Minggu, 26 Juni 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Dintor ke Waerebo - Jalan Panjang Penuh Pesona

Hamparan sawah di halaman Waerebo Lodge
Setelah melewati jalan berliku mendaki gunung dan menuruni lembah, saya bersama Yudi dan Mako tiba di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. Kami akan langsung menuju Dintor sebagai lokasi transit menuju Kampung Adat Wae Rebo. Kami berhenti se-jam di kota Ruteng untuk memberikan waktu bagi Yudi dan Mako merokok sekaligus beristirahat. Setelah itu, kami makan siang dan belanja biskuit serta air mineral sebagai bekal menuju Dintor karena kami bertiga tidak tahu apa yang akan kami temui di Dintor. Dari jalan trans Flores, Yudi membelokan mobil ke kiri di salah satu pertigaan yang memisah dari jalan utama trans Flores. Kami menyusuri jalan aspal yang lebih kecil dari jalan utama. Sekitar 2 km menyusuri jalan tersebut, kami mulai meninggalkan kota Ruteng. Jalan aspal yang kami susuri
Panorama jalan yang kami lalui menuju Dintor
berkelok-kelok di punggung-punggung bukit yang dipagari semak belukar dan hutan di kiri dan kanannya. Setelah menyusuri jalan tersebut sepanjang beberapa kilometer, kami memasuki jalan yang membelah hamparan luas sawah ratusan hektar di kiri dan kanannya. Puluhan hektar di antaranya terlihat selesai panen meninggalkan hamparan berwarna khaki bersisian dengan hamparan hijau berisi padi yang sedang tumbuh. Yudi menghentikan mobil beberapa kali sepanjang jalan ini untuk menanyakan arah ke Dintor. Lepas dari hamparan sawah yang sangat luas, jalan kembali memasuki hutan belukar di sebelah kanan diapit garis pantai Pulau Flores dan laut Flores di sebelah kiri. Sama seperti puluhan kilomoter yang telah kami lewati sebelumnya. Jalan ini juga berlubang-lubang dan telah rusak di berbagai tempat. Setelah menempuh waktu sekitar 3 jam dari Ruteng, kami akhirnya tiba di penginapan yang telah saya pesan sebulan silam.

Panorama jalan yang kami lalui menuju Dintor
Waerebo Lodge demikian nama penginapan yang terletak di Dintor. Penginapan ini milik seorang warga Waerebo bernama Martinus Anggo. Waerebo lodge terletak di tengah hamparan sawah hijau karena padi yang ditanam telah tumbuh setinggi betis orang dewasa. Hanya ada 2 penginapan di kampung terdekat sebagai tempat transit menuju Waerebo, yakni Waerebo logde di Dintor dan rumah milik om Blasius Monta di Denge yang berjarak sekitar 10 menit berkendaraan dari Dintor. Saya memilih Waerebo lodge karena melihat keindahan persawahan sekitarnya saat saya mencari informasi di internet. Di internet juga tersedia nomor HP om Martinus (0852 39344 046) dan om Blasius (0813 39350 775). Setelah mempelajari dan mempertimbangkan kedua penginapan tersebut, saya memilih menghabiskan malam di Waerebo lodge di Dintor walau jaraknya lebih jauh dari batas akhir jalan bagi kendaraan menuju Waerebo. "Tak salah pilih", pikir saya sambil tersenyum saat kami tiba di Waerebo lodge yang diapit hamparan sawah nan hijau berbatasan dengan lautan di batas pandang yang dihiasi satu pulau kecil. "Namanya Pulau Mules, kata Yudi menjawab pertanyaan saya. 

Yudi memarkir mobil beberapa puluh meter dari kompleks Waerebo lodge karena akses ke lodge ini
Yudi di depan Waerebo lodge 
hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki melewati hamparan sawah di kiri dan kanan jalan tanah berbatu selebar 1 meteran. Kami tiba di lobby terbuka berlantai tanah yang diisi 1 meja kayu panjang dengan 2 bangku kayu. "Selamat sore", teriak saya karena tidak menemukan siapapun di sekitar situ. "Sore", balas suara seorang laki-laki dari salah satu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu. Sekitar 5 menit kemudian muncul seorang pemuda berusia 20an. "Pak Yesua ya?", sapa pemuda tersebut. "Saya Timo, keponakan pak Martinus", kata pemuda tersebut sambil menjabat tangan saya lalu melanjutkan ke Yudi dan Mako. "Pak Martinus ke Bali, tapi saya telah diberitahu pesanan bapak, silahkan istrahat dulu disini menunggu saya menyiapkan kamar bapa", kata Timo dalam logat Flores. "Saya mo lihat kamarnya", kata saya ke Timo. Timo membawa saya ke salah satu bungalow
Hamparan sawah di halaman Waerebo lodge 
yang dibangun menghadap jalan raya berjarak puluhan meter dipisah hamparan sawah. Semua bungalow di Waerebo lodge berupa rumah panggung setinggi 1 meter dari tanah. Bungalow-bungalow tersebut terbuat dari kayu berdinding anyaman bambu. Bungalow yang akan saya tempati memiliki 2 dipan berukuran 90cm x 2meter. Masing-masing dipan dilengkapi 1 bantal bersarung putih dengan sprei warna sama serta 1 helai kain tebal (disebut kain panas di Kupang yang digunakan menutup tubuh saat dingin) di masing-masing dipan. Toilet dan kamar mandinya dibangun terpisah di atas tanah berjarak sekitar 5 meter di belakang bungalow yang sedang saya masuki. "Apakah ada kamar lain yang memiliki toilet dan kamar mandi tidak terpisah", tanya saya ke Timo. "Ada bapa, tapi disiapkan bagi rombongan tamu bule yang rencananya akan tiba malam ini", balas Timo. "Tolong kasih saya satu, saya bayar tambah tidak apa-apa", saya mencoba bernegosiasi mendapatkan kamar tersebuat agar saya tidak perlu keluar saat akan menggunakan toilet di malam hari. "Saya tanya ibu di belakang dulu ya bapa", kata Timo sambil menuruni tangga meninggalkan saya. 

Saya keluar dan menuruni tangga bungalow menuju Yudi dan Mako yang sedang menunggu di lobby.  Timo muncul lalu mengajak kami ke sisi belakang lobby. Kami menuju satu dari 3 bungalow 
Senja di halaman Waerebo lodge
yang berjejer menghadap hamparan sawah sekaligus lautan dan Pulau Mules yang seakan tumbuh dan mengapung di lautan tersebut. Kami bertiga mengikuti Timo ke bungalow yang terletak di tengah. "Bapa bisa nginap disini jika mau", kata Timo sambil membuka pintu kayu bungalow mempersilahkan saya masuk dan melihat-lihat. Toilet dan kamar mandi menyatu pada bungalow ini sehingga tanpa banyak komen, saya langsung memberitahu Timo bahwa saya mengambil bungalow tersebut untuk menghabiskan malam ini di Dintor sebagai tempat transit ke Waerebo esok pagi. 

Hamparan sawah dan pulau Mules dari teras Waerebo lodge
"Yudi dan Mako bisa tidur di kamar sebelah", kata Timo sambil menunjuk bungalow terujung di samping bungalow yang saya tempati. "Itu khusus buat para sopir", lanjut Timo menjelaskan. "Tidak usah, kami nginap sama-sama disini saja", kata saya karena saya tahu karakter Yudi yang pasti tidak akan mau menginap di kamar bagi para sopir -seperti saat kami menginap di Bajawa. "Minta tambahan kasur saja bagi Mako, kata saya. "Baik bapa", balas Timo sambil beranjak menuruni tangga. Tak lama berselang, Timo kembali ke tempat kami membawa kasur busa seukuran dipan di kamar bungalow. Mako membantu Timo menarik kasur busa tersebut dan menempatkan kasur itu di sudut teras bungalow. Saya duduk menikmati suasana sore dan kemolekan panorama hamparan sawah, lautan dan Pulau Mules yang terlihat jelas dari teras bungalow tempat saya menginap. Mako dan Yudi asyik bercengkerama di atas kasur busa sambil mendengarkan lagu dangdut dari HP. Lagu yang mengganggu saya menikmati suasana senja itu, namun saya membiarkan saja karena melihat keceriaan mereka. Timo kembali muncul membawa teh panas bagi saya dan kopi bagi Yudi dan Mako. Kami berempat bercakap-cakap sambil menikmati teh dan kopi bersama biskuit yang kami beli di kota Ruteng.

Sunset di Dintor - depan Waerebo lodge
Saat langit mulai menguning menuju jingga di ufuk Barat, saya mengajak Yudi, Mako dan Timo turun ke hamparan sawah menikmati keindahan sunset sambil foto-foto sebagaimana biasa saya lakukan di berbagai tempat jelajah. Timo memisahkan diri kembali ke dapur menyiapkan makan malam bagi kami. Saat mentari menghilang bersama hadirnya kegelapan, ratusan suara kodok menciptakan kidung indah di bawah langit Dintor yang dihiasi jutaan bintang. Pesona dan keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang melintas dan mengasoh sejenak di tempat ini, pikir saya sambil duduk selonjor di kursi teras. Yudi dan Mako asyik bernyanyi dan gantian memainkan gitar yang disiapkan Timo. 
Yudi dan Mako di Dintor - depan Waerebo lodge
Timo muncul lagi membawakan makan malam berupa nasi putih di tempat nasi serta sepiring daging ayam kampung bumbu kecap dan sepiring sayuran. Tak menunggu lama, makanan malam itu telah tandas berpindah ke perut kami bertiga dalam sekejap :). Setelah berleha-leha di teras menikmati paduan suara ratusan kodok berpadu nyanyian serangga malam, taburan jutaan bintang di langit dan suasana malam di tengah hamparan sawah, saya pamit ke Yudi dan Mako untuk melelapkan diri terlebih dahulu menyiapkan tenaga untuk jalan kaki sepanjang 9 km dari Denge ke Waerebo esok pagi. Mungkin karena kelelahan menempuh perjalanan panjang dari Bajawa pagi tadi, saya tidur pulas tanpa terganggu suara ngorok Yudi.

Kicauan burung dan dingin subuh membangunkan saya dari kelelapan. Pagi masih samar dan berkabut saat pintu kamar saya buka. Bau sawah basah dan hembusan angin lembut menyapa saya di 
Sunrise di Dintor - belakang Waerebo lodge
Dintor. Yudi masih terlelap di dipan sebelah saya. Demikian juga Mako yang bergulung dalam bungkusan kain panas di kasur busa di teras bungalow. Saya turun dan berjalan di pematang-pematang sawah menuju belakang lodge menyambut dan menikmati senyuman mentari pagi yang mulai mengintip di ujung langit Timur. Saya menikmati kehadiran si surya pagi sambil jalan-jalan sekitar 20an menit di hamparan sawah lalu kembali ke bungalow membangunkan Yudi dan Mako. Saya mandi dan mempersiapkan diri bagi perjalanan lanjutan ke kampung Waerebo pagi ini. Selesai sarapan, Yudi dan Mako mengantar saya dan Timo ke batas akhir jalan yang bisa dicapai kendaraan di Denge. Tiba di batas akhir jalan ini, kami berempat turun dari mobil untuk foto-foto sejenak lalu saya dan Timo mulai jalan kaki meneruskan perjalanan ke Waerebo. Yudi dan Mako kembali ke Waerebo lodge menunggu saya semalam lagi di Dintor karena saya akan menginap di kampung Waerebo. 

Sungai yang sedang dibangun jembatannya
Saya dan Timo menyusuri jalan raya berbatu yang belum dipadatkan sehingga ada lubang di sana dan sini diantara batu-batu berukuran besar, sedang dan kecil. Jalan telah diperlebar dan sedang dalam proses pemadatan dan pengerasan agar dapat dilewati kendaraan. Semakin jauh dari Denge, jalan semakin menanjak dan berkelok-kelok. Saya harus melangkah hati-hati diantara batu-batu jalanan yang kadang terlepas karena dilalui truk-truk pengangkut peralatan dan material pembuatan jalan dan jembatan. "Jika ada truk lewat, kita bisa numpang sampai sungai yang berjarak 4,5 km dari batas jalan di Denge", kata Timo. Saya hanya tersenyum dan mengangguk sambil terus melangkah dengan nafas yang mulai tersengal-sengal karena jalan terus mendaki. Saya dan Timo terus melangkah perlahan-lahan sambil ngobrol dan menikmati kesejukan hutan tropis yang memagari kedua sisi jalan yang sedang kami lalui. Sekitar 1 jam perjalanan dari Denge, saya dan Timo tiba di satu sungai kecil yang menjadi batas jalan berbatu tersebut dengan jalan setapak dalam hutan yang akan kami lalui menuju Waerebo. 

Pos 1 perjalanan Denge - Waerebo
Setelah foto-foto di sungai, kami menyeberang dan berhenti di perhentian pertama yang disebut Pos 1. Pos 1 berada di bawah satu pohon tua nan rindang. Di perhentian ini tersedia papan informasi yang disediakan suatu lembaga konservasi dan revitalisasi rumah-rumah adat di Waerebo. Timo berjalan menghampiri satu tenda yang terbuat dari terpal warna biru di seberang jalan tempat Pos 1 tersebut. Tenda tersebut merupakan rumah tinggal sementara para pekerja jembatan sungai yang barusan kami lewati. Timo memanggil saya mampir ke tenda tersebut yang dengan senang hati saya hampiri. Di tenda tersebut Timo sedang duduk ngobrol dan merokok bersama 3 lelaki paruh baya. Saya ditawari rokok dan kopi, namun dengan halus saya tolak sehingga kami hanya ngobrol-ngobrol. Setelah Timo menghabiskan sebatang rokok bersama para lelaki di tenda itu, kami pamit melanjutkan perjalanan. 

Setapak yang terus mendaki menuju Waerebo
Dari Pos 1 di seberang sungai, kondisi jalan yang kami tempuh berubah sama sekali. Hanya jalan setapak dengan lebar sekitar 50-90cm di dalam hutan yang kami tempuh. Jalan ini terus mendaki seperti menuju langit tak berujung. Saya tak tahu kapan jalan ini akan berakhir. Setapak ini berkelok-kelok di antara dinding-dinding tebing di sebelah kiri dan jurang di sebelah kanan atau sebaliknya. Setapak ini tertutup naungan kerimbunan pepohonan hutan hujan tropis yang juga merupakan hutan lindung negara. Kadang jalan yang kami tempuh menanjak tajam dan licin karena jalan masih basah oleh embun dan sisa-sisa hujan semalam. Saya dan Timo jalan beriringan. Saya berjalan di depan diiringi Timo yang menyesuaikan langkah-langkahnya di belakang saya. Kicauan berbagai jenis burung, pekikan binatang hutan dan gesekan dedaunan menciptakan kidung indah sepanjang perjalanan. Hanya sekali kami berpapasan dengan seorang lelaki tua dari Waerebo menuju Denge. Setelah waktu tempuh 1 jam 15menit, kami tiba di Pos 2 di tebing suatu bukit yang menyajikan panorama hutan rimba perawan di sebelah kiri membentang hingga batas cakrawala di akhir jangkauan pandangan mata. Saya dan Timo beristirahat dan foto-foto di Pos 2 yang telah diberi pagar besi pengaman sebagai penanda bagi para pelintas agar waspada terhadap jurang sedalam ratusan meter di lokasi tersebut. 

Timo di Pos 2 menuju Waerebo
Saya dan Timo telah menempuh jarak sekitar 6,5km dari Denge hingga tiba di Pos 2. Setelah menghabiskan 15 menit di Pos 2, saya dan Timo meneruskan perjalanan. Perjalanan Pos 2 ke Pos 3 terasa lebih mudah karena jalannya lebih banyak menurun atau datar walau masih berkelok-kelok di antara tebing dan punggung-punggung bukit. Pada perjalanan ke Pos 3, saya dan Timo berpapasan dua kali dengan pengunjung lain yang telah kembali dari Waerebo. Pertama kami berpapasan dengan seorang perempuan berjilbab bersama temannya serta seorang guide dari Denge. Kedua, kami berpapasan dengan 3 bule dan 1 orang Indonesia bersama seorang guide lelaki dari Denge juga. Mereka nginap di tempat om Blasius, kata Timo. Tak sampai 1 jam, saya dan Timo tiba di Pos 3 yang merupakan satu rumah panggung berukuran sekitar 2x3meter berisi informasi tentang Waerebo. Dari Pos 3, saya bisa melihat jejeran
Panorama di Pos 2
7 rumah kerucut tinggi beratap alang-alang hingga menyentuh tanah. Rumah-rumah ini mendapatkan predikat warisan arsitektur tradisional terbaik dunia versi UNESCO. "Akhirnya saya tiba dan bisa melihat langsung rumah-rumah adat yang selama ini hanya bisa saya lihat di internet", kata saya ke Timo meluapkan kegembiraan dan kepuasan. Kelelahan perjalanan sekitar 3 jam menempuh medan berat bermandikan keringat menguap seketika. Rumah-rumah itu dibangun di suatu lempeng dataran di punggung suatu bukit yang dikelilingi jejeran bukit lain bagaikan pagar alam abadi dan kokoh.  

Jembatan penghubung setapak ke Waerebo
Setelah beristirahat sejenak di Pos 3, Timo mengajak saya meneruskan perjalanan kami memasuki kampung Waerebo yang telah berada dalam jarak pandang - mungkin hanya berjarak 500an meter dari Pos 3. Kami turun dari rumah panggung lalu menyusuri jalan setapak di sebelah kanan rumah panggung tersebut menuju lokasi rumah-rumah adat itu. Setapak ini melewati kebun-kebun kopi penduduk Waerebo. Jalan yang kami susuri terus menurun hingga kami tiba di ujung dataran berumput yang menjadi halaman 7 rumah adat Waerebo. Jam saya menunjukan pukul 11 pagi. Suasana kampung kecil ini sangat sepi. Biji-biji kopi terhampar di beberapa terpal di halaman karena sedang dijemur para pemiliknya. Timo memimpin jalan menuju rumah adat yang terletak di tengah. Bentuk rumah adat ini lebih besar dan memiliki penanda di atapnya. Rumah ini diapit 6 rumah kerucut lain yang lebih kecil. 3 rumah berjejer di kiri dan 3 lainnya di sisi kanan. Rumah yang kami masuki dibangun di tempat yang lebih tinggi dari rumah-rumah lain sehingga seperti dibangun di atas suatu panggung alam. Kami menaiki anak-anak tangga dari batu yang disusun rapi dan telah berwarna kehitaman dimakan waktu puluhan tahun. Timo mengucapkan salam dalam bahasa setempat yang dibalas seorang lelaki tua. Lelaki ini berdiri di samping tiang
Papan informasi di Pos 3
utama di tengah-tengah rumah adat yang kami masuki. Saya mengikuti Timo duduk di dekat ujung dinding sebelah kiri pintu masuk. Lelaki tua yang menyambut kami lalu duduk sehingga kami duduk berhadap-hadapan dalam jarak sekitar 5 meter. "Kita mengikuti upacara penyambutan adat terlebih dahulu", kata Timo. Saya hanya mengangguk lalu memandang ke lelaki tua berkemeja lengan pendek kotak-kotak warna kuning dan bersarung kain kotak-kotak orange. Dua perempuan tua duduk dalam jarak 3 meteran di belakang lelaki tua itu saat acara penyambutan dimulai. 

Pak Rafael - tua adat yang menyambut saya di Waerebo
Setelah bertukar sapa dalam bahasa setempat dengan Timo, lelaki tua adat itu memulai penyambutan adat. Rangkaian kalimat dalam bahasa setempat diucapkan dengan nada dan irama tertentu seperti sedang melantukan suatu kidung. Tua adat mengucapkan selamat datang dan meminta perlindungan serta izin para leluhur kampung bagi kehadiran saya di tempat tersebut, demikian ringkasan yang disampaikan Timo bagi saya. Selesai penyambutan adat singkat tersebut, Timo maju menyalami lelaki tua tersebut sambil memberikan uang 50ribu yang telah saya berikan ke Timo sebagai donasi sukarela kehadiran saya di Waerebo. Setelah itu saya berjalan menghampiri dan menjabat tangan sang tua adat. "Saya biasa dipanggi Jo", kata saya mengenalkan diri. "Saya Rafael", balas tua adat itu. Saya meminta izin foto dengan pak Rafael. Pak Rafael memeluk bahu saya saat
3 dari 7 rumah adat kampung Waerebo
kami foto bersama. Timo bertindak sebagai fotografer. Selesai berfoto, saya kembali ke tempat duduk semula di sebelah Timo. Sesi foto bersama mencairkan suasana sehingga kami bisa bercakap-cakap tentang adat istiadat setempat yang mulai saya ekplorasi. Dua ibu tua yang duduk di belakang pak Rafael hanya mendengarkan sambil tersenyum. Tak ingin mengabaikan mereka, sesekali saya mengarahkan pertanyaan langsung ke kedua ibu tua tersebut guna melibatkan mereka dalam percakapan kami. 


Senja di Dintor - depan Waerebo lodge
Bersambung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...