Sabtu, 29 November 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian VIII - Bagan: Sulamani, North Guni, Dhammayangyi, Mingalasedi, Myan Kabar Gubyaukgyi.

Bersama Khwa Khwa (Coco) depan gerbang kuil Sulamani
Good morning sir!, how are you?, are you ready for the journey? sapa Khwa-Khwa (Coco) bertubi-tubi saat saya menemuinya di lobby hotel pagi ini untuk kunjungan lanjutan ke kuil dan pagoda lain di Bagan para hari kedua kunjungan saya ke wilayah tersebut. Sebagaimana pada catatan hari pertama, perjalanan keliling Bagan menggunakan Pedati, maka pada hari kedua saya menggunakan jasa taksi - yang ongkosnya lebih mahal, namun saya akan mendapatkan pengalaman berbeda. Setelah saling mengucapkan salam, saya dan Khwa Khwa duduk di lobby mendiskusikan tempat-tempat kunjungan hari ini serta rute dan waktu yang akan dihabiskan. Saya juga menginformasikan tempat-tempat yang telah dikunjungi pada hari kemarin. Kami lalu menyepakati akan mengunjungi 8 kuil dan pagoda pada hari ini, yakni Sulamani, North Guni, Dhammayangyi, Mingalar Zedi, Myin Kabar Gubyaukgyi, Manuha, Nanpaya, Lawkananda dan Bu Paya.

Kuil Sulamani
Sepertinya, saya merupakan pengunjung pertama yang tiba di kuil Sulamani pada pagi hari itu. Para pedagang souvenir yang berjualan di luar pagar kuil terlihat baru memulai hari dengan mengatur barang jualan mereka di kios-kios beratap daun yang berjejer di sisi kiri dan kanan sebelum gerbang masuk kuil. Jejeran kios tersebut membentuk semacam lapangan persegi empat panjang di tengah-tengahnya dimana mobil dan pedati para pengunjung diparkir. Kuil Sulamani dipagari bata merah dengan tinggi sekitar 1 meter yang memisahkan kuil dan halamannya dengan jejeran kios souvenir dan padang
Salah satu pose Budha di kuil Sulamani
sabana berwarna coklat atau kopi susu ditumbuhi pepohonan khas savana diselingi kuil-kuil besar dan kecil menyembul di sana sini menghiasi seluruh area sejauh mata memandang. Indah tiada tara. Khwa Khwa menemani saya berjalan memasuki pintu gerbang berbentuk huruf V terbalik dengan tebal sekitar 1 meter berjarak puluhan meter dari bangunan kuil. Mengambil foto dari pintu gerbang ini akan memposisikan kuil seperti berada dalam suatu pigura. Pintu utama kuil berada dalam satu garis lurus dengan pintu gerbang masuk-keluar mengindikasikan adanya pengaturan pintu-pintu tersebut dalam suatu garis pada masa kuil itu dibangun. Saya terus melangkah memasuki kuil ditemani Khwa Khwa yang menunjukan kepada saya posisi-posisi terbaik pengambilan foto sekaligus menceritakan sejarah kuil tersebut dan pemerliharaanya yang dilakukan pemerintah melalui suatu keluarga yang tinggal di sekitar kuil. Pemerintah memberikan biaya bulanan ke keluarga pemelihara kuil.

Lukisan dinding di dalam kuil Sulamani
Dari pintu masuk, saya berbelok ke kiri menyusuri lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan dan tulisan-tulisan ajaran Budha dalam huruf Burma. Beberapa  lukisan dinding dan tulisan telah mengelupas seiring lapuknya dinding dimana lukisan dan tulisan-tulisan tersebut berada. Beberapa patung kecil ditempatkan di dinding-dinding sepanjang lorong. Secara perlahan saya terus berjalan menyusuri lorong yang mengitari bagian dalam kuil. Di setiap sisi bagian dalam kuil terdapat 1 patung Budha dengan tinggi sekitar 1 meter dalam posisi berbeda dengan di sisi lainnya. Selesai mengamati dan mengagumi bagian dalam, saya keluar dan berputar ke arah kiri bangunan mengamati dan mengagumi sisi luar bangunan
Lukisan dinding di kuil Sulamani
kuil yang dikerjakan dengan ketelitian tinggi. Sudut-sudut kuil dihiasi ukiran yang menyatu kedua sisi berbeda seakan-akan diukir pada satu helai papan yang kemudian dilipat dua kiri dan kanan dalam ukuran sama. Luar biasa arsitek dan para pekerja yang membangun kuil ini, terutama ukiran-ukiran yang ditempatkan pada sudut-sudut bangunan. Wikipedia menulis Sulamani tarletak di Desa Minnanthu di Barat Daya Bagan, dibangun tahun 1183 oleh raja Narapati Sithu. Disainnya sama dengan Thatbinnyu yang telah saya kunjungi kemarin. Sulamani telah direnovasi setelah gempa 1975 menggunakan bata dan batu yang kemudian telah dibangun kembali pada tahun 1994. Walau demikian, lukisan-lukisan dinding sampai langit-langitnya terlihat sangat tua dan telah mengelupas di beberapa bagian.

Sebelah kiri pintu masuk kuil North Guni
Selesai berkeling, saya bersama Khwa Khwa kembali ke mobil. Saya sempatkan mengambil beberapa foto lagi sambil mengamati 2 rombongan pengunjung yang baru tiba menggunakan mobil. Beberapa perempuan terlihat memakai bedak tanaka dan kain longyi menandakan rombongan tersebut merupakan para pengunjung lokal yang entah hanya berkunjung atau akan bersembahyang di kuil tersebut. Saya dan Khwa Khwa memasuki mobil dan beranjak pergi. Kami menuju kuil North Guni yang letaknya tidak terlalu jauh dari Sulamani. Kuil ini lebih kecil dari Sulamani, namun lebih tinggi. Saat kami tiba, terlihat satu mobil lain menurunkan beberapa turis Jepang. Khwa Khwa mengingatkan saya untuk menanggalkan sandal di gerbang masuk. Halaman kuil ini juga dipagari pagar bata kurang lebih
Kuil South Guni dari North Guni
setinggi 1 meter. Saya dan Khwa Khwa melangkah masuk ke halaman kuil. Khwa Khwa meminta saya berpose di pintu masuk - yang sepertinya sudah sering digunakan para pengunjung untuk berfoto. Selesai foto, kami memasuki kuil berbelok ke kiri mengamati berbagai pose Budha dalam kuil tersebut. Di bagian belakang, Khwa Khwa menunjukan kepada saya tangga ke pelataran atas yang cukup lebar untuk jalan bersisian 2 orang, namun remang-remang karena hanya mengandalkan sinar matahari dari pintu di pelataran atas.

Kami melangkah perlahan ke atas sambil mengambil foto di tangga. Sangat luar biasa pemandangan yang saya dapatkan saat tiba di pelataran atas di pagi yang sejuk. Sulamani yang telah saya kunjungi nampak di kejauhan, demikian juga Dammayangyi. Di sebelah Selatan ada satu kuil lain berdampingan dengan kuil North Guni. Khwa Khwa menginformasikan nama kuil tersebut adalah South Guni. North Guni atau Myauk Guni dibangun oleh Ratu Pwasaw pada masa pemerintahan Raja Narathihapate atau Tayoko Pye Min. Ratu
View dari pelataran atas kuil North Guni
ini sangat berkuasa dalam sejarah Bagan. Dalam kuil ini dapat ditemukan satu prasasti yang menuliskan sumbangan atas kuil, tanah dan para budak dari sang ratu. Terdapat pula kutukan bagi orang-orang yang menghancurkan kuil tersebut. Setelah puas berkeliling, kami kembali ke bawah guna melanjutkan perjalanan ke kuil berikutnya.

Kuil Dammayangi hanya berjarak sekitar 5 menit menggunakan mobil dari kuil North Guni yang baru saja saya kunjungi. Kuil ini merupakan kuil terbesar di Bagan. Karena masih pagi, saat tiba belum banyak pengunjung sehingga saya memiliki kebebasan mengeksplorasi kuil ini. Namun, Khwa Khwa tidak menemani saya berkeliling ke dalam. Khwa Khwa hanya
Depan kuil Dammayangi 
menginformasikan ke saya bahwa kuil ini cukup seram karena memiliki cerita kelam. Kuil dipenuhi oleh kelelawar yang menjadikannya sebagai sarang mereka. Saat saya menapak di pelataran depan pintu masuk, 2 gadir penjual souvenir  menghampiri saya mengucapkan selamat datang sambil tersenyum ramah dan mengajak saya ngobrol. Saat saya melangkah masuk, salah satu perempuan ikut mengiringi langkah saya sambil menjelaskan sejarah kuil tersebut. Dari pintu masuk, saya melihat 2 patung Budha sedang bersila seperti menyambut umatnya maupun pengunjung. Setelah mengamat-amati beberapa saat, saya melangkah ke belakang patung menuju pintu yang terletak sekitar 1 meter dari
Kuil Dammayangi dari pelataran atas North Guni
patung. Saya belok ke kiri dan mulai menyusuri lorong yang remang. Perempuan penjual souvenir mengingatkan saya agar hati-hati karena lantai kuil licin oleh kotoran ribuan kelelawar. Rasanya sangat dingin saat kaki tanpa alas menapak di lorong-lorong kuil yang terlihat berkilau karena kotoran kelelawar yang telah terinjak-injak pengunjung lain selama bertahun-tahun sehingga seperti telah menyatu dengan lantai. Saya berjalan perlahan secara hati-hati terus menyusuri bagian dalam kuil yang remang-remang. Tidak banyak yang bisa dilihat, karena beberapa ruangan telah ditutupi dinding  bata  mencegah pengunjung memasuki ruang-ruang kuil itu. Tidak ada alasan mengapa ruang-ruang itu ditutup. Saat saya bertanya ke perempuan yang berjalan bersama saya, dia hanya mengatakan bahwa ruang-ruang itu berbahaya sehingga ditutup pemerintah.

2 pose Budha di ruang depan kuil Dammayangi 
Wikipedia menulis bahwa kuil Dammayangi dibangun oleh Raja Narathu (1167 - 1170) yang naik takhta setelah membunuh ayah dan saudara yang yang lebih tua. Sebagai upaya menghapus rasa bersalah dan dosanya membunuh, sang raja membangun kuil ini sekaligus meminta dibuatkan 2 patung Budha yang saat kunjungan saya terletak di tengah ruangan pas pintu masuk. Rencana pembangunan kuil ini sama dengan rencana pembangunan kuil Ananda yang telah saya kunjungi kemarin. Raja Narathu kemudian dibunuh oleh beberapa orang India sehingga pembangunan kuil ini tdak terselesaikan. Legenda lain menceritakan sang raja dibunuh oleh orang-orang Sri Lanka saat mereka menyerbu Bagan.

Ukiran di tiang kuil Sulamani
Perempuan penjual souvenir itu terus menemani langkah-langkah saya sampai kami tiba kembali di pintu masuk. Tanpa diminta, perempuan ini telah menceritakan sejarah kuil ini, termasuk 2 patung Budha yang saya amati lagi. Kemudian saya melangkah keluar mencerna cerita kelam kuil tersebut. Perempuan penjual itu menawarkan post cards yang dijualnya. Saya  menolak halus sambil tersenyum ramah. Namun dia terus berusaha dengan mengganti tawaran post cards ke novel-novel para penulis Myanmar yang ditulis dalam bahasa Inggris. Saya tetap menolak halus dan melangkah meninggalkan kuil tersebut. Perempuan penjual souvenir tersebut beralih ke satu rombongan turis asia yang baru memasuki halaman kuil.

Khwa Khwa menyambut saya dengan membukakan pintu mobil sambil tersenyum dan menanyakan pendapat saya tentang kuil Dammayangi. Saya hanya berkomentar pendek tentang lantai yang licin, bau kotoran kelelawar, kelembapan tinggi dan cahaya yang sangat sedikit. Dia hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya menceritakan kembali cerita kelam yang telah saya dengar dari perempuan penjaja souvenir di kuil. Sambil ngobrol di mobil, kami mengarah ke Pagoda Mingalasedi yang juga tidak terlalu jauh dari kuil Dammayangi. Saat tiba di depan pagoda, terlihat seorang lelaki muda sedang nangkring di pagar kuil depan gerbang. Lelaki ini mengucapkan selamat pagi dan menawarkan beberapa lukisan pasir (sand paintings) yang menjadi ciri khas para pelukis di Bagan. Saya hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menggeleng dan terus melangkah masuk ke halaman Pagoda.

Depan Pagoda Mingalarsedi
Mingalasedi atau disebut juga sebagai Mingalar Zedi  dibangun pada tahun 1284 pada masa pemerintahan raja Narathihapate. Lantainya menggunakan ubin terakota kaca menggambarkan Jataka (burung mitologi dalam cerita Ramayana). Berbeda dengan pagoda lain di Bagan dan Yangon, seluruh bangunan pagoda ini terbuat dari bata merah - sama dengan bahan bangunan beberapa kuil yang telah saya kunjungi kemarin dan pagi ini. Sekeliling pagoda juga diberi pagar bata dengan tinggi sekitar 1 meter. Dalam komplek pagoda, di sebelah kiri terdapat rumah doa terbuat dari bata dengan ukuran sekitar 5 kali 7 meter. Sebelum keluar gerbang pagoda, saya sempatkan mampir ke rumah ini untuk melihat-lihat. Semuanya tenang dan sejuk mungkin karena waktu masih sekitar jam 11 pagi.

Rumah doa dalam komplek Pagoda Mingalarsedi
Selesai dari Pagoda Mingalar Zedi, kami mengarah ke kuil  Myan Kabar Gubyaukgyi yang terletak cukup jauh dari kuil dan pagoda yang baru saja saya kunjungi. Waktu tempuh menuju kuil ini sekitar 15 menit. Kuil Gubyaukgyi terletak di desa Myan Kaba sehingga sering dikenal sebagai kuil Myan Kabar Gubyaukgyi. Saat kami tiba, satu pedati telah terparkir di halaman luar kuil menandakan adanya pengunjung lain. Ketika saya keluar mobil, Khwa Khwa memberikan lampu portable bertenaga baterai untuk saya gunakan karena kata Khwa Khwa di dalam kuil gelab guita.

Salah satu sudut kuil Gubyaukgyi
Saat memasuki halaman kuil, banyak pedagang souvenir memamerkan dagangan di dua sisi membentuk semacam pagar bagi jalan keluar dan masuk kuil. Pintu masuk kuil terletak di sampai kanan gerbang masuk. Karena itu saya berjalan melewati mereka menuju pintu masuk kuil. Lagi-lagi seorang gadis muda penjual souvenir mengiringi langkah-langkah saya sambil menawarkan dagangannya. Saya hanya tersenyum sambil menggeleng. Seorang kakek renta yang hanya mengenakan longyi tanpa baju sedang duduk termenung di pintu masuk kuil. Melihat saya melangkah masuk, sang kakek  berkata ' no photo, no photo" sambil mengoyang-goyangkan tangannya. Saya tersenyum dan mengangguk-angguk. Saat melewati ruang depan yang masih terang karena adanya sinar matahari dari pintu masuk, saya langsung seperti berada dalam satu ruang gua gelap gulita. Lampu portable saya nyalakan dan alangka terkejutnya saya melihat lukisan dinding yang sangat luar biasa yang dilukis dari lantai sampai dengan langit-langit. Selain itu, dinding-dinding kuil juga dihiasi patung-patung Budha berukuran sekitar 40 - 50cm dalam berbagai pose. Patung-patung tersebut sepertinya terbuat dari jade karena berwarna kehijauan saat terkena cahaya lampu. Karena saya tidak boleh mengambil foto maka saya hanya berjalan perlahan-lahan mengagumi interior kuil ini. Karena kuilnya tidak terlalu besar, maka saya hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit mengeliling bagian dalam kuil ini secara perlahan, lalu kembali tiba di pintu masuk.

Kuil Gubyaukgyi
Saya kembali melihat gadis penjual souvenir itu sedang menunggu saya di depan pintu masuk. Saat saya keluar, dia mengajak saya ke sisi lain kuil Gubyaukgyi yang lebih terbuka. Saya mengiyakan ajakannya sehingga kami jalan bersisian ke bagian lain kuil yang terletak agak terpisah sekitar 5 meter dari bangunan utama yang barusan saya kunjungi. Sambil berjalan, gadis penjual souvenir menceritakan sejarah kuil Gubyaukgyi. Kuil ini dibangun tahun 1113 oleh pangeran Rajakumar yang adalah anak raja Kyansittha dan keponakan seorang bhiksu. Namun raja Kyansittha mewariskan tahta Bagan ke cucunya yang bernama Alaungsithu. Pangeran Rajakumar tidak keberatan dengan keputusan raja dan melepaskan haknya sebagai ahli waris pertama atas tahta Bagan. Dinding-dinding luar telah diplester semen, namun bagian dalam kuil masih seperti aslinya. Untuk melindungi interiornya, termasuk lukisan-lukisan dinding yang saya lihat, maka bagian dalam kuil dibiarkan gelap gulita. 

King Budha
Di bagian yang terbuka, saya diajak si gadis melihat beberapa monumen sambil diceritakan sejarahnya. Saya juga boleh mengambil foto di bagian ini. Satu patung Budha yang berbeda dengan patung-patung lainnya ditunjukan oleh gadis tersebut sambil mengatakan bahwa patung Budha itu disebut King Budha karena sinar wajahnya seperti raja-raja dan merupakan satu-satunya patung Budha di Bagan yang menggunakan sebutan King. Dari area itu, saya diajak ke satu monumen semacam prasasti warna abu-abu gelap dengan tinggi sekitar 1 meter, tebal sekitar 30cm. Prasasti ini berada dalam pagar besi persegi empat dan diberi atap. Gadis itu menceritakan pada saya bahwa prasasti itu merupakan ajaran Budha dalam 4 bahasa. tour guide saja daripada penjual souvenir. Gadis tersebut mengatakan itu merupakan cita-citanya, namun peraturan di Myanmar belum mengizinkan karena usianya masih 16 tahun. Karena itu, dia membantu keluarganya menjadi penjual souvenir sekalian memperdalam bahasa Inggrisnya melalui kursus dan bercakap-cakap dengan para pengunjung untuk memperlancar hasil kursusnya.
Prasasti dalam 4 bahasa di kuil Gubyaukgyi
Kami
terus berjalan ke arah kanan kuil melihat-lihat peninggalan lainnya yang kebanyakan adalah patung berbagai bentuk berwarna keemasan. Karena kefasihannya menuturkan sejarah kuil dan berbagai benda peninggalan terkait, saya menyarankan gadis tersebut menjadi

Selesai melihat-lihat kuil tersebut, gadis itu mengajak saya mampir ke workshop keluarganya di samping kanan pagar kuil. Di workshop ini, keluarga gadis ini memproduksi nampan berukir dalam berbagai bentuk dan warna. Semuanya buatan tangan. Namun saya tidak berminat membeli sehingga saya hanya mengucapkan terima kasih dan berlari kecil meninggalkan tempat tersebut kembali ke mobil karena gerimis hujan mulai menderas mengiringi langit yang semakin gelap.




Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...