Minggu, 09 Juli 2017

JELAJAH INDONESIA. PULAU ROTE DAN NDANA: Menjejaki Tanah Para Leluhur

Perjalanan Oeseli ke Pulau Ndana
Awalnya, saya merencanakan perjalanan jelajah ke Pulau Sumba, yakni salah satu pulau besar di Provinsi NTT yang terkenal dengan budaya megalitik, kontras bentang alam bagian Timur dan Barat serta acara tahunan Pasola. Namun, rencana perjalanan jelajah tersebut bertepatan dengan rencana reuni 30 tahun SMA Negeri I, Kupang, Angkatan 86. Beberapa teman SMA mengajak saya ikut reuni dan karena telah hampir 30 tahun tidak bertemu beberapa teman dekat SMA, saya akhirnya mengubah rencana perjalanan jelajah Sumba menjadi perjalanan pulang kampung halaman di Kupang, ibukota provinsi NTT. Walau demikian, karena semangat menjelajah telah diniatkan, maka saya mengkombinasikan perjalanan ke reuni dengan jelajah daerah tertentu dekat Kupang dengan periode yang lebih pendek, karena harus membagi hari cuti dengan kunjungan ke rumah orang tua dan keluarga, reuni serta perjalanan jelajah. Setelah mencari berbagai informasi, akhirnya saya memutuskan untuk menjelajah Pulau Rote di bagian terselatan Indonesia yang merupakan tanah para leluhur saya dari garis ayah dan ibu.

Menggunakan pesawat Garuda, saya berangkat ke Kupang 4 hari sebelum tanggal reuni SMANSA 86. Karena kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan berjarak lumayan jauh dari Kota Kupang, yakni sekitar 2-3 jam perjalanan menggunakan mobil, maka saya menginap dan istirahat semalam di rumah adik perempuan saya di Desa Oesao, Kabupaten Kupang. Esok hari barulah saya melanjutkan perjalanan ke kampung halaman. Setelah menghabiskan 2 hari di kampung, saya kembali ke kota Kupang guna  mengikuti rangkaian acara reuni SMANSA 86 yang diagendakan berlangsung selama 3 hari. Untuk itu, saya menginap di salah satu penginapan di kota Kupang. Walau saya memiliki banyak keluarga dari pihak ayah dan ibu di Kota Kupang, namun saya memilih menginap di penginapan dengan pertimbangan tidak perlu merepotkan keluarga. Penginapan yang saya pilih terletak di dekat Pantai Tode, namanya. Dengan menginap di penginapan ini, saat saya bangun pagi, saya hanya perlu menyeberang jalan menuju tepian pantai untuk  menikmati matahari terbit menyibak kabut pagi diiringi deburan ombak yang menghempas tebing-tebing pantai. Di sore hari saat rehat beberapa jam dari acara reuni, saya menjelajah Pantai Namosain yang berjarak sekitar 3km dari penginapan saya. Di Namosain, saya dapat menikmati saat-saat berlalunya matahari digantikan malam. 

Akhirnya acara reuni yang penuh kegembiraan selesai dengan acara puncak berupa malam ramah tamah bersama para guru kami yang masih hidup dan tamu undangan lainnya serta pelantikan pengurus organisasi SMANSA 86. Sekitar 1 jam setelah selesai makan malam, saya kabur diam-diam kembali ke penginapan karena saya butuh istirahat guna memulai perjalanan jelajah saya di pagi hari ke Rote dan Ndana. Akses transpotasi ke Pulau Rote dapat menggunakan ferry, kapal cepat dan pesawat. Saya memilih menggunakan kapal cepat dengan pertimbangan lebih cepat tiba di tempat tujuan, namun masih dapat menikmati keindahan alam selama perjalanan Kupang - Rote. Dengan waktu tempuh yang lebih pendek, yakni sekitar 2 jam, maka harga tiket kapal cepat lebih mahal dari tiket ferry yang butuh waktu tempuh selama 4 jam dari Pelabuhan Bolok ke Pelabuhan Pantai Baru kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan mobil atau sepeda motor selama 30-45 menit dari Pantai Baru ke Ba'a yang adalah ibukota Kabupaten Rote-Ndao. 

Sekitar jam 6 pagi, angkutan kota yang saya pesan melalui staf hotel telah menjemput saya untuk diantar ke Pelabuhan Tenau yang menjadi tempat kapal cepat menurunkan dan mengangkut penumpangnya. Saat saya tiba di pelabuhan, loket tiket belum buka sehingga saya mampir ke salah satu warung kelontong yang telah buka. Warung ini juga menjual minuman seperti teh dan kopi bagi para pengunjung. Saya duduk di salah satu bangku di teras kios yang dilengkapi meja panjang. Saya memesan segelas teh panas lalu menikmati teh tersebut dengan santai sambil menunggu loket tiket dibuka. Bosan menunggu di warung, saya melangka ke wilayah terbuka tepi pantai yang bersebelahan dengan dermaga tempat kapal ferry dan kapal-kapal lainnya bersandar. Saya menjelajah sambil memotret dan menikmati pesona langit biru nan bersih menaungi ayunan gemulai lautan biru sekitar perlabuhan yang mengayun perlahan kapal-kapal dan perahu-peruhu nelayan di dermaga dan  pantai sekiarnya. Setelah puas menikmati alam sekeliling dermaga dari tempat terbuka tersebut, saya kembali ke warung meneruskan cicipan kenikmatan teh hangat. 

Sekitar jam 9, saya melihat gerbang dekat loket mulai dipadati para calon penumpang. Saya menghabiskan teh dan membayar lalu beranjak meninggalkan warung tersebut menuju loket tiket. Saat saya tiba, para calon penumpang berbagai usia telah berkerumun di depan loket. Tidak ada antrian tertib seperti antri di ATM atau tempat-tempat lain di Jakarta. Semuanya berkerumun dan berdesak-desakan satu sama lain dengan bau yang campur aduk tentunya :). Saya pasrah saja dan bergabung dengan kerumunan tersebut. Secara perlahan saya bergerak mengikuti gerakan kerumunan di depan mendekati loket tiket. Beberapa turis bule dengan tas ransel besar juga ikut bergabung di kerumunan saat saya menoleh sejenak mengamati seberapa besar kerumunan para calon penumpang di depan loket tiket tersebut. Hanya seorang petugas laki-laki yang melayani penjualan tiket. "Saya harus membiasakan diri dengan kerumunan seperti ini agar tidak kesal" pikir saya. "Ini Kupang bung, bukan Jakarta", saya mengingatkan diri sendiri sambil tersenyum kecut dan terus bergerak perlahan ke depan loket mengikut gerakan kerumunan para calon penumpang. Beruntunglah tidak ada saling dorong dan sikut.

Tangan-tangan perempuan dan laki-laki yang sedang memegang uang di depan loket secara bersamaan masuk melalui lubang loket sambil mengayun-ayunkan duit ke meja petugas. Petugas dengan sabar mengambil uang tersebut satu per satu dan menyerahkan kembaliannya bersama tiket. Saya akhirnya tiba di depan loket dan melakukan hal yang sama dengan calon penumpang lainnya. Setelah mengantongi tiket, saya berusaha keluar dari kerumunan dan masuk ke ruang tunggu. Terminal ini memiliki dua ruang tunggu yakni 1 di dalam gedung dan 1 di luar gedung. Saya berjalan mengikuti para calon penumpang ke ruang tunggu terbuka di luar. Ruang tunggu ini hanya diberi atap seng dan jejeran bangku. Seorang petugas menginformasikan kapal cepat tersebut akan berangkat jam 10 pagi sedangkan saya tidak melihat ada kapal cepat di dermaga. "Sebentar lagi kapalnya tiba", kata petugas saat saya mengutarakan rasa penasaran saya.

Beberapa bule yang saya lihat di loket tiket telah juga berada di ruang tunggu. Satu di antara mereka sepertinya berjalan sendiri. Kebetulan dia duduk di samping saya sehingga kami akhirnya ngobrol menghabiskan waktu. Namanya Nick, bekerja di kantor perwakilan KLM di Surabaya. Bahasa Indonesianya lumayan lancar karena telah berada di Indonesia selama 2 tahunan. Waktu cuti dan liburannya dihabiskan dengan menjelajah berbagai tempat di Indonesia. Ini merupakan waktu pertama dia ke Pulau Rote. Tujuannya adalah Pantai Nemberala untuk berselancar. Kami bertukar cerita tentang perjalanan jelajah kami masing-masing sampai kapal cepat tiba.

Suasana dalam dek bawah kapal cepat 
Selesai menurunkan para penumpang dari Pulau Rote, kami dipersilahkan naik. Satu demi satu meniti jembatan kecil selebar 50an cm yang mengubungkan kapal dengan daratan. Dengan hati-hati saya melangkah masuk ke dalam kapal yang memiliki 2 dek. Saya mencari-cari nomor kursi saya yang ternyata berada di samping lorong sehingga memudahkan saya keluar mengeksplorasi bagian dalam dan luar kapal. Tepat jam 10 pagi, kapal cepat yang saya tumpangi bergerak perlahan meninggalkan Pelabuhan Tenau di Kupang menuju Pelabuhan Ba'a di Rote. Seorang petugas kapal membagikan air mineral gelas dan sepotong roti dalam bungkusan plastik. Setiap penumpang mendapatkan 1 gelas air mineral dan 1 roti. Saya menyimpan jatah saya ke dalam ransel, lalu bergerak ke buritan kapal. Saat saya membuka pintu yang memisahkan buritan luar dengan dalam, saya melihat sejumlah penumpang sedang duduk memenuhi bagian terbuka ini. Di bagian ini juga terdapat warung kecil yang menjual indomie dan kopi mix sasetan. Saya memesan indomie untuk menghangatkan perut saya yang hanya terisi teh panas pagi tadi di warung kelontong di Pelabuhan Tenau.

Perjalanan Tenau (Kupang, Timor) ke Ba'a (Rote)
Selesai menikmati indomie, saya mulai mengeklporasi wilayah sekitar yang dilalui kapal. Sebelah kanan saya terhampar Pulau Semau, sedangkan di sebelah kiri saya masih terhampar garis pantai Pulau Timor. Setelah melewati Selat Puku Afu dimana kapal cepat agak oleng karena hempasan gelombang (Selat ini terkenal ganas yang telah menenggelamkan banyak sekali kapal kayu), pemandangan berganti dengan garis pantai Pulau Rote di kiri dan lautan lepas di kanan. Saat kapal melaju melewati garis pantai wilayah Rote Tengah yang memperlihatkan Batu Termanu, saya sempatkan selfie dengan latar belakang Batu Termanu yang merupakan salah satu legenda orang-orang Termanu yang merupakan para leluhur saya dari pihak ayah.  Saya tetap berada di buritan luar menikmati
Batu Termanu di Rote Tengah 
keindahan landscape tanah para leluhur saya hingga kapal hampir merapat di Pelabuhan Ba'a. Jejeran rumah diantara pepohonan sebagai penanda kota kecil yang terus mengeliat. Jejeran rumah berjejer dari tepi pantai hingga bukit-bukit yang berada di sekitar lokasi tersebut. Mercusuar warna putih terlihat mencolok di pelabuhan saat kapal cepat yang saya tumpangi mulai merapat ke dermaga. Mercusuar tersebut telah ada sejak era Belanda dan masih bertahan hingga saat saya menginjakan kaki di Pelabuhan Ba'a. "Saya harus foto dengan latar belakang mercuar tersebut", kata saya dalam hati.

Mercusuar dan Pelabuhan Ba'a, Rote
Saya mengikuti para penumpang lainnya turun melalui jembatan kecil yang menghubungkan kapal dengan dermaga. Puluhan orang berdiri di dermaga, mungkin para penjemput, pikir saya sambil berjalan ke luar dermaga mengikuti para penumpang lain. Saat saya telah menempuh setengah perjalanan menuju gerbang keluar, Deny yang adalah adik sepupu saya dari pihak ayah menelpon. Deni menanyakan posisi saya, saat saya bilang hampir tiba di gerbang, Deny mengatakan mobil yang akan saya sewa selama berada di Rote telah menjemput. Mobil tersebut disopiri pemiliknya yang adalah rekan kerja Deny. Deny menginformasikan bahwa pemilik mobil telah berada di dermaga dekat kapal. Saya sampaikan ke Deny agar menyampaikan ke pemilik mobil untuk bertemu di depan gerbang saja karena saya telah dekat gerbang. Tiba di gerbang, saya mencara tempat teduh guna menghindari sengatan matahari yang cukup terik di siang hari sekitar jam 1. Tak lama menunggu, saya bertemu pemilik mobil yang mengambil alih koper saya dan berjalan duluan menuju mobil. Saya minta diantar ke restoran atau warung terlebih dahulu untuk mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan.

Menu makan siang di Ba'a 
Sekitar 15an menit kemundian kami telah tiba di warung.... Denny telah menunggu di warung tersebut karena telah diinformasikan oleh temannya. Setelah menghabiskan waktu bersama selama 30an menit menghabiskan nasi campur masing-masing bersama es teh manis, saya pamitan ke Denny kemudian melanjutkan perjalanan bersama Yani Tulle (laki-laki) yang bertindak sebagai sopir, teman dan fotografer selama perjalanan jelajah saya di Pulau Rote. Dari warung, saya dan Yani bertolak ke pom bensin terlebih dahulu. Setelah bensin terisi penuh, mobil dipacu ke daerah Rote Barat Daya atau yang dikenal dengan nama Rote Tii. Tujuan perjalanan kami saat ini adalah pantai Oeseli di wilayah Rote Barat Daya.

Pantai Batutua
Dalam perjalanan, Yani menawari saya mampir ke pantai Batutua, ibukota kecamatan Rote Barat Daya yang juga merupakan daerah asal ibu saya. Dengan senang hati, saya mengiyakan ajakan Yani. Kami tiba sekitar 1 jam kemudian dihitung dari waktu kami meninggalkan warung makan di kota Ba'a, ibukota Kabupaten Rote Ndao. Setelah memarkir mobil, saya dan Yani turun dan berjalan ke pantai. Kami berdua menyusuri pantai yang sangat sepi. Hanya terlihat sekelompok anak kecil sedang mandi dan bermain di pantai yang kami susuri. Melihat saya menenteng kamera, anak-anak tersebut dengan tertawa gembira berteriak minta difoto. Dengan senang hati, saya berhenti beberapa saat memotret mereka lalu mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan menyusuri pantai hingga saya dan Yani tiba di dermaga yang masih dalam tahap pembangunan. Pantai dan dermaga ini menjadi obyek foto-foto saya. Setelah menghabiskan 1 jam di tempat ini, saya dan Yani melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan semula, yakni Pantai Oeseli.

Perjalan ke Batutua
Dalam perjalanan Batutua - Oeseli, Yani menceritakan keindahan Pulau Ndana - yang saya telah tahu sedikit informasinya dari cerita-cerita orang tua dan juga dari internet. Cerita-cerita Yani membuat saya tertarik menjelajah pulau ini. Saya mengajak Yani mencari perahu nelayan yang dapat menyeberangkan kami ke pulau tersebut sehingga Yani mengarahkan mobil ke pelabuhan rakyat Desa Oeseli.  Setelah menempuh perjalanan sekitar 30an menit dari Batutua, kami tiba di satu kampung nelayan yang menjadi pembatas dengan pelabuhan rakyat di belakang kampung tersebut. Yani memarkir mobil di jalan depan masjid kecil yang terletak di sebelah kiri kami. Di tempat ini, saya kemudian mengetahui adanya pos para marinir dan tentara yang menjaga Pulau Ndana. Kami mencari informasi perahu nelayan ke seorang lelaki tua yang tiduran di satu bangku kayu di tetiris luar masjid. "Harganya 1 juta rupiah PP ke Pulau Ndana" kata si pak tua, saat saya menanyakan harga sewa perahu untuk mengantar dan menjemput kami. Lelaki tersebut bangun dan berjalan ke arah berlawanan dari jalan yang telah kami lalui sambil mengajak kami mengikuti dia. Kami tiba di satu rumah tembok yang dikeliling pagar dari pelepah kelapa kering. Yani membuka gerbang dan masuk, diikuti oleh saya. Sedangkan pak tua mengambil jalan samping dan masuk ke dalam kompleks melalui pintu lain di samping rumah pemilik perahu.

Landscape Batutua
Pemilik perahu menyambut kami di depan rumahnya. Setelah saling mengucapkan salam sambil jabatan tangan, kami diajak masuk ke ruang tamu berukuran sekitar 3 x 3 meter. Setelah duduk dan memperkenalkan diri, saya menanyakan ongkos antar jemput sekaligus tawar menawar dengan pemilik perahu bernama Ardin. Akhirnya, saya dan Pak Ardin sepakat di harga 500 ribu rupiah antar jemput Oeseli - Pulau Ndana. Dari obrolan kami, saya mengetahui asal usul pak Ardin, yakni dari Bulukumba di Sulawesi Selatan. Pak Ardin telah tingal di Oeseli puluhan tahun. "Kita harus minta izin ke pos  terlebih dahulu", kata pak Ardin. "Dimana", tanya saya. "Dekat masjid, jawab pak Ardin sambil mengajak saya dan Yani ke pos jaga.

Oeseli 
Kami tiba di "pos jaga" para penjaga Pulau Ndana yang merupakan satu rumah sangat sederhana seluas 30an meter persegi. Rumah beratap seng, berdinding pelepah dan berlantai semen tersebut sepertinya agak miring. Dua orang pria bermuka "gelap dan sangar" dan berkaca mata hitam pekat menyambut kami di halaman pos yang tidak berpagar tersebut. Hanya potongan rambut dan badan mereka mengindikasikan mereka orang-orang terlatih di militer. Gaya pakaian dan rumah yang menjadi pos atau lebih tepat disebut rumah singgah tersebut tidak menunjukan adanya tanda-tanda militer sama sekali. Pak Ardin menjelaskan maksud kedatangan kami ke pos tersebut. Setelah menanyakan nama dan asal, satu dari kedua pria yang berkumis tebal, bermana Dwi menginformasikan ke kami bebarapa hal terkait perjalanan ke Pulau Ndana dan izin bagi para pengunjung, termasuk bermalam di barak militer di pulau yang menjadi pos sekaligus pusat komando penjaga perbatasan paling selatan Indonesia. "Kami juga akan berangkat ke pulau sore ini, namun masih menunggu dua anggota yang sedang ambil bekal ke  Ba'a", lanjut Dwi, laki-laki berkumis tebal tersebut. "Kalo begitu, kami jalan-jalan aja dulu", kata saya. "Ok pak, tinggalin nomor telp aja, ntar saya telpon kalo anggota kami telah tiba", balas teman Dwi. Saya meminta Yani meninggalkan nomor HPnya, lalu kami berdua pamit untuk mengisi waktu menjelajah pantai Oeseli di sisi lain.

Oeseli 
Yani mengarahkan mobil ke luar dari kampung nelayan tersebut. Saat tiba di suatu pertigaan, mobil belok kiri menyusuri jalanan kampung beraspal kasar selebar 2 meteran dengan lubang di sana sini. Kami melewati  deretan rumah-rumah penduduk yang dipagari menggunakan pelepah pohon nira (disebut pohon tuak di Timor dan Rote). Sekitar 15 menit mengarungi jalan rusak tersebut, kami tiba di semacam savana terbuka. Yani membelokan mobil ke kiri menyusuri jalan tanah berwarna coklat yang tercetak jelas di savana tersebut. Beberapa sapi dan kuda terlihat merumput di situ. Kami terus melaju ke kawasan pantai yang telah terlihat dari jalanan saat Yani belok kiri. Saat kami tiba, satu kelompok keluarga sedang lesehan di bawah bayangan karang besar yang memiliki lubang seukuran badan 3 - 4 orang dewasa berdiri berjejer. Lubang ini menjadi semacam pintu yang harus dilewati pengunjung agar tiba di pantai di sebelah karang besar tersebut. Keluarga ini sedang lesehan di beberapa helai tikar pandan sambil menikmati makanan dan minuman. Saya menyapa selamat siang sambil tersenyum dan mengangguk ka arah mereka serta mengucapkan permisi melewati  mereka ke belakang karang besar tersebut.

Oeseli 
Selain pasir pantai bersih berwarna khaki, pantai ini juga dihiasi jejeran karang abu-abu gelap yang tersebar sepanjang pantai. Pantai ini terhalang gugusan karang besar yang menjadi tempat istirahat keluarga yang telah dilewati saya dan Yani. Beberapa pengunjung sedang bermain air dan pasir serta berfoto di garis pantai yang sedang saya amati dan nikmati. Pulau Ndana yang menjadi tujuan kami sore ini terlihat di kejauhan. Air biru jernih berpadu buih-buih putih ombak saling berkejaran lalu menghempas ke pantai tempat saya sedang duduk menikmati semilir angin laut yang seperti mendinginkan panas terik matahari sekitar jam 3 siang. Langit biru cerah dihiasi sebaran awan-awan putih bersih menciptakan lukisan alam luar biasa yang tak dapat digambarkan secara sempurna melalui tulisan dan foto. Puas menikmati sisi pantai ini, Yani mengajak saya pindah tempat ke sisi lain karang karang tersebut.
Oeseli
Saya harus melangkah hati-hati karena karang-karang yang berada di bawah pasir bisa melukai kaki saya kapan saja. Saat kami sedang menikmati pantai sebelah, Yani menerima telpon dari salah seorang marinir. Mereka meminta kami segera kembali ke kampung nelayan, karena teman mereka telah tiba sehingga semuanya siap berangkat ke Pulau Ndana.

Saya dan Yani kembali ke mobil dan melaju kembali ke pelabutan rakyat Pantai Oeseli di belakang kampung nelayan yang telah kami tinggalkan sekitar 2  jam silam. Saat tiba, para marinir dan tentara sedang bersiap-siap ke pantai. Saya berganti celana pandek dan juga sandal. Kami meninggalkan sepatu dan koper di mobil.

Oeseli
Saya hanya membawa 1 kaos, pakaian dalam, celana panjang dan perlengkapan mandi yang semuanya saya masukin ke tas jinjing yang selalu saya siapkan di koper. Yani membantu membawa tas tersebut ke perahu, sedangkan saya membawa tas kamera dan tripod. Para marinir dan tentara telah mendahului kami dan menunggu di atas perahu pak Ardin yang saya sewa PP. Mereka malah berteriak-teriak agar kami mempercepat langkah kami. Saya dan Yani berlari-lari kecil hingga tiba di tepi pantai lalu mulai masuk ke air setinggi mata kaki yang terus meninggi sampai paha saat kami mencapai perahu. Tas kamera dan pakian kami simpan ke ruangan kecil di atas perahu yang menjadi penyekat antara bagian tengah hingga anjungan dengan Pak Ardin sebagai pengemudi perahu. Plastik-plastik bahan pangan, termasuk sayuran juga di taruh dalam ruangan kecil tersebut. Semua penumpang perahu, termasuk saya dan Yani duduk lesehan di atas perahu di bagian tengah hingga anjungan. Dwi dan seorang temannya malah berdiri di anjungan.

Bersama para marinir dan tentara menuju Pulau Ndana
Saat perahu melaju meninggalkan pantai, ombak menghempas-hempas dari depan, kiri dan kanan. kadang air laut tampias masuk ke dalam kapal, terutama di bagian terbuka yang ditempati penumpang. Beruntung, saya telah menyiapkan diri dengan baik sehingga HP telah saya masukan ke kantong khusus berbahan plastik tebal yang saya beli di salah satu toko asesoris HP di Jakarta. Para marinir dan tentara bercanda, bernyanyi dan kadang seperti berbicara ke saya. Namun, saya tidak bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan karena kebisingan suara motor perahu yang terus membelah lautan dari Oeseli menuju Pulau Ndana. Hempasan gelombang semakin kuat sehingga ciptratan air yang masuk ke perahu juga semakin banyak dan tinggi. Kami mulai basah kuyup, namun para tentara dan marinir
Oeseli - Ndana
terus bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Awalnya saya kuatir dengan hempasan gelombang-gelombang besar bersama siraman air yang masuk ke perahu. Namun melihat para marinir dan tentara yang tenang-tenang saja, saya akhirnya ikut tenang dan mulai menikmati perjalanan kami. Mungkin karena tekanan kami yang duduk bersandar ke dinding kaca ruangan kecil yang menjadi tempat penyimpanan barang-barang kami terlalu kuat, kaca tersebut pecah berantakan. Saya dan 3 marinir yang bersandar ke dinding kaca tersebut hanya menoleh sesaat lalu menggeser tubuh kami agak menjauh dari dinding yang telah bolong tersebut. Sampai saya kembali dari Pulau Ndana ke Oeseli, Pak Ardin tidak minta ganti rugi atas kaca yang pecah tersebut. Padahal saya telah siap memberikan ganti rugi tersebut jika diminta :).

Karang depan Pulau Ndana dilihat dari Pantai Oeseli
Perahu nelayan milik Pak Ardin terus melaju membelah lautan Hindia yang memisahkan Pulau Rote dan Pulau Ndana.  Gelombang warna biru gelap terus bergulung-gulung tak henti. Makin ke tengah, gelombang semakin tinggi dan ganas.  Perahu terangkat dan terhempas sedalam 2-3 meter bersama semburan air laut bagaikan hujan deras menyirami semua yang ada dalam perahu, termasuk saya yang duduk diantara para marinir dan tentara. Para marinir dan tentara tak peduli karena telah terbiasa. Mereka terus asyik bercanda satu sama lain, sementara saya hanya duduk diam menunggu kapan kami tiba di tempat tujuan. Keahlian Pak Ardin mengendalikan perahu dalam cengkeraman gelombang sangatlah luar biasa. Walau Pulau Ndana telah terlihat, namun ternyata perjalanan kami harus memutari seperempat pulau ke pantai berpasir landai yang cocok untuk pendaratan.

Bersambung...



 

2 komentar:

  1. Sukses dan terus menjelajahi pulau pulau indonesia bang. Kami salah satu orang yang canda tawa saat kita menuju pulau ndana yang sangat indah. Salam Hormat dari kawan kawan.

    BalasHapus
  2. wah makasih mas Elham. salam buat teman2 jika masih bertugas di Pulau Ndana. salut atas bakti semuanya demi nusa dan bangsa 🙏🏻👌☺️

    BalasHapus

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...