Minggu, 19 Juli 2009

Efektifitas Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa

Tulisan ini merupakan tugas Mata Kuliah Sosioliogi Hukum Kuliah Magister Hukum
===========================================================

1. LATAR BELAKANG
Desa sebagai suatu kesatuan territorial administratif dan sosiologis merupakan unit terkecil pemerintahan Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu unit admistratif dan sosialogis, pada pokoknya suatu desa memiliki 2 aturan main utama untuk mengatur segla peri kehidupan penduduknya, yakni aturan-aturan adat – yang pada umumnya tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan dan kebudayaan penduduk di desa tersebut serta aturan-aturan Negara yang diberlakukan secara struktural dari tingkat nasional hingga ke desa.

Pada era Orde Baru, desa diatur secara ketat oleh Negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Namun seiring dengan hadirnya era reformasi di Negara Republik Indonesia, maka aturan-aturan tentang desa juga mengalami berbagai perubahan signifikan yang memberikan otonomi lebih luas terhadap desa dibanding era sebelumnya, misalnya antara lain adalah bahwa istilah desa untuk unit pemerintahan terkecil Negara tidak perlu seragam lagi. Masing-masing kesatuan sosiologis administratif tersebut dapat menggunakan istilah sendiri sesuai konteks lokal dan kesepakatan bersama masyarakat setempat tentunya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, menyatakan bahwa “Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya Pasal 200 Ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa “Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat”.

Pasal 206 UU No. 32 Tahun 2004 juncto Pasal 7 PP No. 7 Tahun 2005 tentang Desa mengatur kewenangan desa meliputi “a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b) urusan pemerintahanyang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Selanjutnya Pasal 207 menyatakan bahwa “tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia”.

Pembangunan di desa merupakan bagian dari pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, pembangunan harus dilakukan menggunakan suatu perencanaan yang baik dan matang sebagaimana diatur dalam UU No. 25Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam pada itu, konsiderans menimbang dalam UU tersebut pada poin c,d dan e menyatakan bahwa “c) tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan; d) untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan nasional; e) agar dapat disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan Negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan nasional”. Selanjutnya Pasal 1 angka 1, 2 dan 3 UU tersebut menyatakan bahwa “1) perencanaan adalah suatu tindakan untuk menentukan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia; 2) Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara; 3) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsure penyelenggara Negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah”.

Secara struktural, perencanaan pembangunan nasional diatur penyelenggaraannya secara berjenjang yang dimulai dengan perencanaan pembangunan di ditingkat Desa melalui suatu Musyararah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional juncto PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. Pasal 20 Ayat (1) PP No 8 Tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa “Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan dan kecamatan atau sebutan lain” yang lalu diteruskan secara berjenjang ke Murenbang kabupaten/kota, provinsi dan kemudian berpuncak pada Musrenbang Nasional – yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Kenyataannya, banya desa yang tidak memiliki RKP-Desa, apalagi RPJMDesa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, rencana pembangunan yang disebut sebagai hasil suatu Musrenbang hanyalah buah pikir para Kepala Desa yang disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan yang lalu secara berjenjang diteruskan ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Dari praktek-praktek Musyarawah Perencanaan Pebangunan yang terjadi di level desa ditemukan adanya sejumlah masalah, yakni :
1) Minim atau tidak adanya partisipasi warga masyarakat karena minimnya kapasitas pemerintah desa memfasilitasi perencanaan pembangunan di desa sebagai akibat dari minimnya pengetahuan, kesadaran dan kapasitas – yang harusnya difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pebangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota dimana suatu desa berada.
2) Perencanaan pembangunan yang dilakukan beberapa desa masih bersifat elitis, yakni hanya melibatatkan aparat desa dan para tokoh. Akibatnya kebutuhan orang miskin dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang cacat dan juga lansia tidak teridentifikasi dan terumuskan.
3) Beberapa desa yang melakukan musyarawah perencanaan pembangunan tidak memiliki kemampuan analisis yang memadai sehingga hasil perencanaannya secara umum adalah daftar keinginan semata, bukan kebutuhan prioritas yang harus didanai oleh Negara melalui APBD dan/atau APBN.
4) Mayoritas hasil Musrebangdes tidak terakomodir dalam perencanaan pembangunan di level yang lebih tinggi seperti kecamatan, kabupaten/kota dan seterusnya. Halmana berdampak pada apatisme desa, termasuk masyarakatnya untuk melakukan Musrenbangdes.

2. LANDASAN TEORI dan ANALISIS
Permasalah Musrenbangdes tersebut diatas dapat dianalisis menggunakan teori fungsional struktural yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dan Robert K. Merton.

Durkheim mengemukakan bahwa “1) Di setiap masyarakat senantiasa dijumpai suatu keterkaitan (kohesi). Dalam masyarakat seperti itu terdapat pengelompokan intermedier atas lembaga-lembaga kemasyarakatan, sehingga di dalam masyarakat ada semacam suatu struktur tertentu; dan 2) jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma-norma yang sama, maka masyarakat itu memiliki aturan dalam pergaulan hidup, dimana orang-orang mempunyai ikatan-ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai-nilai dan norma pergaulan hidup tersebut”[1].

Sedangkan, menurut teori Anomi Fungsional Strukturalisme Robert K. Merton sebagai penyempurnaan terhadap teori Durkheim bahwa “ kesenjangan antara tujuan dan alat tidak dapat diterangkan dari sudut prikologi atau biologi, tetapi adalah akibat dari kultur dan struktur pergaulan hidup”[2].

3. ANALISIS
Desa merupakan suatu pengelompokan sosial, budaya dan juga administrasi pemerintahan. Di suatu desa sendiri terdapat berbagai kelompok masyarakat yang berinteraksi satu sama lain sesuai norma-norma sosial budaya setempat. Dalam kaitannya dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat diidentifikasi adanya sejumlah kelembagaan terkait satu sama lain sebagaimana teori Durkheim, yakni antara lain Desa (Pemerintah Desa, Lembaga Kemasyarakat Desa, dan juga kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan di desa), lembaga pemerintahan tingkat Kecamatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten/kota, serta berbagai lembaga sektoral di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota seperti Dinas Kesehatan dengan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Puskesmas, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, dll yang mana semuanya terkait satu sama lain dalam perencanaan pembangunan sebagimana diatur oleh aturan perundang-undangan tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang telah memberikan kewenangan dan kewajiban kepada masing-masing lembaga.

Dalam kaitannya dengan Musrenbang desa/atau nama lainnya maka Pasal 63 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa “1) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, maka disusun perencanaan pembangunan desa sebagai suatu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten / kota; 2) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal (1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya; 3) dalam perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa”. Selanjutnya dalam Pasal 64 diatur bahwa “(1) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Ayat (2) disusun secara berjangka meliputi : a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; b) Rencana Kerja Pembangunan Desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dan RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Lebih lanjut, PERMENDAGRI No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa menyatakan bahwa “pengertian Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selanjutnya disebut MUSRENBANGDES adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalah desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musywarah) untuk menyepkati rencana kegiatan di desa 5 (lima) dan 1 (satu) tahunan. Musrenbangdes berfungsi sebagai wadah untuk menselaraskan kesepakatan antar para pelaku, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta tentang rencana kerja tahunan di masing-masing desa. Musrenbang juga digunakan untuk menjabarkan rencana jangka panjang menjadi kegiatan anggaran tahunan”[3]

Secara berjenjang, RKP-Desa dan RPJMDes terintegrasi dengan RKP-Kabupaten / kota dan RPJMD kabupaten/kota yang lalu teritegrasi ke provinsi dan seterusnya sampai ke level nasional. Masalahnya, masing-masing lembaga yang terikat dalam suatu sistem perencanaan tersebut sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut memiliki ego, kepentingan, keinginan, kebutuhan dan agenda sendiri-sendiri untuk menyerap dan menggunakan anggaran pembangunan dalam membiayai perencanaan-perencanaan pembangunan.

Pada level desa, Kepala Desa memiliki kepentingan, keinginan dan kebutuhan yang berbeda dengan warga masyarakatnya. Kelompok elit desa memiliki kepentingan dan kebutuhan berbeda dengan kelompok miskin dan terpinggirkan, dan seterusnya. Di level kecamatan, masing-masing desa memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan di level kabupaten/kota, semua lembaga tersebut memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda – yang mana seharusnya kepentingan dan kebutuhan berbeda tersebut dapat dikompromikan dengan menggunakan dasar kepentingan dan kebutuhan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat sebagai alat kontrolnya.

Namun karena kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak tidak dapat dikompromomikan dalam proses-proses perencanaan, maka yang terjadi adalah lembaga yang secara struktural berada di posisi lebih tinggi akan mengorbankan kepentingan dan kebutuhan lembaga yang lebih rendah posisinya. Misalnya, Pemerintah Desa yang memiliki kepentingan dan kebutuhan sendiri akan memasukan kepentingan dan kebutuhan tersebut sebagai hasil Musrenbang di level desa, demikian seterusnya secara berjenjang sehingga pada saat Musrenbang kabupaten/kota, hasil-hasil yang muncul adalah kepentingan dan kebutuhan masing-masing lembaga di level kabupaten dan kota yang memiliki posisi, wewenang dan sumber daya lebih dibandingkan dengan lembaga-lembaga di level kecamatan dan desa yang harusnya dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang Perencanaan Pembangunan.

Akibatnya, usulan-usulan masyarakat yang disampaikan melalui pertemuan-pertemuan Musrenbangdes tidak terakomodir ke dalam perencanaan pembangunan daerah di tingkat kabupaten maupun provinsi. Dampak selanjutnya adalah program-program pembangunan yang masuk ke desa tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa sehingga menjadi tidak bermanfaat karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Contohnya kasus yang terjadi di Kelurahan Takome, Kota Ternate, Provinsi Maluku Tenggara. Pada Musrenbang tahun 2007, penduduk kelurahan tersebut mengajukan usulan pengadaan alat tangkap ikan bagi nelayan setempat. Namun, Pemerintah Daerah memberikan bantuan ternak sapi pada tahun 2008 – dimana sapi-sapi tersebut diberikan pada kelompok elit setempat. Contoh kasus tersebut memperlihatkan tidak adanya hubungan antara hasil Musrenbang dengan realisasinya. Praktek-praktek seperti kasus di Kelurahan Takome tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun karena faktor-faktor antara lain :1) tidak ada mekanisme formal dan praktis yang memungkinkan masyarakat desa mengawal usulan-usulan mereka hingga ke Musrenbang tingkat kabupaten / kota dan provinsi; 2) Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di level kabupaten / kota memiliki agenda dan kepentingan sendiri yang berbeda dengan agenda dan kepentingan masyarakat desa; 3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengkoordinir perencanaan pembangunan lebih memilih mengakomodir agenda-agenda SKPD terkait daripada memasukan agenda masyarakat desa sebagaimana teori Anomi Robert K. Merton tersebut di atas bahwa kesenjangan tersebut diakibatkan oleh kultur dan struktur. Karena praktek-praktek seperti itu telah berlangsung bertahun-tahun, maka dapat dikatakan bahwa hasil-hasil Musrenbangdes yang tidak terakomodir di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi telah menjadi budaya. Strukur pemerintahan yang berjejang dari desa hingga kabupaten/kota dan provinsi telah mengakibatkan usulan-usulan masyarakat desa tidak diperhatikan dan dijawab dalam rencana-rencana pembangunan daerah saat lembaga-lembaga sektoral pemerintah memiliki agenda dan kepentingan sendiri untuk dilaksanakan. Tidak ada mekanisme yang member ruang bagi masyarakat desa untuk menyuarakan kebutuhan dan kepentingannya dalam Murenbang kabupaten/kota dan provinsi membuat kebutuhan-kebutuhan mereka selalu diabaikan.

Dalam kaitanya dengan kondisi tersebut, teori Robert K. Merton memberikan penjelasan bahwa “terdapat jurang pemisah antara di satu sisi ambisi-ambisi atau tujuan-tujuanyang ditetapkan oleh suatu kebudayaan (mencapai sukses), di sisi lain kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai hal itu (puncak). Bagi sebagian besar warga hal tersebut tidak mungkin mencapai puncak, mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang dibesarkan dalam gubuk tidak memperoleh pendidikan yang baik, karenanya tidak mempunyai pekerjaan yang layak, bahkan tidak mampu menabung uang untuk membuka usaha sendiri”[4]. Dalam kasus Musrenbangdes yang tidak terakomodir di level kabupaten/kota maupun provinsi memperlihatkan adanya korelasi jarak, pendidikan dan juga struktur dalam pengabaian kebutuhan dan kepentingan desa pada Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi. Meskinpun untuk itu telah tersedia aturan yang memberikan jaminan adanya perencanaan dari bahwa namun tidak tersedianya aturan yang mengatur akses desa ke forum Musrenbang di tingkat kabupaten/kota dan provinsi menyebabkan kebutuhan dan kepentingan pembangunan desa/kelurahan selalu terabaikan dan diatur oleh lembaga-lembaga pemerintah di level kabupaten/kota atau provinsi. Masyarakat desa sebagai kelompok masyarakat yang berada pada jejang terbawah struktur kekuasaan pemerintah tidak memiliki ruang menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka. Penyuaraan kebutuhan dan kepentingan mereka sangat tergantung pada kelompok-kelompok kelas menengah yang didominasi oleh organisasi-organisasi non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM) yang di beberapa daerah juga tidak memiliki akses ke forum Musrenbang kabupaten / kota. Kalaupun kelas menengah ini memiliki akses ke forum-forum Musrenbang, maka kadang mereka juga harus berkompromi dengan agenda dan kepentingan dinas-dinas sektoral pemerintah setempat. Jika tidak, maka pada Musrenbang yang akan datang, mereka tidak akan lagi diikut sertakan.

Dengan demikian, harus dinyatakan bahwa kebutuhan dan kepentingan desa hanya bisa terakomodir dalam forum Musrenbang kabupaten / kota dan provinsi jika wakil-wakil masyarakat desa yang dipilih melalui suatu proses yang terbuka dan menyeluruh di desa diikutsertakan dalam forum-forum Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi sehingga mereka dapat menyuarakan dan memperjuangkan terakomodirnya agenda-agenda pembangunan desa untuk mendapatkan pembiayaan Negara melalui APBN dan APBD. Jika tidak, maka pengabaian kebutuhan dan agenda pembangunan desa akan terus berlangsung – walaupun tersedianya aturan yang menjamin akomodasi kebutuhan dan agenda pembangunan desa, namun ketiadaan mekanisme kontrol menyebabkan penyimpangan akan selalu terjadi terus menerus.

4. REFERENSI
- UU No 32 Tahun 2004 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah
- UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional
- PP 72 Tahun 2005 tentang Desa
- PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah
- PERDA Kabupaten Luwu Utara No 15 tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa / Kelurahan
- Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum. Universitas Jayabaya, 2009.
- Arum Widayatsih. MUSRENBANG: Dilema “titah Paduka” dan kebutuhan masyarakat desa
- Sukanto Toding. Bahteramas dan Kemandirian Desa
- Imron Rosyid. Merencanakan dan Mengelola Keuangan Desa
- Aos Kuswandi. Penyusunan Pelaporan Pembangunan Desa, 2007
[1] Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum, Hal. 33. Universitas Jayabaya, 2008.
[2] Ibid
[3] Arum Widayatsih. Blog 11 Juni 2008. Hal. 1
[4] Opcit. Hal 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...