Minggu, 10 Agustus 2008

Merry Christmas 2006 & Happy New Year 2007

TAPAK-TAPAK PEMBAWA EMBER : Manokwari – Jakarta – Jayapura
Bagian 3 : Merry Christmas 2006 & Happy New Year 2007
Bagaimana rasanya merayakan 2 hari besar itu sendirian di tempat yang jauh dari orang-orang terkasih?. Campur aduk L antara kerinduan, kenangan, ingin tahu dan menikmati berbaur menjadi satu bagaikan gado-gado.
Sebagai orang baru di kota Jayapura, saya telah mencari dan mendapatkan informasi tentang gereja yang dapat saya datangi untuk beribadah di hari-hari minggu biasa ataupun di hari raya Nataldan Tahun Baru. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Maranatha di Kota – dekat kantor UNDP dan GKI Paulus di Angkasa – dekat tempat tinggal saya. Tentu saja, saya memilih gereja Paulus yang lebih mudah dan cepat diakses. Masalahnya, saat tiba di Jayapura tanggal 22 Desember, saya tidak punya informasi apapun tentang jadwal ibadah Natal, termasuk jam-jam beribadah. Karena itu, saya hanya mencari informasi melalui Imanuel – biasa dipanggil Iman – seorang polisi muda keponakan pemilik rumah kontrakan saya. Iman juga tidak tahu pasti jam-jam ibadah di gereja Paulus. Dia selalu beribadah di Gereja Maranatha – dekat dengan kantornya.
Walau demikian, sore tanggal 24 Desember, saya diberitahu oleh Nadia (staf Unicef) – yang bersama saya dan Popon Andarwati (specialist monev UNDP) mengontrak 1 rumah secara bersama – bahwa Iman dan 2 temannya akan bersama-sama saya ke gereja pada jam 7 karena gereja akan dimulai jam 8 malam. Saya mengiyakan saja pemberitahuan Nadia, tanpa konfirmasi langsung ke Iman di sebelah rumah. Saat jam menunjukan angka 7pm, saya melongok ke sebelah untuk mencari Iman – yang ternyata telah berangkat bersama Buce (seorang temannya, sesama polisi) – tinggal Minggus – yang ternyata tidak ke Gereja. 1 sepeda motor yang tersedia juga telah dipakai Pince (adik istri pemilik rumah kontrakan) ke Gereja yang berbeda (Pince beragama Khatolik). Saat mengetahui saya akan ke gereja – tapi tanpa teman ataupun kendaraan, maka Pak Bustari dan istrinya (pemilik rumah kontrakan) menawarkan diri untuk mengantar saya ke gereka menggunakan mobil mereka. Saya pun mengiyakan lalu berbalik ke rumah menyiapkan diri berangkat ke gereja untuk mengikuti ibadah malam Natal tanggal 24 Desember.
Singkat kata, saya tiba di gereja diantar mobil pak Bustari. Umat yang beribadah sangat banyak – hingga tumpah ruah ke halaman. Tenda dan kursi di halaman juga tidak cukup, sehingga banyak jemaat yang mengikuti ibadah dengan duduk di tembok-tembok pagar gereja yang cukup lebar sebagai alas duduk. Ibadah juga telah berlangsung – sehingga saya sadar bahwa kehadiran saya mengikuti ibadah malam Natal tersebut sudah sangat terlambat. Kemungkinan ibadah dimulai jam 7pm, sehingga saat saya tiba sekitar jam 7.30pm ibadah telah berlangsung 30 menit.
Situasi tersebut membuat ibadah malam Natal saya tidak berlangsung dengan khusuk. Hanya seperti mengikuti ritual biasa, tanpa memberikan makna dan kenangan tersendiri. Selesai ibadah saya pulang menggunakan ojek. Akhirnya, malam Natal tanggal 24 Desember tersebut saya habiskan di depan TV. Paginya pada tanggal 25 Desember, saya tidak berniat mengikuti ibadah pagi karena tidak mengetahui jam ibadah. Kuatir kejadian semalam terulang, saya memilih menghabiskan waktu di tempat tidur sambil mengikuti ibadah dan kidung-kidung Natal di radio.
Saya tidak ingat jam berapa pagi hari tanggal 25 Desember 2006, saat pintu diketuk seseorang. Saya beranjak membuka pintu dan mendapatkan Pince (keponakan ibu Bustari) mengucapkan salam Natal. Salamnya ku balas sambil acungkan tangan bersalaman, lalu Pince mengundang saya dan Nadia untuk merayakan Natal bersama keluarganya – pak Bustari dan istri serta anak-anaknya beragama Islam. Namun Pince dan Iman (keponakan) serta Minggus (polisi muda yang tinggal di keluarga tersebut) beragama Kristen. Komposisi yang hampir sama dengan di rumah kontrakan saya. Saya beragama Kristen, sementara Nadia dan Popon adalah Muslim.
Memenuhi undangan tersebut, saya pun mandi dan bersalin lalu bersama Nadia beranjak ke rumah sebelah mengucapkan salam, jabat tangan dengan semuanya (pak Bustari, istri dan anak-anaknya, yakni Ayu dan Aldi serta Pince, Iman dan Minggus). Kami lalu makan dan minum bersama sambil bercakap-cakap tentang berbagai topik. Diantara waktu-waktu tersebut, teman-teman Pince dan Iman juga berkunjung ke rumah tersebut merayakan Natal bersama keluarga tersebut. Setelah ngobrol ngarol ngidul selama hampir 2 jam, saya dan Nadia pun pamit kembali ke paviliun kami di sebelah rumah pak Bustari.
Liburan tahun baru 2007 telah dimulai pada tanggal 30 Desember 2006. Tentu saja dikarenakan tanggal 30 adalah hari Sabtu – weekend. Saya dan Nadia (Popon telah cuti dan sedang berlibur di Bali dan Lombok) menghabiskan waktu di rumah dengan berbagai urusan seperti membersihkan rumah, masak atau hanya duduk ngobrol, nonton TV dan mendengarkan radio. Jika saat memasak tiba, saya kebagian memasak lauk karena Nadia tidak bisa memasak lauk. Nadia kebagian menanak nasi dan bersih-bersih peralatan makan minum. Untuk nonton TV, Nadia selalu nonton di rumah keluarga Bustari karena pavilun kami hanya memiliki 1 TV yang terletak di kamar saya. Bosan dengan TV dan radio, saya mengutak-atik laptop dan PDA saya J.
Tanggal 31 sore hari berawan di Jayapura, saya, Nadia dan Haryo (OM UNDP kantor Jayapura) berjalan-jalan mengitari kota Jayapura. Tentu saja kami harus menggunakan fasilitas kendaraan umum – yang tentunya melanggar aturan standar security UN tentang penggunaan kendaraan umum. Namun, karena fasilitas kendaraan yang disediakan kantor hanya dapat dipakai pada weekdays atau melalui special request untuk pemakaian di luar jam kerja – yang tidak ingin saya gunakan, maka kami menggunakan kendaraan umum saja untuk jalan keliling kota.
Untuk mencapai “kota” saya dan Nadia berjalan kaki sekitar 5 menit dari rumah ke pangkalan ojek. Perjalanan tersebut tiada terasa karena indahnya view ke lembah dan teluk Jayapura – saya sempatkan mengambil beberapa foto menggunakan mobile phone SE K 800i yang baru saya beli di Jakarta tanggal 21 Desember. Di pangkalan ojek, kami menggunakan 2 ojek menuju Lumba-lumba (Dok V) lalu berganti menggunakan taxi kota (angkot) ke kota Jayapura. Tempat pertemuan yang kami sepakati dengan Haryo adalah Toko Buku Gramedia – yang ternyata tutup saat kami tiba di tempat tersebut. Saya lalu menelpon Haryo yang telah beralih ke Gelael (dekat Gramedia) – untuk menunggu kami. Saya dan Nadia lalu berjalan memutar ke belakang Gramedia menyusuri trotoar jalanan – yang juga dipenuhi orang yang hilir mudik mengisi waktu akhir tahun. Kami lalu bertemu Haryo di depan Gelael lalu menyeberang ke kawasan pertokoan di jalan Irian dan berjalan menyusuri jalan tersebut. Nadia mampir beberapa menit di Apotek Sehat membeli sesuatu. Saya dan Haryo juga ikutan masuk untuk cuci mata – yang mana kami melihat Apotek tidak hanya menjual obat-obatan, tetapi juga jam tangan berbagai merek dan mainan anak-anak. Saya dan Haryo saling memandang lalu sama-sama tersenyum simpul – hanya mata kami yang mengomentari satu sama lain tentang kondisi tersebut.
Saat Nadia menyelesaikan transaksinya, kami bertiga berjalan keluar dan terus menyusuri jalan Irian menuju jajaran pertokoan kotaJayapura. Sepanjang jalan para pedagang petasan, kembang api, terompet warna warni berjejer dikerumuni para pembeli yang akan merayakan pergantian tahun tengah malam nanti. Di sana sini juga terdapat para pedagang sirih, pinang, duren, mangga hingga tenunan tas tradisional Papua (noken), gelang dan berbagai pernak-pernik hiasan leher, tangan hingga kepala yang terbuat dari benang wol warna –warni. Aslinya pernak-pernik tersebut terbuat dari kulit kayu yang sangat lentur dan khas warnanya.
Sambil berjalan dan melihat-lihat kami mengobrolkan berbagai hal. Kadang saya berhenti untuk mengambil beberapa foto – termasuk saat-saat sang Mentari secara bertahap mengayunkan langkahnya menuju peraduan. Senja kala hampir tiba – saat penduduk kotaJayapura dan sekitarnya mulai tumpah ruah ke jalan-jalan dan kawasan pertokoan tersebut untuk berbelanja merayakan pergantian tahun ataupun hanya sekedar jalan dan window shopping.
Kami bertiga mampir ke toko Prima Garden – pemilik dan penjual kopi bermerek Prima Garden – yang sangat terkenal di Jayapura maupun bagi para pelancong penikmat kopi. Sayangnya – tempat nongkrong sambil minum kopi di ruko yang digunakan sebagai tempat penjualan tutup. Kami lalu terus menyusuri jalanan kotasambil melihat berbagai aktivitas sepanjang perjalanan kami. Beberapa menit kemudian kami mampir ke Sagu Plaza. Di Plaza tersebut tersedia toko penjual roti – yang cukup enak dan layak untuk dicicipi. Kami lalu memesan kopi dan beberapa potong roti lalu duduk minum sambil ngobrol. Obrolan kami lebih banyak didominasi oleh Haryo yang “curhat” tentang berbagai hal terkait pada kerjaannya sebagai OM UNDP kantor Jayapura. Sepertinya Haryo telah sangat pesimis dan putus asa dengan pekerjaannya – kontraknya akan selesai tanggal 15 Januari 2007, dimana dia tidak ingin memperpanjang lagi kontraknya – sampai dengan tanggal 15 Januari 2007, Haryo akan telah bekerja selama 1 tahun di Jayapura – merupakan rekor tersendiri menurut teman-teman kantor Jayapura, karena kebanyakan staf level Haryo tidak pernah bertahan sampai 1 tahun di Jayapura.
Semua cerita Haryo bernuansa negative dan pesimistik. Tak ada optimsme sama sekali, namun saya tidak memberi komentar yang berlawanan – saya berusaha memaklumi saja karena melihat kondisi Haryo yang penuh kekecewaan terhadap pekerjaannya. Saya tidak memberi komentar macam-macam karena saya juga baru mulai terlibat sebagai bagian dari keluarga UN – saya belum terlalu tahu suka dan dukanya, positif dan negatifnya. Berbagai cerita Haryo saya tempatkan sebagai masukan berharga. Saat tiba di rumah, Nadia hanya berkomentar bahwa Haryo seperti orang yang telah sangat “desperado”.
Singkatnya, kami bertiga menutup acara obrolan dan jalan-jalan kami dengan makan malam di restoran hotel Dofonsoro. Kami memesan sup aspragus kepiting sebagai makanan pembuka. Lalu memesan cah sapi sabe hijau dan cah kangkung bunga pepaya sebagai makanan utama bersama jus sirsak.
Saat tiba di rumah sekitar jam 9 malam, pak Bustari sedang mempersiapkan api unggun dan arang untuk memanggang ikan guna merayakan perantian tahun. Para tetangga sekitar juga sedang mulai merayakan pergantian tahun dengan membakar petasan dan kembang api warna warni.
Malam berhiaskan gumpalan-gumpalan awal kelabu yang berlarian ke sana ke mari karena tiupan angin – yang menghadirkan rekahan-rekahan kecil munculnya cahaya lembut sang rembulan serasa mengintip berbagai aktvitas tahun baru di lingkungan tempat tinggal ku di kawasan Angkasa AURI. Setelah bercakap-cakap beberapa menit dengan pak Bustari dan istrinya, saya lalu beranjak ke dalam rumah merebahkan diri di sofa panjang sambil membaca novel Warisan Ksatria Templar – mengisi dan menunggu waktu berjalan menuju detik-detik pergantian tahun. Di luar rumah, aktvitas kembang api, petasan, bakar ikan hingga karaoke terus berlanjut hinggar bingar tiada berhenti.
Sayup-sayup telinga ku menangkap musik dan pekikan ritmis dari pucuk-pucuk pohon belakang rumah. Saat saya tanyakan ke Ayu (putri sulung pak Bustari) saya mendapatkan informasi bahwa the Papuans sedang merayakan pergantian tahun dengan acara “bakar batu” sambil menari dan menyanyi. Dari berbagai literature dan informasi mass media yang beredar, saya mengetahui bahwa acara bakar batu merupakan suatu ritual keberasamaan suku-suku di Papua – sebagai ekspresi kedamaian dan kegembiraan merayakan sesuatu.
Pergantian tahun dari tahun 2006 ke tahun 2007 dirayakan dengan acara makan malam bersama oleh keluarga pak Bustari dan para tetangga yang berkunjung. Satu meja besar digelar di halaman depan – yang lalu dipenuhi dengan ikan bakar, ketupat, nasi, daging, sayur, buah dan air mineral. Musik berdentam-dentam mengiring pesta kembang api dan petasan yang susul menyusul membelah tamaram malam yang disinari cahaya rembulan diiringi nyanyian, teriakan dan tarian ritmis penduduk asli Papua.
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...