Minggu, 14 Desember 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian IX : Kuil Manuha, Nanpaya, Pagoda Lawkananda dan Bu Paya

Hujan menderas saat saya dan Khwa-Khwa melanjutkan perjalanan dari Kuil Myin Kabar
Pedagang makanan depan gerbang Pagoda Bu Paya 
Gubyaukgyi ke Manuha. Sepertinya kuil Manuha berada di bagian Bagan yang lain sehingga perjalanan menempuh waktu sekitar 15 menit dalam hujan deras. Air hujan mulai menggenangi daerah sekitar yang datar dan memiliki drainase dangkal. Pada saat tiba di kuil Manuha, hujan masih sangat deras sehingga saya memutuskan tidak mampir walau Khwa Khwa menyediakan payung. Kami melanjutkan ke Pagoda Lawkananda di tepi sungai Irawady. Sampai di tempat tersebut, hujan masih deras. Orang-orang yang terjebak hujan terlihat berteduh di pondok-pondok para pedagang yang berjejer di tepi sungai. Pagoda terletak di ketinggian, sehingga kelihatannya saya harus mendaki. Beberapa pohon besar berdaun rindang terlihat menaungi jalan dan tangga yang akan saya lewati. Setelah mengamati daerah sekitar sambil menunggu hujan reda namun tak kunjung terjadi, saya akhirnya memutuskan keluar menggunakan payung. Sandal saya tinggalkan dalam mobil sehingga kaki menapak tanah berbatu kerikil. Air hujan mengalir dari ketinggian dan menggenang di beberapa tempat.

Saya terus berjalan perlahan dan hati-hati menuju anak-anak tangga di samping kanan setelah
Papan nama di tepi jalan di luar kompleks Pagoda
melewati satu pohon besar. Setelah menyusuri sekitar 30 anak tangga semen, saya tiba di suatu pelataran luas yang semuanya telah diberi lantai keramik berwarna putih dan semen. Pagoda berwarna keemasan itu terletak di tengah-tengah pelataran. Sebelah kiri saya terlihat jejeran kios souvenir yang sedang buka dan digunakan berteduh para pengunjung dan penjual yang terjebak hujan. Sebelah kanan saya ada semacam pendopo terbuka yang terletak antara pagoda dan gerbang masuk yang baru saya lalui. Puluhan orang sedang duduk bersila menghadap Pagoda. Mungkin mereka sedang berdoa, atau hanya duduk-duduk menunggu hujan reda. Saya terus berjalan menyusuri pelataran dan berputar ke arah kanan mengeliling Pagoda. Saya menduga orang-orang yang sedang berteduh itu pasti berpikir saya turis kesasar dan aneh yang berjalan mengeliling Pagoda menggunakan payung dalam hujan deras hehehehe. Saya cuek saja dan terus berjalan-jalan sambil mengambil beberapa foto
Lawkananda Pagoda 
menggunakan tripod dan payung melindungi kamera DSRL saya. Air mengalir tiada henti di bawah kaki saya. Celana panjang yang saya gulung telah basah karena cipratan air hujan dari keramik lantai yang tampias kesana kemari. Pagoda Lawkananda lebih kecil ukurannya dari Pagoda Mingalar Zedi (catatan VIII) ataupun Shwezigon (catatan I). Selesai berkeliling, saya memutuskan langsung kembali ke mobil. Hujan masih terus berlangsung. Khwa Khwa menyambut saya dengan senyuman khasnya.

Dalam kompleks Lawkananda Pagoda
We are going to Nanpaya temple now, kata Khwa Khwa setelah saya berada dalam mobil dan memasang sabuk. I follow you because you are the leader, balas saya sambil tersenyum. Sambil menyusuri jalanan yang digenangi air dan hujan yang mulai reda, Khwa Khwa memberikan beberapa informasi tentang kuil yang sedang kami tuju. Dinding dalam dibangun dari bata-bata yang dibakar, sedangkan bagian luar dari batu-batu pasir. Kuil ini dibangun di kompleks istana raja Manuha. Legenda menceritakan bahwa kuil tersebut dibangun pada akhir abad 11 sampai awal abad 12 oleh cucu si raja bernama Naga Tha-man. Beberapa ahli berpendapat bahwa kuil Nanpaya merupakan kuil Hindu, bukan Budha, karena dalam kuil terdapat 4 pilar dimana masih-masing pilar dihiasi relief dewa Brahma. Perjalanan kami ke Nanpaya terhalang banjir yang memutus jalanan karena belum ada jembatan. Beberapa mobil dan juga motor diparkir di tepi jalan yang akan kami lalui. Sekerumunan orang terlihat berdiri dan bercakap-cakap di tepi jalan yang sedang dilanda banjir tersebut, mungkin menunggu banjir surut sehingga kendaraan mereka bisa lewat. Khwa Khwa menghentikan mobil, kami lalu keluar melihat situasi. Saya mengatakan pada Khwa Khwa bahwa kondisi banjir tersebut tidak bisa diprediksi kapan berakhir sehingga mobil bisa melewati jalan tersebut. Karena itu, kami memutuskan tidak mengunjungi Nanpaya. Mobil diputar kembali menyusuri jalanan yang barusan kami lalui  menuju kuil Manuha.

Pintu masuk Kuil Manuha
Tidak banyak yang kami percakapkan dalam perjalanan ke Manuha. Saya menikmati landscape sekitar jalan yang kami lalui. Terlihat segar karena baru saja diguyur hujan. Gerimis ringan membuat saya memutuskan membuka jendela mobil, menikmati udara segar dan bau tanah basah. Akhirnya kami tiba di kuil Manuha. Sepertinya banyak pengunjung berombongan yang juga baru tiba. Terlihat beberapa pedagang souvenir dan makanan ringan, termasuk jagung rebus yang berjualan di bawah kerindangan pohon depan pagar kuil sedang dikelilingi beberapa orang pembeli. Saya berjalan melewati mereka. Sandal telah saya tinggalkan di mobil karena seperti biasa, aturannya adalah memasuki kuil tanpa alas kaki. Sepertinya kuil ini telah direnovasi. Pelataran
Baskom raksasa
depan yang terhubung dengan gerbang kuil dibangun pendopo terbuka semacam teras yang tersambung ke bangunan kuil. Di tengah-tengah pendopo diletakan semacam baskom  besar  (yang digunakan para biksu mengumpulkan donasi setiap hari) berwarna emas yang saya tidak tahu fungsinya. Mungkin saja fungsinya sama dengan baskom kecil yang digunakan para biksu, yakni sebagai tempat donasi umat. Karena besar dan tinggi, maka disediakan tangga bagi para pengunjung yang ingin melihat ke dalam baskom tersebut atau juga ingin memberikan donasinya. Beberapa pengunjung dan mungkin umat terlihat berdiri mengantri menunggu giliran menaiki tangga. Saya terus berjalan ke dalam kuil.

Big Budha dalam Kuil Manuha 
Beberapa umat sedang bersimpuh dan bersembahyang di depan Budha raksasa berwarna emas setinggi 10an meter dalam posisi duduk. Dari semua kuil yang telah saya kunjungi di Bagan, saya hanya menemukan Budha sebesar ini di kuil Manuha. Saya berjingkat melewati umat yang sedang sembahyang. Mencoba mengamati lebih dekat. Namun ruang yang disediakan benar-benar sangat sempit dan hanya dapat dilewati 1 orang dengan cara jalan menyamping. Ternyata bagian belakangnya buntu, sehingga saya tidak bisa berputar ke belakang. Namun di sebelah kirinya terdapat 1 ruangan lain yang pisahkan  semacam jaring berwarna hijau pucat sebagai tirai. Saya menyibak tirai tersebut dan melihat lagi satu Budha raksasa dalam pose dan warna yang sama dengan yang di sebelah kiri saya. Saya beringsut masuk ke ruangan tersebut. Mendongak memandang wajah teduh Budha di ketinggian. Saya mencoba mengambil beberapa foto dalam posisi sulit karena keterbatasan ruang
Big Budha dalam Kuil Manuha 
yang tersedia. Sama dengan Budha di ruangan lain di sebelah kanan saya saat ini. Budha di ruangan ini juga hanya bisa dilihat dari depan. Tidak ada ruang kosong di samping kiri dan kanan apalagi di belakang untuk saya jelajahi. Malah ruangan ini sepertinya tertutup karena tidak memiliki pintu di bagian depannya. Karena itu, saya harus kembali ke ruangan sebelah guna keluar  dari kuil tersebut. Wikipedia menulis ada 3 Budha raksasa di kuil ini. 1 dalam pose tidur seperti di Bangkok dan juga di Yangon yang dikenal dengan sleeping atau reclining Budha. Namun saya tidak melihatnya. Kemungkinan ruangnya ditutup untuk renovasi. Kuil ini dibangun pada tahun 1067 oleh Raja Mon bernama Manuha. Kuil dibangun berbentuk persegi empat dan bertingkat dua.

Tiba di depan, masih di dalam pelataran pendopo, saya berjalanan ke sisi kiri mencoba menjelajah dan mengamati bagian luar bangunan kuil. Bangunan sepertinya terbuat dari bata yang dilapisi semen dan pasir lalu dicat putih. Halamannya telah dikeramik sehingga terasa licin saat hujan dan pasti akan sangat panas di bawah terik matahari. Sekeliling kuil dipagari setinggi 1 meteran. Kesimpulan saya yang istimewa dari kuil ini adalah 2 Budha raksasa di dalam bangunan kuil yang sangat sempit. Sepertinya bangunan kuil itu hanya untuk melindungi kedua Budha. Umat dan pengunjung hanya memiliki ruang sekitar1 x 2 meter di depan pintu masuk dari arah pendopo. Ruangan itulah yang digunakan para umat bersimpuh dan memanjatkan doa-doa mereka. Selesai jelajah bagian luar, saya berjalan kembali ke mobil dan Khwa Khwa yang sedang menunggu di luar pagar kuil. Big Budha, right? sambut Khwa Khwa dengan senyum khasnya saat saya kembali ke mobil. Yes. they are very big, balas saya.

Pagoda Bu Paya 
Kami lalu menuju Bu Paya Pagoda di sisi lain sungai Irawady. Sisi yang berlawanan dengan Lawkananda Pagoda yang telah saya kunjungi. Hujan telah berhenti menyisahkan air berwarna kecoklatan yang tergenang di beberapa tempat atau masih mengalir di jalan yang menurun dan drainase yang seadanya seperti got di daerah pedesaan Indonesia. Saat tiba di kompleks Pagoda, 2 perempuan pedagang makanan menggunakan longyi dan berbedak tanaka sedang duduk bersama jualan mereka pada bangku panjang di samping kanan gerbang masuk. Bu Paya Pagoda hanyalah semacam tugu berwarna kuning emas. Bangunan utama berbentuk silinder (bulat lonjong) yang sangat berbeda dengan pagoda-pagoda yang telah saya kunjungi di Yangon dan Bagan. Pagoda ini berukuran sekitar
Pedagang makanan di depan gerbang Pagoda Bu Paya 
1 meter saja dan dibangun diatas semacam panggung berwarna putih. Tanpa hiasan apapun. Hanya punyaknya kelihatan sedikit ornamen dan meruncing seperti puncak pagoda-pagoda lainnya di Yangon dan Bagan. Selain pagoda, ada juga 1 pendopo di halaman dalam bagian kanan dari gerbang masuk. Pendopo terbuka tersebut dipenuhi puluhan lelaki berkain longyi yang sedang duduk bersila dan sepertinya ngobrol satu sama lain. Saya berjalan mengeliling pagoda kecil itu, mengambil beberapa foto lalu berjalan kembali ke gerbang. Saya tersenyum dan menganguk ke kedua perempuan pedagang yang dibalas ramah oleh mereka. Pintu gerbang dijaga 2 patung singa berwarna putih bersepuh emas dalam posisi duduk tegak di kiri dan kanan gerbang. Saya kembali ke mobil dan meminta Khwa Khwa mengantar saya ke hotel. Mengelilingi Bagan telah selesai. Saya butuh istrahat dan mempersiapkan diri, termasuk packing untuk meninggalkan Bagan menuju Mandalay esok hari menggunakan bus yang telah saya peroleh tiketnya dari para staf hotel. Saya akan dijemput jam 7 pagi, demikian informasi yang saya terima dari para staf hotel.

Bersambung ke Mandalay



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...