Minggu, 22 Mei 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Larantuka - Maumere - Moni

Pantai Larantuka di pagi hari
Udara subuh bertiup basah menghadirkan kesegaran saat pintu kamar saya buka di pagi ini. Kamar-kamar hotel berbaris sejajar menghadap halaman kecil penuh aneka bunga yang menyegarkan mata. Saya melangkah keluar kamar, mengunci pintu dan berjalan ke halaman depan yang masih sepi. Sama seperti jalan raya depan hotel yang juga sunyi sepi. Kesunyian yang menarik saya keluar halaman hotel lalu belok kanan menyusuri jalan raya melewati satu jembatan kecil di samping depan hotel. Saya tiba di depan Kapel Semana Santa yang sangat terkenal di dunia sebagai salah satu lokasi prosesi Semana Santa di setiap perayaan Paskah yang dihadiri ribuan umat Khatolik maupun pengunjung dari seluruh dunia.

Di depan Kapel terdapat taman Mater Dolorosa. Patung Bunda Maria
Taman Mater Dolorosa Larantuka
berwarna putih yang sedang memangku anaknya menarik saya memasuki taman yang dipagari namun pintunya terbuka seakan mempersilahkan saya masuk dan mengekplorasi taman tersebut. Taman ini langsung berbatasan dengan Pantai Larantuka yang sedang bermandikan cahaya mentari pagi. Puas mengamati Patung Bunda Maria dan Yesus, saya berjalan perlahan menuju pagar pembatas dengan laut - yang diberi atap. Di bagian ini terpampang foto-foto berbingkai yang disusun dalam suatu rangkaian cerita Jalan Salib dalam kepercayaan dan iman Khatolik. Saya berpindah dari satu foto ke lain foto mengamati-amati dan memotret.

Taman Mater Dolorosa Larantuka
Seorang lelaki muda bersama seorang anak lelaki berusia 4 tahunan berjalan melintasi taman menuju tepi pantai melewati gerbang terbuka di pagar pembatas Taman dengan lautan. "Selamat pagi", sapa saya sambil tersenyum ramah. "Pagi", balas sang lelaki tak kalah ramah. "Bawa jerigen untuk apa pak?, lanjut saya mengajak ngobrol. "Ambil air laut untuk dicampur ke dalam makanan babi", balas si lelaki. "Oh ya, kenapa pak?", tanya saya dalam keinginan-tahuan nan membuncah. "Supaya babinya cepat gemuk", balas si lelaki sambil tersenyum. Saya dan lelaki muda tersebut akhirnya bercakap-cakap sekitar 15 menit sampai saya menyadari telah menyita waktu si lelaki yang harus mengurus ternaknya pagi itu. "Silahkan lanjut pak, saya mo lihat-lihat dan foto-foto di sekitar sini",  kata saya mengakhir obrolan kami sekaligus pamit pada si lelaki dan anaknya. Kami bersalaman lalu berpisah melanjutkan  aktivitas masing-masing. Pesona keelokan laut Flores yang tenang diapit Pulau Solor, Pulau Adonara dan Pulau Flores di Pantai Larantuka tak saya tinggalkan begitu saja. Hidup serasa berhenti di tempat ini. Hanya desau angin yang menyapa ramah bersama senyuman mentari pagi yang mulai menghangat. Saya akhirnya meninggalkan taman Mater Dolorosa kembali ke hotel Lestari setelah puas menikmati dalam semedi keelokan pantai Kota Reinha Larantuka.

Selesai sarapan roti dan teh yang disediakan hotel, saya mandi dan mengepak kembali semua barang ke koper dan tas kamera. Saya meninggalkan kamar kosong yang saya kunci lalu berjalan ke ruang depan menuju resepsionis. Saya menghampiri meja resepsionis menyelesaikan pembayaran lalu duduk menunggu pemilik mobil yang akan saya gunakan menuju Moni di kaki gunung Kelimutu.
Sanrise di ujung Timur Pulau Adonara dari Pantai Larantuka
Setelah telpon-telpon 3 kali, sopir mobil dan seorang pemuda tiba di hotel Lestari. Saya mengajak keduanya masuk ke lobby untuk negosiasi harga. Saya menggambarkan rencana perjalanan jelajah beberapa tempat sepanjang jalan yang akan kami lalui kemudian kami beralih membicarakan harga. Dari harga 1juta per hari, akhirnya kami menyepakati harga 750ribu per hari untuk penggunaan 2 hari.  Saya dan sopir akan bermalam di desa Moni - desa di bawah kaki gunung Kelimutu.  Biaya kamar penginapan dan konsumsi sopir selama bersama saya menjadi tanggungan saya alias tidak masuk dalam kesepakatan sewa seharga 1juta 500 ribu selama 2 hari. Setelah menikmati sunrise di danau 3 warna Kelimutu, mobil akan mengantar saya ke Ende pada hari kedua dimana saya akan melanjutkan perjalanan ke Ngada dengan mobil lain yang juga telah saya pesan melalui telpon. Berganti mobil merupakan cara saya menjaga stamina sopir agar tetap stabil hingga akhir perjalanan saya menggunakan mobil ke Labuan Bajo, Manggarai Barat kemudian berganti kapal kayu menjelajahi Taman Nasional (TN) Komodo.

Ile Mandiri
Saya dan Mo'at - demikian nama sopir pengganti yang mengantar dan menemani perjalanan saya dari Larantuka ke Moni - meninggalkan Kota Larantuka sekitar jam 10 pagi. Saya tahu bahwa Mo'at adalah sebutan umum untuk para lelaki di Kabupaten Sikka - sama seperti sebutan mas di Jawa. Hingga kami berpisah di Moni, Mo'at bersikukuh itulah  namanya - walau saya berusaha mencari tahu nama sebenarnya :). Jalan masih sepi saat mobil menyusuri jalanan yang dibangun menyusuri pantai-pantai indah Kota Larantuka dan Kabupaten Flores Timur yang selalu berada di sebelah kiri bersanding dengan jejeran perbukitan dan gunung berada di kanan sampai kami tiba di wilayah Kabupaten Sikka . Kami akan menempuh perjalanan darat sekitar 200km dari Larantuka ke Moni melewati hamparan elok
Bentang alam perjalanan Larantuka - Maumere
bentang alam Pulau Flores bagian Timur yang sangat luar biasa. Saya dan Mo'at bergerak meninggalkan keramahan Ile Mandiri yang mulai terlihat semakin jauh di belakang. Lautan biru tenang diapit jejeran bukit dan gunung-gunung api serta tebing-tebing coklat dan hijau berpadu langit biru dihiasi arakan awan. Kadang jalan membelah bukit dan gunung, kadang melewati bentang kehijauan persawahan atau pemukiman yang halaman rumah masing-masing penghuninya dipenuhi berbagai jenis tanaman dan pepohonan hijau. Sesekali saya dan  Mo'at berhenti  untuk memotret kemolekan bentang alam sepanjang jalan yang sedang kami susuri. Kami tidak berhenti lama karena kemolekan tersebut terpapar di ujung langit. Hanya bisa dinikmati mata namun tak  bisa dijamah tubuh. Pesona lukisan Ilahi itu terus mengiringi perjalanan saya dan Mo'at hingga kami tiba di kaki Kelimutu saat sang molek mentari di jingga senja menyerahkan dirinya dalam dekapan mesra kegelapan malam.

Bentang alam perjalanan Larantuka - Maumere
Saya dan Mo'at mampir makan siang di satu restoran Padang di tepi jalan raya trans Flors di dalam wilayah Kabupaten Flores Timur. Restoran dalam pemukiman yang terletak di bawah perbukitan hijau tersebut sepertinya merupakan tempat singgah bis antar kota - yang biasanya memiliki kerjasama antara pemilik restoran dan para sopir - sebagaimana pola yang ada di kota-kota lain di NTT dan juga Jawa. Saya sebenarnya ingin mencari restoran atau warung yang menjual makanan lokal, namun Mo'at tidak memiliki informasi tersebut, sedangkan hari semakin siang dan perut kami mulai keroncongan. Salah satu kebiasaan saya dalam perjalanan adalah perut harus selalu kenyang guna mengantisipasi kondisi tak
Bentang alam perjalanan Larantuka - Maumere
terduga - seperti mobil mogok, pecah ban, terhalang perbaikan jalan atau bahkan berjam-jam harus melewati lokasi-lokasi tanpa pemukiman, apalagi warung makan.

Kami melintasi kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka sekitar jam 2 siang. Mobil terus melaju menuju Pantai Lela - salah satu pantai indah di Kabupaten Sikka bersama gereja tuanya. Setelah beberapa kilometer melewati kota Maumere, Mo'at membelokan mobil menyusuri jalan lebih kecil di sebelah kiri jalan raya trans Flores menuju Pantai Lela yang terletak sekitar 7km dari dari jalan raya Trans Flores. Mobil dihentikan dekat naungan satu pohon tamarin / tambaring raksasa di tepi pantai berpasir warna gelap yang merupakan ciri khas pasir pantai Pulau Flores karena biasanya mengadung unsur besi sehingga dikenal dengan istilah pasir besi oleh penduduk setempat. Pantai Lela sangat lenggang di siang hari itu.

Pantai Lela
Hanya saya dan Mo'at yang berada di pantai tersebut menikmati pesona hempasan gelombang di pasir pantai yang mencuatkan buih-buih putih yang menyebar dan berkejaran silih berganti tiada akhir bagaikan baris-baris puisi. Selesai foto-foto, saya dan Mo'at duduk berbincang di salah satu akar pohon tamarin raksasa yang muncul di permukaan tanah. Kami menikmati belaian angin segar bersama tarian gelombang lautan yang menghempas terus menerus ke pantai di depan kami. Seorang lelaki tegap berkulit kehitaman terlihat berjalan ke pantai membawa jerigen berukuran 7 literan. Nelayan lelaki itu berjalan ke dalam air laut setinggi mata kaki. Jerigen dimasukan ke air selama beberapa menit untuk
Pantai Lela
menampung air laut lalu sang lelaki kembali berjalan pulang. "Pasti untuk campuran makanan babi", pikir saya mengingat pengalaman pagi hari di tepian pantai Larantuka. Mo'at mengeser duduknya agak menjauh untuk menikmati rokoknya. Saya tenggelam dalam semedi keindahan alam Pantai Lela. Kami menghabiskan 45 menit di Pantai Lela lalu melanjutkan perjalanan menuju Pantai Paga. Kami kembali melewati jalanan kampung Lela yang cukup ramai karena ada pesta pernikahan di salah satu rumah penduduk di tepi jalan yang kami lalui. Kiri dan kanan jalan menjadi tempat parkir mobil dan motor para tamu yang juga sedang berseliweran di jalan tersebut. Para ibu dan lelaki paruh baya memakai sarung atau jas dari kain tenunan setempat. Para pemudi dan pemuda mengenakan pakaian produksi pabrik.

Pantai Paga
Mobil kembali melaju membelah jalan trans Flores menuju Barat. Sekitar 1 jam dari Pantai Lela, kami tiba di pantai Paga yang masih berada dalam wilayah Kabupaten Sikka. Pantai ini menyajikan panorama berbeda dari Pantai Lela. Pantai Paga didominasi bebatuan, berbeda dengan Pantai Lela yang didominasi pasir. Pantai ini terletak di sebelah kiri jalan trans Flores dari arah kota Maumere. Pantai dikitari bukit dan tebing terjal yang mudah longsor, terlihat dari masih adanya guguran batu dan tanah di seberang jalan yang memisahkan pantai dari perbukitan sekitarnya. Karena terletak di tepi jalan, maka pantai juga diberi tanggul penahan gelombang laut - yang kelihatan telah berantakan di beberapa tempat sehingga batu-batu cadas yang digunakan sebagai tanggul telah terpisah dari badan tanggul lalu berserakan di sekitar pantai membentuk landasan bebatuan bagi Pantai Paga.
Pantai Paga
Mata saya menangkap satu patung raksasa di puncak bukit berwarna coklat yang tebingnya menjadi batas dengan Pantai Paga. "Itu patung Yesus", kata Mo'at. Patung Yesus terlihat membelakangi Pantai Paga - tempat saya dan Mo'at sedang duduk menikmati hempasan gelombang di tanggul - saat saya menggunakan lensa tele kamera DSRL saya guna melihat lebih dekat ke Patung tersebut. "Patung tersebut menghadap dan memberkati Desa Paga di balik bukit", kata Mo'at saat saya bertanya mengapa Patung Yesus dibuat membelakangi Pantai Paga. Puluhan meter di sebelah kiri tempat saya dan Mo'at duduk
Patung Yesus di puncak bukit Paga
menikmati hempasan gelombang, beberapa perahu nelawan tertambat di sekitar pantai tersebut. Di sebelah kanan dalam jarak ratusan meter dari kami, di sekitar tebing terlihat juga puluhan perahu nelayan dalam berbagai warna sedang tertambat sehingga menciptakan lukisan lain di sekitar pantai Paga.

Saya dan Mo'at menuju Pantai Koka yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan dari Pantai Paga. Awalnya Mo'at ragu-ragu ke Pantai Koka yang dalam ingatannya berjarak cukup jauh dari jalan trans Flores. Kami berdiskusi dan menghitung ketersediaan waktu tersisa sebelum malam tiba. Mengunjungi pantai di malam hari di Pulau Flores bukanlah sesuatu yang kami inginkan bersama. Ketidaktahuan akan kondisi jalan dan waktu tempuh akan menjadi masalah bagi kami jika dipaksakan. Walau Mo'at berasal dari Maumere namun tidak semua orang setempat mengetahui kondisi dan lokasi pantai yang menjadi tujuan perjalanan sore ini. Saya mengandalkan sepotong informasi dari internet, sedangkan Mo'at hanya mengandalkan ingatan samarnya tentang Pantai Koka. Kami hampir saja melewati pertigaan jalan menuju pantai Koka karena asyik diskusi di mobil yang sedang melaju. Mata saya sempat melihat informasi tertulis dan gambar pada standing banner di sebelah kiri jalan samping pertigaan. Moa't menghentikan mobil di dekat banner sehingga kami bisa membaca informasi yang tersedia. "Ah jaraknya hanya 4km dari jalan ini", kata saya ke Mo'at. "Yuk kita jajal, toh masih sore, lanjut saya. Mo'at membelokan mobil memasuki jalan lebih kecil menuju pantai Koka melewati kebun-kebun kakao  / coklat yang bertebaran di kiri dan kanan jalan hingga kami tiba di Pantai Koka. Gerbang dijaga seorang lelaki paruh baya yang meminta kami membayar 5000 rupiah sebagai ongkos masuk.

Pantai Koka
Awalnya Koka bernama Ma'u Gerambesi, demikian Riki -  nama penjaga pantai dan loket penjualan tiket di Pantai Koka - memulai ceritanya, mengoreskan keramahan Timur. Karena pantai ini sering disinggahi kumpulan burung yang bermigrasi dari Australia yang
Pantai Koka
menikmati kelimpahan cacing laut di pantai tersebut sebagai makanan mereka, maka penduduk setempat menamai pantai ini dengan "koka", yakni suara yang keluar dari ribuan burung migran tersebut, lanjut Riki. Pantai Koka terbagi ke dalam 2 bagian yang dipisahkan satu  bukit kecil di tengah kedua pantai tersebut. Bagian kiri disebut Ma'u Ata Laki yang hanya boleh digunakan para lelaki untuk mandi. Bagian kanan disebut Ma'u Ata Fai yang hanya boleh menjadi tempat mandi para perempuan. Namun saat ini, para pengunjung tidak peduli lagi dengan aturan  tersebut. Keduanya, perempuan dan laki-laki sering mandi bersama di kedua lokasi Pantai Koka.

Pantai Koka
Pantai Koka menghadirkan pasir tepung berwarna khaki. Pantai berbentuk cekungan itu dikitari tebing-tebing tinggi yang menjadi dinding alam memisahkan pantai dari pemukiman dan ladang penduduk sekitar. Saat saya dan Mo'at tiba sore itu terlihat sepasang anak muda bersama keluarga dan seorang fotografer sedang melakukan foto pre-wedding di lokasi itu. Saya menikmati selingan tersebut sambil duduk di salah satu pondok beratap daun kelapa di bawah naungan satu pohon ketapang besar. Jejeren pondok penjual kelapa muda dan makanan serta minuman lain berjejer rapi dalam jarak 10an meter dari tepi pantai.
Bersama Mo'at di pantai Koka
Beberapa menit menikmati aktivitas foto pre-wedding, saya bangun dan berjalan-jalan menikmati pasir pantai nan lembut dari sisi kanan ke sisi kiri dan sebaliknya. Mo'at menemani saya sambil ngobrol. Sesekali kami berhenti untuk memotret panorama pantai ataupun memotret diri masing-masing secara bergantian. Kadang kami berdua melakukan selfie sehingga kami bisa punya foto bersama. Sebagaimana dalam perjalanan jelajah saya di tempat-tempat lain, para sopir saya beri latihan singkat dasar-dasar fotografi sehingga bisa membantu saya memotret, terutama memotret diri saya di tempat-tempat indah yang pernah kami datangi. Hal yang sama saya lakukan untuk Mo'at - sekaligus mencairkan relasi kami sebagai sopir dan penyewa mobil menjadi teman perjalanan.



Pantai Koka
Hari hampir gelap sehingga saya dan Mo'at pamit dari Riki yang sejak tadi menemani kami. Hanya kami bertiga yang tersisa di pantai tersebut. Saya dan Mo'at menikmati suasana sunyi pantai Koka sambil menikmati cerita Riki yang selalu berganti topik, termasuk pengalamannya merantau di Malaysia dan Jakarta sampai suatu saat memutuskan pulang kampung dan sekarang bekerja sebagai penjaga pantai sekeligus menyewakan ban bagi para pengunjung yang ingin bermain air laut pantai Koka. Saya menjabat erat Riki lalu kembali memasuki mobil guna melanjutkan perjalanan ke desa Moni di kaki gunung Kelimutu. Riki seperti enggan melepaskan kami pergi. Riki terus menemani dan mengobrol dengan saya melalui jendela mobil yang saya buka. Mo'at menjalankan mobil secara perlahan memberi waktu bagi saya dan Riki menyelesaikan obrolan perpisahan kami.

Mo'at di Pantai Koka
Setelah meninggalkan pantai Koka sekitar 3 jam membelah jalan trans Flores di malam hari, akhirnya kami tiba di Moni - kampung yang telah sedang berubah menjadi tempat singgah pengunjung manca negara untuk menjelajah Kelimutu dan sekitarnya. Saya telah merencanakan nginap di Moni guna memudahkan saya mengakses puncak Kelimutu di subuh hari menunggu terbitnya sang mentari menyapa danau 3 warna yang selalu berubah sepanjang perjalanan waktu dari tahun ke tahun. John - demikian nama lelaki berambut gimbal - yang adalah pemilik dan pengelola bungalow Watugana di Moni -  menyambut ramah saya dan Mo'at. Setelah mengantar saya ke kamar, John kembali mengantar secangkir teh panas bagi saya dan secangkir kopi bagi Mo'at guna menghangatkan tubuh kami yang sedang tenggelam dalam udara dingin malam itu di desa Moni.

Pantai Koka
Saya dan Mo'at harus berpisah di Moni, karena mobil yang saya gunakan harus dibawa kembali ke Maumere atas perintah pemilik mobil. Mo'at hanyalah sopir pengganti yang tidak punya akses langsung ke pemilik mobil untuk menjelaskan kesepakatan yang telah saya lakukan dengan sopir mobil yang sebenarnya, yakni mobil harus mengantar saya sampai Ende di esok hari. Sepertinya sopir asli menyembunyikan harga dan waktu sewa-menyewa mobil tersebut ke pemilik mobil sehingga pemilik mobil meminta mobil kembali ke Maumere malam itu guna mengantar pelanggan lain dari kota tersebut ke Larantuka. Setelah mendiskusikan segala konsekuensinya bagi Mo'at, akhirnya saya melepaskan Mo'at membawa pulang mobil sewaan tersebut pada malam hari itu juga ke Maumere. Karena kesepakatan mengantar saya sampai Ende dibatalkan sopir asli, maka saya juga hanya membayar 1 juta dari 1,5 juta yang kami sepakati. Karena Mo'at dan mobil yang saya sewa harus balik ke Maumere malam itu juga, maka saya menyibukkan om John mencarikan kendaraan pengganti bagi saya agar bisa mengakses puncak Kelimutu di subuh hari sekligus untuk mengantar
Pantai Koka
saya ke Ende. Om John hanya memperoleh ojek motor yang akan mengantar saya ke puncak Kelimutu dengan harga 150ribu rupiah. Ojek akan menjemput saya subuh hari, dimana saya akan berangkat bersama para pengunjung lain yang menginap di bungalow yang sama atau di penginapan lain sekitar situ. Perjalanan ke Ende akan menggunakan bis atau mobil lain yang akan dicarikan om John esok hari karena  malam telah larut. Setelah mendapatkan kepastian kendaraan ke puncak Kelimutu pada subuh esok hari, saya pamit kembali ke kamar untuk membersihkan tubuh lalu tidur guna mendapatkan kesegaran dan tenaga baru. Kamar mandi dilengkapi air panas sehingga memudahkan saya mandi dalam udara dingin yang serasa mengigit tulang. Selesai mandi dan berganti pakaian bersih, saya membaringkan diri ke tempat tidur ukuran queen yang dilengkapi kelambu putih. Saya menurunkan kelambu memayungi dan menutup tempat tidur guna menghindari nyamuk dan serangga malam lainnya. Malam semakin sunyi di kaki Kelimutu sebelum saya terlelap. Saya memasang alarm HP agar membangunkan saya di subuh hari..
Pantai Koka
Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...