Catatan Perjalanan di Maluku Utara : Perempuan Perempuan Kie Raha
Menikmati senja Tidore dari Pulau Ternate telah menjadi kebiasaan baru ku saat berkunjung ke bumi Kie Raha, demikian julukan setempat terhadap keempat bekas kerajaan Islam tertua dalam sejarah Nusantara masa lampau. Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo demikian yang tertulis dalam buku-buku sejarah yang ku pelajari di bangku SD. 2 dari 4 itu yang paling terkenal adalah Ternate dan Tidore. Saat zaman berubah, penguasa berganti, mereka pun berbenah dan bertransformasi menjadi bagian dari Republik.
Sekarang, Ternate menjadi ibukota Provinsi Maluku Utara, sementara Tidore menjadi salah satu kota di provinsi tersebut dengan masih menggunakan nama yang sama. Sisa-sisa kejayaan masa lalu masih bisa dijejaki di Pulau Ternate. Istana Kesultanan, kompleks alun-alun, hak-hak tenurial kesultanan masih tetap lestari dalam desakan arus privatisasi dan liberalisasi. Penghormatan mutlak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki sejarah dan ikatan dengan kesultanan masih terpelihara dan terwariskan dari generasi ke generasi. Walau sang Sultan telah menjadi anggota parlamen, demikian pula Sang Ratu, namun kekuasaan tradisional pemimpin tertinggi Kesultanan tetap melekat sebagaimana galipnya jabatan-jabatan tradisional warisan zaman. Dia yang konon terpilih oleh pilihan magis Mahkota Kerajaan tetap memegang mandat sebagai sang Pemimpin tertinggi dibantu oleh sejumlah pejabat kesultanan yang memegang tanggung-jawab dan fungsi masing-masing.
Seiring derasnya desakan liberalisasi dan privatisasi, kehidupan komunal suku dan marga di bumi Kie Raha juga mulai berubah. Desakan eksploitasi sumberdaya alam setempat oleh para pemegang konsesi pertambangan telah memicu pertikaian horizontal dan vertikal di warisan wilayah Bacan dan Jailolo. Mereka yang asal muasal satu keluarga, satu marga, satu suku, hingga satu bangsa mulai merasa berbeda dalam banyak hal yang lalu menjadi alasan untuk berdiri terpisah karena kepentingan yang berbeda sebagai dampak dari provokasi para eksploitir sumberdaya alam. Bumi Kie Raha saat ini sedang bergolak. Pemilihan dan keputusan gubernur defenitif dari pemerintah pusat yang tak tuntas, telah menjadi pemicu demonstrasi tak henti. 33 Kontrak Karya Pertambangan di Halmahera merupakan pijar-pijar besi pencetus bara konflik di bumi rempah-rempah itu. Pembangunan infrastruktur dan tuntutan zaman atas nama pembangunan menambah benih-benih baru konflik karena ancaman penggusuran terhadap kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan dari rumah dan halaman mereka yang tidak seberapa semakin nyata dan mendekat.
Mungkin sejarah selalu berulang sehingga diberi nama sejarah. Penjajahan Belanda dan Portugis di negeri seribu pulau pada zaman lalu telah memicu perlawanan penduduk setempat yang lalu melahirkan nama-nama bersejarah seperti Pattimura, Martha Chirstina Tiahahu hingga Nuku. Penjajahan gaya baru atas nama Kontrak Karya dan pembangunan juga mulai memicu perlawanan di Buni Kie Raha. Ketenangan samudra yang membentang dan memisah Tidore dan Ternate mulai mengombak karena kegelisahan dan kegulauan anak-anak negeri menghadapi berbagai desakan pergusuran dan pengambil-alihan sumber-sumber kehidupan mereka. Teriakan diam putra-putri negeri Kie Raha mulai mengalir dan mengusik nurani kemanusiaan, 3 diantaranya adalah perempuan-perempuan yang saya kenali sekilas karena keberanian mereka mengorganisir dan bertindak memimpin perlawanan terhadap penindasan dan pengisolasian. Mereka datang dari latar sosial dan ekonomi berbeda, namun terikat dalam suatu kesamaan yakni melakukan perubahan dari lingkungan masing-masing tidak hanya bagi kaumnya, tetapi juga bagi umat manusia.
Diana, demikian namanya, berusia 30an, energik, bicara meledak-ledak, berasal dari suatu desa nun jauh di pelosok Kie Raha di Halmahera Timur. Di musim hujan, desanya terisolasi karena akses jalan darat putus. Jalan udara dapat dilalui menggunakan pesawat Trigana, namun sangat terbatas karena hanya orang-orang tertentu yang memiliki duit untuk naik pesawat. Praktis di musim hujan, penduduk tidak bisa kemana-mana, mereka berkonsentrasi mengurus kebun dan sawah mereka. Namun saat ini, kebun dan sawah-sawah itu teracam diambil alih oleh perusahaan pertambangan dengan harga tanah yang sangat murah dan tidak masuk akal bagi penduduk setempat. Tekanan dan intimidasi oleh aparat keamanan semakin meningkat. Dalam negosiasi-negosiasi ganti rugi, rasanya perusahaan dan pemerintah berdiri satu pihak lalu menggunakan aparat keamanan melakukan intimidasi diam dengan cara melakukan penjagaan bersenjata lengkap di sekitar tempat negosiasi. Pada awalnya, Diana adalah perempuan desa biasa yang pasti merasa terintimidasi melihat aparat bersenjata. Namun, saat selesai mengikuti suatu pelatihan paralegal yang diadakan oleh suatu LSM di Kota Ternate, kesahayaan perempuan ini pun berubah. Dia secara perlahan mulai maju dan memimpin perlawanan komunitas dalam negosiasi-negosiasi ganti rugi lahan. Tidak itu saja, sepak-terjangnya pun meluas mendampingin korban-korban kekerasan dalam rumah tangga maupun korban-korban kekerasan aparat terhadap rakyat di wilayah-wilayah terisolir seperti desa-nya yang jauh dari jangakauan LSM ataupun aparat pemerintah yang lebih bijak di Kabupaten ataupun kota Provinsi.
Naomi, seusia Diana, guru SD di suatu Kelurahan di Kota Ternate. Naomi berasal dari suatu kampung yang disebut minoritas di Kota Ternate, yakni kampung Tabanga. Mayoritas keluarga di kampung ini beragama Kristen, sehingga mereka disebut minoritas dalam populasi Ternate yang Muslim. Konon nenek moyang mereka didatangkan oleh kesultanan Ternate dalam suatu era kesultanan tersebut guna membantu Sultan mengatasi hama babi hutan. Karena itu Sultan meminjamkan tanah kesultanan sebagai tempat tinggal mereka. Zaman berlalu, demikian juga dengan Sultan yang berganti, generasi baru minoritas pun lahir dan beranak pinak di wilayah tersebut. Mereka lalu menjadi bagian dari kehidupan sosial dan politik setempat hingga kesultanan menjadi bagian dari Republik. Namun, kondisi kehidupanan para minoritas ini tetap tidak mengalami perubahan. Konflik sosial beberapa tahun silam makin menyulitkan mereka, karena mereka harus mengungsi dari tanah kelahiran mereka itu. Tanah pinjaman yang telah memberikan kehidupan dan menghidupkan generasi baru. Saat damai bersemi, para pengungsi itu kembali ke kampung halaman-nya itu, dengan segala keterbatasan yang ada dan ketidak-pastian haknya atas tanah. Tetangga mereka yang Muslim hanya bisa meminjamkan lahan ala kadarnya bagi mereka untuk berusaha menyambung hidup di bumi satu-satunya yang mereka kenal sebagai tempat kelahiran. Menyadari kesulitan komunitasnya, Naomi yang mendapatkan dukungan salah satu LSM di Kota Ternate, mulai aktif mengorganisasi komunitasnya untuk mendapatkan perhatian pemerintah daerah setempat. Lobby2 ke Kantor Pemberdayaan Perempuan dilakukan untuk mendapatkan pendampingan bagi kelompok-kelompok perempuan di kampung tersebut guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka agar memiliki kemampuan usaha sendiri guna secara bertahap membebaskan diri dari keterbatasan ketersediaan sumberdaya alam dan lahan usaha. Bersama beberapa teman sekampung dan pendampinan LSM, mereka juga meloby pemerintah daerah guna mendapatkan bantuan dan fasilitas kredit usaha. Loby intensif dan tak kenal lelah akhirnya berbuah jua. Walikota Ternate memimpin suatu team mengunjungi kampung tersebut sebulan silam guna bedialoq langsung dengan warga. Suara diam mereka akhirnya terdengar telinga bijak sang pemimpin negeri. Walau jalan masih panjang demi memperoleh kepastian hak sebagai warga, namun Naomi telah menyemai benih dan menjembatani suatu dialog melintasi perbedaan minoritas – mayoritas.
Nurjani, perempuan berjilbab yang selalu berbicara dalam ketenangan terukur. Matanya bersinar saat berbicara menyingkapi kabut di wajah teduhnya karena memikirkan kondisi komunitasnya. Nurjani berasal dari kampung Toniku, suatu kampung yang sangat terisolir dari hiruk pikuk pembangunan dan fasilitas, terutama fasilitas pendidikan dan kesehatan dasar. Satu sekolah hanya diajari oleh satu guru merupakan suatu kondisi yang luar biasa sekaligus bukti keterisolasian kampung Nurjani. Kondisi komunitasnya yang terisolir makin memiskinkan komunitasnya. Mereka hanya bisa hidup dari apa yang ada tanpa bisa berbuat lain guna mendapatkan bantuan fasilitas Negara untuk mengangkat harkat hidup mereka sebagai manusia sekaligus warga negeri ini. Etah dari mana pengetahuan itu diperoleh Nurjani. Nurjani lalu mengajak beberapa ibu untuk membentuk kelompok ibu-ibu pengolah hasil laut yang lalu berlanjut menjadi kelompok simpan pinjam. Di tempat lain, mungkin apa yang dilakukan Nurjani adalah hal biasa saja, namun di Toniku hal tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa karena butuh ketekatan, kenekatan dan juga kerja keras. Ketekunannya berbuah, sehingga Nurjani yang hanya tamatan SD itupun diangkat menjadi Ketua PKK di desa-nya. Padahal Nurjani bukan lah istri seorang Kepala Desa – yang biasanya secara otomatis menjadi Ketua PKK. Kerja keras itu terus berlanjut, saat ini, Nurjani dan kelompok-kelompoknya sedang bernegosiasi dengan Dinas Perikanan Kabupaten setempat guna memperoleh bantuan 50 juta rupiah bagi pengembangan ekonomi kelompok yang tentunya akan berdampak pada ekonomi kampung. Dalam keterisolasian itu tersimpan mutiara talenta yang sangat berharga.
Dahulu kala, sejarah mencatat seorang perempuan Maluku bernama Martha Christina Tiahahu melakukan perjuangan bersenjata melawan penjajahan kolonialis. Apakah sejarah juga akan mencatat perjuangan Diana, Naomi dan Nurjani melawan penindasan, pemiskinan dan peminggiran mereka? atau kaumnya ataupun komunitasnya?. Mungkin ya, mungkin juga tidak… karena mereka hanyalah perempuan-perempuan kecil yang melakukan hal-hal kecil bagi negeri ini, namun perbuatan mereka merupakan hal-hal besar bagi kaum dan komunitasnya.
Walau mungkin apa yang mereka lakukan tidak tercatat dalam sejarah Kie Raha apalagi negeri Indonesia tercinta ini, namun paling tidak saya telah menceritakannya kepada anda yang membaca email ini. Bahwa nun jauh di ufuk Timur, ada 3 dari ribuan perempuan tak dikenal negeri dan dunia sedang memimpin perlawanan dan peperangan terhadap keterisolasian, keterpinggiran, kemiskinan dan ketidakberdayaan komunitasnya atas pergusuran dan penindasan pembangunan. Jejak waris Tiahahu di Bumi Kie Raha!!! Perempuan-perempuan itu sedang menorehkan sejarahnya dalam perjalanan komunitasnya dan bangsa ini.
Aku, Sang Penjelajah#Langit itu ayahku#Bumi itu ibuku#Gunung-gunung itu kakaku#Lautan samudera itu adikku#Sungai ngarai itu sodaraku#Padang-padang itu sodariku#Hutan rimba belukar itu temanku#Tebing-tebing itu sobatku#Bintang-gemintang itu kekasihku#Mentari pagi itu pujaanku#Surya senja itu cintaku##Aku, Sang Penjelajah#Perjalanan itu ibadah#Berkelana itu doa#Mengasoh itu kidung##Aku, Sang Penjelajah#Tak terikat waktu#Tak terkurung ruang#Tak terpaku tempat##Aku, Sang Penjelajah#Akan ku daki..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur
1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...
-
Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama am...
-
Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali mel...
-
Kemah Tabor di Mataloko Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar