Kamis, 05 Maret 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL FLORES: Pelabuhan Ende, Taman Soekarno dan Museum Soekarno

Aktivitas anak-anak di Pelabuhan Kota Ende
Puluhan anak laki-laki sedang asyik bermain di dermaga dan pantai pelabuhan kota Ende menjelang sunset. Mereka mengelompokan diri ke kelompok berbeda memainkan permainan berbeda. Satu kelompok terlihat asyik main lompat dari dermaga ke laut lalu berenang ke pantai dan berjalan kembali ke dermaga untuk melompat lagi ke laut. Kelompok lain sedang asyik bermain sepak bola di tepi pantai, sedangkan satu kelompok lainnya sedang berlarian atau berkejaran satu sama lain. Satu kelompok lagi terlihat sedang menggambar di atas pasir pantai. Beberapa anak perempuan terlihat main sepeda di jalur penghubung daratan dan dermaga yang menjadi tempat sandaran kapal-kapal besi ataupun kayu. Dua lelaki dewasa terlihat memarkir motor dan asyik memancing di tepian
Aktivitas anak-anak di Pelabuhan Ende
dermaga. Dua kapal kayu sedang bersandar di samping kiri dermaga mengisi bahan bakar dan dan air. Saya menghampiri tiga kelasi kapal yang sedang duduk santai di tumpukan tali temali di atas dermaga sambil memperhatikan rekan-rekan mereka yang sedang bekerja mengisi air dan bahan bakar dari selang-selang yang menghubungkan kapal dan tangki di dermaga tersebut. Dari mana mas, tanya saya ke salah satu dari para kelasi itu sambil tersenyum ramah. Dari Surabaya mas, balasnya. Wah lumayan jauh mas, balas saya. Percakapan pembuka tersebut menjadi awal obrolan panjang antara saya dan kelasi itu serta teman-temannya, termasuk beberapa  yang duduk-duduk di selasar masing-masing
Aktivitas anak-anak di Pelabuhan Ende
kapal. Percakapan tersebut sekaligus membuka peluang bagi saya memotret aktivitas mereka sambil menunggu matahari yang sedang berjalan ke peraduannya di balik pulau Ende (Pulau Ende merupakan satu pulau kecil terpisah dari kota Ende yang terletak di daratan Flores.

Saat sang surya secara perlahan mendekati posisi ideal untuk dipotret, saya meninggalkan para kelasi guna mencari posisi bagi pemotretan sunset hingga mentari menghilang di balik pulau Ende meninggalkan semburat kemerahan dan jingga di langit yang semakin tamaram. Setelah itu, saya duduk selonjor di dermaga menikmati udara senja dan sepoi angin laut sambil mendengarkan deburan ombak silih berganti memukul tiang-tiang dermaga diselingi teriakan gembira
Pengisian air dan bahan bakar kapal di Pelabuhan Ende
anak-anak pantai yang sedang berkejaran antar sesama atau yang sedang bermain dengan lidah-lidah ombak yang menghampas ke tepian.  Saat azan Magrib telah selesai dan langit di sekitar telah mulai gelap, saya bangun dan berjalan balik ke hotel Mentari yang terletak di perbukitan sekitar 1 kilometer dari pelabuhan Ende. Dari gerbang pelabuhan saya belok kiri menyusuri jalanan kota yang diterangi lampu jalan dan kendaraan bermotor yang berseliweran 2 arah. Setelah melewati gelanggang olahraga dan taman Bung Karno, saya tiba di perempatan yang tidak terlalu ramai oleh seliweran kendaraan. Saya menyeberang ke kanan lalu menyusuri jalan Pahlawan menuju Hotel Mentari tempat saya menginap selama di Ende. Hotel yang terletak di Jl. Pahlawan No. 19 tersebut menyediakan beberapa pilihan
Sunset di Pulau Ende dilihat dari Pelabuhan Kota Ende
harga kamar. Saya memilih kamar deluxe seharga 400 ribu rupiah per malam. Letak hotel ini tidak terlalu jauh dari pantai Ende maupun Taman Soekarno dan Museum (rumah pengasingan) Soekarno sehingga memudahkan akses ke tempat-tempat tersebut selama saya berada di Ende. Selesai membersihkan badan dan salin pakaian bersih, saya keluar ke depan hotel mencari ojek untuk mengantar saya ke warung makanan lokal yang terletak di samping pintu gerbang bandara H Hasan Aroeboesman, Ende.


Katedral Christo Regi di salah satu bagian Kota Ende
Hari berikutnya saya bangun pagi dan kembali menyusuri jalan Pahlawan menuju pantai Ende. Tujuan saya pagi ini adalah Taman Bung Karno dan museumnya yang terletak di lokasi berbeda, namun tidak terlalu berjauhan sehingga dapat diakses dengan berjalan kaki dari hotel Mentari. Saya belok kiri di salah satu perempatan yang terletak 1 blok dari perempatan semalam saat saya balik ke hotel. Kesegaran udara pagi bersama sepoi angin menemani penelusuran saya di jalan tersebut menuju satu gereja / katedral di ujung jalan yang sedang saya susuri. Gedung gereja / katedral tersebut telah saya lihat beberapa kali selama berada di Ende sejak saat saya tiba sampai dengan saat-saat saya berkeliling di kota tersebut.
Sketsa wajah Jokowi di poster toko penjualan meubel 
Hanya satu yang ingin saya lakukan, yakni memotret katedral tersebut sebagaimana kebiasaan saya saat menjelajah berbagai pelosok negeri. Jalanan yang sedang saya susuri sangat sepi karena masih pagi dan sepertinya bukan jalur utama kendaraan maupun warga kota. Selain rumah tinggal dan beberapa toko serta kios, kedua sisi jalan dipenuhi pohon-pohon besar berusia puluhan tahun yang memberikan kesejukan dari naungan yang tercipta saat terik di siang hari apalagi di pagi yang masih sepi tersebut. Saya sempatkan memotret satu toko meubel yang memasang sektsa wajah Presiden Jokowi pada spanduk promosinya di tepi jalan yang sedang saya lalui. Setelah itu saya terus berjalan ke area gedung gereja yang terletak berseberangan sekitar 10an meter
Gedung Katedral
dari toko meubel tersebut. Bangunan gereja terletak sekitar 40an meter dari tepi jalan yang dipagari pagar tembok. Banyak bahan bangunan seperti pasir dan besi-besi beton terlihat bertumpuk-tumpuk di halaman bagian kanan gereja karena sepertinya akan ada tambahan bangunan di bagian tersebut. Setelah mengambil beberapa foto, saya berjalan keluar dari halaman itu lalu menyeberang ke jalan arah toko meubel kemudian menyusuri jalan yang berlawanan arah dengan gedung gereja. Sekitar 20an meter dari pertigaan jalan yang sedang saya susuri, saya menjumpai pedagang kue yang menjual berbagai jenis kue, termasuk donat. Saya membeli satu donat seharga 2000 rupiah lalu meneruskan langkah sambil mengunyah donat yang barusan saya beli.

Titik / Km 0 Kota Ende
Sekitar 30 meter dari tempat penjual kue, saya tiba di suatu perempatan yang sepertinya telah saya lewati semalam saat berjalan pulang dari pantai menuju hotel Mentari. Saya menyeberangi perempatan tersebut menuju jejeran kios yang mulai buka. Jalan yang sedang saya susuri mulai ramai, termasuk para penjual makanan pagi seperti nasi kuning yang terlihat telah membuka lapaknya dekat perempatan yang saya seberangi. Saya terus berjalan menyelewati deretan kios, termasuk seorang tukang sol sepatu yang tersenyum ramah saat saya lewat di depannya. Perjalanan pagi ini membawa saya ke gelangang olahraga sederhana yang terletak di titik 0 kota Ende. Saya melihat sekelompok anak SD perpakaian olahraga warna putih dan merah sedang berbaris rapi dipimpin seorang guru laki-laki. Saya tersenyum dan mengangguk ramah ke pak guru yang juga membalas dengan ramah sehingga saya berani memotret aktivitas pak guru dan anak-anak didiknya. Melihat saya memotret, pak guru sibuk mengatur anak-anak tersebut agar berbaris rapi :).

Selesai memotret titik 0 Kota Ende di jalan yang terlihat sepi serta memotret aktivitas olahraga anak-anak SD di gelanggang olahraga tersebut, saya berjalan memasuki gelanggang melalui tangga-tangga yang tersedia di situ. Tangga-tangga tersebut menghubungkan pedestarian saya berdiri dengan
Gelanggang olahraga Kota Ende
gelanggang olahraga yang terbuka ke daerah sekitarnya. Saya mengambil jalan pintas ke Taman Bung Karno yang terletak bersisian dengan gelanggang olah raga tersebut. Anak-anak SD telah memulai aktivitas olahraga mereka dengan berlari mengelilingi gelagang tersebut setelah aktivitas baris berbaris mereka selesai. Saya memotret pohon Sukun yang dahulu menjadi tempat perenungan Bung Karno menghasilkan Pancasila. Di samping pohon Sukun tersebut terlihat Bung Karno sedang duduk merenung di atas satu bangku panjang. Sang Proklamator mengenakan pakaian khasnya seperti terlihat di film-film dokumenter. Bung Karno terlihat duduk memandang laut Sabu yang terletak beberapa puluh meter dari tempat tersebut bersama Pulau Ende nun jauh di horison, namun masih cukup jelas terlihat dari
Gelanggang olahraga Kota Ende
taman tersebut. Saya memcoba beberapa sudut pengambilan foto untuk mendapatkan foto-foto terbaik. Setelah itu saya duduk sebentar di bangku yang diduduki sang Bung. Saya memandang dan mengagumi sang pendiri bangsa lalu beralih menatap lautan luas yang membentang di depan sambil memikirkan seperti apa saat itu saat si bung benar-benar duduk di tempat ini sambil memikirkan bangsanya, Indonesia Raya yang kaya dan makmur.

Bung Karno dan Pohon Sukun yang melahirkan Pancasila
Dari tempat perenungan Bung Karno, saya berjalan ke kanan menyusuri jalan setapak dalam taman yang diberi nama Taman Bung Karno. Taman ini berbatasan dengan gelanggang olahraga di sebelah kiri Bung Karno, sebelah kanan,  belakang dan depannya dengan tiga jalan berbeda. Taman dipenuhi beberapa pohon besar berusia puluhan tahun terlihat dari ketinggian dan diemeternya yang lebih dari sepelukan orang dewasa. Kerimbunan dedaunan menaungi keseluruhan bagian taman memberikan suasana adem, sejuk dan nyaman. Tiga tukang kebun terlihat sedang menyapu dan membersihkan taman dari dedaunan kering yang bertebaran. Saya berjalan perlahan menyusuri jalan-jalan setapak di
Bung Karno sedang menatap laut Sabu dan Pulau Ende
dalam taman tersebut menikmati keteduhan pepohonan sekelilingnya. Hingar bingar suara kendaraan seperti teredam oleh pepohonan besar di dalam taman sehingga suasana terasa syahdu dan tidak berisik ataupun ramai. Setelah mengambil beberapa foto, saya berjalan ke arah pintu gerbang yang terbuka ke jalan raya dekat perempatan. Setelah menyebarangi perempatan saya menyusuri kembali Jalan Pahlawan mengarah ke hotel. Saya belok kiri di satu perempatan lain yang terletak satu blok sebelum hotel. Jalan ke arah museum atau rumah pengasingan Bung Karno ini berlawanan arah dengan jalan menuju gereja yang telah saya kunjungi sebelumnya. Dari perempatan tersebut, saya terus menyusuri jalan lebih kecil dari jalan Pahlawan. Sekitar 50an meter dari perempatan, saya tiba
Papan nama Taman Bung Karno
di kompleks museum Bung Karno - dulu merupakan rumah pengasingan si Bung. Gerbangnya sedang terkunci menutup akses masuk ke halaman dan rumah mungil indah bercat putih di dalam halaman yang terlihat bersih, asri dan terawat. Akses ke dalam kompleks dan rumah yang menjadi museum hanya bisa dilakukan melalui telpon ke penjaganya untuk reservasi terlebih dahulu. Halaman dan rumah pengasingan tersebut letaknya lebih rendah sekitar 50an cm dari jalan raya. Pintu dan jendela-jendela rumah itu tertutup rapat sehingga saya hanya bisa melihat-lihat rumah pengasingan dan halamannya dari luar pagar sekaligus mengambil beberapa foto.
Pagar depan rumah pengasingan / museum Bung Karno
Bangunan dan halamannya dikelilingi pagar tembok. Dinding rumah mungil tersebut berwarna putih sedangkan pintu dan jendelanya diberi warna kuning muda / krem. Tiang dan balok-baloknya dicat hijau. Satu pohon rindang berada di samping kanan museum memberikan nuansa sejuk di halaman dan rumah tersebut.

Seorang ibu menaikan anaknya ke boncengan motor seorang lelaki yang berhenti di pinggir jalan depan Museum Soekarno. Sepertinya si ibu menitipkan anaknya ke lelaki tersebut yang juga telah membonceng seorang anak kecil lainnya. Setelah lelaki itu menjauh bersama motornya dan kedua anak kecil tersebut, saya juga bergerak
Rumah pengasingan / museum Bung Karno 
meninggalkan kawasan tersebut kembali menyusuri jalanan menuju perempatan untuk kembali ke hotel. Saya belok kiri saat tiba di perempatan menyusuri jalanan yang sedikit mendaki kembali ke hotel. Saya langsung ke ruangan makan di restoran hotel yang terletak di lantai 2. Selain teh dan kopi, hotel juga menyediakan nasi bersama lauk daging dan sayuran serta roti bagi para tamu yang ingin sarapan. Saya memilih sarapan nasi dan lauknya bersama secangkir teh. Selesai sarapan, saya kembali ke kamar untuk mandi dan menyiapkan diri bagi penjelajahan selanjutnya.

Aktivitas warga Kota Ende di pagi hari
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...