Jumat, 03 Januari 2014

JJ EROPA BARAT. LONDON: Kota Para Ratu, Raja, Pangeran dan Putri

Tulisan Keenam.

Akhirnya pesawat Emirates yang saya tumpangi mendarat di terminal 3 Airport Heathrow London sekitar jam 3 sore setelah menempuh 8 jam perjalanan dari Dubai. Airport Heathrow terletak sekitar 18 kilometer dari pusat kota London. Walau airport ini melayani sekitar 200.000 penumpang yang datang dan pergi setiap hari, ternyata terminal 3 tidak terlalu ramai, bahkan terasa sepi banget karena begitu luasnya area terminal dibandingkan dengan jumlah penumpang yang turun dari Emirates. Dari airport ini menuju pusat kota London tersedia beberapa pilihan transportasi seperti taxi, bus dan kereta. Kereta adalah alat transportasi tercepat menuju pusat kota atau sebaliknya dari pusat kota ke airport. Untuk itu tersedia 3 jenis pilihan kereta, yakni Heathrow Express, Heathrow Connect dan Tube.

Heathrow Express merupakan kereta tercepat dari airport ke stasion Paddington di pusat kota London sebagai stasiun akhir atau stasiun transit. Waktu tempuh kereta ini dari terminal 1 atau 3 ke stasiun Paddington dan sebaliknya adalah sekitar 15 menit, sedangkan dari terminal 5 adalah 20 menit. Selain cepat, ongkosnya juga lebih mahal, seperti kata orang ada uang ada barang :). Harga tiket sekali jalan adalah 16.50 pound atau sekitar 300.000 rupiah. Pilihan kedua adalah Heathrow Connect dengan waktu tempuh lebih lama dari airport ke Paddington, yakni sekitar 30 menit dengan harga tiket yang lebih murah, yakni 8.50 pound atau sekitar 160.000 rupiah sekali jalan atau 16.50 pound PP. Jenis kereta ini akan berhenti di beberapa stasiun yang dilalui dari airport ke Paddington, namun tidak semua stasiun di jalur tersebut akan disinggahi. Pilihan termurah dari segi biaya namun terlama dari segi waktu adalah Tube.Tube merupakan kereta bawah tanah dengan berbagai jalur dalam warna berbeda di peta rute-rute yang dilaluinya. Untuk itu, jika memilih menggunakan Tube, maka pelajari terlebih dahulu rute dan stasiun terdekat ke hotel.  Karena sebelum berangkat, saya telah melakukan riset, maka saya telah memilih menggunakan Tube. Salah satu pekerja magang di kantor yang berasal dari Korea Selatan namun pernah kuliah di London juga sangat menyarankan saya menggunakan Tube, bahkan dia memberikan kartu Oysternya untuk dapat saya gunakan saat tiba di London. Harga tiket sekali jalan adalah 5 pound. Namun untuk pengguna kartu Oyster - kartunya berwarna biru tua dan muda dengan strip putih dan lebih tipis jika dibandingkan dengan kartu comuterline Jakarta ataupun Octopus Hongkong - biaya sekali jalan adalah 4.50 pound atau sekitar 80.000 rupiah. Jarak Heathrow ke tempat tujuan saya di Greenwich ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam dengan 1 kali ganti kereta.


Setelah pengambilan bagasi yang ternyata sangat cepat, saya hanya perlu berjalan mengikuti para penumpang lain ke luar bangunan terminal. Tidak ada pemeriksaan bagasi sebagaimana yang dilakukan di bandara Soekarno Hatta misalnya. Di luar bangunan terminal juga tidak seramai terminal kedatangan Soekarno Hatta di Jakarta yang biasanya dipenuhi para penjemput, sopir, calo, pedagang hingga copet. Oleh karena telah melakukan riset dan telah memutuskan menggunakan Tube sebagai alat transportasi dari airport ke pusat kota London, maka setiba di luar bangunan terminal, saya hanya mencari petunjuk tertulis yang mengarahkan saya ke Tube. Petunjuk tersebut tertulis jelas dengan panah pengarah yang terletak sekitar 5 meter dari pintu keluar. Dengan penuh keyakinan saya berjalan melewati petunjuk tersebut yang mengarah ke lorong bawah tanah menuju stasiun Tube tentunya. Lorong yang saya lalui tidak terlalu ramai jika saya bandingkan dengan lorong-lorong MRT di Hongkong ataupun Singapura. Karena saking sepinya lorong yang saya lalui dari bangunan terminal 3 ke tempat tunggu Tube, saya jadi kuatir saya sedang salah jalan. Namun saya terus saja berjalan menyusuri lorong tersebut. Ternyata pilihan saya benar, karena saya lalu melihat mesin-mesin penjualan tiket Oyster yang berjejer di sebelah kiri lorong yang akan saya lalui.

Karena saya telah dibekali dengan tiket Oyster, maka saya tidak perlu membeli tiket baru lagi. Di lokasi tersebut terdapat 3 mesin penjualan yang bentuknya seperti mesin-mesin ATM. Area sekitar mesin-mesin tersebut juga sepi pembeli sehingga saya memiliki keleluasaan waktu untuk mengamati dan membaca informasi yang tersedia di berbagai tombol. Mesin warna biru tersebut dilengkapi berbagai tombol pilihan berbahasa Inggris tentunya :). Saya lalu menekan tombol top up kemudian mengikut instruksi selanjutnya. Mesin tersebut menyediakan 2 pilihan pembayaran, yakni cash dan kartu. Jika memilih cash dalam jumlah tertentu, maka setelah tombol dipencet, uang dalam jumlah yang telah dipilih sebelumnya dimasukan berupa koin atau kertas. Setelah itu, masukan kartu Oyster yang telah dimiliki ke tempat kartu yang tersedia untuk diproses lebih lanjut oleh mesin. Setelah selesai proses, kartu akan keluar dengan sendirinya. Prosedur yang sama berlaku juga untuk pembelian kartu baru. Bedanya adalah pada tombol beli / buy dan top up. Jika telah memiliki kartu, maka tombol top up yang dipilih lalu masukan berapa besar top up yang akan diambil. Setelah memasukan jumlah, maka duit atau kartu kredit/debit dimasukin ke mesin untuk proses lanjutan, kemudian kartunya juga sehingga top up langsung masuk ke kartu tersebut. Pemilik kartu bisa melihat berapa jumlah kredit yang tersedia di kartunya setelah proses top up selesai dilakukan. Kartu ini juga bisa digunakan di bis umum di seluruh kota London - sama seperti tiket kereta di kota Roma, Paris dan kota-kota lain di Eropa Barat yang dapat digunakan untuk kereta dan bis umum, tidak untuk bis wisata.

Setelah selesai urusan top up Oyster sebesar 15 pound, saya meneruskan perjalanan menelusuri lorong tersebut sampai saya tiba di pintu masuk ke ruang tunggu Tube yang dihalangi palang.  Di pintu masuk tersebut, tersedia 2 pilihan arah, yakni ke kiri atau ke kanan dengan informasi nama stasiun utama / akhir untuk berganti. Karena saya telah melakukan riset online, maka tanpa ragu saya memilih arah kiri yang tertulis Paddington station - untuk selanjutnya berganti ke North Greenwich. Di dalam area ini tersedia juga loket penjualan tiket dan informasi, tepat saat melewati penghalang jalan masuk. Karena telah memiliki Oyster card, maka saya hanya melewati jejeran loket informasi dan penjualan tiket yang terletak di sebelah kanan saya dan berjalan terus ke arah eskalator yang saya gunakan ke tempat tunggu Tube di bawah tanah. Hanya sekitar 2 menit berdiri menunggu dengan koper sedang dan 1 tas ransel, Tube yang saya tunggu tiba. Saya lalu masuk melalui pintu yang terbuka secara otomatis pintu terbuka lalu saya masuk karena tidak ada orang yang keluar melewati pintu tersebut.

Gerbong kereta dalam keadaan sepi, sehingga saya bisa duduk sambil memangku ransel dan meletakan koper di depan kaki saya agar tidak menghalangi penumpang lain yang keluar masuk. Ternyata pembawa koper bukan hanya saya. Di gerbong yang saya tumpangi ada 4 penumpang lain yang juga membawa koper yang ternyata lebih besar dari milik saya.  Jika 2 pembawa koper duduk berhadapan, maka hanya tersisa celah sempit sebagai tempat lewat penumpang. Kursi-kursi pada gerbong yang saya tumpangi adalah sofa warna biru dengan aksen kotak-kotak warna ungu dan merah maroon. Semakin jauh dari airport yang artinya semakin dekat ke pusat Kota, kereta makin penuh sehingga hawa dalam gerbong mulai panas dan pengap. Saya lalu melepaskan jaket yang saya pakai sejak dari Airport. Kereta berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Karena itu saya menyempatkan diri melongok stasiun-stasiun tsb dari cela-cela penumpang yang berdiri. Beberapa stasiun yang dekat ke aiport terletak di atas tanah, bukan bawah tanah sehingga kadang kereta melewati jalur atas tanah yang menyajikan alam pedesaan London dengan rumah-rumah batanya yang khas disinari matahari sore  yang masih terang benderang seperti jam 2 siang di Jakarta, padahal pada saat tersebut, jam saya telah menunjukan hampir jam 5 sore.

Sesuai dengan petunjuk online untuk penggunan Oyster card (www.tlf.gov.uk/journeyplanner), saya berganti kereta di stasiun Green Park lalu mengambil Jubelee line yang menuju stasiun North Greenwich. Pada saat saya mencari informasi online melalui web www.tlf.gov.uk, maka informasi pertama yang secara otomatis muncul adalah penggunaan kereta Heathrow Express terlebih dahulu ke Paddington lalu ganti ke Tube di stasiun Paddington ambil Bakerloo line kemudian ganti lagi di stasiun Bakerstreet. Dari segi waktu lebih cepat namun lebih mahal dan juga berganti 2 kali. Saya lalu mencari-cari lagi informasi lain di web yang sama dengan cara hanya membuka pilihan menggunakan Tube dari Heathrow ke North Greenwich. Cara lain adalah dengan membuka peta jalur Tube yang tersedia online (pengguna iphone dan ipad dengan mudah dapat download gratis aplikasinya). Dari peta tersebut dapat ditelusuri rute yang akan dilalui Tube sampai ke stasiun tertentu tempat bertemunya kereta dari jalur / line berbeda. Dari kedua cara tersebut, akhirnya saya menemukan rute dan stasiun bertukar kereta yakni Green Park karena tidak ada kereta bawah tanah yang dapat langsung dari Heathrow Airport ke North Greenwich station. Pergantian di stasiun Green Park tidak terlalu sulit, karena tersedia eskalator untuk perpindahan jalur di tempat berbeda. Akhirnyas sekitar jam 5 sore, saya tiba di stasiun North Greenwich.

Satu bulan sebelum keberangkatan, saya telah melakukan komunikasi email dengan pihak Hotel Holiday Inn Express Greenwich yang saya pilih untuk menginap di London. Selain karena merupakan tempat penjemputan Expat Explorer, hotel ini juga dekat dengan lokasi-lokasi wisata yang ingin saya kunjungi di kawasan Greenwich, yakni terutama Greenwich Meridian, Old Royal Naval College, Cutty Sark, National Maritime Museum, Royal Observatory dan Taman Greenwich. Greenwich Meridian. Sejak kecil saya penasaran melihat Greenwich Meridian dan Big Ben di London karena pelajaran sekolah SD tentang pembagian waktu dunia oleh orang-orang Inggris. Dalam komunikasi email tersebut, saya menanyakan jenis transportasi yang saya gunakan dari stasiun ke hotel. Pihak hotel membalas email saya bahwa saya dapat menggunakan bus nomor 422 yang tersedia di luar stasiun lalu turun di halte pertama dari stasiun karena halte tersebut terletak di depan hotel. Waktu tempuh bis dari stasiun ke hotel adalah sekitar 3 menit. Pembayaran ongkos bis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni kartu atau cash. Ongkos sekali jalan adalah 2 pound, demikian informasi yang saya terima dari pihak hotel.

Oleh karena Tube merupakan kereta bawah tanah - sehingga dikenal dengan nama undergound saja di London - maka tentunya keluar dari kereta masih harus berjalan beberapa menit lagi menuju pintu keluar di atas tanah. Selain tangga, di stasiun North Greenwich juga tersedia lift dan eskalator yang dapat digunakan dari dalam tanah menuju pintu keluar. Karena hanya ada 1 pintu keluar, saya tidak kebingungan harus memilih arah saat keluar dari kereta. Kondisi yang berbeda dengan stasiun kereta dan bis di Kota Amsterdam dan Madrid - yang membuat saya kebingungan dan salah memilih jalan keluar sehingga harus jalan memutari stasiun ke tempat tujuan.  Tidak jauh dari pintu keluar stasiun Greenwich tersedia halte bus di pinggir jalan. Saya pun nongkrong bersama orang-orang lain yang juga sedang menunggu bus masing-masing. Area yang terletak diantara stasiun dan jalan raya merupakan kawasan terbuka yang tertata rapi sehingga banyak orang yang nongkrong di sekitar area tersebut. Beberapa kelompok turis Korea atau China lewat juga di kawasan tersebut, mungkin mereka juga sedang berkeliling karena tidak sedang membawa koper atau barang-barang lain seperti orang yang baru turun dari kereta untuk menginap di daerah tersebut.


Sambil menunggu bus, saya mengamati daerah sekeliling stasiun yang sangat datar dan sepi. Tidak ada ojek, bajaj dll sejenis seperti yang terdapat di stasiun Manggarai, Sudirman dan Tanah Abang. Langit sedang mendung, udara terasa basah dan segar diiringi angin sepoi, namun suasana masih terang benderang seperti jam 3 sore di Jakarta, padahal waktu telah menujukan pergerakan jarum jam ke arah pukul 6 sore. Hanya hilir mudik manusia masuk keluar stasiun mapun yang naik dan turun bis. Tak lama kemudian bus dengan nomor 422 pun tiba. Sebelum menaikan penumpang, bus tersebut menurunkan penumpang di lokasi lain berjarak sekitar 10 meter dari halte tempat penumpang naik. Penumpang yang naik bus ini tidak terlalu banyak, sehingga tempat duduk kosong masih tersedia. Saya perhatikan setiap penumpang yang naik menempelkan kartu ke tempat yang telah disediakan. Saya hanya mengikuti cara mereka dengan menempelkan kartu Oyster saya. Setelah tidak terlihat lagi penumpang lain yang naik, sopir lalu menutup pintu dan menggerakan bis menjauhi halte. Semua bis di London hanya memiliki 1 warna yakni merah hati. Identifikasi rute dan halte yang disinggahi berdasarkan pada nomornya. Sepertinya hanya 1 jenis bis, yakni jenis besar seperti bis 213 rute Grogol - Kampung Melayu. Semua bis berwarna merah hati 2 tingkat, bersih luar dalam dan tidak penuh sesak seperti bis-bis di Jakarta. Karena saya sedang membawa koper, maka saya memilih duduk di bawah, tidak naik ke lantai 2 yang memungkinkan saya dapat menikmati landscape London dengan lebih leluasa. Saya baru melakukannya setelah check in dan menyimpan koper serta ransel saya di hotel.

Sambil duduk, saya melongok-longok keluar memperhatikan halte tempat saya akan turun. Tidak terlalu jauh dari stasiun, ternyata sekitar 3 menit kemudian, bis tiba di halte yang diinformasikan oleh pihak hotel. Penumpung bis yang akan turun, tinggal menekan tombol bel yang tersedia dekat kursi jika tiba di halte tujuan. Karena saya belum terbiasa (di Jakarta biasanya teriak saja saat ingin turun atau kondektur yang malah meminta kita siap-siap dengan meneriakan nama halte, seperti mesjid, gereja, bonjol, tosari dll. Beruntunglah di halte tersebut ada penumpang lain yang akan naik sehinga bis berhenti. Namun karena bis akan menaikan penumpang, maka hanya pintu depan yang terbuka karena penumpang harus naik dari pintu depan dan turun melalui pintu belakang. Melihat pintu depan terbuka, saya lalu berjalan ke arah depan menggerek koper dan ransel saya. Penumpang perempuan yang akan naik lalu memberikan tempat bagi saya untuk lewat terlebih dahulu dan turun. Saya menuduga, para penumpang dan sopir pasti ngomongin saya karena turun melalui pintu depan. Cuek saja, kata saya dalam hati, yang penting saya tiba di hotel dan tidak tersesat karena salah turun halte.

Kawasan sekitar halte tersebut juga sepi. Saya berhenti sejenak sambil melempar pandangan kesana sini. Hotel terletak sekitar 20 meter sebelah kiri belakang halte. Satu-satunya bagunan menjulang tinggi berlantai 8 atau 9 di kawasan tersebut hanyalah hotel tersebut yang terletak di perempatan jalan sehingga sangat mudah ditemukan. Perjalanan dari halte ke hotel juga sangat nyaman dan mudah. Tidak ada PKL, parkir liar mobil ataupun motor, tidak ada pengemis dan lainnya seperti di jalan-jalan Jakarta. Pedestarianya bersih dan bagus sehingga koper hanya perlu ditarik sambil jalan menuju hotel. Saya harus menyeberangi jalan untuk masuk ke hotel. Untuk itu, saya menekan tombol yang tersedia di tiang lampu lalu lintas sambil menunggu warnanya berubah hijau dengan tanda orang berjalan sebagai tanda bagi penyebrang. Saya tidak berani menyeberangi jalan tersebut walau pada saat itu jalannya sepi. Saya mengingatkan diri sendiri bahwa saya berada di negeri orang sehingga harus berperilaku sopan agar tidak memalukan bangsa dan negara asal.

Pintu hotel terbuka dan tertutup secara otomatis karena sepertinya menggunakan sensor panas tubuh mendeteksi kehadiran seseorang. Meja resepsionis terletak di lantai 1 yang dapat diakses menggunakan tangga atau lift. Saya memilih lift tentunya karena barang-barang bawaan saya akan merepotkan jika saya memilih menggunakan tangga. Di meja resepsion, saya disambut 2 staf hotel perempuan dan laki-laki berseragam putih biru. Saya menyerahkan print out booking saya bersama passport dan kartu kredit ke para staf tersebut. Dialeg Inggrisnya bagus dan unik, tidak seperti dialeg bahasa Ingriss yang digunakan orang2 Indonesia (yang sudah sangat fasih sekalipun) ataupun orang Australia, Amerika dan Singapura misalnya. Mengalun indah saat mereka berbicara yang membuat saya terpesona. Saya hanya berkata dalam hati "ya karena bahasanya sendiri sehingga pasti bagus pengucapannya". Setelah registrasi selesa, saya menerima kembali passport dan kunci kamar. Saya berjalan ke arah lift di sebelah kanan, menekan tombol lalu masuk saat pintu lift terbuka. Lift menggunakan kartu akses, yakni kunci kamar yang harus dicolokin ke lubang yang tersedia dalam ruang lift. Setelah kartu dimasukin, maka tombol lantai tujuan yang ditekan akan nyala mengindikasikan lantai tersebut dapat diakses tamu hotel.

Tiba di kamar, saya mendapatkan tempat tidur yang tidak sesuai dengan pesanan online saya. Saya lalu menelpon resepsionis mengatakan ketidak-setujuan saya terhadap kamar tersebut dan meminta gantinya. Resepsionis meminta maaf dan berjanji segera mencarikan kamar pengganti sesuai pesanan saya, yakni kamar dengan tempat tidur besar - bukan 2 tempat tidur kecil sebagaimana lazimnya kamar twin sharing di hotel. Sekitar 5 menit kemudian, seorang karyawan perempuan muncul dan mempersilahkan saya pindah ke kamar lain. Kamar yang ternyata lebih luas karena selain tempat tidur besar, di kamar tersebut juga tersedia 1 tempat tidur sofa yang sedikit lebih kecil dari tempat tidurnya. Semuanya minimalis dan didominasi warna putih sehingga kesannya sangat bersih dan rapi. Karyawan hotel menanyakan apakah saya membutuhkan juga tempat tidur sofanya, saya iyakan saja sehingga dia lalu menyiapkan tempat tidur tersebut yang saya gunakan berganti-ganti selama 3 hari saya nginap di hotel tersebut.

Saya duduk dalam kamar sambil mengawasi staf hotel yang sedang menyiapkan tempat tidur sofa. Saya mengajak staf tersebut ngobrol untuk mencari informasi bis, rute dan jarak dari hotel ke tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi sore hingga malam nanti -  yang dengan ramah dilayani oleh dia. Setelah tempat tidur sofa selesai disiapkan, staf tersebut lalu pamit yang saya iyakan sambil memberikan tip. Setelah itu, saya lalu mengisi perut dengan biskuit dan 1 apel lalu mandi dan berganti baju kemudian turun ke resepsionis menanyakan nomor bus yang dapat saya gunakan menuju Taman dan Museum GMT. Resepsionis menginformasikan kepada saya untuk naik bus 108 di halte yang terletak di belakang hotel. Setelah  mengucapkan terima kasih, saya pun melangkah keluar mengikuti petunjuk staf hotel.

BERSAMBUNG



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...