Minggu, 19 Juli 2009

Kedayagunaan PP 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal

Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Metode Penelitian Hukum
================================================

LATAR BELAKANG MASALAH

Menindaklanjuti reformasi politik yang berawal pada tahun 1997 dengan keruntuhan rezim Orde Baru, maka diberlakukan pula berbagai pearturan yang mengadopsi semangat, prinsip dan agenda reformasi – walau tidak semua – antara lain UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang lalu diubah/diganti dengan UU No 32 Tahun 2004.

Pada prinsipnya berbagai peraturan perundang-undangan yang terbit dan mulai berlaku pada periode awal reformasi telah mengadopsi paradigma baru hubungan Pusat dan Daerah, Negara dan Rakyat serta Pemerintah dan Masyarakat, terutama pengaturan dalam UU 32/2004 dapat dilihat sebagai wujud nyata akomodasi tuntutan warga Negara akan adanya suatu pemerintahan yang tranparan dan akuntabel. UU tersebut telah meletakan lanadasan baru dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain pendelegasian sejumlah wewenang dan tanggungjawab guna Pemerintah Daerah yang lebih otonom. UU tersebut juga menggariskan suatu hubungan baru antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat – yang antara lain mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya guna mewujutkan amanat UUD 1945 tentang kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Dalam kaitannya dengan perwujudan kesejahteraan masyarakat, maka UU 32/2004 melalui Pasal 11[1]-nya mewajibkan adanya suatu Standar Pelayanan Minimum yang disiapkan sebagai basis hukum dan acuan pengukuran kinerja aparat pemerintah melaksanakan 17 urusan wajib Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 13[2] dan 14[3] UU tersebut. Ketentuan Pasal 11, Ayat (3) Pasal 14[4] serta huruf a Ayat (1)[5] Pasal 16 UU 32/2004 yang memandatkan adanya penetapan standar pelayanan minimum merupakan landasan keluarnya PP 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum.

Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang diatur dalam beberapa Pasal UU 32/2004 yang lalu diatur lebih lanjut dalam PP 65/2005 tersebut merupakan suatu kewajiban pemerintah guna menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelengaraan urusan wajib Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU 32/2004 tersebut di atas. Untuk itu, PP 65/2005 tersebut menetapkan adanya suatu pembatasan waktu pengadaan SPM tersebut oleh Menteri dan Kepala Lembaga Non Departemen sehingga kehadiran SPM tidak tertunda-tunda, yakni dalam jangka waktu 3 tahun sejak PP tersebut berlaku[6]. Oleh karena keberadaan suatu SPM dari Pemerintah Pusat akan menjadi basis hukum sekaligus pedoman bagi instansi teknis terkait di level provinsi dan kabupaten/kota untuk pengaturan lebih lanjut guna adanya ketersediaan akses dan jaminan mutu pelayanan kepada masyarakat sekaligus sebagai alat pengukuran kinerja aparat lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut. Melalui SPM tersebut, masyatakat juga dapat mengajukan sejumlah keluhan guna perbaikan akses dan mutu pelayanan lembaga pemerintah terkait.

Namun, walau batas waktu yang ditetapkan PP tersebut telah lewat – yakni 28 Desember 2008 – hanya ada 4 kementerian dan lembaga non departemen yang telah membuat SPM, yakni Departemen Kesehatan, Dalam Negeri, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Jika dikaitkan dengan 17 urusan wajib yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU 32, maka masih terdapat 13 kementerian dan lembaga non departemen yang belum memiliki SPM sebagai pedoman dan acuan bagi lembaga teknis di tingkat provinsi dan kabupaten. Tentunya ketiaadaan SPM dari kementerian dan lembaga non departemen di tingkat pusat tersebut dapat menjadi alasan bagi instansi teknis di tingkat provinsi dan kabupten/kota untuk mengingkari kewajiban menyediakan SPM sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 32/2004 tersebut. Walau sesungguhnya, tidak ada satupun pasal dalm PP 65/005 tersebut yang menyatakan bahwa SPM instansi pemerintah terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus menunggu SPM dari Kementerian/Departemen ataupun lembaga non departemen yang sama di tingkat nasional.

RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah yang ingin diteliti adalah “bagaimana kedayagunaan / efektifitas penerapan Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dalam kerangka kewajiban Menteri/Pimpinan Lembaga Non Departemen sebagaimana diatur dalam Ayat 2 Pasal 21 PP tersebut?”.

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan dan kegunaan penelitian ini terdiri atas:
Tujuan akademik penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini dapat berkontribusi bagi perluasan ilmu pengetahuan hukum di bidang tata pemerintahan dan penyelengaraan pelayanan publik, terutama efektifitas suatu peraturan perundang-undangan dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan.
Tujuan praktis penelitian ini adalah sebagai pemenuhan kewajiban penulis untuk menyelesaikan studi magister hukum.

KAJIAN PUSTAKA
a. Kerangka Koseptual:

Jika ditelusuri ke UUD 1945, maka ketentuan Standar Pelayanan Minimum yang diatur dalam beberapa Pasal UU 32/2004 serta PP 65/2005 sebagaimana tersebut di atas merupakan pengaturan lebih lanjut dari alinea kedua[7] dan keempat[8] UUD 1945, Pokok Pikiran ke 2[9] Pembukaan UUD 1945 serta Sila kelima[10] Pancasila. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 juga terdapat beberapa pasal yang secara eksplesit mengatur tentang akses dan jaminan mutu pelayanan Negara demi tercapainya keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh para pendiri Negara sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, yakni antara lain tentang pendidikan yang diatur dalam Pasal 31, kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 33 dan 34.

Pada level undang-undang, setidaknya terdapat 3 Undang-Undang yang memiliki kaitan langsung dengan pengaturan Standar Pelayanan Minimum, yakni UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang lalu diubah/diganti dengan UU No 32 Tahun 2004.

Adanya akses dan jaminan mutu pelayanan lembaga-lembaga pemerintah demi tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 merupakan bagian dari hak asasi rakyat sebagaimana diatur dalam UU HAM. Dimana perwujudannya hanya dapat dicapai melalui pengurusan dan pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN sebagaimana diatur dalam UU Anti KKN tersebut di atas. Oleh karena melalui UU Anti KKN, Negara menetapkan adanya sejumlah asas penyelenggaraan Negara[11] yang mengadopsi prinsip-prinsip good governance, yakni partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, tranparansi, pedulih pada stakeholder, berorientasi pada consensus, kesetaraan, efektifitas dan efesiensi, akuntabilitas serta visi strategis[12].

Masuknya prinsip-prinsip good governance[13] sebagai asas-asas penyelenggaraan pemerintahan merupakan pergeseran prinsipil dan signifikan dalam fungsi, peran, tugas dan tanggungjawab pemerintah dari era sebelumnya, yakni sebagai pengatur / regulator menjadi pelayan publik dan administrator. Penegasan normatif terhadap perubahan itu tertuang dalam UU 28/1999 dan UU 32/2004 tersebut di atas. UU 28/1999 telah meletakan landasan hukum baru dalam penyelenggaran pemerintahan yang jika dilaksanakan akan mengahasilkan suatu birokrasi pelayanan masyarakat yang tranparan, akundabel, efesien dan juga efektif. Sedangkan UU 32/2004 telah meletakan landasan hukum baru bagi hubungan pemerintah pusat dan daerah serta juga dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. UU tersebut telah meletakan kerangka normatif baru dalam sistem pemerintahan dan pengurusan pembangunan, terutama pelayanan publik yang terkait langsung dengan kepentingan, kebutuhan dan hak-hak masyarakat sebagai warga Negara pemilik kedaulatan. Perubahan hubungan sentralistik menjadi desentralisasi Pusat – Daerah diatur dalam berbagai pasal UU tersebut yang telah mendesentralisasikan berbagai kewenangan sekaligus tanggungjawab guna Pemerintah Daerah yang lebih otonom. Kerangka normatif baru hubungan pemerintah dengan masyarakat dari semula regulator menjadi pelayan masyarakat dan administrator saja mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap masyarakat mewujudkan cita-cita UUD 1945 tentang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta keadilan sosial melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam semua proses pembangunan.

Dalam kerangka teori kenegaraan, kerangka hukum baru yang tertuang dalam UU Anti KKN dan UU Pemerintahan Daerah merupakan upaya mewujudkan Negara kesejahteraan[14] yang “mengantarkan pada aksi perlindungan Negara terhadap masyarakat tertutama kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran dan sebagainya,… Asshiddiqie menguraikan dalam konsep Negara kesejahteraan ini, Negara dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat”[15].

Dengan demikian, perwujudan kesejahteraan rakyat merupakan peran dan tanggung-jawab pemerintah baik Pusat maupun Daerah sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 dan juga PP 65/2005 tersebut di atas. Tanpa adanya suatu aturan sebagai basis hukum, maka penyelenggara Negara akan menghindari tanggungjawab tersebut karena masih kuatnya praktek-praktek KKN di Negara ini, walau telah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban aparat pemerintah sebagai adimistratur dan pelayan dalam pelayanan publik.

b. Kerangka Pemikiran
Dengan hanya ada 4 kementerian dan lembaga non departemen yang telah menyediakan Standar Pelayanan Minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan huruf a Ayat (1) Pasal 16 UU 32/2004 dan PP 65/2005, maka harus dinyatakan bahwa PP tersebut tidak berdaya-guna / tidak efektif.

METODE PENELITIAN
a. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis empiris karena masalah yang akan diteliti terkait pada hal normatif, yakni PP 65 tahun 2005 dengan penerapannya pada tataran empiris, yakni efektifitas / kedayagunaan dari PP tersebut dalam kerangka waktu 3 tahun, yakni 2005 – 2008.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian normatif akan dilakukan dengan cara mempelajari dan menafsirkan berbagai peraturan perundang-undangan terkait sementara pendekatan empiris akan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai referensi sekunder dan tersier yang terkait pada pokok masalah yang diteliti.
c. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang hukum tata Negara karena terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan Negara, pelayanan publik, birokrasi serta hubungan antara berbagai lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan mandat Pasal 11 dan huruf a Pasal 16 UU 32/2004 maupun PP 65/2005.
d. Data yang diperlukan
Data yang diperlukan terdiri atas data primer, sekunder dan tersier. Data primer akan diperoleh melalui penelusuran dan kajian pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok penelitian, terutama UUD 1945, Undang-Undang (UU) No 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, Keputusan Menteri (Kepmen) Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) No 63 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Perumusan Standar Pelayanan Minimal, Kepmen Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Sektor Kesehatan, Kepmendagri tentang Sandar Pelayanan Minimal Pengurusan Pencatatan Sipil dan Pengurusan KTP, serta Keputusan Lembaga Non Departemen Tata Ruang tentang SPM Tata Ruang.

Kajian sekunder akan dilakukan terhadap berbagai tulisan artikel, makalah dan buku dan juga rancangan undang undang (RUU) yang terkait dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), birokrasi pemerintahan, reformasi birokrasi, reformasi pelayanan publik, pemerintahan daerah, hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang antara lain ditulis oleh Transparansi Internasional Indonesia, Yeremias T. Kaban, Lijan Poltak Sinambela, Agussalim Andi Gadjong, Ambar Teguh Sulistiyani, World Bank, UNDP, dan berbagai penulis lainnya serta RUU Pelayanan Publik. Sedangkan kajian tersier akan dilakukan terhadap bahan-bahan terkait lainnya.
e. Cara memperoleh data
Cara memperoleh data adalah dengan melakukan penelusuran dan kajian pustaka (Library Research) di berbagai perpustakaan, membeli dan mempelajari buku-buku, termasuk jurnal yang relevan serta juga website yang relevan.
f. Rencana analisa
Analisis akan dilakukan dengan cara penafsiran karena penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis empiris.

SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan penelitian dan hasilnya akan menggunakan referensi dasar buku Pedoman Penulisan Tesis yang diterbitkan oleh Universitas Jayabaya. Untuk itu, kerangka penulisan hasil penelitian ini akan ditulis sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan
Bab II : Kajian Teoritis dan Perundang-undangan
Bab III : Deskripsi Obyek Penelitian
Bab IV : Hasil Penelitian dan Analisa
Bab V : Penutup
Daftar Kepustakaan

DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Undang Undang Dasar 1945
- Undang Undang (UU) No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negra yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
- UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- Peraturan Pemerintah (PP) No 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
- Rancangan Undang Undang (RUU) Pelayanan Publik
- Prinsip-prinsip Good Governance. Tranparansi Internasional Indonesia. www.transparansi.or.id
- Prinsip-Prinsip Good Governance. Komite Nasional Kebijakan Governance. www.governance-indonesia.com
- Kaban, Yermias T. Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Naskah No. 20 Juni – Juli 2000.
- Community, Green Mind. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. 2009
[1] Pasal 11 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “penyelenggaraan urusan pemerintahanyang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
[2] Ayat (1) Pasal 13 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi mrupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata tuang; c. penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil an menengah, termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan, termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh aturan perundang-undangan”.
[3] Ayat (1) Pasal 14 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “ urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; c. penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang ksehatan; f. penyelengaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketegakerjaan; i. fasilitasi pengembangan kperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. penanganan pertanahan; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyeengaraan pelayanan dasar lainnya; p.urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
[4] Ayat (3) Pasal 14 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “pelaksanaan ketenutan sebagaimana diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
[5] Huruf a Ayat (1) Pasal 16 UU 32/2004 menyatakan “hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) dan Ayat (5) meliputi : a. kewenangan, tanggungjawab dan penentuan standar pelayanan minimal”.
[6] PP 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal diberlakukan pada tanggal 28 Desember 2005 melalui Lembaran Negara (LN) Nomor 150 Tahun 2005.
[7] Alinea kedua UUD 1945 menyatakan “dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagi dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
[8] Alinea keempat UUD 1945 menyatakan “… dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”
[9] Pokok Pikiran ke 2 UUD 1945 menyatakan “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”
[10] Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
[11] Asas-asas penyelenggaraan Negara yang diatur dalam Pasal 3 UU 28 tahun 1999 bahwa asas-asas umum penyelenggraan Negara meliputi : 1. Asas kepastian hukum; 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara; 3. Asas kepentingan umum; 4. Asas keterbukaan; 5. Asas proporsionlitas; 6. Asas profesionalitas; 7. Asas akuntabilitas. Penjelasan Pasal 3 tersebut mengemukakan bahwa “1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap penyelenggaraan Negara; 2. Yang dimaksud dengan asas “tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara; 3. Yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; 4. Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskrimintaif tentang penyelengaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara; 5. Yang dimaksud dengan asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara; 6. Yang dimaksud dengan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 7. Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
[12] Prinsip-prinsip good governance di bagian good governance. www. tranparansi.or.id. tanggal akses 20 Mei 2009.
[13] Good governance dimaknai secara beragam oleh para ahli di Indonesia. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo dalam Good Governance (Paradima Baru Manajemen Pembangunan) memaknai good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan. Yeremias T.Keban, Ph.D dalam “Good Governance” dan “Capacity Building” sebagai indikator utama dan fokus penilaian kinerja pemerintahan mengemukakan bahwa “… pembahasan tentang good governance dapat ditelusuri dari tulisan J.S. Edralin (1997). Governance merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggantikan istilah government yang menunjukan penggunaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada “enabler” atau “facilitator”, dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik negara menjadi milik rakyat (hal.4)
[14] … Negara kesejahteraan dapat didefenisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang member peran lebih besar pada Negara atau pemerintah (untuk mengalokasikan sebagaian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya). Oleh Grand Mind Community, 2009. Teori Politik Hukum Tata Negara, Hal. 307.
[15] Ibid.

2 komentar:

  1. Usulan-Usulan Layanan Publik TransJakarta





    1. Rapikan jalan-jalan khusus jalur busway.



    2. Untuk para sopir, diusulkan untuk tidak terburu-buru ketika mengemudikan bus demi keselamatan dan kenyamanan para penumpang.



    3. Untuk para petugas/kondektur, supaya lebih ramah terhadap para penumpang, tegas namun ramah.



    4. Informasi pemberitahuan pemberhentian yang ada di dalam bus, supaya lebih cermat. Informasikanlah kepada para penumpang dengan jelas sebelum tiba ke halte berikutnya atau halte yang dimaksud.



    5. Kepada PT. TransJakarta, buatlah jadwal, rute ataupun 'skejul' berupa apapun dan dalam bentuk apapun dan sosialisasikanlah kepada para penumpang.



    6. Untuk para penumpang, bekerjasamalah dengan para petugas, sopir maupun kondektur dalam hal kedisiplinan. Berbarislah di halte dengan rapi dan teratur ketika menunggu pemberhentian ataupun pemberangkatan ataupun ketika keluar masuk bus.



    7. Kepada PT. TransJakarta, tentukanlah jadwal/jam 'pasti' ketika berangkat maupun ketika berhenti di setiap halte demi kenyamanan para penumpang.



    8. Untuk para sopir, tanamkanlah prinsip 'waktu adalah uang', profesionalitas dan ketertiban ketika mengemudi dan ketika berhenti di setiap halte, tidak terkesan buru-buru demi keselamatan dan kenyamanan para penumpang.



    9. Untuk para sopir, berhentilah di setiap halte dengan keakuratan dan ketepatan dari pintu halte ke pintu bus begitupun sebaliknya demi keselamatan dan kenyamanan para penumpang.



    10. Untuk para penumpang, biasakanlah untuk mengutamakan penumpang yang lebih tua khususnya wanita yang lebih tua atau yang lanjut usia, untuk dipersilakan menempati tempat duduk, sebelum maupun sesudah Anda.

    BalasHapus
  2. Usulan-usulan Layanan Publik TransJakarta





    1. Rapikan jalan-jalan khusus jalur busway.



    2. Untuk para sopir, diusulkan untuk tidak terburu-buru ketika mengemudikan bus demi keselamatan dan kenyamanan para penumpang.



    3. Untuk para petugas/kondektur, supaya lebih ramah terhadap para penumpang, tegas namun ramah.



    4. Informasi pemberitahuan pemberhentian yang ada di dalam bus, supaya lebih cermat. Informasikanlah kepada para penumpang dengan jelas sebelum tiba ke halte berikutnya atau halte yang dimaksud.



    5. Kepada PT. TransJakarta, buatlah jadwal, rute ataupun 'skejul' berupa apapun dan dalam bentuk apapun dan sosialisasikanlah kepada para penumpang.



    6. Untuk para penumpang, bekerjasamalah dengan para petugas, sopir maupun kondektur dalam hal kedisiplinan. Berbarislah di halte dengan rapi dan teratur ketika menunggu pemberhentian ataupun pemberangkatan ataupun ketika keluar masuk bus.



    7. Kepada PT. TransJakarta, tentukanlah jadwal/jam 'pasti' ketika berangkat maupun ketika berhenti di setiap halte demi kenyamanan para penumpang.



    8. Untuk para sopir, tanamkanlah prinsip 'waktu adalah uang', profesionalitas dan ketertiban ketika mengemudi dan ketika berhenti di setiap halte, tidak terkesan buru-buru demi keselamatan dan kenyamanan para penumpang.



    9. Untuk para sopir, berhentilah di setiap halte dengan keakuratan dan ketepatan dari pintu halte ke pintu bus begitupun sebaliknya demi keselamatan dan kenyamanan para penumpang.



    10. Untuk para penumpang, biasakanlah untuk mengutamakan penumpang yang lebih tua khususnya wanita yang lebih tua atau yang lanjut usia, untuk dipersilakan menempati tempat duduk, sebelum maupun sesudah Anda.

    BalasHapus

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...