|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Hanya sapuan angin dingin yang menyapa tubuh saat saya bangun di subuh hari guna bersiap mendaki ke Danau Kelimutu di Puncak Gunung Kelimutu. Saya sikat gigi dan cuci muka lalu mengenakan baju kaos lengan panjang agar bisa menghangatkan tubuh di udara dingin kaki gunung Kelimutu. Desa Moni masih tersekap dalam kelelapan subuh itu. Hanya para pelintas dan pengunjung Danau Kelimutu yang telah terjaga dan bersiap mendaki. Saat saya keluar kamar, om John telah berdiri menanti di pinggir jalan depan bungalownya. "selamat pagi om", sapa saya saat tiba di samping om John. "Pagi bapa", balas om John dalam dialeg Flores.
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Saya melangkah dan bergabung ke dalam kelompok pengunjung yang duduk di tepi jalan trans Flores depan bungalow om John. Kami semua menunggu motor ojek masing-masing. Sepasang bule ikut bergabung dan duduk lesehan bersama kami orang-orang Indonesia di tempat tersebut. "
I am Sarah from Paris, France", kata si bule perempuan saat saya ajak kenalan. Mengetahui Sarah datang dari Paris, saya langsung bercakap-capap dengan dia menceritakan perjalanan saya di Paris dimana saya mengunjungi berbagai tempat terkenal di kota itu, seperti menara Effiel, Jembatan Cinta (jembatan tempat para pengunjung menggantung gembok cinta mereka lalu kunci gembok dibuang ke sungai Seine) - baca catatan perjalanan di Paris : mengapa disebut
city of love atau kota cinta yang telah saya tulis dan publikasikan beberapa bulan silam di blog ini.. "W
ell, they are nothing compared to Indonesia", balas Sarah yang membuat saya terkejut. '
Why, tanya saya penasaran. "
You have so many interesting things in Indonesia", kata Sarah. "
You have fresh air, tropical forests, amazing lakes, dan masih banyak lagi yang disebut Sarah". Saya hanya mengangguk-angguk mendengar betapa kagumnya Sarah dan mungkin jutaan turis manca negara lainnya pada kekayaan negeri Indonesia.
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Saat para pengojek yang kami tunggu tiba, masing-masing segera membonceng di ojeknya. Sarah dan lelaki pasanganya berboncengan motor sendiri alias tidak menggunakan jasa pengojek. Semua anggota rombongan yang bertemu subuh itu di pinggir jalan depan bungalow om John beriringan dari desa Moni di kaki Kelimutu menuju danau Kelimutu di puncak gunung Kelimutu. Saya dibonceng Johanes namanya saat kami bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Johanes yang mengenakan sarung Ende saat mengendarai sepeda motor terlihat lincah mengendalikan sepeda motornya. Kami berhenti di depan gerbang dimana saya membeli tiket masuk di loket yang dijaga seorang perempuan. "10.000" rupiah demikian kata penjaga loket saat saya menanyakan harga tiket. Sarah antri di belakang saya. Saya menyodorkan uang 10.000 lalu menerima tiket dan lembar informasi / brosur tentang Danau Kelimutu dan Taman Nasional Kelimutu. "Sarah kaget saat penjaga loket menyebut angka 150.000 rupiah untuk harga tiket bagi orang asing alias Sarah harus membayar 300.000 rupiah bagi dirinya sendiri dan teman lelakinya. Saya melihat Sarah mundur teratur ke pinggir jalan menemui teman lelakinya lalu keduanya bercakap-cakap dalam bahasa Perancis. Sarah menaiki boncengan sepeda motor lalu keduanya kabur ke Danau Kelimutu tanpa membayar tiket masuk.
Setelah menempuh perjalanan 30an menit dari pinggir jalan depan bungalow om John, para pengojek
|
Petunjuk arah di depan tempat parkir TN Kelimutu |
yang membawa para tamu, termasuk saya tiba di parkiran kendaraan berjarak sekitar 1km dari puncak Kelimutu. "Saya tunggu bapak di sini", kata Johanes, pengojek yang membonceng saya dari Moni. "Ok kaka", balas saya beranjak mengikuti pengunjung lain yang mulai berjalan meniti tangga-tangga yang telah dibangun pengelola TN Kelimutu dari pinggir tempat parkir menuju danau tiga warna. Menggunakan cahaya lampu baterai yang selalu tersedia dalam ransel kamera, saya bergegas menyusul lalu meninggalkan para pengunjung lain yang telah berjalan duluan. Anak-anak tangga tersebut berakhir di suatu pertigaan. Saya belok kiri mengikuti tanda panah berjalan di bawah
|
Menjelang sunrise di puncak Kelimutu |
bayangan pohon-pohon cemara yang dibiarkan tumbuh dan meneduhi tepi jalan yang sedang saya lewati. Setelah berbelok beberapa kali, saya tiba lagi di anak-anak tangga lain yang harus didaki menuju puncak gunung Kelimutu guna menikmati terbitnya matahari di atas danau 3 warna. Jika puluhan anak tangga pertama dari parkiran letaknya sedikit datar sesuai kontur lahan, maka anak-anak tangga kedua di depan saya saat ini lebih menantang karena mengikuti kontur lahan terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Saya perlahan mendaki sambil memperhatikan arah Timur yang mulai terang mengawali kehadiran mentari. Goresan jingga kuning di horizon langit terlihat bagaikan lukisan yang makin cerah saat saya tiba di puncak Kelimutu.
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Puluhan orang dari berbagai bangsa telah bertebaran di puncak Kelimutu menunggu sapaan pertama sang surya pagi. Goresan merah jingga di Timur menandai kedatangan dewi pagi semakin meluas bagaikan gelaran permadani bagi langkah-langkah sang dewi. Akhirnya senyuman sang dewi muncul di Timur bersama semakin cerahnya suasana di sekitar puncak Kelimutu. Kabut-kabut pagi yang memeluki jejeran punggung-punggung bukit di sekitar danau 3 warna secara perlahan tersibak dan menghilang seiring makin cerahnya hari karena kehadiran sang mentari pagi. Para pengunjung dan para juru kamera, termasuk saya tak henti mengabadikan pesona keelokan senyuman hangat sang surya pagi berpadu riak-riak danau 3 warna. Angin dingin cukup keras bertiup di puncak Kelimutu sehingga para pengunjung harus menjaga barang-barang ringan mereka, seperti topi, syal dll.
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Setelah puas foto sana dan sini, saya turun dari puncak tugu menuju pagar pembatas ke danau Kelimutu. Saya menyapa dan mengajak ngobrol sejenak seorang pengunjung lelaki mengawali permintaan saya kepada lelaki tersebut memotret diri saya di puncak Kelimutu. Selesai difoto, saya mengucapkan terima kasih lalu beranjak pergi. Saya berjalan perlahan mengeliling puncak bertugu, mengamati tingkah pola para pengunjung dan juga pedagang minuman dan makanan ringan di sekitar tugu puncak gunung Kelimutu.
|
Danau berwarna hitam |
"Kopi pak?", sapa seorang perempuan paru baya yang mengenakan sarung tenun khas Ende. Saya mengangguk lalu duduk di salah satu anak tangga berjarak setengah meter dari ibu tersebut - yang sibuk membuatkan
coffee mix dari kopi sasetan bersama air panas dalam termos yang dibawa ibu itu. Saya menikmati kopi panas dalam pelukan dingin udara puncak Kelimutu bersama pesona keelokan alam sekitar danau 3 warna. Warna air salah satu dari dua danau yang bersisian - hanya dibatasi tebing tinggi diantara keduanya - telah berubah menjadi abu-abu kental dibanding warna hijau daun saat saya bertandang tahun 2014 silam. Dalam jarak sepelemparan batu disisi kanan saya, danau yang lebih kecil dan terpisah jauh dari kedua saudaranya dengan air berwarna kopi bening masih belum berubah. Perhatian para pengunjung terkonsentrasi ke dua danau yang bersisian dibanding danau berwarna hitam yang berssemedi dalam diam dan sunyi di kesendiriannya.
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Saya beranjak meninggalkan puncak saat mentari mulai memanas. Saya susuri satu demi satu ratusan anak tangga dari puncak bertugu ke hamparan datar di ujung anak tangga terbawah. Saya melewati beberapa pedagang kaki lima yang telah menggelar dagangannya di kedua sisi jalan di hamparan datar tersebut. Berbagai jenis minuman dan makanan ringan tersedia, bahkan ada yang menjual kain tenunan Ende dengan harga 300 ribu rupiah. Dalam jarak puluhan meter di sisi kiri saya di atas tebing dua danau yang bersisian terlihat 3 orang bule laki-laki dan 1 perempuan sedang asyik menikmati kedua danau 3 warna dari sisi lain. Saya berbelok ke jalan setapak menuju para bule tersebut. Perempuan bule itu
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
duduk mencangklong di pinggir tebing menghadap danau sementara pasangan laki-lakinya memotret perempuan itu dalam berbagai posisi. "Ah, sangat berbahaya, walau terlihat gaya", pikir saya sambil berjalan perlahan-lahan di sekitar tempat tersebut. Kelihatannya pasangan bule perempuan dan laki-laki itu bukan 1 kelompok dengan kedua bule laki-laki paruh baya yang berdiri agak jauh dari pinggiran tebing yang menjadi dinding luar untuk salah satu danau dari 2 danau yang bersisian tersebut. Saya tidak ingin mengganggu pasangan yang sedang asyik foto-foto sehingga saya meminta tolong salah satu bule laki-laki paruh baya memotret saya menggunakan kamera iPhone saya. Puas menikmati kawasan sekitar danau dari sisi berbeda, saya mengucapkan selamat tinggal bagi kedua bule paruh baya itu sambil beranjak pergi.
|
Sunrise di puncak Kelimutu |
Johanes sedang duduk dan asyik bercakap-cakap dengan beberapa lelaki dan seorang ibu yang menjual tenunan sekaligus makanan dan miniman ringan di bangunan terbuka yang dibangun di salah satu ujung tempat parkir. Saya tersenyum ke Johanes yang lalu pamitan dari teman-teman ngobrolnya. Sebenarnya saya ingin membeli beberapa kain tenunan Ende yang menurut saya harganya cukup murah, namun saya memiliki uang
cash yang sangat terbatas (lihat catatan sebelumnya) - hanya cukup untuk bayar penginapan, jasa ojek PP Kelimutu dan kendaraan ke Ende. Saya tidak menemukan jeringan ATM di desa Moni sehingga saya harus menghemat duit yang ada sampai saya tiba di Kota Ende siang ini.
|
Pemandian air panas tersembunyi di pemukiman |
Saya dan Johanes meninggalkan puncak Kelimutu kembali ke desa Moni. Sepeda motor yang dikemudikan Johanes meliuk-liuk mengikuti kontur jalan yang berkelok-kelok melewati hutan dan sedikit persawahan di kawasan yang agak datar sebelum kami tiba di kaki Kelimutu. Johanes mengajak saya mampir ke satu sumber air panas di salah satu kampung setempat yang letaknya beberapa kilometer dari pertigaan jalan masuk dan keluar ke danau Kelimutu. Motor diparkir dan ditinggalkan di pinggir jalan saat saya mengikuti Johanes masuk ke kampung tersebut. Kami melewati rumah dan halaman rumah penduduk kampung menyusuri jalan semen dengan lebar kurang dari 1 meter menuju pemandian air panas di ujung kampung. Jalan menurun dari pemukiman ke pemandian tidak terlalu jauh dan telah diberi tangga-tangga semen yang masih sangat bagus. Saat kami tiba di pemandian berbentuk kolam persegi empat tersebut hanya ada seorang laki-laki muda yang asyik mandi dan berendam di pemandian tersebut. Saya membasuh muka, kaki dan tangan di saluran yang terletak di atas pemandian dalam jarak sekitar 3 meter. Airnya mengeluarkan utp dengan panas sekitar 60 - 70 derajat celsius dan sangat bening. Saya bertegur
|
Saluran air panas ke pemandian |
sapa sejenak dengan lelaki muda yang sedang mandi dan berendam. "Pemandian ini pernah dibuka untuk umum, namun karena ada masalah diantara pengelola, maka pemerintah desa menutupnya dan hanya digunakan oleh warga kampung", cerita Johanes saat kami perlahan-lahan mendaki tangga-tangga dari pemandian ke pemukiman sampai kami tiba di pingar jalan - tempat kami memarkir dan meninggalkan speed motor.
"Kita mampir beberapa menit untuk melihat hamparan sawah dari ketinggian. Hamparannya sangat bagus sebagai obyek foto, kata Johanes saat sepeda motor melaju kembali ke Moni. "Siap, jawab saya penuh semangat. Tak sampai 5 menit, Johanes membelokan sepeda motor ke kanan jalan melewati jejeran bungalow kecil yang menurut Johanes merupakan penginapan milik pemerintah daerah. Sangat disayangkan, penginapan tersebut tidak terurus dan kelihatan terbengkalai karena halamannya dipenuhi rerumputan dan serakan kayu-kayu dan ranting-ranting. Johanes menghentikan motornya di
|
Hamparan sawah di kaki gunung Kelimutu |
tengah-tengah lokasi tersebut lalu mengajak saya berjalan ke satu pendopo panjang di depan jejeran bungalow yang dipisahkan jalan. Jejeran bungalow mungil dan pendopo tersebut terletak di ketinggian yang menyediakan pandangan ke hamparan sawah dan rumah-rumah di lembah nun jauh di horison. Johanes membawa saya ke sudut kiri pendopo lalu meminta saya naik ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa. Wow, panorama pagi yang tersaji nun jauh di lembah bagaikan permadani hijau nan elok dalam dekapan kehangatan mentari pagi. Indah luar biasa yang hanya bisa dinikmati di lokasi tersebut. Seribu kata-kata indah tak bisa menggambarkan betapa eloknya pemandangan itu. Dalam perjalanan pulang dari lokasi tersebut, saya mensyukuri kasus Mo'at dipanggil pulang (baca catatan sebelumnya). Karina mobil sewaan meninggalkan saya di Moni, akhirnya saya bertemu Johanes yang telah mengenalkan saya ke 2 obyek lain yang tidak ada dalam agenda saya karena kedua obyek tersebut hanya diketahui penduduk setempat seperti Johanes.
|
Para pengunjung danau Kelimutu di puncak Kelimutu |
"Terima kasih om John yang telah mengenalkan saya ke Johanes", kata saya ke om John (baca catatan sebelumnya) - yang saya lanjutkan dengan cerita tentang pemandian air panas dan panorama indah dari ketinggian yang terletak beberapa ratus meter dari pertigaan sekaligus belokan jalan menuju puncak Kelimutu. Om John mendengarkan sambil sibuk menyiapkan makan pagi bagi saya dan tamu lain yang menginap di bungalownya. Para tamu om John didominasi para turis manca negara. Hanya ada saya dan 1 laki-laki lain dari Jogja yang berada di meja makan berama 6 orang bule laki-laki dan perempuan dari negara-negara berbeda. Sarapan kami terdiri dari kue pancake berisi potongan-potongan pisang bersama buah markisa segar dan manis. Saya meminta teh panas ke om John yang segera menyiapkannya lalu meninggalkan kami para tamunya sarapan sambil bercakap-cakap satu sama lain.
|
Salah satu danau tiga warna |
"Mobil masih dalam perjalanan dan sedang terhalang antrian buka tutup akibat ada pengerjaan jalan", kata om John ke saya sebelah saya selesai sarapan karena semalam saya telah meminta om John mencarikan saya mobil lain yang bisa saya sewa mengantar saya dari Moni ke Ende. Saya mengiyakan lalu kembali ke kamar. Saya duduk menuggu di teras kamar sambil membaca berbagai informasi online di HP. "Mobilnya sudah dekat", kata om John dari halaman bungalow yang letaknya lebih rendah sekitar 2 meter dari kamar saya. "Okay", balas saya sambil bergegas ke kamar mengambil koper dan ransel kamera lalu berjalan perlahan menuruni tangga hingga tiba di halaman lalu kembali naik beberapa anak tangga dari halaman ke pinggir jalan. "Bayar 200 ribu ke sopir yach", kata om John sambil mengambil-alih koper saya untuk diletakan di bagasi mobil yang akan saya tumpangi menuju Ende. "Terima kasih om John", kata saya sambil menjabat erat tangannya sebagai salam perpisahan kami.
|
Pemandangan dari pendopo bungalow yang terbengkalai |
Setelah beberapa meter, mobil berhenti dan menaikan 2 turis bule laki-laki dan perempuan. Perempuan bule tersebut duduk di kursi belakang sedangkan pasangan lelakinya duduk bersama saya di kursi tengah. Sopir ditemani seorang lelaki muda duduk di depan. Beberapa puluh meter dari tempat kedua turis manca negara naik, mobil berhenti lagi untuk memberi tumpangan berbayar ke 2 calon penumpang lain yang berdiri di pinggir jalan. Saya mengomeli sopir dan pendampingnya karena mobil kijang yang kami gunakan telah penuh. Mendengar omelan saya, sopir dan pendampingnya membatalkan renana mereka memberikan tumpangan berbayar lagi. Saya berkenalan dengan kedua turis bule teman perjalanan saya di mobil tersebut. Laki-laki bernama Titus, perempuan bernama Laura. Keduanya
|
Akhir sunrise di puncak Kelimutu |
berasal dari Latvia dan telah mengelilingi dunia selama 2 tahun. Mereka telah menghabiskan 3 bulan di Indonesia, termasuk di Papua dan Sulawesi Selatan. Mereka dalam perjalanan ke Riung di Kabupaten Ngada. Sama seperti saya yang juga akan berganti mobil di Ende menuju Ngada dilanjutkan ke Manggarai dan Labuan Bajo. Namun tujuan saya di Ngada adalah air terjun panas Mengeruda di Soa, tempat ret-ret di Mataloko dan kampung adat Bena. Karena itu saya berpisah dengan Titus dan Laura di Ende saat saya turun dan menunggu dipinggir jalan untuk di jemput Yudi bersama mobilnya yang saya sewa beberapa hari hingga Labuan Bajo.
Bersambung ke NGADA: Negeri Para Pemilik Kopi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar