangan laki-laki dan perempuan itu berasal dari tempat berbeda. Laki-laki bernama Agus berasal dari Jawa Tengah dan sedang bekerja di Kupang. Perempuan bernama Sarah berasal dari Manggarai. Agus baru pertama kali ke Waerebo, sedangkan Sarah adalah yang kedua sehingga Sarah yang bertindak sebagai guide bagi Agus, demikian cerita yang saya peroleh saat kami bersama-sama menunggu makan malam disiapkan bagi kami oleh para ibu di Niang Gena Maro. Sebelum makan malam disajikan, jumlah kami bertambah dengan kehadiran seorang bule laki-laki dan seorang perempuan bersama dua guide mereka. Salah satu guide merupakan guide kedua bule tersebut di Lombok karena mereka berkeliling Lombok terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke Waerebo. Di Denge, kedua bule bersama guide dari Lombok ditemani guide lokal sehingga mereka berempat tiba di Waerebo. Sampai pagi berikut, hanya kami berdelapan yang menjadi tamu yang menginap di rumah adat Niang Gena Maro di kampung adat Waerebo. 

Menjemur kopi
Kami berdelapan makan malam sambil ngobrol berbagai hal termasuk berbagi cerita pengalaman perjalanan masing-masing. Saya menceritakan pengalaman saya menjelajah Swiss, termasuk ke puncak bersalju gunung Alpen yang dikenal dengan nama Jungfraujoch. Pasangan bule itu merupakan suami istri bernama Auslug dan Emily yang berasal dari Swiss. "Walaupun saya orang Swiss, saya belum pernah ke Jungfraujoch", timpal Emily merespon cerita perjalanan saya di Swiss (baca catatan perjalanan di Wilderswil, Jungfraujoch dan Interlaken yang telah saya tulis dan publikasikan beberapa bulan silam). "oh ya?, kenapa?", balas saya penasaran. "Mungkin karena saya dan suami orang Swiss ya?, balas Emily sambil tersenyum. Percakapan kami terus mengalir dan berpindah-pindah topik. Suami Emily menceritakan betapa sulitnya dia saat mendaki ke puncak gunung Rinjani di Lombok. "Saya maju satu langkah, mundur 3 langkah", kata Auslug sambil geleng-geleng kepala.

Pulang dari kebun
Masing-masing kami kembali ke tempat duduk sekaligus tempat tidur masing-masing di rumah adat Niang Gena Maro. Saya, Timo bersama Agus dan Sarah menempati sayap kiri rumah adat Niang Gena Maro. Emily, Auslug dan kedua guide mereka menempati sayap kanan rumah adat tersebut. Kami meneruskan cerita sambung menyambung dari tempat istirahat masing-masing. Saat masih sedang bercerita diantara kami, Bagus muncul dari dapur lalu mengajak saya dan Timo berkunjung ke rumahnya yang letaknya bersebelahan dengan rumah adat Niang Gena Maro. Ajakan yang tentu saja disambut gembira oleh saya karena saya bisa melihat bagian dalam rumah adat  lain di lokasi tersebut. Sarah dan Agus ikut bergabung sehingga kami berlima keluar dari Niang Gena Maro dan menjadi tamu di rumah adat Niang Gena Jintam, yakni rumah adat yang menjadi tempat tinggal Bunga dan keluarga besarnya.

Memjemur kopi
Beberapa perempuan dan laki-laki sedang duduk di sekitar perapian yang terletak di tengah-tengah rumah adat Niang Gena Jintam. Anak-anak telah tidur beralaskan tikar di kedua sisi rumah adat itu. Empat laki-laki dewasa sedang duduk merokok sambil ngobrol di salah satu sisi. Bunga membawa kami bergabung ke lokasi para lelaki yang menggeser duduknya untuk memberi tempat bagi kami berlima. Kami berjabatan tangan dan bertukar sapa lalu ikut duduk bergabung ke kelompok para lelaki yang sedang asyik bercakap-cakap. "Nah bagini bagus, jangan hanya tinggal di dalam rumah tamu", kata seorang lelaki diiringi tawa hampir semua penghuni yang masih terjaga di dalam ruang duduk yang berfungsi juga sebagai ruang tidur di rumah adat itu. "Iya, maaf saya tidak tahu bahwa tamu boleh berkunjung ke rumah-rumah adat lainnya", balas saya. "Oh boleh sekali", balas salah satu di antara kelompok kedua yang duduk di tengah dekat perapian. Percakapan antar kami para tamu dengan para tuan dan nyonya rumah berlangsung seru diiringi tawa berderai-derai. Ternyata para penghuni rumah adat yang menerima 
Mengangkat jemuran kopi
tamu adalah orang-orang ramah dan terbuka. "Semua yang tinggal di sini satu keluarga", tanya saya ingin tahu. "Tidak, kami dari keluarga berbeda-beda", balas laki-laki tua yang duduk di samping saya. "Kami dipilih dan disepakati secara adat", lanjut lelaki tua itu meneruskan informasinya. Obrolan kami terus mengalir sambung menyambung satu sama lain. Saya mendapatkan banyak cerita tentang adat budaya hingga tanggal acara tahun baru secara adat oleh penduduk Waerebo yang jatuh pada bulan November. Saya bersama Agus dan Sarah diundang datang kembali di bulan November untuk mengikuti acara tahun baru Waerebo. Saya hanya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum mengingat butuh modal, waktu dan juga tenaga untuk tiba di Waerebo dari Jakarta. Semua lelaki
Bermain di halaman rumah adat
yang menemani kami ngobrol adalah perokok aktif. Asap rokok terus menerus mengepul di antara percakapan kami tentang berbagai hal. Sekitar 30an menit bercakap-cakap, saya mulai batuk-batuk karena tidak tahan menghirup asap rokok para bapak yang dengan gembira ria ngobrol dan menceritakan keseharian, kondisi sosial dan asal usul kampung Waerebo. Karena tidak tahan menghirup asap rokok ditambah asap dari perapian di tengah-tengah rumah adat, saya pamit karena batuk semakin menjadi-jadi dan tubuh juga telah lelah bersama malam yang semakin larut. Saya, Timo, Sarah dan Agus meninggalkan para pemilik kampung adat Waerebo yang dengan ramah telah menerima kami di rumah mereka.

Membantu orang tua
Udara dingin menyergap saya saat kaki saya menuruni tangga rumah. Suasana hangat dan penuh tawa di dalam rumah adat sangat kontras dengan suasana di luar yang dingin dan sunyi. Bahkan suara burung dan serangga malam pun tidak terdengar. Barisan rumah adat dan lingkungan sekitarnya yang dipagari bukit dan gunung bemandikan tamaram cahaya jutaan bintang. Saya terhenyak menikmati pesona malam Waerebo. Saya berdiri sejenak di halaman menikmati suasana tamaram, sepi dan sunyi itu. Saya memandangi pagar alam berwarna kehitaman di kejauhan lalu mendongak memandangi jutaan kerlap kerlip bintang di langit Waerebo. Saat saya masuk kembali ke Niang Gena Maro, semua penghuninya telah tidur. Timo telah membungkus tubuhnya dengan jaket tebal dan bergelung dalam sarung. Saya ambil 
Membersihkan kopi
tempat di sebelah Timo dekat pintu masuk di sisi kiri rumah adat. Saatnya beristirahat memulihkan tenaga guna kembali ke Denge esok hari. Saya sempat terbangun sekali di subuh hari untuk ke toilet. Saat saya keluar ke halaman, suasana sunyi semalam masih menggantung bersama kabut tipis dan hembusan lembut angin dingin membungkus lingkungan sekitar yang menghadirkan romantisme mistis. Saya belok kanan menuju toilet di belakang rumah adat Niang Gena Maro. Selesai urusan toilet, saya cepat-cepat kembali ke dalam rumah dan bergelung lagi dengan selimut untuk menghangatkan tubuh memanen kembali mimpi yang terputus.

Rumah-rumah adat Waerebo



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...