Rabu, 13 Mei 2009

PEREMPUAN-PEREMPUAN TOMIA : Berjuang Tiada Lelah

Esai ini ditulis dan dipublikasikan pada salah satu milis lingkungan Indonesia
pada tanggal 1 Juli 2005

Tomia merupakan nama suatu pulau kecil yang terletak di arah Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau tersebut hanyalah berbentuk setitik nokta di peta Negara Indonesia. Pertama kali saya mendengar sebutan Tomia saat bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis Ornop Yasinta (Yayasan Bina Pontesi Wanita) yang bersekretariat di Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat itu sekitar pertengahan tahun 2001, Darma (Direktur Yasinta) menemui saya dan mendiskusikan upaya perlawanan yang sedang dilakukan oleh beberapa komunitas di Tomia terhadap pengambil-alihan sepihak lahan kebun mereka oleh PT. Wakatobi Dive Resort yang dialih-fungsikan sebagai lapangan terbang perusahaan untuk kepentingan para turis yang jalan-jalan ke kawasan Wakatobi. Sejak perkenalan pertama dengan Darma, saya akhirnya mulai mengenal teman-teman lain di Yasinta, 3 diantaranya adalah Irham, Saleh dan Ali.

Pulau Tomia secara adat terbagi ke dalam 3 wilayah adat yang disebut KAWATI, yakni Kawati Timu di bagian Timur, Kawati Tongano di bagian tengah dan Kawati Waha dibagian Barat. Secara administratif, pulau tersebut menjadi wilayah kecamatan Tomia yang wilayahnya terbagi-bagi lagi ke beberapa wilayah administasi kelurahan dan desa yang pada tahun 2001 masih termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton. Saat ini, Tomia telah menjadi bagian dari Kabupaten Wakatobi yang wilayah administratifnya meliputi 4 pulau “besar” di wilayah tersebut, yakni WAnci, KAledupa, TOmia dan BInongko. Selain dikenal sebagai WAKATOBI, kawasan tersebut juga dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi. Kawasan tersebut sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan bentangan alam nan permai, terumbu karang warna-warni, air laut bersih kebiruan, pasir putih sejauh mata memandang serta penduduk yang ramah. Kekayaan itu telah mengakibatkan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional seluas 1.390.000 ha berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996, (laporan Yasinta, 2001).

Selain Taman Nasional, kawasan yang SEKSI ini telah pula menarik minat sejumlah pihak untuk mengembangkan sejumlah penelitian ilmiah sampai dengan menjualnya sebagai obyek wisata nan mempesona dan “eksotik”. Dua diantaranya adalah Operation Wallacea dan PT. Wakatobi Dive Resort. Informasi dari Roy Pangalila di milis WGCop menyatakan Operation Wallacea “punya Pusat Penelitian dan Pelatihan Kelautan di pulau Hoga dengan peraturan keamanan yang mengacu ke standart keamanan internasional. Di dalamnya sudah ada Klinik 24 jam dengan fasilitas standart international, Ruang Belajar dengan kapasitas 60 orang lengkap dengan audio-visual, restoran dan fasilitas penginapan dengan daya tampung sampai sekitar 200 orang, Fasilitas Perpustakaan, Dive Centre dengan kapasitas 200 penyelaman per hari” (2005).
Sementara itu, Wakatobi Dive Resort /WDR (penduduk setempat mengidentifikasinya sebagai LORENS yang adalah nama pendiri dan president WDR) membangun sejumlah resorts untuk para turis di kawasan laut dangkal yang diapit oleh 2 pulau kecil bernama Sawa atau Togo Woou dan Pulau Lenteea. Di tepian pantai Onemo Baa, Desa Lamanggau yang terletak di suatu pulau kecil bernama Tolandono yang berjarak sekitar 500 meter dari pulau Tomia dijadikan basis yang dilengkapi hotel, cottage, resto dan pusat penyewaan peralatan selam (sms Ali, 2005). Untuk memperlancar mobilitas para turis, maka pihak WDR juga menyediakan pesawat berkapasitas belasan orang yang landasan terbangnya terletak di Pulau Tomia. Pembangunan resorts, hotel, cottage, resto, tempat penyewaan alat penyelaman dan juga lapangan terbang itu lalu memicu konflik dengan sekitar 140an KK yang berasal dari Kelurahan Bahari, Kelurahan Tongano Timur, Desa Waitii Timur dan Desa Lamanggau oleh karena lahan yang diambil untuk pembangunan tersebut merupakan lahan kebun dan ladang warga setempat (Laporan Yasinta 2003) dan juga mulai tertutupnya akses mereka terhadap sumberdaya pesisir dan laut di kawasan pulau-pulau yang telah dikuasai WDR. Padahal sumberdaya pesisir dan laut itu telah menjadi sumber hidup dan kehidupan komunitas-komunitas setempat selama bertahun-tahun sebelum diambil alih dan dikuasai WDR.

Perlawanan itu dimotori oleh para perempuan, 7 diantaranya bahkan pernah harus menginap dan terobang-ambing di Baubau, Ibukota Kabupaten Buton untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas lahan yang diambil-alih WDR atas restu Pemda Kabupaten Buton waktu itu (diskusi di Patipelong, 2005). Satu diantara perempuan-perempuan itu adalah Wa Abe dari Patipelong di Tomia. Saya bertemu Wa Abe pertama kali pada tahun 2003 silam di Palu pada acara Temu Rakyat Sulawesi yang diadakan oleh para Mitra KEMALA Regio Sulawesi. Pada waktu itu tidak banyak cerita yang dia ceritakan. Hanya 1 kalimatnya berupa undangan yang selalu saya ingat saat perkenalan kami, yakni “datanglah ke kampung saya”.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...