Rabu, 17 Agustus 2016

JELAJAH INDONESIA. TN Komodo: Pulau Komodo, Pantai Pink dan Gili Lawa

Penanda di ujung jembatan kayu Pulau Komodo
Kapal kami melaju syahdu di pagi hari kedua perjalanan jelajah saya di TN Komodo. Ketenangan lautan Flores di TN Komodo yang sedang dilayari memberikan waktu pada saya duduk santai di ruang terbuka kapal. Saya menikmati pemandangan lautan biru, hempasan gelombang di pulau-pulau karang berwarna kelabu yang dihampari savana kecoklatan tak berpenghuni. Jejeran pulau-pulau eksotis tersebut silih berganti menghampiri sepanjang perjalanan laut dari Pulau Kalong Komodo ke Pulau Komodo. Garis pantai berpasir putih berpadu alunan gelombang yang mengusapkan kehangatan buih-buih putih ke pantai atau tebing saat keduanya bersua menghadirkan keindahan tak terbatas. Sekitar 1 jam menikmati kemesraan alam dari Perairan Pulau Kalong Komodo,  kapal merapat ke dermaga kayu Pulau Komodo.

Walau hari masih pagi, namun beberapa kapal telah bersandar di dermaga. Kapal perlahan-lahan
Jembatan kayu Pulau Komodo
mendekati dermaga Pulau Komodo. Salah satu kru kapal melempar jangkar saat kapal hampir mencapai dermaga. Ketika kapal telah merapat ke dermaga, seorang kru kapal melompat ke dermaga lalu mengikat tali kapal ke tiang yang tersedia guna membantu jangkar menahan kapal dari tarikan gelombang laut. Sang Kapten keluar dari ruang kemudi lalu melompat ke dermaga. Kapten kapal menahan kapal tetap merapat di dermaga agar saya dan Richard dapat melompat ke dermaga tanpa kuatir pergerakan kapal menjauhi dermaga yang akan merentangkan jarak antara kapal dan dermaga. Jika melompat pada saat gelombang laut telah mengeser kapal menjauhi dermaga, maka kami dapat saja jatuh ke laut.

Kami melanjutkan perjalanan menyusuri jembatan kayu dari dermaga ke daratan. Sekitar 10 meter dari ujung jembatan kayu yang menjejak ke daratan Pulau Komodo, pengelola telah membangun dinding tembok bertuliskan Komodo National Park World Heritage Site. Dinding setinggi 2 meteran dengan lebar sekitar 5 meter tersebut ditempeli bebatuan sebesar kepalan tangan orang dewasa. Saya menyempatkan diri foto-foto di tempat tersebut lalu memutar ke belakang dinding tembok itu menuju kantor pengelola TN Komodo di Pulau Komodo yang berjarak beberapa  
Jembatan penghubung dermaga dan daratan Pulau Komodo
puluh meter dari tepi pantai.

Pondok-pondok terbuka dari kayu dibangun di sekitar lokasi tersebut sebagai tempat santai bagi para pengunjung. Sama seperti di Pulau Rinca, kantor ini juga berupa rumah panggung dengan ketinggian sekitar 1 meter dari tanah. Saya masuk ke ruang penjualan tiket yang dijaga 3 orang karyawan laki-laki. Satu diantara mereka mempersilahkan saya duduk di kursi yang telah tersedia di ruangan tersebut. Saya mengeluarkan dan memberikan tiket yang telah saya beli kemarin siang di Pulau Rinca. Karyawan yang melayani saya memberikan stempel basah di tiket tersebut dan menyerahkan kembali ke saya. Karyawan tersebut memberikan informasi sekilas tentang Pulau Komodo lalu mempersilahkan saya bertemu seorang ranger yang telah menunggu di luar bangunan kantor.

Orah sedang berjalan ke mata air
Sebelum memulai perjalanan kami pagi ini di Pulau Komodo, saya mampir ke toilet yang dibangun terpisah dari bangunan kantor pengelola yang sekaligus menjadi tempat penjualan tiket. Berbeda dengan bangunan kantor yang berbentuk rumah panggung, toilet tersebut berada pada bangunan yang terletak di atas tanah. Semua bangunan dibuat ramah lingkungan dengan banyak memanfaatkan potensi alam setempat seperti kayu dan bebatuan. Dinding selamat datang di depan dermaga kayu yang terbuat dari semen pun ditempeli batu-batu alam sehingga melahirkan kesan alamiah. Selesai dari toilet, saya menghampiri Richard dan ranger yang telah menunggu di setapak belakang bangunan kantor pengelola. "Ahmad, kata ranger muda berusia 20an tersebut saat saya menanyakan namanya.

Rusa merupakan salah satu makanan komodo
Sambil menyusuri setapak yang membawa kami ke dalam kawasan Pulau Komodo, Ahmad menceritakan berbagai hal tentang komodo. "Komodo dan suku Komodo yang mendiami Pulau Komodo memiliki leluhur yang sama", kata Ahmad. "Konon ibu mereka melahirkan bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda. Bayi laki-laki bernama Gerong merupakan seorang manusia. Sedangkan saudari perempuannya bernama Orah merupakan seekor komodo. Keduanya hidup terpisah di lingkungan berbeda. Orah hidup di hutan, sedangkan Gerong hidup di pemukiman manusia. Saat dewasa, Gerong pergi berburu dan bertemu Orah dalam bentuk komodo. Ketika Gerong menghunus senjatanya untuk membunuh Orah, ibu mereka muncul secara gaib. Sang ibu mengingatkan Gerong bahwa komodo yang sedang
Orah sedang berjemur 
dihadapi adalah saudari kembarnya. Karena itu mereka harus hidup berdampingan secara damai", tutur Ahmad.

Saya hanya mengangguk-angguk sambil mendengarkan ceritanya."saat wilayah komodo ditetapkan sebagai Taman Nasional, pemerintah berusaha memindahkan suku Komodo dari kampung mereka di Pulau Komodo. Akibatnya, komodo menghilang sehingga pemerintah membatalkan pemindahan tersebut dan membiarkan suku Komodo tetap berdiam di kampung Komodo sampai saat ini". "Beberapa kecelakaan pernah terjadi karena manusia melanggar aturan-aturan adat yang menjaga hubungan komodo dengan manusia". Lanjut Ahmad sambil melihat kiri, kanan dan belakang mewaspadai kemunculan komodo di pagi hari. Kami berhenti di beberapa tempat dalam perjalanan ke sumber air yang menjadi tempat berkumpul komodo di pagi hari.

Anak komodo yang hidup di atas pohon
"Itu tempat anak komodo menghabiskan waktunya sekitar 3 tahun", kata Ahmad menunjuk satu pohon gebang/gewang mati namun masih berdiri kokoh. Pohon yang sejenis dengan pohon kelapa dan pohon nira itu telah kehilangan seluruh daunnya. "kenapa, anak komodo hidup di atas pohon itu?", tanya Richard. "Agar tidak dimangsa para predatornya, termasuk komodo dewasa", kata Ahmad. Dengan hidup di dalam rongga pohon tersebut, anak komodo bisa memakan ulat dan serangga lainnya. "Komodo dewasa tidak bisa memanjat pohon gebang/gewang tersebut", lanjut Ahmad. Namun walau hidup di dalam pohon yang tidak bisa dicapai komodo dewasa dan predator lainnya, anak komodo tetap harus waspada terhadap elang yang juga merupakan salah satu predator anak komodo.

Orah sedang berjemur
Kami meneruskan perjalanan menuju sumber air yang menjadi tempat berkumpul komodo di pagi hari. Sekitar 20an menit dari jalan kaki menyusuri setapak dari kantor pengelola di depan pantai Pulau Komodo, kami tiba di lokasi sumber air tersebut. "Itu", kata Ahmad sambil mengacungkan tongkat berbentuk Y ke arah kanan. Seekor komodo dewasa sedang berjemur sinar matahari pagi di dekat satu pohon besar. Ahmad mengarahkan kami berjalan ke lokasi berjemur komodo tersebut. "Jangan membuat gerakan tiba-tiba. Jangan panik, dan jangan berbicara keras-keras", kata Ahmad mengingatkan kami agar tidak mengejutkan si pemilik pulau yang sepertinya 
Richard dan Orah di mata air
acuh dan sedang bermalas-malasan menikmati elusan mentari pagi. Ahmad meminta saya dan Richard berjalan perlahan ke sisi lain komodo itu sambil membawa tongkat kayu. Kamera beralih ke tangan Ahmad untuk memotret kami dari depan komodo saat kami telah berada di sisi belakang si binatang purba. Selain kami, group pengunjung lain juga sedang asyik dengan komodo lain yang sedang berjemur di tempat tersebut atau sedang minum air dari kolam kecil berdiameter sekitar 1 meter yang diberi pembatas batu-batu alam berbagai ukuran.

Selesai memotret beberapa kali, kami meninggalkan tempat tersebut digantikan
Orah sedang lewah lalu berhenti mengamati kami
pengunjung lain. Subyek foto tetap saja acuh tak acuh. Sesekali dia berpindah tempat namun tidak terlalu jauh sehingga terlihat hanya bergeser saja. "Walau terlihat malas dan acuh, namun komodo-komodo tersebut bisa dengan cepat berbalik dan mengejar pengganggunya" kata Ahmad saat kami berjalan menjauh. "Komodo dapat berenang di laut sejauh 2 km dari pantai dan dapat menyelam hingga kedalaman 500 meter", Ahmad meneruskan informasinya. Saya terus menggenggam tongkat bercabang Y sedangkan kamera dipegang Ahmad. Tongkat bercabang Y dengan panjang sekitar 2 meter tersebut berguna bagi para ranger menjauhkan mereka dari jangkauan komodo jika diserang.

Orah sedang berjalan ke mata air
"Sst, ada satu komodo sedang berjalan ke arah kita", kata Ahmad sambil menarik tangan kami berjalan ke luar dari setapak yang sedang kami susuri. Komodo dewasa yang terlihat gagah tersebut berjalan perlahan dengan kepala mengarah datar setinggi tubuhnya. Kadang komodo tersebut menunduk seperti memperhatikan jalan yang akan dilalui. Tubuhnya lebih kokoh dan garang dibanding komodo-komodo yang saya lihat di Pulau Rinca kemarin siang. Wait,  komodo itu tiba-tiba berhenti dalam jarak sekitar 7 meter dari kami. Kepalanya diangkat tegak sambil lidahnya tak berhenti keluar masuk mulutnya. Tiba-tiba kepalanya ditolehkan ke kami. Matanya menatap lurus ke kami yang telah duduk jongkok. Hati saya berdebar-debar kuatir sang binatang purba itu berjalan ke arah kami. Namun sesaat kemudian kepalanya diturunkan lalu kaki-kakinya kembali menapaki setapak menuju salah satu mata
Orah di Pulau Komodo lebih tegap dan liar
air yang berjarak sekitar 20an meter dari kami. Sumber air tersebut berada di sisi kanan kami atau sisi kiri komodo yang sedang jalan berlawanan arah dengan kami. "Jika dikejar komodo, lari zig zag saja, karena komodo hanya bisa berlari lurus, kata Ahmad". Saya hanya tersenyum kecut mendengar celotehan Ahmad. Walau saya melihat komodo yang sedang melewati kami berjalan lurus dan harus berhenti dulu untuk menoleh ke kami yang berada di sebelah kanan jalan. Namun, saya berpikir "apa iya dalam keadaan panik dikejar komodo, orang yang dikejar itu masih sempat ingat untuk lari zig zag?". Saat komodo itu telah melewati kami, Ahmad mengajak kami mengikuti komodo tersebut dalam jarak aman guna sesi pemotretan berikut dengan sang komodo sebagai latar depan :).

Bersama Orah di mata air 
Setelah mengambil beberapa foto, komodo yang asyik minum dengan cara mendekatkan kepalanya ke air dan lidahnya menjulur keluar masuk air seperti menjilat itu kembali mengangkat kepalanya menatap garang ke kami. Lidahnya tak berhenti keluar masuk mulutnya setiap saat. Saya meminta Ahmad menuntun kami meninggalkan tempat tersebut karena tidak ingin mengganggu komodo itu. Kami telah cukup mendapatkan foto-foto komodo sehingga sudah saatnya berlalu dari lokasi itu. Saat kami meneruskan perjalanan, kami masih bertemu 3 komodo dalam rentang waktu berbeda. Komodo-komodo tersebut berjalan dalam bayangan kayu-kayu yang sedang merangas. Warna kulit mereka hampir sama dengan
Bersama Orah di mata air
warna tanah dan pepohonan yang berwarna kelabu atau warna kecoklatan guguran dedaunan yang tersebar di hutan dan savana yang sedang kami lalui. Ahmad yang telah terbiasa dengan lingkungan sekitar benar-benar menjadi guide yang sangat berguna. Ahmad selalu lebih dulu melihat komodo diantara pepohonan dan rerumputan atau belukar. Setapak tanah berbatu yang kami lalui cukup bagus ditapaki. Sesekali kami bertemu rusa, sapi, ayam hutan dan burung berbagai jenis sehingga kami sering berhenti untuk memotret.

Fregata hill
Kami tiba di suatu bukit kecil yang diberi nama Fregata Hill. Dari bukit ini, kami bisa melihat pantai dan perairan teluk Pulau Komodo, termasuk dermaga kayu yang kami lewati saat tiba dan berjalan ke kantor pengelola. Saat kami sedang asyik ngobrol dan foto-foto di bukit ini, tiba-tiba muncul 2 komodo dari bawah bukit. Komodo-komodo tersebut muncul di belakang saya yang sedang difoto dalam gaya levitase / melayang dengan cara melompat. Kemunculan komodo-komodo tersebut mengagetkan kami semua, bahkan Ahmad sang ranger pun terdiam. Untunglah komodo-komodo tersebut tidak menyerang saya yang berdiri membelakangi keduanya.
Orah yang mengejutkan kami di Fregata Hill
Saya berbalik perlahan dan berdiri diam memperhatikan kedua komodo berbeda ukuran tubuh itu. Komodo yang lebih kecil berlalu ke dalam belukar yang ada disamping kanannya. Komodo yang lebih besar dan terlihat lebih garang berdiri diam menatap kami kemudian secara perlahan berbalik masuk ke dalam belukar yang telah dimasuki temannya. "Saya kaget sehingga hanya bisa berdiri diam", kata Ahmad. Saya dan Richard hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. Kami hanya bisa menduga-duga apakah gerakan melompat yang kami buat untuk foto gaya levitase / melayang yang menarik mereka sehingga keluar ke lokasi kami karena mengira hewan buruan mereka atau komodo lebih kecil sedang diburu untuk dimangsa komodo yang lebih besar, tak ada yang tahu pasti.


Levitasi, salah satu gaya andalan foto2 saya :)
Ahmad mengajak kami meninggalkan Fregata Hill. Kami turun melewati sisi belukar yang baru saja dimasuki kedua komodo tersebut. Hanya itu satu-satunya jalan kembali ke lokasi perkantoran pengelola atau kami harus berbalik menyusuri kembali setapak yang telah kami lewati menuju bukit ini. Ahmad menenangkan kami bahwa kedua komodo tersebut pasti telah pergi jauh. Mereka tak akan berdiam menunggu kami karena kami bukan mangsa yang harus diintai. "Bangunan itu merupakan penginapan bagi para pengunjung yang ingin menginap atau pejabat pemerintah yang berkunjung", kata Ahmad sambil menunjuk bangunan panjang berwarna putih di sebelah kanan kami. Bangunan tersebut menghadap pantai teluk Komodo tempat dermaga kayu dibangun dalam jarak sekitar seratus meter. "Kadang-kadang saat bangun pagi ada komodo yang sedang berbaring di depan pintu atau tangga", kata Ahmad. Saya tertawa kecil membayangkan betapa kagetnya pemilik kamar saat membuka pintu di pagi hari :).

Pantai Pulau Komodo
Dari sisi kiri bangunan tersebut kami belok kiri menyusuri setapak tepi pantai. Ahmad membawa kami ke suatu bangunan lain. Sekali lagi kami melewati pondok-pondok kecil di tepi pantai yang disediakan bagi para pengunjung duduk-duduk santai. Kami tiba di bangunan terbuka yang menjadi pusat penjualan souvenir khas komodo. Puluhan penjual souvenir berbagi tempat di bangunan tersebut. Masing-masing penjual menguasai lahan seluas 2x2 meter di bangunan tersebut. Souvenir komodo berbagai bentuk dan ukuran dari kayu ataupun kerang, termasuk kaos-kaos bergambar komodo dijual para PKL di lokasi tersebut. Saya melihat-lihat dan membeli 2 kaos sebagai oleh-oleh. Dari tempat souvenir, Ahmad mengantar kami kembali ke pelabuhan. Richard memberikan tip ke Ahmad yang telah  menemani kami selama 1 jam lebih. Kami berpisah di dinding batu alam bertuliskan nama TN Komodo.

Saya dan Richard kembali menyusuri jembatan kayu menuju dermaga tempat kapal kami menunggu dengan setia. Hari menjelang siang saat kami tiba kembali ke kapal yang mulai berlayar meninggalkan pelabuhan Pulau Komodo menuju Pantai Pink. Saat kami tiba di Pantai Pink setelah 
Pantai Pink
setelah berlayar sekitar 45menit dari Pelabuhan Komodo, perairan Pantai Pink telah berhiaskan beberapa kapal pesiar. Kapal-kapal kayu berbagai ukuran dan bentuk, termasuk berbentuk kapal pinisi telah berlabuh dalam jarak puluhan hingga ratusan meter dari Pantai Pink. Beberapa penumpang kapal telah turun menjajal perairan Pantai Pink dengan snorkeling. Airnya sangat jernih sehingga dasar lautan bisa dilihat mata telanjang. Ikan berbagai bentuk dan warna berseliweran di sekitar kapal. Setelah mengamati kawasan sekitar, saya memutuskan mencoba snorkeling 
Pantai Pink
menggunakan alat snorkeling yang telah disediakan sang kapten dan krunya.

Selesai memasang masker snorkeling dan sepatu katak, saya turun melalui tangga yang telah dipasang Anjas di salah satu sisi kapal. Karena saya telah pernah belajar snorkeling saat jelajah kepulauan seribu, maka saya bisa memasang sendiri alat snorkeling tersebut tanpa bantuan. Air terasa dingin saat menyentuh kulit dan arus cukup deras saat saya mencoba snorkeling di sekitar kapal. Beberapa kali saya terbawa arus sehingga saya hanya berani snorkeling di sekitar kapal karena saya tahu pasti bahwa saya belum ahli snorkeling. Anjas - sang kapten kapal  setia mengamati saya dari atas kapal dan terus mengingatkan tentang arus yang deras. Setelah berputar beberapa kali di sekitar kapal, saya berhenti dan kembali ke atas kapal sambil menegaskan ke Anjas bahwa arus air cukup kuat.

Kapal para pengunjung Pantai Pink 
Karena tidak bisa bersandar di pantai, maka Anjas menawarkan salah satu perahu nelayan yang telah tersedia di sekitar perairan tersebut jika saya ingin ke pantai. Saya dan Richard mengiyakan tawaran Anjas yang lalu berbicara dalam bahasa setempat ke salah satu tukang perahu yang berada di sekitar kapal. Perahu kecil berwarna krem tersebut dikemudikan seorang lelaki paruh baya berkumis tebal. Lelaki berpakain kaos abu-abu bercelana pendek hitam tersebut tersenyum dan mengangguk saat saya melihat ke arahnya. Saya balas tersenyum dan mengangguk sebagai salam. Perahu diarahkan pengemudinya ke tangga kapal sehingga saya dan Richard turun dan berpindah ke perahu yang mengantar  kami
Snorkeling di Pantai Pink 
ke pantai. Saat perahu menyentuh pasir pantai, pengemudi turun lebih dulu untuk menahan perahu hingga kaki saya dan Richard telah menjejak pasir pantai. "Saya akan tunggu di sekitar kapal, jika akan kembali ke kapal, lambaikan tangan saja agar saya jemput", kata pengemudi perahu. "Baik pak", balas saya sambil tersenyum. Perahu didayung menjauhi pantai menuju kapal dan menunggu di sekitar kapal sambil mengawasi kami yang sedang bersantai dan bermain air di pantai berpasir sangat halus yang berwarna pink. Konon, warna pink tersebut diakibatkan oleh warna jutaan ganggang laut yang telah mati dan bercampur pasir pantai di tempat tersebut.

Bukit di salah satu sisi Pantai Pink
Puas bermain air dan pasir pantai Pink, saya mengikuti Richard yang telah berjalan ke satu bukit kecil di sebelah kiri saat saya berdiri di pantai menghadap laut dan kapal biru cantik kami. Pantai Pink ini diapit dua bukit di sisi kiri dan kanannya. Pantainya tidak terlalu panjang, mungkin sekitar 500 - 750 meter, namun sangat cantik dan adem di pagi dan sore hari. Jika siang hari, pasti sangat panas karena disekitar pantai hanya ada hamparan rumput savana berwarna coklat. Saat saya tiba di atas bukit, panasnya sangat menyengat kulit. Telapak kaki telanjang saya juga terasa seperti dipanggang sehingga saya harus berdiri dengan cara ganti-ganti kaki saat mengamati dan mengambil beberapa foto dari atas bukit ini.

Di sebelah kiri bukit - di luar jalur Pantai Pink, 2 orang turis bule laki-laki dan perempuan asyik snorkeling menikmati kesegaran air berwarna biru tosca dan keindahan bawah laut perairan Pantai Pink. Saat saya berpaling ke kanan setelah puas memotret dan mengamati sebelah kiri, serombongan turis Jepang terdiri dari orang tua dan anak-anak tiba di Pantai sambil membawa sejumlah perahu karet berbentuk pisang (banana boat) yang  digunakan untuk bermain di perairan Pantai Pink. Karena mereka berada di bagian pantai sekitar bukit tempat saya sedang mengamati dan memotret, maka saya bisa mendengar percakapan mereka dalam bahasa Jepang. Kulit saya semakin panas terkena sengatan matahari siang, demikian pula telapak kaki saya. Saya mencari tanah berumput dan menginjaknya secara hati-hati menghindari duri yang mungkin saja ada di rerumputan yang akan saya injak tersebut. Walau pemandangan dari atas bukit kecil tersebut sangat indah, namun sengatan panas matahari terasa membakar kulit telapak kaki. Tidak tahan dengan panas yang semakin membakar, saya mengajak Richard kembali ke pantai. 

Pantai Pink 
Dengan berjingkat, saya menuruni setapak bukit kecil tersebut. Telapak kaki saya terasa sangat sejuk saat kaki telanjang saya menginjak pasir pantai yang basah. Kami kembali bermain pasir dan air di sekitaran pantai saja. Sesekali saya kembali mengenakan alat snorkeling yang saya bawa tanpa kaki katak lalu mencoba snorkeling di perairan dangkal sekitar pantai.

Rombongan turis Jepang di sebelah kiri kami terlihat mulai menyebar dan sibuk dalam kelompok-kelompok kecil. Beberapa turis bule dan turis lokal juga mulai berdatangan ke pantai menggunakan perahu-perahu kecil seperti yang saya gunakan sebelumnya. Puas bermain di Pantai Pink sekitar 40an menit, saya dan Richard memutuskan kembali ke kapal karena hari semakin siang dan sengatan matahari semakin kuat. Saya melambai ke pengemudi perahu yang sedang setia menunggu di atas perahunya di sekitar kapal kami. Tiba kembali di kapal, Richard ke kamar mengambil uang 30ribu rupiah yang diserahkan ke pengemudi perahu sebagai biaya jasa antar jemput perahu dari kapal ke pantai dan sebaliknya.

Teluk Gili Lawa
Kapal mengangkat jangkar, menghidupkan mesin dan mulai bergerak meninggalkan Pantai Pink yang mempesona. Kami berlayar ke Gili Lawa, namun akan mampir di perairan tempat ikan-ikan pari manta berlalu lalang. Rencananya kami akan snorkeling di tempat tersebut sambil bermain dengan ikan-ikan pari seperti yang saya lihat foto-fotonya di internet. Namun gelombang laut cukup kuat saat kami berlayar ke Gili Lawa. Karena itu, rencana bermain bersama ikan pari manta dibatalkan.

Kami meneruskan perjalanan ke Gili Lawa dalam terpaan ombak yang cukup besar. Kapal bergoyang ke kiri dan kekanan. Kadang hempasan air laut memasuki anjungan kapal saat gelombang tinggi bertemu kapal yang sedang melaju. Anjas dengan cekatan mengemudikan kapal dan tampak tenang-tenang saja di ruang kemudi sedangkan saya berdebar-debar cemas. Kepala saya mulai terasa pusing sehingga saya beranjak ke kamar. Richard telah kembali ke kamarnya sejak tiba dan selesai mandi. Saya membaringkan tubuh di salah satu dipan kamar saya di kapal kami. Saya tertidur lelap dalam ayunan ombak yang sangat kuat sehingga kapal terombang-ambing. Saya  terbangun saat kapal bergerak memasuki teluk Gili Lawa yang sangat tenang. 
Teluk Gili Lawa

Kemolekan TN Komodo kembali tersaji di sekitar kapal kami. Kapal mengayun pelan memasuki dekapan lautan perairan Gili Lawa. Biru air laut berpadu langit biru yang dihiasi arak-arakan awan putih dan kelabu. Hempasan lidah-lidah ombak berwarna putih seperti menyapa hangat dinding-dinding kelabu tebing-tebing Gili Lawa. Hamparan savana kecoklatan di perbukitan sejauh mata memandang bagaikan permadani raksasa yang telah dihamparkan menunggu jejak kami menghampiri. Hanya ada 3 kapal di teluk Gili Lawa di siang hari menjelang sore. 2 kapal kayu lebih besar berwarna coklat dan biru dongker menemani kapal mungil biru putih kami. Kapal berwarna coklat gelap dipenuhi turis manca negara yang hanya mengenakan bikini dan celana renang. Beberapa hanya mengenakan handuk berwarna biru muda. Kapal berwarna biru dongker dipenuhi anak-anak muda Indonesia yang sibuk dengan berbagai kegiatan, termasuk bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi. Kedua kapal itu dilengkapi perahu kecil untuk mengantar dan menjemput penumpangnya di pantai.

Teluk Gili Lawa
Makan siang menjelang sore dihidangkan dalam alunan pelan ombak perairan teluk Gili Lawa. Jam makan siang telah lewat saat kami mengarungi perjalanan sekitar 2 jam dari Pantai Pink ke Gili Lawa. Kedua adik Anjas yang bertindak sebagai kru sekaligus koki tidak dapat menghidangkan makan siang karena saya dan Richard memilih tidur untuk menghilangkan mabuk laut oleh kerasnya ayunan ombak dalam perjalanan kami ke Gili Lawa. Sebagaimana biasa, makan siang dengan nasi bersama sejumlah lauk pauk dan buah tersedia bagi kami. Teh dan kopi bersama 1 termos air panas selalu tersedia di ruang tengah kapal yang dibiarkan terbuka tersebut. Selesai makan siang, saya membuat kopi susu menikmati suasana sekitar.

Seorang Indonesia dan 2 turis bule dari kapal coklat di sebelah kanan kami sedang berlatih diving di 
Teluk Gili Lawa
perairan dekat pantai. Pada sisi lain, 3 anak muda menggunakan perahu karet berwarna putih dari kapal kayu berwarna biru dongker di sebelah kiri kapal kami sedang asyik bermain air dan perahu di teluk tersebut. Perahu karet tersebut hilir mudik di dalam teluk diiringi canda tawa mereka. Kadang perahu tersebut terbalik disertai teriakan histeris lalu tawa berderai-derai. 2 muda mudi lain terlihat sedang bermaik kayak. Sekitar satu jam menikmati aktivitas diving dan canda tawa tetangga kami, di langit biru teluk Gili Lawa muncul atraksi lain. Seperti di langit perairan Pulau Kalong Komodo kemarin sore, beberapa elang melayang-layang di atas kami lalu kadang menukik menyambar ikan di perairan tersebut. Saya bergerak ke kamar mengambil kamera lalu tak henti mengabadikan momen-momen tersebut. Setelah saya merasa cukup banyak foto yang saya lakukan, saya hanya berdiri mengamati pertunjukan para elang, latihan diving dan tawa canda di perahu karet.

Teluk Gili Lawa
"Snorkeling pak, kata Anjas sambil tersenyum. "hmmmm, bagus juga ya? balas saya masih ragu sambil mengamati ketenangan biru gelap lautan di sekitar kapal. Gerombolan ikan-ikan kecil seukuran ikan teri yang dijual di pasar-pasar atau supermarket di Jakarta sedang bermain di sekitar kapal. Mungkin mereka ikan teri?, tanya saya pada diri sendiri sambil terus mengamati seliweran ribuan ikan tersebut dalam kelompok-kelompok kecil. Kadang ikan seukuran telapak tangan orang dewasa melintas atau bermain sesaat di sekitar kapal. Puas mengamati seliweran ikan di sekitar kapal, saya memutuskan mencoba snorkeling di teluk Gili Lawa.

Setelah mengenakan masker dan sepatu katak, saya turun melalui tangga yang telah digantung Anjas
Elang di langit teluk Gili Lawa
di lambung kanan kapal. Airnya dingin dan tidak berarus sehingga tanpa ragu saya menceburkan diri ke dalam lautan teluk Gili Lawa. Dengan menggunakan masker, saya bisa lebih lama dan lebih dekat mengamati kehidupan bawah laut TN Komodo di teluk Gili Lawa. Saya tidak kuatir terbawa arus laut sehingga kadang saya berenang cukup jauh dari kapal guna mendapatkan pemandangan bawah laut yang berbeda. Selain kehidupan bawah laut, dasar laut teluk Gili Lawa mulai dipenuhi sampah plastik :(. Penyakit akut semua tempat wisata adalah perilaku para pengunjung yang seenaknya membuang sampah plastik ke laut. Saya membayangkan 10 - 20 tahun lagi, teluk ini akan dipenuhi sampah jika pengunjung tidak memiliki kesadaran ataupun pihak berwenang tidak mengambil langkah-langkah antisipatif.
Tangga kapal kami di Teluk Gili Lawa
Puas snorkeling sekitar 1 jam di teluk Gili Lawa, saya kembali ke kapal. Saya membersihkan badan menggunakan air tawar yang tersedia di kamar mandi. Badan cukup lelah sehingga kantuk pun menghampiri. Saya tiduran di bangku biru ruang terbuka kapal di bagian tengah yang juga berfungsi ganda sebagai ruang makan dan ruang santai. Karena semakin ngantuk, saya pindah tidur ke kamar sambil menunggu waktu sunset. Saya terbangun jam 4 sore. Lingkungan sekitar masih sama seperti siang tadi. Hanya para pengunjung dari 2 kapal lain yang siang tadi sedang berlatih diving dan bermain di sekitar situ telah menghilang.

Bukit terjal Gili Lawa
Saya dan Richard memutuskan telah tiba saatnya kami ke pantai untuk mendaki bukit yang berjarak sekitar 100 meter dari kapal. Kami ingin menikmati sunset dari puncak bukit tersebut. Sang Kapten dan kedua kru menarik tali jangkar kapal di anjungan untuk mendekatkan kapal ke pantai. Saat kapal telah cukup dekat, Richard melompat terlebih dahulu ke pantai disusul saya. Kami berdua berjalan menyusuri pantai menjauhi kapal kami menuju jalan setapak mendaki ke puncak bukit Gili Lawa. Dua perahu karet merapat ke pantai lalu menurunkan belasan turis bule. Beberapa pemuda dan pemudi dari kapal lain yang membuang sauh di sebelah kapal kami juga melompat ke pantai. Saya dan Richard mulai menapaki setapak mendaki punggung bukit menuju puncaknya. Para turis bule menyusul kami. Mereka diiringi anak-anak muda Indonesia dari kapal satu lagi. Kami terus beriringan dan seperti berlomba menuju puncak. Bukit yang terlihat seperti mudah didaki saat dilihat dari kapal ternyata cukup terjal dan tinggi sehingga nafas saya mulai tersengal-sengal. Richard telah tertinggal dan disusul seorang turis bule laki-laki muda. Akhirnya kami berdua seperti berlomba menuju puncak bukit. Setapak yang saya tapaki berdebu dan kadang batu yang saya injak menjadi tumpuan langkah kaki terlepas begitu saja.
Puncak bukit Gili Lawa untuk menikmati sunset

Karena telah berpengalaman mendaki ke puncak Pulau Padar, maka saya cukup waspada saat menapak di tonjolan-tonjolan bebatuan di setapak yang sedang saya tempuh. Pendakian semakin terjal dan hampir tegak lurus saat mendekati puncak. Lelaki bule yang berada di belakang saya mendahului saya dibelokan kedua menuju puncak. Saya membiarkan saja karena nafas yang semakin tersengal-sengal. Sesekali saya berhenti untuk menenangkan detak jantung yang berdetak semakin cepat. Keringat telah mengalir bagaikan aliran air membasahi seluruh badan.

Teluk Gili Lawa dari puncak bukit
Saya menyusul pemuda bule tiba di puncak bukit Gili Lawa. Puluhan pendaki lain masih sedang bersusah payah menuju puncak. Kadang beberapa orang berhenti beberapa jenak melepaskan lelah lalu melanjutkan lagi. Saya menatap kagum suguhan elok panorama teluk Gili Lawa. Satu lagi karya agung Sang Ilahi di TN Komodo. Dua teluk raksasa bagaikan danau yang berdampingan satu sama lain dipisah sepotong punggung tanah berbentuk perahu terbalik berwarna coklat savana. Punggung bukit yang memisahkan kedua perairan tersebut tidak menyatu sehingga masih ada aliran lorong air di antara kedua teluk. Teluk sebelah kiri saya atau teluk yang  di bagian Barat tidak dilabuhi kapal atau perahu.
Di puncak bukit Gili Lawa
Sedangkan di bagian Timur menjadi lokasi berlabuh kapal kami dan kapal pengunjung lainnya. Kedua teluk tersebut berbentuk bulat bergelombang bagaikan danau. Saat saya berbalik membelakangi kedua teluk itu, di sebelah kanan saya terhampar lautan luas nan tenang dan diam. Tebing-tebing tinggi dinding Gili Lawa menjadi pembatasnya. Tebing dinding pulau itu tegak lurus dari puncak punggung bukit hingga lautan yang membentang. Di sebelah kiri saya membentang kawasan perbukitan Gili Lawa yang dihampari permadani savana coklat khas pulau-pulau karang di NTT.

Sepotong sunset di Gili Lawa
Mentari senja masih bersembunyi dibalik awan kelabu di Barat Gili Lawa. Awalnya, hanya sinar-sinar keemasannya yang mengintip dari ketebalan awan saat semua pendaki telah tiba di puncak. Namun sesaat kemudian, sunset berwarna kuning keemasan menampakan dirinya beberapa menit lalu kembali ke balik awan menyembunyikan dirinya. Walau hanya sesaat, saya cukup puas mendapatkan pesonanya yang kemudian digantikan garis-garis keemasan dari balik awan. Semuanya berdiri diam dalam kekaguman pribadi masing-masing menatap pesona alam yang tersaji dari 2 teluk raksasa nun jauh di bawah yang disinari garis-garis keemasan sang mentari yang sedang dalam perjalanan ke haribaannya. Pendakian yang melelahkan bermandikan debu dan keringat mendapatkan imbalan setimpal menikmati lukisan indah tiada tara buah karya Sang Khalik. Richard juga telah tiba di puncak. Saat hampir semua pengunjung sedang berdiri menikmati kemolekan yang tersaji, saya secara perlahan bergeser ke belakang mengikuti setapak yang telah diukir ara pengunjung lain yang bertahun telah menjejaki punggung bukit savana puncak Gili Lawa. Beberapa pengunjung memilih kembali ke pantai dengan cara kembali menuruni setapak yang didaki.

Savana Gili Lawa 
Saya, Richard dan beberapa pengunjung lainnya, terutama para turis bule memilih jalur lebih panjang mengitari pungung dan dinding bukit menikmati pesona savana setinggi dada. Kami berjalan dalam kelompok berbeda menyusuri setapak yang telah dibuat para pengunjung sebelumnya. Kadang setapak tersebut bercabang di salah satu dinding  bukit dalam kemiringan tertentu. Senja semakin gelap menandakan malam akan tiba. Saya mengeluarkan dan menggunakan senter kecil yang selalu saya bawa dalam ransel kamera berjaga-jaga jika bumi sekitar menjadi gelap gulita.

Saya dan Richard mengikut 3 pendaki lain yang telah turun terlebih dahulu melalui setapak  yang lebih panjang dan memutari punggung dan dinding bukit sehingga lebih lama, namun jalurnya lebih
Sunset di Gili Lawa
landai sehingga lebih aman dalam remang sore hari. Di tempat tertentu, rerumputan coklat tebal menutupi setapak yang sedang kami tempuh sehingga menghilangkan jejaknya. Kami harus mencari dan membuat setapak baru sekaligus mengukir kehadiran kami melalui setapak baru tersebut di perbukitan Gili Lawa.

Malam telah penuh merengkuh bumi sekitar saat kami tiba di tepi pantai. Di puncak bukit yang lebih rendah dan datar di sisi lain, puluhan anak muda masih asyik foto-foto menggunakan blitz sambil bercengkrama. Anjas menyambut kami di anjungan kapal. Kedua tangannya menarik tali jangkar kapal untuk mendekatkan kapal ke pantai. Saya dan Richard mencoba membantu dari tepi pantai. Ombak membantu kami membawa kapal mendekati pantai sehingga kami bisa mencapai tangga tanpa basah. Kami tiba kembali di atas kapal yang telah menyalakan lampu-lampunya menyambut kehadiran malam. Kapal-kapal lain di sekitar kami juga melakukan hal yang sama.

Selesai mandi dan ganti pakaian bersih, kami duduk di ruang tengah menikmati keheningan malam teluk Gili Lawa sambil menunggu makan malam dihidangkan. Hanya ada suara alunan ombak dan
Menjelang malam di teluk Gili Lawa
serangga malam menemani ayunan damai kapal mungil kami di teluk Gili Lawa. Kapal yang telah menjadi rumah melewati malam setelah selesai makan malam. Jutaan bintang bersama rembulan yang bersinar penuh menghiasi langit Gili Lawa. Tak ada lagi suara canda tawa ataupun teriakan histeris anak-anak muda yang bermain air di lautan teluk Gili Lawa. Sepertinya semua sedang menikmati keheningan malam menunggu rasa kantuk memanggil masing-masing pengunjung dan penjelajah melelapkan diri bertemu mimpi indah lalu dibangunkan elusan mesra angin laut TN Komodo di Gili Lawa pada subuh hari.

Saya akan kembali ke puncak Gili Lawa esok subuh menunggu kehadiran sang dewi pagi. Dari puncak ini, saya akan menikmati keelokan dan pesona senyumannya. Anjas berjanji menemani saya esok subuh. Kami akan mendaki ke puncak Gili Lawa. Richard memilih menghabiskan waktunya di kamar kapal menikmati ayunan lembut ombak dan kapal yang melelapkan.


Puncak bukit Gili Lawa
BERSAMBUNG :
JELAJAH INDONESIA. TN Komodo: Gili Lawa, Pulau Kanawa, Pulau Bidadari dan Labuan Bajo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...