Minggu, 28 Desember 2014

JELAJAH MYANMAR. MANDALAY: Royal Palace, Biara Shwenandaw dan Atumasi, Pagoda Kuthodaw dan Sanda Muni

Dalam kompleks Mandalay Royal Palace
Sir, your taxi is ready down stairs, kata seorang staf hotel melalui telpon ke kamar. Thanks, I am going down, balas saya sambil mengembalikan gagang telpon ke tempatnya lalu bergegas mengambil ransel kamera yang telah saya siapkan kemudian ke luar kamar dan menuju lift. The price is twenty five thousands kyat, kata manajer hotel saat saya tiba di lobby depan resepsionis. You will pay directly to the driver, tambah si manajer sambil menunjuk seorang lelaki parubaya yang memakai hem lengan pendek warna abu-abu dan longyi. He knows all of the places for tourist at Mandalay hill, even though he can't speak English, lanjut si manager. Okay, balas saya sambil melangkah keluar pintu menghampiri taxi berwarna putih yang parkir di pinggir jalan depan hotel. Lelaki yang akan mengantar saya berkeliling hanya tersenyum sambil membuka pintu mobil mempersilahkan saya masuk. Setelah saya duduk, pintu ditutup kembali, lelaki tersebut mengambil tempatnya dibelakang kemudi, menghidupkan mobil dan mulai berjalanan menyusuri jalan depan hotel.

Depan gerbang kompleks Mandalay Royal Palace
Sekitar 10 menit kemudian mobil di parkir di bawah pohon besar depan gerbang suatu benteng berwarna abu-abu yang dijaga oleh beberapa penjaga memegang senjata. Sopir menunjuk ke loket yang terletak berlawanan arah sekitar 10 meter dari pohon dan tempat parkir mobil. Loket tersebut dijaga 2 perempuan. Salah satu perempuan menyodorkan ke saya tiket masuk seukuran kartu nama dengan warna dominan krem atau kuning pucat seharga 10.000 kyat. Perempuan tersebut menginformasikan tiket tersebut berlaku bagi semua tempat kunjungan di Mandalay. Pola yang sama dengan di Bagan, kata saya dalam hati. Bedanya, harga tiket di Bagan lebih mahal 5000 kyat atau 5 dollar. Setelah mendapatkan tiket, saya berputar dan melihat ke sopir yang melambaikan tangannya meminta saya kembali ke mobil. Setelah saya masuk, mobil dijalankan memasuki gerbang benteng menyusuri jalan yang cukup lebar dan terawat baik. Kiri kanan jalan berjejer rumah-rumah berbentuk asrama, pepohonan serta lapangan berumput. Di lapangan tersebut puluhan aparat militer berseragam hijau loreng sedang melakukan berbagai aktifitas. Beberapa turis bule, terlihat berjalan kaki di sisi kiri dan kanan jalan. Tak jauh dari gerbang masuk, mobil berhenti di tempat parkir depan gerbang istana Mandalay / Mandalay Royal Palace. Saya mendaki beberapa anak tangga menuju halaman istana sebelum masuk ke istana.

Kompleks Mandalay Royal Palace dari Menara Pengintai
Kompleks istana diisi beberapa bangunan dalam kelompok-kelompok terpisah. Bangunan-bangunan tersebut tidak digunakan lagi. Hanya menjadi tempat kunjungan wisatawan lokal dan manca negara. Bangunan utama terletak di tengah-tengah menghadap gerbang masuk. Bangunan ini terdiri dari beberapa bagian dengan fungsi masing-masing. Bagian paling depan yang berbatasan dengan halaman dan gerbang masuk adalah pelataran / teras terbuka dengan puluhan tiang yang 2/3 bagiannya berwarna kuning emas, sedangkan 1.3 sisanya di bagian bawah berwarna hitam. Tiang-tiang ini menopang atap berukir di ketinggian sekitar 2,5 meter. Bagian kedua yang terhubung dengan teras adalah aula atau balairung. Di ruangan ini terpasang patung lilin raja dan ratu yang sedang duduk di singgasana mereka. Lantai dan dinding bangunan terbuat dari kayu berwarna merah maroon. Atap bangunan dibuat bertingkat-tingkat dan ditutupi penutup berwarna merah maroon juga. Pinggiran dari masing-masing tingkat atap dicat warna kuning emas. Bentuk atap dan warnanya dibuat seragam untuk kelompok-kelompok bangunan lain dalam kompleks tersebut yang dibangun di sebelah kiri dan belakang istana. Bangunan utama memiliki atap bertingkat lima dengan pinggiran berwarna kuning emas, sedangkan bagunan lainnya dalam kompleks tersebut hanya memiliki atap bertingkat 2 atau 3, tanpa cat warna kuning keemasan.

Menara Pengintai
Saya melangkah masuk dan berkeliling mengamat-amati dan mengambil beberapa foto. Dari balairung, saya terus masuk ke bagian dalam yang adalah ruang tidur raja. Rung ini dilengkapi tempat tidur kecil berukuran lebar sekitar 1 meter. Pinggiran tempat tidur dari kaki hingga kepala dipenuhi ukiran berwarna silver dan kuning emas. Tiang-tiang juga diukir dalam pola dan warna yang sama. Saya mengambil beberapa foto kemudian berjalan terus ke belakang. Setelah tiba di ujung belakang bangunan utama, saya belok kiri ke halaman berumput hijau. Di bagian ini terdapat beberapa bangunan lain dalam arsitektur Eropa berwarna putih. Dinding kedua bangunan tersebut terbuat dari batako dan semen yang berbeda dengan bangunan utama istana serta beberapa bangunan lain di sisi kanan istana yang semuanya terbuat dari kayu berwarna merah maroon. Selain kedua bangunan tersebut, di sudut kanan depan kanan istana dekat pagar pembatasnya terdapat 1 menara pengintai berbentuk silinder (bulat lonjong) berwarna merah maroon. Saya berjalanan ke menara tersebut dan mendaki tangga berputar dari bilah-bilah papan menuju puncak menara. Puncak menara ditutupi atap berukir dan berwarna kuning emas. Pemandangan dari atas menara sangat indah. Saya bisa menikmati kota Mandalay di kejauhan maupun bangunan lainnya dalam  kompleks istana tersebut. Saya mengambil beberapa foto di sini dan juga ke beberapa bagian istana dan juga lingkungan sekitar. Saya kemudian turun setelah berada di puncak menara sekitar 15 menit menikmati pemandangan dan sepoi angin. Sambil turun, saya menghitung 150 anak tangga dari puncak sampai dasar menara dimana kaki saya kembali menapak ke rerumputan hijau.

Bangunan putih berarsitektur Eropa
Saya berjalan kembali ke gerbang menyusuri pelataran samping istana melewati salah satu bangunan putih bergaya Eropa. Sepertinya bangunan tersebut dihuni penjaga istana yang nampak dari sejumlah alat pertanian di teras samping dan juga pintu belakang yang terbuka memperlihatkan adanya denyut kehidupan dalam bangunan tersebut. Wikipedia menulis Royal Palace merupakan istana terakhir para raja Burma. Istana ini dibangun pada tahun 1857 - 1859 oleh Raja Mindon dan menjadi tempat tinggalnya serta tempat tinggal Raja Thibaw. Mereka berdua adalah ayah dan anak yang merupakan 2 raja terakhir kerajaan Burma. Istana dan benteng yang mengelilinginya diambil alih para tentara saat perang tahun 1885. Keluarga kerajaan ditangkap oleh para tentara tersebut. Bangunan aslinya hancur pada perang dunia II. Renovasi dan pembangunan kembali istana - yang saat ini saya nikmati - dilakukan pada tahun 1990an dengan beberapa bahan moderen.

Depan Biara Shwenandaw
Saat saya telah kembali masuk mobil, sopir menjalankan mobil tanpa bersuara. Kami  berpindah ke tempat wisata lain. Mobil keluar melalui jalan dan gerbang masuk menuju jalan utama, melewati jembatan yang melintas di atas kanal. Kompleks istana dikeliling kanal di keempat sisinya yang berfungsi sebagai pelindung serangan musuh. Saat bertemu jalan utama, mobil belok kiri mengarah ke perbukitan nun jauh di ufuk yang dikenal sebagai Mandalay hill. Sekitar 10 menit kemudian mobil belok kiri dan parkir di pinggir jalan satu bangunan tua berwarna coklat kehitaman. Sopir menunjuk dan mengangguk ke arah bangunan tersebut. Saya turun dan berjalan memasuki gerbang menuju loket yang dijaga 2 perempuan. Saya menunjukan tiket yang telah saya peroleh di gerbang masuk Royal Palace. Where do you come from, tanya perempuan itu. Indonesia, jawab saya singkat. Perempuan tersebut menuliskan informasi tersebut pada buku tamu yang dipegangnya. Mengisi tanggal pada tiket lalu mengembalikannya ke saya. Thanks, kata saya sambil beranjak menuju bangunan tua yang adalah biara Shwenandaw.

Dinding luar Biara Shwenandaw
Biara Shwenandaw merupakan bangunan berbentuk rumah panggung yang semuanya terbuat dari kayu jati berwarna coklat kehitaman. Bangunan ini memiliki 2 tangga di masing-masing sisi. Atap bangunan bersusun lima berwarna coklat kehitaman juga. Saya bertemu pasangan suami istri bule yang bersama-sama dalam bis dari Bagan. Selain itu ada 2 kelompok turis lain terdiri dari para kakek dan nenek yang berdiri mengagumi bangunan tersebut. Saya menaiki tangga dan melangkah melewati pintu terbuka ke dalam bangunan. Seluruh bangunan berukir ajaran Budha, termasuk pintu-pintu, langit-langit dan atapnya. Cahaya dalam ruangan mengandalkan sinar matahari yang masuk dari 4 pintu di sisi depan
Bagian dalam biara Shwenandaw
dan belakang serta dari jendela-jendela. Bagian dalam bangunan, termasuk tiang dan langit-langitnya semua diukir indah. Warna tiang-tiang bagian dalam sama dengan warna tiang-tiang di Mandalay Royal Palace. Konon, biara ini merupakan bagian dari Royal Palace yang baru saja saya kunjungi. Pada masanya, bangunan ini difungsikan sebagai tempat istrahat keluarga raja. Bagunan aslinya berasal dari bagian istana di Amarapura - sebelum istana dipindahkan ke Mandalay oleh raja Mindon.  Biara dibangun pada tahun 1880 oleh raja Thibaw yang adalah anak raja Mindon. Ketika raja Mindon  wafat, fungsi bangunan diubah sebagai biara dan didekasikan bagi arwah raja Mindon.

Saya berjalan-jalan menikmati keindahan interior dalam yang sangat kental dengan ajaran Budha.
Lorong luar bagian belakang biara Shwenandaw
Setelah puas berkeliling di dalam, saya berjalan ke belakang dan melewati pintu terbuka yang membawa saya ke teras samping dengan lebar sekitar setengah meter. Bagian belakang bangunan masih memiliki halaman yang dipagari tinggi sebagai pembatas dengan rumah-rumah penduduk. Saya menyusuri teras samping ke belakang lalu masuk ke satu ruang lain yang sepertinya merupakan dapur biara pada saat biara tersebut masih berfungsi. Saya melangkah masuk berkeliling dan mengambil beberapa foto kemudian keluar dari pintu berlawanan lalu menyusuri lorong depan menikmati berbagai ukiran di dinding-dinding biara. Setelah itu, saya menuruni tangga ke halaman depan. Saya duduk selonjor dekat pagar sekitar 5 menit mengamat-amati dan mengagumi banguan tersebut sebelum beranjak kembali ke mobil yang menunggu di luar pagar tepi jalan depan biara.

Biara Atumasi
Saat saya kembali ke mobil, sopir menunjuk dan mengangguk ke satu bangunan lain berwarna putih bersepuh kuning emas yang terletak sekitar 30an meter dari biara. Saya memahami bahasa tubuh tersebut sebagai arahan agar saya mengunjungi bangunan tersebut. Karena itu, saya berjalan ke arah bangunan itu. Sambil berjalan saya memperhatikan para pedagang souvenir di kios-kios yang berjejer rapi di sisi kanan jalan depan biara. Terlihat beberapa bhiksu dan calon bhiksu juga lalu lalang di jalan yang saya lalui sehingga saya sempatkan mengambil beberapa foto mereka. Kompleks biara yang saya tuju dipagari pagar besi setinggi 1 meter. Biara dibangun di atas semacam panggung yang dari jauh terlihat seperti tembok berwarna putih. Pada bagian kanan sekitar 5 meter dari pintu gerbang
Gerbang masuk biara Atumasi
terdapat papan nama kuil, yakni Maha Atulawaiyan (Atumasi) Kyaungdawgyi atau dikenal sebagai BiaraAtumasi saja. Bagian luar sebelum gerbang terdapat semacam baskom besar mengingatkan saya pada bunga teratai.  Saya mampir di pos jaga yang terletak di sebelah kiri gerbang. Pos tersebut dijaga seorang perempuan. Saya menyerahkan tiket ke perempuan tersebut yang lalu mencatatkan nomor tiket ke buku log yang dipegangnya. Sambil tersenyum perempuan tersebut mengembalikan tiket yang saya ambil dan simpan kembali ke dalam dompet. Setelah itu, saya berjalan menapak puluhan anak tangga dari gerbang masuk menuju pintu biara. Biara dikelilingi pelataran terbuka yang telah disemen.

Biara ini dibangun raja Mindon pada tahun 1857. Bagunan aslinya terbuat dari kayu jati dengan 1 patung Budha setinggi 9 meter. Biara terbakar pada tahun 1890 yang menghancurkan seluruh bangunan dan juga patung Budha tersebut, termasuk intan seberat 19,2 karat yang dipersembahkan pada Budha ikut hilang. Pemerintah Myanmar membangun kembali biara tersebut pada tahun 1996.

Depan biara Atumasi
Saya menghabiskan beberapa menit di pelataran tersebut mengamat-amati arsitektur bangunan kemudian melangkah masuk ke dalam bangunan biara. Bagian dalam biara berbentuk seperti aula terbuka seluas puluhan meter persegi dengan dinding berwarna putih. Kesannya kosong dan sangat lapang karena biara hanya dihiasi 1 patung Budha yang diletakan di tengah-tengah seperti bersandar ke dinding belakang biara. Budha yang duduk di singgasana emas diapit 2 tiang berukir di bagian atasnya, serta cat berwarna kuning keemasan. Dinding bagian belakang ini dihiasi lukisan 2 teratai besar di masing-masing sisi. Langit-langit kuil terlihat tinggi dan dihiasi ukiran berwarna kuning emas, putih dan merah maroon. Terlihat 3 perempuan, 1 laki-laki dan seorang anak kecil sedang duduk berkelompok di sudut kanan depan. Saya mendekat ke Patung Budha, menangkup tangan ke depan dada, menunduk hormat lalu mengambil beberapa foto.
Depan papan nama Pagoda Kuthodaw
Setelah puas melihat-lihat, saya melangkah perlahan ke luar bangunan. Saya sempatkan mengambil beberapa foto lagi di pelataran luar lalu menuruni tangga dan melangkah meninggalkan kuil. Kembali ke mobil yang sedang menunggu di luar pagar Biara Shwenandaw.

Mobil melaju meninggalkan Biara Atumasi dan Biara Shwenandaw. Sekitar 5 menit kemudian kami tiba di Pagoda Maha Lokamarazein Kuthodaw atau dikenal dengan Pagoda Kuthodaw atau juga the largest book in the world. Seorang perempuan tua duduk di depan papan nama pagoda berbentuk lembaran buku berwarna putih bersepuh kuning emas di
pinggirannya. Kedua lembaran tersebut berisi tulisan berbahasa Inggris dan bahasa Burma.

Gerbang dan lorong penghubung halaman dan Pagoda
Perempuan tersebut meninggalkan tenpat duduknya dan mempersilahkan saya berfoto. Setelah selesai foto, perempuan tersebut mengajak saya bercakap-cakap, menggunakan bahasa Inggris tentunya. Setelah menanyakan asal saya, perempuan itu menanyakan apakah boleh mendapatkan mata uang negara Indonesia? sambil menunjukan beberapa lembaran uang asing yang dipegangnya. Saat saya menjawab tidak membawa mata uang Indonesia, dengan cemberut perempuan tersebut menanyakan mengapa dan seterusnya. Saya teringat informasi di internet tentang modus pengemis di Myanmar. Saya juga teringat kembali kasus anak kecil yang melakukan hal sama di salah satu kuil di Bagan. sorry.
Jejeran stupa
Karena itu, saya tidak bergeming memberikan duit ke perempuan itu. Saya beranjak pergi sambil mengucapkan kata

Pagoda dibangun raja Mindon pada tahun 1859. Dalam kompleks Pagoda ini terdapat ratusan stupa berwarna putih. Stupa-stupa tersebut berisi 729 lembaran pualam bertuliskan ajaran Budha dalam kitab Tripitaka. Halaman luar dan Pagoda dihubungkan lorong tanpa dinding beratap penutup warna hijau dan berukir seperti atap-atap biara, istana dan kuil yang saya lihat di Mandalay. Gerbang masuk depan lorong memiliki ketebalan sekitar 2 meter yang diukir serta dicat warna kuning emas, merah dan putih silver.
Depan Pagoda Kuthodaw
Lantainya terbuat dari keramik abu-abu. Saya berjalan perlahan menuju Pagoda yang terletak puluhan meter dari gerbang - melewati 3 tukang yang sibuk membenahi lantai. Samping kiri dan kanan lorong dipenuhi barisan stupa warna putih serta pepohonan yang daunnya sedang berguguran menghiasi tanah sekitarnya. Saya berjalan ke satu stupa lalu mengintip ke dalamnya. Hanya 1 lembaran pualam berwarna coklat setinggi 1 meter dengan tulisan aksara Burma berwarna lebih gelap dalam stupa tersebut - yang tentunya tidak saya pahami sama sekali. Sambil tersenyum kecut, saya meninggalkan stupa tersebut, mengambil jarak yang tepat untuk mulai mengamat-amati dan memotret saat mendapatkan sudut yang tepat.

Saya terus berjalan ke dalam menjumpai bangunan pagoda berwarna kuning emas yang berdiri kokoh menopang langit. Sebagaimana pagoda-pagoda lainnya yang telah saya kunjungi. Tidak ada pintu masuk ke dalam pagoda pagi pengunjung. Pagoda dipagari pagar besi berwarna putih yang ujungnya dicat kuning emas. Pengunjung hanya bisa melihat Pagoda dari depan. Saya berjalan ke sebelah kiri mengamat-amati dan memotret. Pada sisi saya berada, yakni di sudut kanan Pagoda dijaga seekor patung singa berwarna kuning emas dalam posisi duduk tegak.
Di bawah pohon Bodhi berusia 121 tahun 
Setelah mengambil beberapa foto, saya duduk beristrahat di bawah pohon Bodhi berusia 121 tahun. Beberapa menit kemudian saya melangkah meninggalkan pagoda. Saat saya tiba kembali di halaman luar, terlihat para pedagang bunga dikerumuni puluhan pengunjung yang baru tiba menggunakan bis. Sepertinya turis Jepang atau Korea atau Cina. Saya tak tahu pasti. Para turis ini membeli bunga yang akan digunakan mereka saat sembahyang ataupun menaikan puja dan puji di depan Budha. Saya sempatkan mengambil beberapa foto, lalu kembali ke mobil.

Dari tempat parkir, mobil menuju jalan depan Pagoda lalu belok kanan menyusuri jalanan sepi dan
Samping kiri Pagoda Sanda Muni
lenggang yang diapit puluhan pohon pinus. Kami menuju Pagoda Sanda Muni yang bersebelahan letaknya dengan Pagoda Kuthodaw. Sanda Muni Pagoda terlihat lebih sepi. Hanya saya dan sepasang bule usia tua yang terlihat sibuk memotret barisan stupa  di kompleks pagoda ini. Sama seperti Pagoda Kuthodaw, halaman Pagoda Sanda Muni dipenuhi ratusan stupa berwarna putih dengan ujung menara berwarna keemasan berjumlah 758 stupa melindungi 1774 lembar pualam bertuliskan ajaran Budha. Pagoda ini dibangun raja Bodawpaya sebelum Mandalay dijadikan ibukota Kerajaan Burma pada tahun 1800 oleh raja Midon. Berbeda dengan Pagoda Kuthodaw yang hanya bisa dilihat dari sisi depannya. Pagoda Sanda Muni bisa dikelilingi menapaki pelatarannya. Karena itu, dari halaman yang dipenuhi stupa saya belok kiri menyusuri lorong beratap menuju belakang. Di belakang saya masuk ke satu kuil berwarna hijau keperakan yang menaungi dan
Jejeran stupa di Pagoda Sanda Muni
melindungi satu-satunya Budha berwarna keemasan dalam kuil tersebut. Beberapa bhiksu terlihat sedang duduk semedi di beberapa sudut. Setelah mengambil beberapa foto, saya melangkah keluar kuil terus ke arah kiri hingga saya tiba kembali ke gerbang masuk-keluar. Pasangan bule yang saya jumpai saat masuk tidak terlihat lagi. Saya terus berjalan ke gerbang luar menuju mobil yang sedang menunggu. Sopir sedang berdiri di luar mobil dan asyik mengunya sirih saat saya tiba. Saya masuk mobil dan memperhatikan sopir yang membung ludah sirihnya lalu bergegas masuk mobil dan menghidupkan mesin. Mobil berjalan kembali ke arah Pagoda Kuthodaw. Kami melewati depan Pagoda menuju jalan raya lalu belok kiri menuju Mandalay Hill saat mobil tiba di jalan utama. Hari menjelang sore, langit dihiasi awan tipis. Semoga
Salah satu lembaran pualam dalam stupa
saya bisa menikmati sunset di atas bukit, kata saya dalam hati melihat cuaca yang sepertinya cerah berawan saja saat ini.

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...