Rabu, 13 Mei 2009

KOMUNITAS MANTIGOLA : Bara Perlawanan Dalam Sekam Penindasan

Esai ini ditulis dan dipublikasikan di salah satu milis lingkungan Indonesia
pada tanggal 1 Agustus 2005
====================================

Plakkkk plakkkk plakkk.. tiga tamparan petugas Jagawana Taman Nasional Laut (TNL) Wakatobi mendarat tepat di pipi perempuan tua yang sedang berjualan di pasar. Linangan air mata mengalir membasahi pipi tua tersebut tanpa suara dan kata. Diam seribu bahasa tanpa daya perlawanan… demikian cerita sang suami saat kami ngobrol di bawah pohon Ketapang di Dusun Mantigola pada tanggal 26 Juni 2005 menjelang magrib.. “kenapa?” kejar saya, “katanya melanggar undang-undang konservasi, yakni menjual kimah yang dilarang oleh undang-undang tersebut”. “ohhhhhhhhhh, lalu mengapa pemukulan tersebut tidak dilaporkan ke polisi” saran ku dalam bentuk pertanyaan. Pak tua penutur cerita tersebut diam seribu bahasa tidak lagi menanggapi saran berbentuk pertanyaan ku tersebut. Saya pun mengalihkan pembicaraan ke sejarah keberadaan mereka sambil diam-diam memikirkan kasus penempelengan perempuan tua di pasar Kaledupa tersebut.
Tiada terasa, malam pun memeluk bumi menyelimuti rumah-rumah penduduk komunitas Mantigola. Kami lalu beranjak ke rumah panggung pemilik pohon Ketapang untuk melanjutkan obrolan di bawah sinar lampu listrik dari generator. Walau tubuh lelah karena belum sempat beristirahat sejak perjalanan Kendari – Baubau – Wanci – Tomia – Mantigola, namun saya dan teman-teman se-team tetap bersemangat meneruskan obrolan tentang aktivitas pengelolaan ikan hias ramah lingkungan di komunitas tersebut yang difasilitasi oleh YASCITA ditemani bercangkir-cangkir kopi yang disediakan sang bunda pemilik rumah.

Malam terus merayap menghantarkan satu per satu warga komunitas mendatangi rumah tempat saya, teman-teman dan beberapa warga lain yang telah mengobrol terlebih dahulu. Di sela-sela obrolan tentang dinamika pengelolaan ikan hias yang didukung KEMALA, muncul pula cerita-cerita tentang sejarah keberadaan komunitas dengan pemukimannya yang “unik” serta berbagai keresahan dan juga berbagai taktik warga nelayan Mantigola mengakali para petugas Jagawana dan Balai TNL yang terjadi sejak keberadaan TNL Wakatobi. Selain tamparan yang diterima si perempuan tua di pasar, warga yang lain juga menceritakan tentang trauma mereka terhadap perahu ataupun speed boat asing yang tidak dikenal oleh mereka saat mereka sedang mencari dan menangkap sumberdaya laut di kawasan-kawasan penangkapan tradisional mereka. Ketika saya menelisik lebih jauh tentang trauma tersebut, maka muncul satu informasi bahwa beberapa diantara mereka pernah ditangkap dan dipukuli lalu hasil tangkapannya dibuang ke laut. Karena itu, mereka tidak ingin ada yang ditangkap dan dianiya aparat lagi disebabkan tertangkap tangan mengambil hasil pesisir dan laut yang dilarang Undang-undang (UU). Untuk itu, jika pada saat melakukan pencarian dan penangkapan hasil laut lalu ada kapal asing yang lewat dan tidak mereka kenal, maka semua hasil tangkapan mereka langsung dibuang ke laut lagi. Jika kapal asing tersebut telah berlalu barulah para nelayan tersebut menyelam untuk mengambil kembali hasil laut yang dibuang tersebut. Kadang usaha pengambilan kembali tersebut berhasil, namun kadang gagal karena berbagai sebab. Misalnya setelah membuang hasil tangkapan, mereka harus berpindah tempat atau karena lamanya waktu pemeriksaan, maka hasil tangkapan yang dibuang tersebut telah terbawa arus air laut. Taktik lain adalah mereka membiasakan diri mereka mengenali jadwal patroli Balai TNL. Pada hari-hari patroli dilakukan, para nelayan Mantigola tidak akan melaut untuk melakukan penangkapan hasil laut. Atau mereka menangkap di lokasi lain yang tidak akan dilewati patroli pada hari tersebut. Akibatnya, titik tangkap makin banyak yang juga karena ketakutan tertangkap patroli, maka mereka menggunakan cara-cara pengambilan secara cepat yang justru destruktif terhadap alam dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Kondisi mana telah teridentifikasi dari hasil survey yang dilakukan Yasinta dan team bahwa sebelum penetapan kawasan TNL Wakatobi, hanya terdapat beberapa titik kerusakan. Saat ini, titik kerusakan tersebut makin banyak dan makin meluas.

Walau telah menggunakan berbagai cara dan taktik, ternyata beberapa orang akhirnya tertangkap juga oleh petugas patroli sebagaimana cerita yang saya dapatkan kemudian dari berapa sumber berbeda setelah saya balik ke Jakarta. 3 orang diantaranya saat ini masih mendekam di tahanan menunggu nasib dengan sangkaan melanggar UU no 5/1990 tentang konservasi dan keanekaragaman hayati. Saat mengobrol di malam tanggal 26 Juni 2005 tersebut, beberapa laki-laki mengungkapkan uneg-unegnya, antara lain : “mengapa UU tersebut diberlakukan juga terhadap kami, padahal beberapa hasil laut yang dilarang dalam UU tersebut sangat berlimpah ruah di kawasan tangkapan kami?”. Saya dengan sangat hati-hati mencoba menjelaskan bahwa walaupun di kawasan setempat yang adalah kawasan tangkap mereka, hasil lautnya masih sangat melimpah, namun di tempat-tempat lain, jenis-jenis yang dilarang UU tersebut telah tinggal sedikit atau bahkan telah hilang tak berbekas. Karena itu, yang masih tersisa berusaha dilindungi oleh Negara melalui UU konservasi dan keanekaragaman hayati tersebut. Mendengar penjelasan saya tersebut, seorang bapak nyeletuk “mengapa tidak melarang saja di tempat-tempat yang jenisnya tinggal sedikit tersebut”. Lalu seorang yang lain nyambung “kalau semua di sini dilarang, bagaimana dengan kebutuhan keluarga kami?, apa yang akan dimakan, apa yang akan digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak kami?”. Seorang laki-laki lain ikut nyeletuk “mengapa yang dilarang adalah kawasan penangkapan kami setiap hari?” harusnya petugas tahu bahwa kawasan penangkapan tersebut merupakan sumber hidup dan kehidupan kami. Mengapa kawasan yang di larang bukan kawasan-kawasan penangkapan setiap hari kami”. Kami dituduh melakukan perusakan, padahal yang paling banyak melakukan perusakan adalah nelayan-nelayan luar (bukan dari kawasan Wakatobi). Seorang laki-laki lain dengan penuh semangat menambahkan “jika kami tidak mencari dan menangkap hasil laut, maka bagaimana kami bisa hidup?, kami tidak punya ladang dan kebun di daratan pulau. Hidup kami sepenuhnya bergantung pada laut dan hasilnya. Walau demikian, saya bersedia pindah ke daratan sekitar sini, jika pemerintah bisa menyediakan lahan untuk kebun dan ladang”.

Obrolan tersebut mengisahkan kembali berbagai serpihan perlawanan diam yang dilakukan oleh warga komunitas itu dan juga komunitas nelayan lainnya di kawasan Wakatobi dalam menghadapi penindasan negara melalui Taman Nasional Laut Wakatobi. Perciban-percikan perlawanan tersebut lambat laun akan terajut menjadi bara perlawanan yang akan berkobar jika tidak ditangani secara arif dan bijak oleh pemerintah negara ini. Konflik struktural antara komunitas melawan negara maupun konflik horizontal antara komunitas hanya merupakan bom waktu. Berbagai bentuk penidasan yang dilakukan oleh aparat telah mendapatkan perlawanan diam-diam dari komunitas-komunitas setempat, termasuk Mantigola yang hidup dan kehidupannya sangat bergantung pada laut dan sumberdayanya. Penegakan hukum yang mengabaikan kebutuhan dasar komunitas justru memicu benih-benih perlawanan yang telah berimplikasi negatif terhadap upaya pelestarian alam dan keanekaragaman hayati setempat yang ingin dilindungi oleh UU Konservasi dan Keanekaragaman Hayati itu sendiri sebagaimana temuan Yasinta tentang makin banyaknya titik kerusakan serta makin meluasnya kawasan yang rusak. Percikan-percikan perlawanan itu telah sedang bersemi di Mantigola.

Mantigola merupakan nama suatu dusun di Desa Horuo, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Dusun tersebut terletak diantara laut luas dan pesisir pantai Desa Horuo tersebut. Rumah-rumah di dusun tersebut tersusun diatas bebatuan yang menjadi dasar pemisah antara rumah dan air laut dengan tinggi sekitar 3 meter saat surut. Mayoritas warga komunitas orang Mantigola adalah orang-orang Bajo / Bajau. Majalah Tempo 2 tahun silam dalam salah satu edisinya pernah menulis tentang orang-orang ini. Orang-orang Bajo, orang-orang yang hidup diatas perahu di laut sehingga mereka disebut juga oleh Tempo sebagai Orang-orang Suku Laut. Berbagai aktifitas mereka dari lahir, bereproduksi hingga mati terpusat di laut dan pesisir. Di Matinggola, saya menemukan adanya perubahan. Komunitas Bajo Mantigola tidak lagi hidup diatas perahu semata. Pemukiman mereka telah dibangun seperti pemukiman orang-orang daratan. Walua demikian tetap saja berbeda dengan orang-orang daratan. Satu diantaranya adalah orang-orang Bajo Mantigola membangun pemukimanannya diatas batu-batu karang yang disusun diatas air laut. Yah batu karang yang tentu saja merupakan bagian dari terumbu karang yang menjadi rumah dan tempat berkembang biaknya berbagai jenis makluk laut. Secara hati-hati dalam obrolan tersebut saya titipkan pula informasi tentang fungsi terumbu karang bagi kehidupan laut dan keberlanjutan hidup mereka sebagaimana yang saya ketahui dari berbagai bacaan. Tentu saja saya usahakan informasi yang saya sampaikan tersebut tidak menimbulkan kesan menggurui apalagi melarang. Karena saya belum tahu tentang sejarah pemukiman tersebut dan juga asal-muasal penggunaan karang sebagai landasan padat bagi pemukiman mereka.

Pepohonan di dusun tersebut dapat dihitung dengan jari. Satu diantaranya adalah pohon Ketapang tempat saya mengobrol dengan lelaki tua yang istrinya ditempeleng di pasar oleh petugas Jagawana. Jarak pemukiman tersebut dengan tepi pantai pulau Kaledupa adalah sekitar 3 km yang dapat dicapai menggunakan sampan kala air laut sedang pasang. Kala air laut sedang surut, maka sekitar 1 km dapat ditempuh dengan berjalan kaki melewati padang lamun yang ketinggian air lautnya sekitar betis lelaki dan perempuan dewasa, lalu harus menyambung perjalanan dengan sampan sekitar 500 meter barulah tiba dijalan selebar sekitar 1 meter sepanjang 1,5 km yang dibangun dengan dana PPK untuk menghubungkan daratan dengan dusun tersebut. Dusun ini dihuni sekitar 250 KK dengan 1 mesjid dan 1 SD Sanawiah. Pemukiman tersebut terdiri dari kumpulan rumah-rumah yang satu sama lain dihubungkan oleh titian atau jembatan kecil selebar 0,5 meter dengan panjang antara 1 – 10 meter.

Tiada terasa waktu terus bergulir. Sekitar pukul 12 malam, kami mengakhiri obrolan dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Kaledupa. Diiringi sinar rembulan dan kawalan beberapa warga Mantigola, saya dan teman-teman meniti titian dan jembatan dari bilah-bilah papan dan/atau batang-batang kayu dari rumah ke rumah menuju jalan kampung yang terbuat dari bilah-bilah kayu. Lalu kami turun ke laut untuk mengarungi padang lamun sekitar 1 km dengan air setinggi betis orang dewasa. Alas kaki harus dilepas agar tidak terjebak ke dalam pasir ataupun lumpur di jalan yang kami lalui. Perjalanan lalu dilanjutkan menggunakan sampan yang hanya boleh memuat maksimal 3 orang yang duduk bersusun ke belakang. Dengan menabahkan hati di tengah remang-remang malam, saya dan Koordinator Perkumpulan Kemala Sulawesi (PKS) duduk dalam sampan yang didayung seorang pengantar. Ia meminta kami tidak bergerak agar sampan yang tepinya hanya berjarak sejengkal dari air laut tidak tenggelam karena goyangan badan 2 orang penumpangnya yang nervous J karena tidak pernah naik sampan di tengah malam yang hanya diterangi senyuman rembulan. Tak lama mengarungi air laut, kami tiba di tempat yang dangkal lalu turun dan meneruskan perjalanan sambil berjalan kaki menempuh sekitar 1,5 km. Berjalan dalam keremangan malam menjelang subuh yang hanya diterangi rembulan serasa menempuh padang belantara tak bertepi. Subuh hari, kami tiba tepi daratan pulau Kaledupa lalu mampir membersihkan kaki di sungai kecil yang mengalir di belakang suatu Mushola. Setelah itu, saya dan teman-teman mampir ke rumah Kepala Desa yang terletak di samping Mushola. Kami ngobrol dengan Kepala Desa sambil menunggu teman lain yang masih dalam perjalanan menyusul karena harus diangkut per 2 orang oleh satu-satunya sampan yang kami gunakan untuk menyebrang dari Mantigola ke tepi pantai Pulau Kaledupa. Setelah semuanya berkumpul kami lalu menggunakan 3 sepeda motor mengarungi jalan sekitar 5 km menuju ibukota kecamatan Kaledupa guna mendapatkan kapal kayu ataupun speed boat yang akan mengantar saya dan teman-teman ke Wanci. Sekitar pukul 3 subuh, kami tiba di rumah salah seorang pengurus FORKANI. Dalam kelelahan yang sangat, tubuh ku masuk ke dalam sleeping bag yang setia menyertai perjalanan ku ke Wakatobi. Pukul 5 subuh, kami dibangunkan untuk sarapan pisang goreng panas ditemani kopi dan teh lalu meneruskan perjalanan ke pelabuhan Kaledupa untuk menumpang kapal ke Pulau Wanci diantar beberapa teman baru yang saya kenal dari FORKANI.

Selamat tinggal Mantigola dan Kaledupa. Terima kasih atas segala keramahan dan pelayanan mu. Mungkin saja suatu saat nanti percik-percik perlawanan kalian berubah menjadi bara yang terajut sebagai nyala api perlawanan terhadap berbagai penindasan yang dilakukan negara melalui alat-alatnya. Jika itu terjadi, saya hanya bisa berharap kalian akan tetap hidup damai dan harmonis dengan alam dan sumberdayanya. Saya hanya bisa berharap bahwa nyala api perlawanan tersebut tidak membakar dan merusak alam kalian nan indah tak terperih dan juga eksotis. Alam nan kaya yang telah membuat kalian hidup saling bergantung sejak leluhur kalian tiba dan membuat rumah di Mantigola pada tahun 1901. Kekayaan alam yang saat ini serasa menjadi bencana bagi kalian karena karena salah urus yang dilakukan Negara melalui aparatnya. Mungkin pula percikan tersebut mati muda.. tidak sempat terajut menjadi bara apalagi nyala api karena kuatnya penindasan Negara. Mungkin kalian akan menyerah dan berpindah ke tempat lain sebagaimana berbagai cerita dongeng dan mitos kalian sebagai orang-orang Suku Laut yang hidup dan matinya selalu bersama laut tak bertepi???. Mungkin kalian harus rela meninggalkan kawasan tersebut agar Negara dapat leluasa menjadikannya sebagai kawasan konservasi sekaligus turisme alam seperti Komodo yang dikelola oleh para pebisnis pariwisata demi mendapatkan income bagi pembayaran utang-utang negara yang uangnya digunakan untuk kepentingan pribadi melalui sejumlah korupsi dan kolusi… Oh putra-putri Mantigola dan Kaledupa, masa depan mu dalam pelukan remang-remang malam berselimutkan rinai-rinai gerimis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...