Minggu, 15 Februari 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES : Labuan Bajo, Ruteng (Manggarai) dan Ende

Menjelang sunset dari perbukitan di atas kota Labuan Bajo
Masih ada tiket kah? tanya Arwin (lihat catatan Jakarta - Labuan Bajo) ke perempuan setengah baya yang duduk di belakang meja kerja sambil ngobrol dengan seorang laki-laki yang duduk berhadapan agak menyamping dengan perempuan tersebut. Ekspress sudah penuh malam ini, balas perempuan itu. Kalo mau, yang biasa saja, lanjutnya. Tidak tante, saya cari yang untuk besok saja. Kata saya mengambil alih pembicaraan. Masih ada kalo untuk besok, timpal perempuan itu. Saya minta satu kursi berangkat besok pagi, minta dijemput di hotel Rama, balas saya. Perempuan tersebut menanyakan nama saya lalu menuliskannya pada lembaran tiket yang masih terekat pada satu buku tiket (seperti buku kuitansi). Berapa nomor telpon bapa, tanya perempuan tersebut. Wah masih mau cari kartu karena nomor Jakarta tidak bisa aktif di sini, balas saya. Kalo bagitu, bapa cari kartu dulu supaya saya bisa catat nomor hp bapa. Perempuan itu melanjutkan dengan memberi petunjuk ke Arwin kemana mencari sim card yang cocok dengan iphone saya.

Salah satu sudut kawasan sekitar kota Labuan Bajo 
Saya dan Arwin kembali menaiki motor yang dikemudikan Arwin ke arah kiri dari tempat penjualan tiket tersebut. Sekitar 50an meter dari tempat penjualan tiket, kami tiba di suatu perempatan. Arwin membelokan motor ke kiri menyusuri jalan sekitar 20an meter lalu berhenti di satu kios penjualan pulsa. Perempuan penjaga kios mengatakan tidak menjual sim card dan menyarankan kami mencoba peruntungan ke grapari telkomsel yang terletak beberapa puluh meter dari kios tersebut. Saya dan Arwin kembali menaiki motor yang kembali melaju di jalanan kota pada sore hari yang agak sepi. Di
Hanya daun yang mengering di musim kemarau agar bertahan
suatu pertigaan, motor dibelokan ke kanan menyusuri jalanan berlubang menuju jejeran ruko satu lantai yang berjarak sekitar 10 meter dari jalanan berlubang tersebut. Motor diparkir depan grapari, saya turun dan melangkah masuk diiringi Arwin. Dalam ruangan berAC saya bertemu  2 perempuan yang berjaga di konter dalam ruangan tersebut. Saya mengemukakan tujuan saya mendapatkan sim card untuk iphone saya. Bapa kembali besok pagi saja karena petugas yang bisa potong sim card telah pulang, jawab satu dari kedua perempuan tersebut. Apes de, kata saya dalam hati. Saya mengucapkan terima kasih lalu
Perbukitan di atas kota Labuan Bajo 
bersama Arwin berjalan keluar dan kembali ke sepeda motor Arwin. Kita coba ke tempat lain dekat pasar di pelabuhan, ajak Arwin. Ok, jawab saya sambil naik ke boncengan motor. Pencarian sim card sore hari itu berakhir dengan tangan hampa setelah kami mengunjungi satu kios lagi di dekat pelabuhan. Saya meminta Arwin kembali ke tempat penjualan tiket dan menginformasikan ke perempuan pejual tiket bahwa saya tidak  mendapatkan sim card baru sehingga tidak bisa dihubungi melalui telpon bagi perjalanan besok pagi. Bapa tunggu saja di luar hotel besok pagi sekitar jam 7, kata perempuan tersebut. Baik tante, balas saya sambil menerima tiket dan menyerahkan 100 ribu rupiah yang adalah harga tiket perjalanan Labuan Bajo ke Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

View dari Puncak Lawang 
Kita jalan-jalan keliling kota, kata saya ke Arwin yang kembali menghidupkan sepeda motornya. Setelah saya nangkring di boncengan, motor dikemudikan menyusuri jalanan yang telah kami lalui sebelumnya saat mencari sim card, yakni mengarah ke lampu merah lalu belok kiri menyusuri jalan 2 jalur terpisah. Hanya sesekali kami bertemu sepeda motor atau mobil pribadi yang lewat di jalur sebelah jalan yang sedang kami lalui. Saya ingin memotret sunset, kata saya ke Arwin. Saya mendiskripsikan tempat yang saya ketahui saat dalam perjalanan dari bandara ke hotel bersama Patti siang tadi (lihat catatan perjalanan Jakarta - Labuan Bajo).  Di suatu tikungan di atas bukit, saya melihat hamparan laut di
Pelabuhan Labuan Bajo
bawah bukit berhiaskan berbagai kapal dan perahu serta sebaran beberapa pulau kecil. Oh itu, saya tau tempatnya, namnya Puncak Lawang, kata Arwin. Kita ambil jalan memutar ke atas bukit supaya bapa bisa liat pemandangan lain juga. Saya mengiyakan saja karena saya memperkirakan sunset masih sekitar 1 jam lagi dari posisi matahari saat itu. Kami menuju arah perbukitan di atas bandara Komodo. Di beberapa tempat, motor dihentikan Arwin yang menanyakan apakah saya ingin memotret pemandangan yang terhampar di hadapan kami. Saya mengiyakan lalu turun dari boncengan dan mengambil beberapa foto. Itu bukit cinta, kata Arwin menunjuk satu bukit gersang berwarna kecoklatan dihiasi pepohonan dalam jarak berjauhan. Bukit itu merupakan tempat orang-orang muda Labuan Bajo memadu kasih sehingga disebut bukit cinta, lanjut Arwin. Saya hanya mengiyakan saja. Mata saya terus berpindah dari kanan ke kiri sepanjang jalan yang kami lalui menikmati suasana perbukitan. Saya meminta Arwin berhenti di beberapa tempat menarik untuk difoto sebelum kami tiba di tempat tujuan saya memotret sunset.

Sunset di pantai kota Labuan Bajo 
Saat kami tiba di tempat tujuan, sunset masih sekitar 30an menit lagi. Saya mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Saya memperkirakan tidak akan mendapatkan posisi sunset yang ideal dari posisi matahari yang saya perhatikan akan terhalang satu pulau kecil saat matahari akan menghilang di ufuk barat. Saya meminta Arwin mengantar saya ke pantai terdekat untuk mendapatkan sunset ideal yang saya inginkan. Kami kembali menyusuri jalanan menurun ke arah kota. Tiba di jalan datar, sepeda motor Arwin melaju melewati pasar kota dan jejeran kios, toko, rumah serta restoran. Di suatu pertigaan yang tidak terlihat oleh saya karena terhalang jejeran bangunan sepanjang jalan yang sepertinya berdiri di atas
Sunset di pantai kota Labuan Bajo 
jalan, sepeda motor dibelokan ke arah kanan turun menyusuri jalan berbatu ke arah pantai melewati rumah-rumah penduduk. Kami tiba di saat yang sangat tepat dimana matahari berada pada posisi ideal meninggalkan bumi sementara beberapa nelayan tampak berjalan meninggalkan perahu-perahu mereka akan kembali ke rumah dan pelukan istri serta anak-anak mereka membawa hasil tangkapan. Beberapa anak muda perempuan dan laki-laki tampak duduk sepanjang tanggul pantai yang tidak seberapa tinggi, menikmati kepergian matahari ke peraduannya. Lampu di rumah-rumah penduduk tepian pantai mulai menyala saat saya dan Arwin bergerak meninggalkan lokasi tersebut. Seperti umumnya perkampungan nelayan, rumah-rumah penduduk dibangun sambung menyambung tanpa halaman samping kiri dan
Kapal-kapal wisata ke pulau Komodo dan pulau lainnya
kanan. Halaman depan yang ada juga seadaanya sekedar halaman dengan hiasan beberapa bunga. Kampung nelayan tepi pantai ini langsung berbatasan dengan bukit di atasnya yang juga dipenuhi rumah penduduk yang langsung berbatasan dengan jalanan kota Labuan Bajo. Arwin membawa saya mampir beberapa menit di pelabuhan Labuan Bajo. Kami melewati jejeren tumpukan peti kemas dan jembatan penghubung daratan dengan tempat sandaran kapal. Pelabuhan terletak dalam teluk yang tenang. Kapal-kapal wisata yang membawa turis dari Labuan Bajo ke pulau Komodo dan pulau-pulau lainnya sedang buang sauh di sebelah kiri jalan penghubung daratan dan dermaga kapal. Sebelah kanan lebih lenggang. Hanya beberapa perahu nelayan yang sedang parkir di pasir pantai yang landai.  Lampu-lampu kapal yang membuang sauh dan sandar di pelabuhan mulai menyala. Demikian juga dengan di kapal-kapal yang sedang parkir bertebaran dalam teluk. Sepoi angin laut di senja menjelang malam terasa dingin sehingga saya mengajak Arwin kembali ke daratan mencari tempat makan.

Tempat makan malam di Labuan Bajo 
Saya dan Arwin beranjak meninggalkan pantai. Arwin membawa saya ke jejeran warung makan tepi pantai yang menjual berbagai jenis ikan segar, bernama wisata kuliner Kampung Ujung. Saya dan Arwin memilih ikan masing-masing sesuai selera. Setelah itu, tukang bakar ikan membersihkan ikan tersebut, memberi garam secukupnya lalu memanggang ikan tersebut di atas bara api. Beberapa bule terlihat makan di meja sebelah, beberapa lainnya lalu lalang melihat-lihat berbagai jenis ikan yang dipajang di meja-meja depan jejeran warung tersebut. Saya makan dengan lahap menghabiskan seekor ikan bakar ditemani sepiring nasi panas bersama sambal pedas khas Indonesia Timur serta juga segelas air jeruk hangat. Sambil makan saya bercakap-cakap dengan Arwin tentang keluarganya dan kesehariannya sebagai tukang ojek. Saya juga menikmati aktifitas perempuan pemilik warung yang sedang asyik mengolah sayur lalapan sambil bercakap-cakap dengan temannya dan seorang laki-laki tentang keseharian mereka.

Ikan segar yang dipilih, dibersiin dan dipanggang gunakan arang kayu
Malam telah larut saat Arwin mengantar saya kembali ke hotel yang hanya berjarak sekitar 1 km dari tempat wisata kulier tersebut. Saya memberi tambahan 50 ribu rupiah ke Arwin sebagai balas jasa atas kesediaannya menemani saya sampai kami selesai makan malam. Dengan demikian, ongkos ojek saya setengah harian di Labuan Bajo adalah 100 ribu rupiah, diluar makan malam.

Sepertinya semua tamu telah terlelap saat saya memasuki kamar dan kemudian membersihkan diri menggunakan air hangat, tak lupa menyikat gigi sebelum melelapkan diri di ke keempukan tempat tidur hotel. Pagi hari, saya sempatkan mengambil beberapa foto dari
View kota dari pelataran lantai 4 hotel Rama 
tempat sarapan di teras terbuka lantai 4 hotel tersebut. Para tamu dipersilahkan memilih sarapan roti bakar atau nasi goreng bersama kopi atau teh. Sambil menunggu nasi goreng yang saya pesan disiapkan, saya berkeliling di pelataran tempat sarapan tersebut mengintip berbagai aktifitas bangunan sekitar hotel, termasuk beberapa kantor perusahaan swasta yang terletak di jalan depan hotel. Selesai sarapan, saya kembali ke kamar menyiapkan diri berangkat ke Ruteng di pagi hari. Sebagaimana jadwal yang tertulis di tiket, saya akan berangkat jam 7 pagi. Saya turun ke meja resepsionis di lantai 2 untuk membayar harga kamar yang telah saya tempati semalam sekaligus check out sebelum jam 7 pagi. Saya meminta tolong resepsionis menelpon agen bis menggunakan telpon hotel untuk menginformasikan bahwa saya telah menunggu jemputan.

Suasana kota Labuan Bajo di pagi hari
Labuan Bajo merupakan kota kecil tepi pantai yang aslinya adalah satu perkampungan nelayan. Labuan Bajo atau Labuhan Bajo atau Labuanbajo menjadi ibukota Kabupaten Manggarai Barat saat wilayah tersebut dimekarkan menjadi kabupatan defenitif pada tahun 2003 - dipisah dari kabupaten Manggarai. Selain wilayah daratan Flores Barat, wilayah kabupaten Manggarai Barat meliputi juga pulau Komodo, Rinca, Seraya Besar, Seraya Kecil Bidadari dan Longos serta beberapa pulau kecil lainnya yang menjadi obyek wisata diving, snorkling dan trekking, termasuk fotografi  terutama berburu foto si binatang purba - sang komodo. Saat ini Labuan Bajo terus berbenah dan berkembang menjadi kota wisata. Sejak pemerintah meluncurkan Sail Komodo, Labuan Bajo menjadi tempat kedatangan para turis lokal dan manca negara yang ingin ke pulau Komodo dan sekitarnya. Saat saya berada di kota itu, terlihat para bule berseliweran di jalan,  pasar dan pantai hanya mengenakan sandal dan pakaian seadaanya. Mulai terlihat seperti seliweran para bule di Bali. Sebaliknya, wisatawan dalam negeri belum terlihat bersilewaran seperti di Bali :).

Suasana pelabuhan Labuan Bajo dari Lantai 4 Hotel Rama
Jam 7 lewat 10 saat saya melihat dari jendela hotel adanya satu mini bus warna biru parkir di jalan depan hotel. Seorang laki-laki staf hotel memastikan bis tersebut merupakan bis yang akan saya gunakan. Saya berjalan mengiringi staf hotel yang membawa koper saya menuruni tangga hotel ke bis yang sedang menunggu. Setelah kami tiba di bis, koper saya diambil alih kondektur, saya memberikan tip sambil mengucapkan terima kasih ke staf hotel yang telah bercapai lelah mengangkat koper. Saya memasuki mini bus yang sangat bersih. Setiap penumpang mendapatkan 1 kursi yang terpisah satu sama lain dengan kursi penumpang lainnya. Sepertinya mini bus ini lebih ramping dari mini bus yang pernah saya gunakan dalam perjalanan dari Bagan ke Mandalai di Myanmar (baca catatan perjalanan Bagan - Mandalay). Mini bis di Myamar mempunyai 2 kursi bersebelahan di satu sisi dengan 1 kursi terpisah lainnya alias pada satu baris terdapat 3 kursi. Sementara mini bus ekpres Labuan Bajo - Ruteng hanya memiliki 2 kursi per baris sehingga memberi kesan sangat privat. Hanya bagian belakang mini bis yang kursinya sambung menyambung tanpa gang pemisah.

View dari atas bis Labuan Bajo - Ruteng
Bis yang saya tumpangi masih menjemput beberapa penumpang sambil mengarah ke luar kota menuju Ruteng meliuk mengikuti kontur jalan yang berkelok-kelok naik turun gunung, lembah. Jalanan yang dilalui cukup lebar dan terawat, bahkan di beberapa tempat nampak jalan-jalan tersebut baru diperbaharui sehingga masih sangat nyaman dilalui mini bis yang saya tumpangi. Rumah-rumah penduduk seperti berada dalam kebun pepohonan yang sangat rindang. Kesan hijau dan subur nampak menghiasi kontur lahan yang dilalui. Di beberapa tempat terlihat sawah-sawah berteras di punggung bukit sedang menguning, sedangkan pada beberapa dataran lain yang terlihat hanya kehijauan padi di persawahan sejauh mata
View dari atas bis Labuan Bajo - Ruteng
memandang. Sekitar jam 10 pagi, bis berhenti di satu rumah makan yang terletak di perbatasan kabupatan Manggarai Timur dan Manggarai. Semua penumpang bis memasuki rumah makan mencari tempat duduk masing-masing lalu memesan makanan dan minumannya. Saya memesan sepiring nasi dengan lauk ikan goreng dan sekaleng coca-cola. Sebelum rombongan saya selesai makan, serombongan bule dengan pakaian seadaannya dan rambut awut-awutan memasuki rumah makan yang sama. Sepertinya warung ini merupakan tempat singgah para traveller baik penduduk lokal maupun para wisatawan. Sekitar 30 menit berada di warung menyelesaikan makanan dan minum, saya dan para penumpang lainnya kembali ke bis yang berjalan meninggalkan tempat tersebut menuju Ruteng.

Kursi penumpang mini bus Labuan Bajo - Ruteng
Saat bis tiba di kota Ruteng sekitar jam 12 siang, hujan deras sedang mengguyur kota tersebut. Kabut juga terlihat memayungi kota. Mini bis mengantar setiap penumpang ke tempat masing-masing. Saya minta sopir menurunkan saya di penginapan milik Susteran yang cukup terkenal di Flores. Saya mendapatkan informasi penginapan ini dari perempuan penjual tiket dan juga sopir mini bis saat kami ngobrol tentang hotel yang bisa saya tumpangi di Ruteng. Sopir menyarankan saya menginap di penginapan Kongregasi Susteran Santa Maria Berdukacita atau lebih dikenal dengan penginapan Susteran MBC. Perempuan penjual tiket dan juga sopir mini bis mengingatkan saya akan jam malam yang berlaku di penginapan tersebut, yakni jam 9 malam gerbang susteran dikunci sehingga tidak ada lagi orang yang masuk keluar kompleks penginapan. Saat saya keluar bis di pinggir jalan depan susteran, gerimis sedang berlangsung. Sambil berjalan cepat menyeret koper saya menyusuri jalan mendaki ke jejeran bangunan di atas bukit. Kompleks susteran dipenuhi pepohonan dan tanaman hias, termasuk bunga berbagai jenis yang terawat dengan baik. Bangunan dalam kompleks dikelompokan ke dalam fungsi masing-masing, yakni penginapan sekaligus kantor para suster di bangunan berlantai 2 dengan basement yang menjadi kantor, asrama putri dan bangsal seperti ruang pertemuan sekaligus tempat sarapan bagi para tamu yang menginap. Penginapan dan kantor sekaligus tempat ibadah para suster terletak di sisi kiri jalan masuk, ruang makan pagi dan bangsal pertemuan terletak di sisi kanan, sedangkan asrama putri terletak di belakang. Di antara penginapan dan asrama dibangun taman dan gasebo. Saat saya tiba di ruang resepsionis sekaligus ruang duduk dan nonton tv bagi para suster, terlihat sekelompok bule bersama guide lokal mereka sedang duduk menunggu pembagian kamar. Saya meminta kamar single double bed, namun saya hanya mendapatkan  kamar twin beds seharga 250 ribu per malam, karena kamar single penuh oleh para turis manca negara.

Penginapan Susteran Maria Berdukacita (SMBC)
Selesai menyimpan koper, mandi dan berganti pakaian, saya keluar kamar menikmati hujan yang mulai menderas. Menggunakan payung yang salalu saya bawa dalam ransel, saya berjalan ke taman dan gasebo yang terletak diantara bangunan penginapan dan asrama puteri. Saya mesan segelas teh panas yang saya nikmati dengan biskuit yang juga saya bawa karena penginapan tidak menyediakan snacks berupa kue ataupun sejenisnya. Sambil menikmati teh panas dalam deras hujan yang menguyur daerah sekeliling, saya mengajak ngobrol seorang pemuda staf penginapan tersebut, bernama Martin. Saya bertanya ke Martin tentang beberapa tempat wisata yang ingin saya kunjungi, antara lain kampung adat Wae Rebo, kampung adat lain yang dekat ke kota Ruteng, pemandian air panas sekaligus air terjunnya serta pantai indah berjarak sekitar 30an km dari kota Ruteng. Obrolan kami berkisar tentang alat transportasi dan biayanya. Biaya termahal adalah ke Wae Rebo - kampung adat yang hanya memiliki beberapa rumah adat sejak dulu kala sampai saat ini. Kampung ini diperkenalkan di berbagai media nasional dan internasional, terutama keunikatan arsitektur rumah
Salah satu sudut penginapan SMBC
adatnya sehingga saat ini menjadi salah satu tujuan wisata utama di Manggarai. Paket wisata ke kampung ini berharga 2juta 500 ribu rupiah all in (termasuk sewa kendaraan, menginap semalam di Wae Rebo serta konsumsi siang, malam dan pagi sebelum kembali ke Ruteng). Rute perjalanan ke kampung ini adalah menggunakan kendaraan sekitar 3 jam kemudian berjalan kaki mendaki perbukitan sekitar 3 jam hingga tiba di Wae Rebo, demikian juga sebaliknya. Total waktu perjalanan yang dibutuhkan sekitar 6 jam sekali jalan alias waktu tempuh PP sekitar 12 jam, karena itu setiap pengunjung disarankan menginap semalam di Wae Rebo menikmati suasana dan keramahan penduduknya. Perjalanan ke kampung adat lain dekat kota atau air terjun dan kolam air panas serta pantai akan menempuh waktu sekitar 30an menit menggunakan ojek atau sewa mobil. Biaya menggunakan ojek lebih murah, yakni sekitar 40ribu rupiah pp ke masing-masing tempat. Jika menggunakan mobil sewaan, maka biaya sewa pagi sampai malam adalah 500 ribu rupiah. Martin akhirnya menjadi teman ngobrol selama saya berada di Ruteng, termasuk membantu mengurus sim card baru bagi HP saya.

Pasar desa dalam perjalanan Ruteng - Bajawa
Esok hari, hujan masih terus mengguyur Ruteng. Saya menghabiskan waktu di penginapan dengan membaca dan menulis hingga sore hari. Saat hujan agak reda di sore hari kedua saya di Ruteng, saya sempatkan keluar penginapan. Menyewa ojek dan mengelilingi kota. Namun hanya sekitar 30an menit gerimis kembali menyirami kota Ruteng sehingga saya memutuskan kembali ke penginapan. karena hujan tidak berhenti sepanjang sore hingga malam, saya putuskan meninggalkan Ruteng menuju Ende sebagai tempat transit ke Danau Kelimutu (dikenal juga sebagai danau tiga warna) yang berjarak sekitar
Kondisi jalan Nagakeo - Ende
3 jam perjalanan dari kota Ende.  Saya menyewa mobil untuk perjalanan Ruteng - Ende. Dikenal sebagai travel dengan harga 1 juta 400 ribu rupiah dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Mungkin saja pengunaan istilah travel adalah lokasisasi dari istilah travel dalam bahasa Inggris tersebut. Karena itu, jika ingin mencari mobil sewaan di Ruteng dan Ende, maka disebut mencari travel. Travelnya parkir di dekat pertokoan, dstnya :), demikian kata-kata yang saya peroleh saat mencari mobil sewaan ini di Ruteng dan Ende, termasuk saat akan ke danau Kelimutu di kabupaten Ende.

Kondisi jalan Nagakeo - Ende
Perjalanan Ruteng Ende cukup berliku naik turun bukit dan gunung serta meliuk di lembah-lembah berhias kebun, sawah dan juga pemukiman penduduk. Jalanan di kabupaten Ngada cukup menantang karena mobil harus meliuk di jalanan berbentuk seperti huruf S dan Z yang diapit dinding bukit terjal di sebelah kiri dan jurang curam di sebelah kanan. Jalan yang dilalui cukup bagus kecuali di kabupaten Nagakeo yang berada di antara kabupaten Manggarai dan Ende. Jalan sepanjang puluhan kilometer sedang diperbaiki sehingga mobil harus melalui jalanan berbatu dan berdebu. Saat berpapasan dengan kendaraan lain dapat dipastikan debu tebal beterbangan sehingga sopir mobil yang saya gunakan harus selalu menggerakan
Angkutan publik di NTT
pembersih kaca. Kondisi ini berlangsung sampai kami tiba di perbatasan kabupaten Nagakeo dengan kabupaten Ende. Dinding perbukitan di sebelah kiri dengan hamparan pantai berair biru jernih sangat mempesona sepanjang perjalanan dari perbatasan kabupaten hingga tiba di kota Ende. Beberapa kilometer dari kota Ende, terlihat gunung Meja dan pulau Ende yang mempesona di kejauhan. Legenda setempat menceritakan adanya perkelahian antara 2 gunung lain berjenis kelamin laki-laki memperebutkan gunung Meja berjenis kelamin perempuan. Perang itu berakibat terbentuknya pulau Ende dari senjata salah satu lelaki yang jatuh ke laut dalam perkelahian tersebut.

Pantai-pantai indah sebelum memasuki Kota Ende
Sekitar jam 4 sore, mobil yang saya tumpangi tiba di kota Ende. Saya berkeliling mencari hotel / penginapan yang bisa saya tumpangi. Akhirnya saya mendapatkan penginapan untuk semalam saja, karena kata resepsionis, semua kamar telah dipesan salah satu lembaga pemerintah untuk kegiatan traning. Saya mengiyakan saja, yang penting saya punya tempat istrahat malam ini. Besok bisa cari lagi penginapan lain, pikir saya. Selesai menaruh koper, saya keluar mencari ojek untuk berkeliling kota. Kota Ende terletak di perbukitan pinggiran pantai Ende. Dataran rendah yang menghubungkan pantai dengan perbukitan hanyalah selebar beberapa ratus meter. Kota ini memanjang mengikuti kontur pantai sekaligus melebar ke perbukitan sekelilingnya. Bangunan gereja dan mesjid tersebar merata di beberapa lokasi mengindikasikan kepercayaan sekaligus keberagaman penduduknya.
Peserta karnaval budaya di kota Ende
Sebelum berkeliling saya mengajak tukang ojek mencari ATM yang kami dapatkan di tepi jalan pasar Senggol namanya :). Nama yang sama dengan pasar sejenis di kota Kupang, tempat kelahiran saya. Saking sempit dan padatnya pengunjung pasar, maka para pengunjung akan saling bersenggolan saat bertemu satu sama lain. Dari situlah asal muasal nama senggol. Pada satu titik mengelingi kota Ende di sore hari itu, kami bertemu barisan karnaval yang terdiri dari pasukan drumband dan barisan anak-anak sekolah berusia TK hingga SMA mengenakan pakaian adat berbagai daerah menyemarakan
Sunset di pulau Ende
suasana karnaval. Semua kendaraan dihentikan polisi yang berjaga, karena jalanan digunakan peserta karval. Saya gunakan momentum tersebut memotret kegiatan karnaval, kemudian kembali berkeliling hingga tiba di tepi pantai Ende menunggu sunset saat matahari menghilang di balik pulau Ende.

Saat sunset telah pergi dan kota diselimuti kegelapan malam, saya mengajak tukang ojek mencari makan khas Ende. Tukang ojek membawa saya ke satu warung lokal yang terletak persis di sebelah kiri gerbang bandara. Makanan lokal seperti nasi jagung, nasi kacang merah, jagong bose, ubi parut dan lainnya dijual di warung ini. Warung ini menjadi tempat langganan saya makan siang dan malam selama berada di kota tersebut. Saya mengakhiri malam pertama di Ende dengan kembali ke hotel membersihkan tubuh lalu terlelap dalam kesunyian malam.
Gunung Meja di kota Ende

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...