Jumat, 11 September 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL JAMBI: Museum Negeri Jambi, Museum Perjuangan, Pasar Keramik dan Jembatan Makalam

Jembatan Makalam
"Kita cari makan dulu saat tiba di Kota Jambi", kata saya ke Nodi saat kami dalam perjalanan balik dari Muaro Jambi ke Kota Jambi. "Bapak ingin makan apa", tanya Nodi membalas. "Makanan khas Jambi", kata saya. Kami melewati jalan yang sama saat kembali ke Kota sekitar jam 12 siang. Sekali lagi kami melewati jembatan Aur Duri II dengan kanopi anyaman baja yang terlihat megah menaungi jembatan dan jalan di bawahnya. Kami terus bercakap-cakap sepanjang jalan hingga kami tiba di restoran Bi'Cik namanya. Retoran ini beratap rumbia dengan dinding setengah terbuka. Saat saya dan Nodi telah duduk didalam restoran tersebut terasa sejuk tanpa penggunaan AC di siang terik itu. Sebagaimana layanan di restoran Padang, restoran Bi'Cik juga memberikan layanan dengan
Jembatan Aur Duri II
menghidangkan hampir semua jenis makanan yang dijualnya. Walau demikian, saya memesan ikan gabus pindang - yang kata Nodi merupakan salah satu makanan khas Jambi. Karena ikan merupakan salah satu menu favorit saya, maka menikmati ikan gabus pindang itu sesuatu banget bagi saya saat itu. Kami menghabiskan waktu sekitar 45 menit di restoran ini untuk makan siang sekaligus beristirahat sebelum melanjutkan ke tempat kunjungan lainnya.

"Kita ke museum Negeri Jambi terlebih dahulu karena lebih dekat jaraknya dari restoran ini",  kata Nodi saat kami telah kembali ke mobil. "okay saja, kamu yang memimpin karena telah mengetahui Jambi", balas saya. Saat tiba di museum, sepertinya hanya kami pengunjung saat itu. Nama yang tertulis adalah Museum Siginjei, bukan Museum Negeri Jambi seperti dikenal publik. "Namanya telah diganti", kata Nodi menjelaskan ke saya tanpa saya tanya saat kami tiba dan saya memotret nama museum di atas pintu masuk. Saya hanya mengangguk dan terus melangkah masuk ke bangunan museum. Di dalam petugas loket sedang bercakap-cakap dengan seorang pedagang minuman yang terlihat membawa minuman dingin berbagai jenis dan meletakannya di meja jaga. Saya membeli 2 tiket masuk seharga 2000 per tiket. Museum ini menyimpan berbagai koleksi dan informasi tentang jambi, antara lain informasi tentang candi-candi Muaro Jambi, rumah adat, alat pertanian dan perikanan, flora dan fauna serta pembuatan batik Jambi. Semuanya ditata rapi dan dipamerkan di 3 lantai gedung museum tersebut. Saya dan Nodi mulai dari lantai dasar sebelah kiri. Di pintu masuk ruangan terlihat 1 harimau Sumatera dalam kotak kaca yang telah dikeringkan. Dari lantai 1, kami beralih ke lantai 2 lanjut ke lantai 3 kemudian turun dri sebelah kanan yang mengantar kami ke suatu ruangan lain di lantai dasar sebelah kanan.
Salah satu ruangan Museum Negeri Jambi
Ruangan ini diberi karpet merah dan para pengunjung harus melepaskan alas kakinya saat akan memasuki ruangan tersebut. Saya dan Nodi menghabiskan sekitar 1 jam di museum ini lalu kembali ke mobil di tempat parkir. Dari museum Negeri Jambi, kami beralih ke Museum Perjuangan Rakyat Jambi yang terletak sekitar 5 menit dari museum Negeri Jambi.

Museum Perjuangan juga sepi saat kami memasuki pintu depan. Hanya seorang petugas dan seorang security sedang nonton tv di ruang depan dalam jarak beberapa meter dari meja karcis. Petugas karcis meninggalkan tv dan mengambil 2 lembar karcis masing-masing seharga 2 ribu rupiah sehingga saya membayar 4ribu rupiah bagi saya dan Nodi. Sebelum berkeliling ke dalam museum, saya sempatkan meminta petugas untuk foto bersama saya di depan patung
Museum Perjuangan
seorang tokoh setempat yang diapit 2 ekor singa. Museum ini terdiri dari 3 lantai yang semuanya memamerkan informasi dan foto-foto terkait perjuangan rakyat dan para elit setempat sebelum perang kemerdekaan, dalam perang kemerdekaan sampai dengan pembangunan provinsi Jambi. Kedua sisi dinding lantai pertama dipenuhi foto, lukisan, informasi tertulis hingga bentuk-bentuk senjata seperti keris, senapan dan pistol. Lantai kedua diisi oleh diorama, terutama tentang perlawanan rakyat Jambi di berbagai tempat terhadap Belanda. Lantai 3 diisi dengan dokumen-dokumen dalam kotak-kotak kaca, foto dan informasi pembangunan rumah-rumah ibadah seperti mesjid, gereja dan vihara di Jambi. Salah satu dinding yang menghadap ke tangga dihiasi foto-foto para gubernur Jambi sejak era kemerdekaan sampai dengan yang terbaru di tahun 2015.

Pasar Keramik
Selesai dari Museum Perjuangan, kami beralih ke Pasar Keramik. Pasar ini tersembunyi dalam gang-gang ruko. Sepertinya hanya orang Jambi yang mengetahui lokasi Pasar Keramik ini. Nodi memarkir mobil di jalan yang diapit oleh ruko-ruko tua. Nodi membaya saya memasuki satu gang yang depannya ada warung tenda berwarna biru. Saya dan Nodi berjalan sekitar 20an meter menyusuri gang tersebut. Saat tiba di ujung gang yang kami susuri, gang tersebut terhubung dengan gang-gang lain yang dipenuhi jejeran kios yang didominasi barang dagangan keramik aneka bentuk dan warna dari Cina. Saya dan Nodi masuk keluar beberapa kios melihat-lihat sekaligus mencari souvenir yang bisa saya beli. Akhirnya saya mendapatkan 3 souvenir berbentuk pot dengan hiasan berbeda-beda, berwarna keemasan yang
Pasar Keramik
dilapisi pasir halus krem. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di pasar ini berpindah dari satu kios ke kios lain mengamat-amati keramik-keramik yang dijual maupun mengamati para pengunjung lain yang hanya sekedar berjalan-jalan atau sedang tawar menawar barang yang ingin dibeli.

Enaknya punya pemandu lokal seperti ini. Saya dibawa Nodi ke Pasar Keramik yang tidak saya ketahui informasinya melalui internet. Dari Pasar Keramik, Nodi mengajak saya mengunjungi Jembatan Makalam, yakni jembatan yang menarik karena gaya arsitektur dan warna catnya. Saya mengiyakan saja, karena ternyata Pasar Keramik yang tidak ada dalam agenda saya cukup menarik dikunjungi atas ajakan Nodi. Namun saya juga ingin melihat Klenteng Hok Tek yang telah dijadikan benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Daerah Jambi. "Kita akan melewati jalan depan Klenteng saat ke Jembatan Makalam sehingga kita bisa mampir, kata Nodi. "Sipp", balas saya. Sekitar 5 menit bermobil dari Pasar Keramik, Nodi memarkir mobil di pinggir jalan dan menunjuk satu bangunan mungil bercat putih
Klenteng Hok Tek
dalam pagar terkunci di tepi sungai. Pagar tembok yang mengeliling Klenteng dibangun setinggi Klenteng sehingga orang yang tidak memiliki tujuan ke tempat tersebut, pasti tidak akan menyangka adanya klenteng dan cagar budaya tersebut. Karena tidak bisa masuk (gerbang terkunci dan tidak ada petugas jaga), saya hanya bisa mengambil beberapa foto dari luar pagar tanpa bisa melongok isi Klenteng berwarna putih dengan aksen merah dan hijau tersebut.





Jembatan Makalam
Dari Klenteng Hok Tek, kami menuju Jembatan Makalam - yang terlihat indah bagi saya. Kata Nodi, jembatan ini sering digunakan untuk foto pre wedding, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Mungkin benar, karena warna dan arsitektur jembatan tersebut seperti warna dan arsitektur di kuil atau klenteng yang didominasi warna-warna merah. Dinding jembatan terbuat dari ratusan tiang kecil berbentuk seperti pion-pion permainan bowling yang semuanya dicat merah, sedangkan bagian pemisah diberi warna hitam. Nama jembatan ini berasal dari nama Gubernur pertama Jambi yang memerintah tahun 1946 - 1948. Jembatan selesai dibangun pada tahun 2010 dengan panjang 500 meter dan lebar 10 meter melintasi sungai Batanghari yang merupakan alternatif penghubung jalan Makalam lama ke Simpang Kapuk. Setelah melihat-lihat dan memotret beberapa bagian jembatan tersebut, termasuk memotret Menara Air dari kejauhan, saya dan Nodi kembali ke mobil. Kami meneruskan perjalanan ke Menara Air - yang merupakan bangunan peninggalan Belanda. "Kita balik lagi ke sini saat malam sehingga bisa lihat perbedaan jembatan ini di waktu siang dan malam", kata Nodi saat kami beranjak meninggalkan Jembatan Makalam.

Bersambung...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...