Sabtu, 18 Juni 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES - NGADA: Kemah Tabor Mataloko, Manu Lalu dan Kampung Adat Bena

Kemah Tabor di Mataloko
Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi Bajawa. Kopi Bajawa merupakan salah satu kopi Indonesia yang dikenal luas kelesatannya oleh para peminun kopi di Indonesia dan dunia. Karena itu walau saya berpantang minum kopi, kelesatan kopi Bajawa membuat saya menanggalkan pantangan tersebut sejak semalam. Selesai sarapan, saya menyelesaikan urusan administrasi pembayaran kamar hotel. Walau kami bertiga, termasuk sarapan, saya hanya diminta membayar 250ribu rupiah untuk harga 1 malam menginap di hotel tersebut. Pengalaman yang sama saya alami di Dintor saat menginap di bungalow penduduk setempat sebagai persinggahan menuju kampung Wae Rebo di balik jejeran punggung gunung.

Gerbang Kemah Tabor 
Pagi masih berkabut saat saya, Yudi dan Mako meninggalkan hotel setelah selesai  sarapan. Pagi ini kami memiliki 3 tempat jelajah, yakni Kemah Tabor di Mataloko yang berjarak sekitar 8 km dari Hotel. Dari Kemah Tabor, kami beralih ke gardu pandang Panorama Manu Lalu kemudian Kampung Adat Bena sebagai perhentian terakhir sebelum kami berpindah ke Kabupaten Manggarai menuju Kampung Wae Rebo. Semilir angin dingin mengusap lembut wajah saya dari jendela mobil yang saya biarkan terbuka. Setelah menempuh waktu perjalanan sekitar 15 menit dari hotel, kami tiba di depan gerbang Kemah Tabor yang terbuka lebar seakan mengucapkan selamat datang. Yudi memarkir mobil di tepi jalan trans Flores. Kami bertiga melangkah masuk ke halaman dalam gerbang yang dipenuhi pepohonan hijau dan bunga-bungaan. Seorang pemuda melintas di depan kami saat kami sedang asyik berfoto-foto di halaman rumah retret tersebut. "Darimana?", tanya pemuda tersebut ke Yudi. "Antar pak ini, kata Yudi menunjuk saya. "Kami hanya ingin lihat-lihat dan foto-foto, apakah boleh", tanya saya ke pemuda tersebut. "bole saja bapa", balas pemuda tersebut dalam logat Flores. "Terima kasih", balas saya sambil tersenyum hangat. "Tapi bapa tidak boleh ke dalam karena ada retret para suster", tambah pemuda tersebut. "Tidak apa-apa, kami di halaman depan saja", balas saya ramah karena telah diizinkan menikmati keindahan taman dan bangunan bergaya Eropa abad pertengahan tersebut.

Bagian depan Kemah Tabor 
Bangunan Kemah Tabor berbentuk huruf U berlantai 2 didominasi warna khaki dengan aksen pinki dan merah bata pada tiang dan atapnya. bangunan dikelilingi taman indah. Jejeran pohon-pohon besar hijau berbentuk silinder seperti para pengawal yang menyambut para tamu di halaman depan sejak gerbang hingga depan 2 patung berwajah Eropa. Kedua patung yang dikitari taman kecil dengan bunga aneka warna tersebut dibangun dalam satu garis lurus dengan pintu bangunan Kemah Tabor dan gerbang. Bangunan Kemah Tabor didirikan para misionaris SVD pada tahun 1932. Kedua patung berwajah Eropa dalam jubah pastor berwarna hitam dan putih adalah para pendiri bangunan ini. Sayangnya saya lupa mencatat nama kedua misionaris tersebut. Kemah Tabor  dibangun berhadapan dengan bangunan Seminari St. Yohanes Berkhmans yang selesai dibangun tahun 1929. Bangunannya masih terawat baik dan difungsikan sebagai rumah retret saat ini. Dari halaman depan berumput hijau, jejeran pepohonan dan bunga-bunga, saya berjalan ke samping kiri kanan bangunan untuk melihat
Gerbang Seminari Berkhmans 
bunga-bunga, saya berjalan ke samping kiri sisi lain bangunan megah dan indah tersebut. Sebelah kiri dan kanan bangunan berupa halaman luas berhiaskan rerumputan hijau dan tanaman bunga aneka warna yang ditanam di samping bangunan dari depan hingga belakang. Jalan kecil dekat pagar pembatas memberi akses bagi para pelintas dari depan ke belakang atau sebaliknya. Nun jauh di belakang terdapat bangunan lain yang nampaknya merupakan bangunan baru dengan fungsi yang tak saya ketahui. Beberapa suster berjalan-jalan di jalan kecil yang melingkari halaman tersebut. Saya bertemu 2 suster yang saya sapa sambil tersenyum yang juga dibalas ramah. Saya tidak meneruskan langkah ke belakang mengingat pesan lelaki muda yang bertemu kami di halaman depan. Saya seperti berada di salah satu negara Eropa saat berada di dalam kawasan Kemah Tabor. Yah... sekeping Eropa di Ngada, Flores... Puas menikmati ketenangan dan keindahan serta foto-foto di Kemah Tabor sekitar 1 jam, saya mengajak Yudi dan Mako meninggalkan tempat indah tersebut.

Inerie dari gardu pandang Manu Lalu
Tujuan perjalanan kami selanjutnya adalah kampung adat Bena. Namun, Yudi mengajak saya mampir menikmati lembah Ngada dan keelokan gunung api Inerie dari suatu tempat bernama Manu Lalu. Manu Lalu merupakan bahasa Ngada yang artinya ayam jantan. Di dalam lokasi tersebut dibangun patung ayam jantan dengan bulu berwarna-warni, terutama hitam, kuning dan kemerahan. Di pintu gerbangnya tertulis Panorama Manu Lalu yang merupakan suatu gardu pandang di ketinggian perbukitan Ngada. Gardu pandang ini  dibuat bagi para pelintas dan pengunjung yang ingin mampir menikmati pesona alam di lembah nun jauh dan/atau keaanggunan gunung Inerie di sebelah kanan berdekatan dengan kampung adat Bena yang bisa dilihat dari gardu pandang tersebut. Saat kami tiba, gerbang masih tertutup oleh palang-palang dari bambu bulat seukuran kepalan orang dewasa yang dipasang horizontal. Yudi membuka palang-palang penutup gerbang lalu kami bertiga melangkah masuk melewati gerbang meniti jalan kecil yang dibuat menghubungkan gerbang dengan gardu pandang. Gardu pandang dibangun seperti panggung berukuran 3 x 5 meter terbuat dari semen dan beton yang diberi pagar pembatas di semua sisi setinggi pinggang orang dewasa. Di sebelah kanan gerbang terdapat rumah kecil dalam kondisi tertutup. Kata Yudi, rumah itu merupakan pos jaga.

Hamparan lembah hijau berpagar jejeran bukit di depan saya serta gunung api Inerie yang menjulang di sebelah kanan saya merupakan suguhan pesona keindahan alam dari gardu pandang Manu Lalu. Kami bertiga nongkrong 15an menit di gardu pandang menikmati pesona dan keelokan alam sekitar hingga batas cakrawala. Tak puas hanya menikmati alam dari gardu pandang, kami bertiga keluar dan berjalan ke patung ayam jantan yang berjarak 10meteran dari gardu. Patung setinggi 1 meter
Mako bersama patung ayam jago di gardu pandang Manu Lalu
tersebut menghadap lembah seolah-olah berdiri mengawasi alam di lembah tersebut. Usapan angin sejuk terasa membelai-belai rambut dan tubuh saya saat saya menikmati keelokan alam sambil duduk pada sebongkah batu dekat patung ayam jantan tersebut. Yudi dan Mako asyik berfoto ria sambil bercanda-canda. Saya hanya tersenyum mendengar candaan mereka sambil menikmati elusan angin Ngada dan pesona alamnya. Matahari pagi bersinar cerah seperti merestui perjalanan kami. "Itu kampung adat Bena", kata Yudi menunjuk jejeran atap rumah berwarna abu-abu gelap di bawah kaki Inerie. Saya hanya mengangguk sambil memperhatikan barisan rapi atap-atap rumah berbentuk persegi panjang berjarak beberapa kilomoter dari gardu pandang Manu Lalu tempat kami berada saat ini.

Lembah Ngada dari Manu Lalu 
Puas menikmati pesona lembah Ngada di horison dan keelokan Inerie dari gardu pandang Manu Lalu, saya mengajak Yudi dan Mako meneruskan perjalanan ke kampung adat Bena yang kata Yudi hanya berjarak 6km dari gardu pandang Manu Lalu. Saat kami keluar gerbang dan Yudi sedang menutup kembali palang-palang pintu gerbang, seorang laki-laki pengedara motor menyandang senapan berburu berhenti di depan gerbang. "Selamat pagi" sapa saya sambil tersenyum. "Kami lihat-lihat disini, namun tidak ada penjaga, lanjut saya sebelum ditanyai". "ok pak, tidak apa-apa tapi bapa harus bayar retribusi karena saya yang jaga disini", balas laki-laki tersebut. Saya mengambil dompet dan menyerahkan 20ribu rupiah ke laki-laki yang mengaku sebagai penjaga gardu pandang Manu Lalu. Setelah menerima uang dan mengucapkan terima kasih, laki-laki tersebut kembali ke sepeda motornya sambil berkata "saya duluan ke kebun pak". Saya hanya mengangguk membiarkan lelaki itu berjalan duluan meninggalkan kami bertiga yang beriringan kembali ke mobil.

Kampung Adat Bena dari ketinggian 
Sekitar 10 menit menempuh jalan aspal, kami tiba di suatu tikungan di ketinggian yang memperlihatkan pemukiman kampung adat Bena di bawahnya dalam jarak dua ratusan meter. Di lokasi ini tersedia jembatan dan tangga-tangga yang memberikan akses ke pengunjung untuk turun ke kampung adat Bena atau sebaliknya. Namun kata Yudi "kita berhenti disini hanya untuk foto-foto saja, jalan masuknya dari sisi sebelah sana" kata Yudi sembil menunjuk ke depan sebelah kanan saya saat kami berdiri menghadap ke kampung adat Bena. Selesai foto-foto dari ketinggian dengan latar belakang kampung adat Bena, kami kembali memasuki mobil yang dijalankan ke gerbang masuk bagi para pengunjung yang berjarak sekitar 100an meter di sisi lain kampung tersebut. Yudi menghentikan mobil di luar wilayah kampung, karena semua kendaraan bermotor pengunjung tidak diperkenankan masuk ke dalam kampung, demikian menurut Yudi.

Mako di depan Kampung Adat Bena 
Saya dan Mako turun dari mobil dan berjalan memasuki kampung adat Bena. Dengan alasan masih memarkir mobil, Yudi tidak mengikuti kami. Saya tahu alasan sebenarnya adalah Yudi malas jalan karena jalan ke kampung agak mendaki, termasuk di kampung adat Bena yang seperti dibangun di atas tanah suatu punggung bukit. Seorang gadis remaja sedang mencuci di bak penampung air dari semen setinggi 3 meter yang dibangun dan disediakan bagi penduduk kampung adat Bena. Segaris dengan bak air tersebut, di teras satu rumah panggung yang tidak terlalu tinggi, seorang gadis remaja sedang menenun. Kain-kain tenun yang telah dihasilkan digantungkan ke palang-palang yang dipasangkan horisontal dan menggantung di teras rumah tersebut. Dalam jarak sepuluan meter dari rumah gadis penenun tersebut, seorang ibu sedang memangku seorang anak laki-laki sambil menjaga peti donasi di atas meja kayu yang terletak di teras rumah tersebut. Saya mengucapkan salam ke ibu tersebut yang mempersilahkan saya mengisi buku tamu dan memasukan uang ke peti kayu yang tersedia di atas meja di samping buku tamu. Saya mengisi 50 ribu rupiah ke peti donasi yang harus saya paksakan masuk karena peti tersebut telah disesaki uang. "Kenapa petinya tidak dikosongkan bu", tanya saya penasaran. "Belum waktunya bapa", balas perempuan tersebut dalam bahasa Indonesia berlogat Flores ambil tersenyum. "Silahkan jalan-jalan dan foto-foto bapa", kata perempuan tersebut. "Terima kasih mama", balas saya ramah. 

Salah satu rumah di Kampung Adat Bena
Saya turun dari rumah panggung ke halaman yang berjarak beberapa puluh meter dari jejeran rumah dan pelataran utama yang dibangun di ketinggian sekitar 3 atau 4 meter dari hamparan halaman gerbang masuk. Puluhan meter di sebelah kiri saya dari rumah tempat peti donasi terlihat satu rumah lain yang berdiri terpisah menghadap ke pelataran utama dan jejeran rumah adat yang mengapit pelataran tersebut di kiri dan kanan. Rumah yang berdiri sendiri tersebut kelihatan seperti rumah penduduk Ngada pada umumnya yang berbentuk bujursangkar dengan atap tinggi dari alang-alang dengan teras berbentuk datar beratap bilah-bilang bamboo yang disusun bertumpang satu sama lain. Di bubungan rumah terpasang patung kayu berwarna hitam dengan kepala putih seperti sedang tersenyum ke saya dan Mako. "Mungkin rumah kepala suku", kata saya ke Mako yang hanya mengangguk-angguk sambil nyengir :). Saya berhenti sejenak memotret rumah dan halamannya yang dihiasi kuburan semen bertanda salib sebagai penanda pemilik kubutan tersebut beragama Kristen. Setelah mengamati dan
Kampung Adat Bena
mengambil beberapa foto, saya dan Mako berjalan ke kompleks utama kampung adat Bena, yakni jejeran rumah sambung menyambung di kiri dan kanan bersama pelataran luas di tengah-tengahnya. Karena deretan rumah dibangun di kedua sisi halaman dari ujung depan sampai belakang, maka deretan rumah-rumah tersebut mengapit pelataran / halaman yang panjangnya mengikuti panjang deretan rumah-rumah adat itu. Deretan rumah di sebelah kiri saya (saat saya berjalan dari arah gerbang kampung) lebih tinggi letaknya dari halaman / pelataran. Sedangkan deretan rumah di sebelah kanan saya lebih rendah dari halaman / pelataran sehingga secara sederhana bisa dikatakan deretan rumah di kedua sisi dan pelataran berbentuk seperti 3 anak tangga yang berbeda ketinggian. Secara keseluruhan, semua rumah di kedua sisi kampung dibangun bersusun dalam ketinggian berbeda semacam kondisi geografis persawahan terasering di Jawa Barat atau Bali. Semua rumah di  masing-masing sisi kompleks utama kampung adat tersebut terhubung satu sama lain. Pelataran / halaman yang terletak di tengah-tengah juga dibangun berundak-undak dengan ketinggian berbeda dalam ukuran tertentu dari tempat saya masuk hingga ujung kampung yang dibatasi tebing.

Kampung Adat Bena
Mayoritas rumah memamerkan kain tenunan beraneka warna dan ukuran dengan harga bervariasi. Di beberapa rumah para perempuan berusia remaja hingga nenek-nenek sedang menenun di beranda depan masing-masing rumah yang cukup luas dan terbuka. Rumah-rumah di kampung adat Bena merupakan rumah-rumah panggung yang bahan utamanya terbuat dari kayu dan bambu, atapnya terbuat dari alang-alang. Tali temali pengikat yang digunakan terbuat dari ijuk. Beberapa rumah dihiasi puluhan tanduk kerbau yang disusun rapi secara horsiontal dari atas ke bawah atau sebaliknya. Beberapa masih menyertakan tengkorak kepala kerbaunya. Saya menyapa seorang lelaki tua yang duduk mencangklong di teras
Mesbah dan Batu Menhir
rumahnya. "Inerie lebih sering terbakar saat ini",  kata lelaki tua itu di sela-sela obrolan kami sambil memandang lekat ke gunung api yang berdiri kokoh dan agung di depan kami. Saya mengangguk sambil ikut melihat ke Inerie yang sedang berasap karena terbakar di beberapa bagian punggungnya. "Bagaimana jika gunung ini meletus ya?, pikir saya melihat betapa dekatnya jarak Inerie dengan kampung adat Bena. Saya melanjutkan obrolan saya dengan lelaki tua tersebut sambil memperhatikan wajahnya. Kulit keriputnya membungkus tulang wajah yang kokoh ditopang bahu lebar nan kekar. Bibirnya berhiaskan warna merah nyirih puluhan tahun. Wajah fotogenik untuk didokumentasikan dalam selembar foto, namun saya segan meminta izin memotret lelaki tua itu. Saya tidak ingin merusak keramahannya menyambut saya dan ngobrol di teras rumahnya. "Itu kuburan kepala suku leluhur kami", kata lelaki tua itu menunjuk ke kumpulan batu-batu menhir berwarna abu-abu yang dipasang berdiri atau vertikal. Beberapa batu menhir menjadi penopang batu lain berbentuk ceper setebal   sentimenter sehingga berbentuk seperti meja. "Itu tempat persembahan bagi leluhur pada waktu tertentu diiringi ujaran-ujaran adat", kata lelaki tua itu saat melihat saya mengamat-amati batu-batu menhir dan mejanya. Walau asyik ngobrol,  saya akhirnya harus menghentikan obrolan kami guna meneruskan dan menyelesaikan penelusuran saya di kampung adat Bena. Saya pamit pada pak tua nan ramah itu. Saya dan Mako meneruskan langkah-langkah kami ke ujung kampung. Saya lupa menanyakan ke lelaki tua yang ramah itu mengapa rumah-rumah di kedua sisi kampung dibangun pada ketinggian berbeda?. 

Ibu penenun di Kampung Adat Bena
Di rumah terakhir di ujung kampung yang berbatasan dengan tebing setinggi 3 meteran, saya mampir dan ngobrol dengan 2 orang ibu berbeda usia di teras rumah mereka. Si ibu tua sedang asyik menenun. Sambil menenun, si ibu bercerita bahwa benang yang digunakan merupakan hasil pintalan sendiri dari kapas yang ditanam di kebun. Ibu berusia lebih muda sedang menjemur kain-kain tenunan berbagai ukuran, corak dan warna. "Yang ini dari benang pintalan sendiri dan pewarna alami", kata ibu itu menunjuk kain-kain tenunan berwarna pucat. "Ini dari benang pabrik", lanjut si ibu menunjuk tenunan berwarna cerah. "Mana yang paling laku", tanya saya. "Dua-duanya", kata si ibu yang lebih muda.  "Orang barat lebih suka yang asli", lanjutnya. Saya hanya mengangguk-angguk sambil meraba kain-kain tenunan dari kapas pintalan tangan perempuan-perempuan Bena. Saya merasai bau kapas dan tanah dari tenunan tersebut dengan pewarna alaminya. Tenunan berbahan alami terasa lebih kasar dibanding tenunan dari benang buatan pabrik. Puas bercakap-cakap, saya pamit meneruskan  penelusuran saya ke atas tebing. Saya mendaki tangga-tangga batu dari pelataran halaman ke atas tebing mengikuti Mako yang telah lebih dulu naik.

Mako di depan gua Bunda Maria di Kampung Adat Bena
Di ujung pelataran tebing tersebut dibangun gua kecil berisi patung Bunda Maria dinaungi pohon bunga bogenfil yang sedang berbunga lebat. Sekitar 5 meter di samping kanan gua Maria berdiri kokoh satu pohon raksasa berusia puluhan tahun yang menaungi pelataran tersebut. Di balik tebing tempat gua Maria dan pohon raksasa tersebut terhampar lembah hijau yang dipagari jejeren lapisan punggung-punggung bukti berwarna hijau di batas pandang yang terhubung ke gunung api Inerie di dekat kampung adat Bena.

Kampung Adat Bena dari ketinggian tebing di ujung kampung
Dari pelataran tebing tersebut, saya dan Mako bisa melihat jejeren rumah di kedua sisi kampung serta pelatarannya hingga ke ujung seberang tempat kami datang. Puas memotret dan menikmati panorama kampung adat Bena dari ketinggian, saya dan Mako turun melewati sisi sebelah alias sisi yang   berlawanan arah dengan kedatangan kami hingga naik ke atas tebing. Tiba di ujung kampung menuju pintu keluar, kami bertemu dua turis manca negara bersama guide mereka yang baru saja naik dan sedang berdiri mengamati tiang tinggi beratap kerucut atau seperti kukusan terbalik di pelataran samping kiri tangga batu yang digunakan sebagai akses utama naik dan turun dari / ke halaman bawah depan rumah bertanda patung di atas atapnya. Guide menjelaskan berbagai hal yang tidak saya dengar. Saya  hanya melihat kedua turis manca negara tersebut mengangguk-angguk dan bertanya ini dan itu sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Setelah mereka pergi, saya dan Mako mampir ke tempat yang sama. Saya mendongak untuk melihat apa yang ada di atas tiang beratap kerucut yang terbuat dari alang-alang itu.
Gadis penenun di Kampung Adat Bena
Setelah mengamati dan mengambil beberapa foto, saya dan Mako turun kembali ke halaman luar dan berjalan ke gerbang menuju mobil. Dari kampung adat Bena, kami meneruskan perjalanan ke Dintor sebagai tempat transit menuju kampung adat Wae Rebo.




Bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...