Bagian 4 :
Selama hampir 2 minggu berada di Manokwari - IJB, saya hanya menemukan satu masalah yang cukup menggangu interaksi saya dengan para pejabat pemerintah setempat. Masalah tersebut disebabkan oleh maneuver-manuver salah satu konsultan proyek Cap2015. Saat saya menceritakan masalah tersebut ke seorang teman di kantor UNDP Jayapura, dia memberi sebutan yang cukup keren untuk si trouble maker itu, yakni "si kutu" - yang artinya tidak penting tapi sangat mengganggu. Manuvernya membuat rasa respek saya terhadapnya hilang terbawa angin lalu, walau si kutu ini telah memiliki jam terbang cukup tinggi di level daerah Papua sendiri maupun di level nasional. Namun sepak terjangnya itu telah membuat saya tidak lagi menghargai senioritas, ilmu dan keahliannya. Karena dengan berjalannya waktu - dimana saat saya mulai berinteraksi dengan banyak pihak di Manokwari yang juga mengenal si Kutu, maka makin terbuka lah kedok si kutu - yang juga tidak disenangi banyak orang, karena katannya "si kutu lebih banyak omongnya daripada melakukan sesuatu yang berhasil membantu orang lain". Pekerjaannya selalu setengah jadi - yang lalu harus diselesaikan orang lain yang belum tentu mengetahui ujung pangkal prosesnya.
Setelah beberapa hari berinteraksi dengan dia, saya akhirnya menyimpulkan bahwa maneuver-manuver yang dilakukannya untuk mencegah saya berkomunikasi langsung dengan para pejabat setempat disebabkan oleh kekuatirannya semata akan disaingi oleh kehadiran saya sebagai wakil langsung kantor UNDP dan juga karena dia sedang mengalami post power syndrom. Dia menginginkan agar semua komunikasi dan interaksi apapun harus melalui dia untuk memberi kesan dia memiliki jaringan dan pengaruh yang cukup luas dengan berbagai pihak. Sayangnya, cara-cara yang digunakan untuk itu sangat tidak dewasa.
Setelah beberapa hari berada di Manokwari dan bertemu berbagai pihak, akhirnya saya dapat memperoleh gambaran tentang profile si Kutu – yang ternyata juga tidak terlalu disukai beberapa kalangan karena berbagai manuvernya itu – hanya karena kedekatannya dengan Kepala BAPPEDA saat ini – yang membuat staf-staf pemerintah, terutama di BAPPEDA tidak berani melakukan konfrontasi langsung dengannya. Para konsultan lain di proyek Cap2015 juga menceritakan kepada saya masalah mereka dan konflik2 yang pernah terjadi diantara mereka dengannya. Karena itu, mereka menyarankan kepada saya agar tidak terlalu peduli pada si Kutu.
Dari interaksi dengan berbagai pihak di kota tersebut, saya mengetahui bahwa proyek Cap2015 – lebih banyak menggunakan nama UNDP sebagai entry point maupun sosialisasi dengan lingkungan. Karena itu, saat mengetahui kehadiran saya di Manokwari, si Kutu langsung meminta saya menemui dia. Saya lalu datang menemui dia di hari Minggu tanggal 3 Desember 2006. Pada pertemuan tersebut dia “mengkuliahi” saya banyak hal sampai lebih dari 4 jam.
Saya sih manggut-manggut saja karena pada dasarnya saya tidak punya banyak informasi tentang kondisi sosial politik setempat dan juga karena karakter pribadi saya yang selalu menghormati orang-orang tua. Saya hanya mengajukan keberatan saat dia menawarkan dirinya memperkenalkan saya sebagai “ANAK BUAH / PENGIKUT-nya” ke para pejabat pemerintah setempat. Saya bersedia diperkenalkan oleh dia ke berbagai pihak di Manokwari, namun saya mengajukan syarat agar diperkenalkan sebagai Program Officer UNDP untuk wilayah Irian Jaya Barat, bukan sebagai anak buah / pengikutnya”.Dia menyetujui hal tersebut, sehingga kami menyepakati dia akan memperkenalkan saya ke Kepala BAPPEDA Provinsi IJB – yang mana BAPPEDA merupkan mitra kerja utama UNDP di Provinsi tersebut.
Saya mulai merasakan ketidak-beresan saat kesepakatan kami pada pertemuan hari kemarin (Minggu) tidak dilaksanakannya. Pada pertemuan hari Minggu tersebut dia berjanji mempertemukan saya dengan Kepala BAPPEDA Irian Jaya Barat pada hari Senin, karena saya harus menyiapkan kunjungan tim IFAD (International Fund for Agricultural Development) – yang berencana menemui Kepala BAPPEDA Provinsi dan pejabat terkait lainnya. Dia berjanji akan mengabari saya hari Senin pagi tentang jam pertemuan saya dengan Kepala BAPPEDA. Saat jarum jam telah menunjuk angka 10 AM, saya tidak mendapatkan kabar apapun sehingga saya menelpon dia guna mengetahui apa yang terjadi. Dia lalu mengatakan bahwa kantor Bappeda kosong hari ini karena Kepala Bappeda dan semua stafnya sedang menyertai kunjungan Gubernur ke lapangan. Saya lalu bertanya “wah, bagaimana dengan kunjungan IFAD”. Dia katakan “biarkan saja supaya orang-orang asing itu mengetahui situasi di sini”. Selanjutnya dia mengajak saya ke rumahnya – yang juga difungsikan sebagai kantornya “kamu ke sini dan kerja sama saya di sini saja”. Saya mengucapkan terima kasih dan katakan “OK, ntar aja pak, saya masih harus mengurus beberapa hal lain”. Setelah itu saya lalu bersiap dan meminta sopir mengantar saya ke kantor BAPPEDA.
Di kantor tersebut, Kepala BAPPEDA dan Sekretarisnnya memang tidak berada di tempat karena sedang menyertai Gubernur. Namun, kantor tidak kosong sama sekali. Masih ada staf-staf lainnya sehingga saya dipertemukan dengan Ibu Zaenab. Kami lalu membicarakan surat dari UNDP tentang kunjungan IFAD. Karena mereka tidak punya arsip surat tersebut, maka saya keluarkan arsip yang saya bawa, saya tunjukan lalu saya tawarkan untuk difotocopy beberapa dan akan disampaikan langsung ke berbagai dinas terkait yang akan dikunjungi IFAD. Dia setuju dan saya lalu bergerak cepat menyiapkan semua kebutuhan administrasi kunjungan tim IFAD. Malamnya, Si Kutu menelpon saya dan meminta saya menemui dia besok pagi karena menurut dia, saya telah membuat suatu kesalahan fatal serta merusak nama baik UNDP di Manokwari. Saya tidak mau berdebat di telpon. Saya hanya mengiyakan saja bahwa besok saya akan menemui dia. Dia minta saya datang jam 7 pagi. Saya bilang saya hanya bisa bertemu dia jam 8 atau 8.30 yang disetujuinya. Tentu saja, karena dia bukan atasan saya, apalagi posisinya hanya konsultan di proyek Cap2015, maka saya tidak memiliki kewajiban untuk melapor ataupun menyampaikan berbagai aktivitas saya. Justru dalam kapasitas sebagai staf UNDP di kota ini, maka saya berkewajiban untuk menjaga nama baik UNDP, mengapa dia justru mengatakan saya telah merusak nama baik UNDP – yang adalah kantor saya sendiri?.
Walau tidak punya kewajiban melapor padanya, namun awalnya saya menghargai senioritas dan usianya yang telah lanjut sehingga saya masih mau berkomunikasi dengannya. Selain itu, saya juga ingin mengetahui sampai sejauh apa manuver-manuver yang dilakukannya. Saat bertemu dia pagi hari, dia mengatakan bahwa “semalam dia ditelpon 2 pejabat tinggi provinsi, satu diantaranya adalah wakil gubernur yang menanyakan sepak-terjang saya yang telah menabrak aturan-aturan birokrasi. Lanjutnya, “para pejabat itu sangat marah dan ingin mengusir anda dari kota ini, namun saya mengatakan pada mereka “tolong liat diri saya sebagai senior di sini”. Lanjutnya, kata-katannya itu telah meredakan kemarahan para pejabat tinggi tersebut”. Saya hanya manggut-manggut saja lalu mengatakan saya harus pergi karena pertemuan Tim IFAD dengan BAPPEDA akan dilakukan pada jam 9 pagi. Dia meminta saya pergi bersama dia ke BAPPEDA. Saya mengiyakan saja sehingga dia ikut ke kantor BAPPEDA lalu nimbrung di pertemuan IFAD dan Kepala BAPPEDA – walau sebenarnya tidak diperlukan. Karena pertemuan tersebut difasilitasi oleh UNDP (saya sebagai wakil UNDP), PDT (Yani Marsidik dan Bernad) dan BAPPENAS. Hari-hari selanjutnya, dia berusaha mencegah pertemuan-pertemuan langsung saya dengan para pejabat pemerintah. Dia membuat berbagai manuver, termasuk menyebarkan ceritera bahwa saya adalah aktivis LSM yang selalu menabrak aturan, dstnya. Sementara itu, terhadap saya dia selalu mempolitisir dan mendramatisir situasi dengan mengatakan “saya tidak boleh memperkenalkan program PDP (Papua Development Program) – yang menjadi misi utama kehadiran saya di Provinsi IJB – kepada para pejabat setempat karena para pejabat itu sangat sensitive terhadap kata-kata “Papua” terkait pada tensi politik antara IJB dan Papua. Dia selalu menyatakan “saya harus menunggu dia memperkenalkan saya ke para pejabat – yang kemudian dapat saya pastikan tidak pernah dilakukannya karena kepentingannya sendiri. Apalagi dari berbagai pembicaraan saya dengan berbagai pihak di Manokwari, saya tidak mendapatkan indikasi adanya sensitifitas politik yang sangat tinggi terhadap kata-kata “Papua”. Karena itu saya simpulkan bahwa Si Kutu lah yang terlalu mempolitisir kondisi itu dengan memanipulasi ketidak-tahuan saya tentang situasi IJB sebagai provinsi baru.
Setelah pertemuan antara Kepala BAPPEDA dengan para konsultan IFAD, saya merasa para pejabat setempat sangat welcome terhadap orang lain yang ingin membantu mereka membangun provinsi tersebut. Saat pamit di ujung acara saya sempatkan bertanya langsung kepada Kepala BAPPEDA “apakah bapak bisa bertemu Program Coordinator UNDP? guna membicarakan Program Pembangunan Papua? . Kepala BAPPEDA menyatakan “bisa, tinggal diatur waktunya”. Besoknya, saat saya kembali ke kantor Bappeda dan berada di ruangan salah satu stafnya – dimana saya sedang asyik ngobrol dengan seorang konsultan Cap2015 (Roy), Kepala Bappeda muncul dari belakang dan menepuk punggung saya, saat saya menoleh dia tersenyum simpul. Saya lalu menggunakan kesempatan itu untuk mengkonfirmasi waktu pertemuan antara dia dengan Program Coordinator UNDP. Dari konfirmasi tersebut saya mengetahui bahwa sampai dengan minggu ketiga (sekitar tanggal 17 atau 18 Desember, dia tidak berada di Manokwari. Karena dia akan berangkat mengikuti pertemuan Steering Committee Capacity2015 di Jakarta pada tanggal 8 Desember dilanjutkan dengan perjalanan dinas ke Surabaya lalu ke Padang. Secara informal dia meminta saya untuk mengatur waktu pertemuan dengan stafnya. Artinya sebenarnya tidak ada masalah mendiskusikan Papua Development Program dengan para pajabat setempat. Hanya Si Kutu yang mendramatisir dan mempolitisir situasi setempat.
BERSAMBUNG : Manokwari - Jakarta - Jayapura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar