Jumat, 08 Mei 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung

Bersama anak sekolahan di depan Batu Batikam
"Foto-foto", teriak anak-anak SD berseragam pramuka ke saya saat mereka berhamburan memasuki kawasan cagar budaya Batu Batikam di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Sambil tertawa lebar, saya meminta mereka berkumpul di prasasti batu alam yang dikenal sebagai Batu Batikam dalam legenda Minang. Saya meminta bantuan ibu penjaga tempat wisata tersebut memotret saya dan sekumpulan bocah yang tersenyum, tertawa dan berceloteh gembira. Jangan tutupin batunya, kata perempuan itu yang kemudian sibuk mengatur para bocah yang berebutan ingin foto bersama. Selesai berfoto dengan para bocah lelaki, saya menawarkan foto bersama antar anak-anak itu bersama para gurunya yang menemani mereka saat itu. Semua mengiyakan sehingga saya menjadi fotografer mereka mengabadikan momentum kunjungan saya dan mereka ke tempat tersebut.

Batu Batikam 
Batu Batikam berada dalam satu kompleks cagar budaya yang terletak di Kampung / Jorong Dusun Tuo, Desa / Nagari Lima Kaum, Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Kompleks cagar budaya seluas 1.800 meter persegi tersebut terletak di pinggir jalan raya yang terhubung ke lokasi Istana Pagar Ruyung.  Batu Batikam merupakan suatu batu andesit berwarna abu-abu gelap berbentuk hampir segitiga dengan lubang di tengahnya. Legenda setempat menceritakan bahwa lubang tersebut merupakan hasil tusukan / tikaman keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang sebagai tanda mengakhiri pertikaian antara Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan saudara tirinya bernama Datuak Katamanggungan. 

Konon, Datuak Parpatiah Nan Sebatang dan Datuak Katamenggungan berasal dari rahim ibu yang sama dengan ayah yang berbeda. Ayah Datuak Parpatiah Nan Sebatang merupakan seorang aristokrat atau cerdik pandai, sedangkan ayah Datuak Katamanggungan adalah seorang otokrat atau raja berpunya. Kedua pemimpin tersebut bertengkar hebat pada masa hidup mereka karena berbeda pendapat tentang cara mengatur rakyat. Datuak Parpatiah menginginkan pengaturan yang demokratis, sedangkan Datuak Katemanggungan menginginkan pengaturan yang hirarkis atas ke bawah. Untuk
Anak-anak dan para guru mereka 
mengakhir pertengkaran sekaligus mencegah terjadinya perkelahian antar kedua bersaudara tersebut, keduanya bersama para tokoh adat lainnya melakukan musyawarah dan menyepakati pengaturan rakyat melalui penerapan dua sistem yang demokratis dan hirarkis secara bersama-sama pada suku masing-masing, yakni Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kesepakatan tersebut dimateraikan dengan cara menikam batu andesit menjadi prasasti / tanda peringatan bagi para keturunan mereka sampai dengan saat ini. Kesepakatan penerapan dua sistem pengaturan tersebut tercermin juga pada atap rumah gadang, yakni bagi suku yang menerapkan pengaturan hirarkis, atap rumahnya dibuat bertumpuk-tumpuk, sedangkan suku yang menerapkan pengaturan demokratis, atap rumahnya tidak dibuat bertumpuk. Saya  mendapatkan informasi tambahan tentang perbedaan atap rumah gadang (betumpuk dan tidak bertumpuk) suku-suku Minang dari guide di istana Pagar Ruyung. 

Di area Batu Batikam juga terdapat puluhan batu berbentuk kursi - menurut ibu penjaga situs, kursi-
Kursi-kursi batu mengelilingi Batu Batikam
kursi batu tersebut merupakan tempat duduk para datuk dan tokoh adat lainnya yang mengikuti musyawarah perdamaian Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan Datuak Katamanggungan. Di bagian belakang agak ke kiri dari jejeran prasasti batu peninggalan era neolitikum tersebut terdapat satu pohon beringin besar berdaun rimbun yang telah berusia ratusan tahun. Ranting dan daun-daun pohon beringin itu membentuk semacam kanopi / atap yang melindungi jejeran kursi batu dan Batu Batikam dari sinar matahari.
Kuburan Lima Kaum
Selain itu, dalam jarak sekitar 50an meter dari jejeran prasasti batu tersebut ke arah kiri terdapat 5 kuburan batu yang dikenal sebagai kuburan Lima Kaum yang menjadi nama Nagari / Desa yang menjadi lokasi cagar budaya Batu Batikam. Konon kelima kuburan tersebut merupakan kuburan keturunan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katemanggungan. Sejarah dan cerita legenda Batu Batikam dan Kuburan Lima Kaum tertulis pada papan informasi yang terpasang dekat prasasti Batu Batikam dan juga di belakang papan nama cagar budaya Batu Batikam. Memasuki kawasan cagar  budaya ini tidak dipungut bayaran alias gratis. Namun saya memberikan donasi sebesar 20ribu ke perempuan penjaga yang telah merawat dan memelihara kawasan cagar budaya tersebut sehingga terlihat bersih, apik dan adem. Cagar budaya Batu Batikam tidak menyediakan tempat parkir, karena itu mobil saya dan Jasman serta 3 angkot yang digunakan rombongan anak SD bersama guru mereka diparkir berjejer di tepi jalan di luar kompleks cagar budaya tersebut.

Berpose di bawah pohon beringin berusia ratusan tahun
Setelah menikmati kawasan cagar budaya Batu Batikam dan legendanya sekitar 40 menit, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Dari lokasi Batu Batikam, mobil berjalan lurus menyusuri jalan beraspal mulus dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Nagari Lima Kaum ke lokasi istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas. Kami tiba sekitar jam 11.30 siang di jalan depan pagar istana. Jasman menurunkan saya di depan loket karcis di samping gerbang kompleks. Jasman membelokan mobil ke kanan menyeberangi jalan depan pagar istana ke tempat parkir di seberang jalan. Di tempat parkir tersebut bejejer puluhan kios souvenir yang membentuk huruf U. 

Depan istana Pagar Ruyung
Saya menghampiri loket tiket dan menyerahkan 20ribu rupiah ke perempuan muda berjilbab yang menjaga loket. Saya menerima tiket seharga 7ribu rupiah dan uang kembalian 13ribu rupiah. Saya berjalan ke pintu gerbang yang dijaga 4 security berseragam safari lengan pendek warna hitam. Saya menyerahkan tiket ke salah satu security yang menyobeknya menjadi dua lalu menyerahkan 1 sobekan ke saya sebagai bukti. Setelah meninggalkan para security lalu mulai memotret istana yang terlihat berdiri megah puluhan meter di dalam kompleks seluas 3,5 hektar. Saya terus berjalan melewati beberapa tangga dari gerbang menuju istana. Sebelum tiba di istana, saya dihampiri 2 badut - yang mana satu diantaranya mengenakan replika pakian adat perempuan Minang. Kedua badut ini menawarkan foto bersama dengan bayaran 5ribu rupiah untuk 3 foto.
Depan Istana Pagar Ruyung
Why not, pikir saya yang langsung mengiyakan ajakan mereka. Kami meminta seorang tukang foto keliling memotret kami bertiga yang bergaya di depan istana. Selesai dipotret, saya menyerahkan selembar 10ribu rupiah ke salah satu dari mereka dan meminta mereka membagi duit tersebut. Saya terus melangkah hingga tiba di tangga bangunan istana. Semua pengunjung diwajibkan melepaskan alas kaki di tangga istana. Saya melepaskan sepatu dan kaos kaki yang kemudian diambil seeorang petugas dan memasukannya ke dalam satu kantong plastik berwarna kehijauan. Untuk jasa tersebut, pengunjung diminta memberikan donasi sekedarnya dengan cara memasukan uang ke kotak donasi yang disediakan di tangga tempat sandal dan sepatu ditinggalkan. Donasi diberikan saat telah selesai mengunjungi istana lalu keluar mengambil sepatu atau sandal yang ditinggalkan dalam plastik yang dijaga 2 orang laki-laki. 

Istana Pagar Ruyung yang dibangun tahun 2007
Istana Pagar Ruyung merupakan bangunan berbentuk rumah panggung 3 lantai. Di depan pintu masuk lantai pertama tersedia meja registarasi yang dijaga 2 perempuan muda berjilbab. Saya menghampiri mereka dan mengisi buku tamu di atas meja yang dijaga kedua perempuan tersebut. "apakah bapak mau menggunakan jasa guide", tanya salah satu perempuan. Seperti melihat keraguan saya, temannya menambahkan "gratis pak, tidak perlu bayar lagi". Melihat saya tersenyum dan mengangguk, seorang laki-laki berpakaian rapi serta berkacamata menghampiri saya. Kami bersalaman dan berkenalan satu sama lain. Yose, kata laki-laki tersebut, Jo, balas saya. Kita mulai
Kamar istrahat Raja 
dari sisi ini, kata Yose mengarahkan saya ke sisi kiri lantai 1 istana. Kita berada di lantai 1 istana yang terdiri dari 3 lantai, lanjut Yose. Ruang di depan kita merupakan ruang istrahat raja, kata Yose menunjuk ke kamar di depan kami yang pintunya ditutupi 7 lapis kain dari depan pintu kamar hingga ke dalam. Lapisan-lapisan kain tersebut memiliki makna budaya terkait sejarah keberadaan kerajaan dan suku-suku di ranah Minang. Semua warna berbalut warna dan motif keemasan yang sangat dominan dalam budaya Minang.

Dari kamar istirahat raja, kami berpindah ke kamar tidur raja dan melanjutkan ke jejeran kamar-kamar anak perempuan raja yang telah bersuami hingga tiba di kamar bundo kanduang yang berhadap-hadapan / berlawanan arah dengan kamar istirahat dan kamar tidur raja. Semua kamar tersebut berjejer membentuk huruf U dimana pada sisi kiri istana ditempati raja, tengah ditempati anak-anak perempuan yang telah berkeluarga dengan urutan kamar anak sulung dekat ke kamar raja hingga anak perempuan termuda yang dekat ke kamar bundo kanduang. Di bagian tengah-tengah dari jejeran kamar anak-anak perempuan terletak singgasana berupa bantalan-bantalan kursi
Jejeran kamar anak perempuan yang telah menikah
yang diberi tirai di sisi kiri dan kanannya. Singgasana hanya ditempati oleh bundo kanduang, bukan raja karena sistem kekerabatan matrialkat / garis perempuan dalam adat Miang, kata Yose. Saya hanya mengangguk-angguk. Dimana kamar anak laki-laki, tanya saya ke Yose. Anak laki-laki tidak tinggal di istana. Semua anak laki-laki tidur dan beraktifitas di surau, jelas Yose. 

Kita ke lantai 2, ajak Yose. Kami menaiki tangga kayu berwarna coklat ke lantai 2. Berbeda dengan pengaturan di lantai 1, lantai 2 berbentuk aula tanpa kamar-kamar. Lantai 2 diperuntukan bagi anak-anak perempuan yang belum bersuami. Di ruangan inilah mereka melakukan aktivitas hariannya seperti menenum, bercengkrama,  makan dan minum. Dari lantai 2, kami
Singgasana Bundo Kanduang
meneruskan penelusuran ke lantai 3 yang mana ukuran ruangannya terlihat lebih kecil dari ruangan di lantai 2 dan lantai 1. Dalam ruang berdinding papan - yang telah diukir motif dan dicat warna-warna khas Minang, yakni hitam, merah dan kuning - terdapat pajangan beberapa pusaka kerajaan seperti tombak, pedang, senapan dan juga pistol buatan Belanda sebagai simbol adanya interaksi antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Belanda pada masa lalu. 3 kursi berwana coklat yang terbuat dari paduan rotan dan kayu terlihat mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kayu dan marmer putih. Menurut Yose, ketiga kursi tersebut merupakan replika tempat duduk 3 raja yang mengurus rakyat dan wilayah Minang, yakni Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadah. Ketiganya akan bertemu, berdiskusi dan mengambil keputusan-keputusan penting di lantai 3 istana yang menjadi tempat kediaman Raja Alam. Raja Adat dan Raja Ibadah tinggal di tempat lain di wilayah berbeda dalam wilayah kekuasaan kerajaan Pagar Ruyung. 

Dari lantai 3 kami kembali ke lantai 2. Sebelum turun ke lantai 1, saya berhenti sejenak di salah satu jendela lantai 2 untuk memotret pemandangan bukit dan sawah di belakang istana. Yose terus menemani saya. Itu contoh rumah gadang Koto Piliang dan Bodi Chaniago - 2 suku utama yang
Replika meja dan kursi rapat Raja Alam, Adat dan Ibadah
menjadi cikal bakal suku-suku di tanah Minang. Apa perbedaan kedua rumah adat tersebut, tanya saya. Atap yang disebut gonjong kedua rumah gadang itu berbeda. Atap bertumpuk seperti itu, kata Yose - sambil menunjuk rumah gadang dengan atap bertumpuk - merupakan lambang sistem pemerintahan adat secara hirarkis atau berjenjang dari atas ke bawah. Di sebelahnya, rumah gadang tanpa atap bertumpuk yang merupakan cerminan sistem pemerintahan demokratis di tanah Minang. Informasi Yose mengingatkan saya pada cerita ibu penjaga situs budaya Batu Batikam.

Kami melangkah meninggalkan lantai 2 ke lantai 1 melanjutkan kunjungan dapur yang terletak di bangunan terpisah di belakang istana. Dapur dan istana dihubungkan oleh semacam jembatan terbuka
Replika rumah gadang atap bertumpuk 
yang menjadi lorong atau koridor. Dapur terbagi menjadi 2 bagian, yakni tempat memasak di sebelah kanan saya atau sebelah kiri istana serta tempat menyiapkan makanan matang sebelum diantar ke dalam istana. Kedua bagian ini dipisah oleh lorong yang tersambung dengan jembatan/lorong ke istana. 

Dari dapur kami kembali ke depan guna keluar dari bangunan istana sekaligus saya mengambil kembali alas kaki yang saya titipkan di tangga masuk depan istana. Yose masih terus menemani saya dan menginformasikan bahwa di bawah lantai 1 disediakan sewa pakaian adat seharga 35ribu
Dapur istana
untuk pemotretan di dalam istana maupun kompleks istana. Karena saya tertarik ingin mencoba, Yose terus menemani dan mengantar saya ke kolong istana yang pintunya terletak di bawah tangga masuk ke istana. 

Istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat merupakan replika dari istana asli kerajaan Pagar Ruyung. Istana asli yang disebut Istana Si Linduang Bulan berada di bukit Batu Patah. Dalam sejarahnya, Istana Si Linduang Bulan juga telah mengalami beberapa kali pembangunan karena dibakar pada zaman perang melanda kerajaan Pagar Ruyung. Istana yang hancur dibangun lagi pada tahun1750, 1804 dan 1869. Istana yang telah dibangun kembali tersebut terbakar lagi pada tahun 1961. Pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat memprakarsai
Depan istana Pagar Ruyung
pembangunan replika istana tidak jauh dari replika kedua yang ada saat ini. Replika pertama yang dibangun tahun 1974 -1975 tersebut terbakar pada tahun 2007, sehingga Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun replika baru yang disebut Istana Basa Pagar Ruyung yang sedang saya kunjungi saat ini. Saya menghabiskan 1 jam 20 menit di istana Pagar Ruyung mendapatkan pelajaran berharga tentang ranah Minang, mencoba pakaian adatnya lalu berkeliling memotret diri yang dilakukan oleh seorang tukang foto keliling di kompleks istana tersebut. Saya menutup kunjungan saya di istana
Depan istana Pagar Ruyung
Pagar Ruyung dengan mengambil sepatu saya sekaligus memberikan donasi ke kotak yang disediakan di tempat saya dan para pengunjung lain meninggalkan alas kaki mereka.

Bersambung ke Perjalanan ke Bukit Tinggi dan Jam Gadang..





1 komentar:

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...