21 Januari 2008…
Mentari mulai berselimut senja, saat pesawat yang ku tumpangi dari Manado melandai menyusuri pantai berombak putih yang terus menggapai diantara liukan ribuan nyiur berjejer menyapa bisu dalam kedamaian pelukan Pulau Ternate – sejenak mengentak ingatan ku ke masa-masa kecil di sekolah desa saat belajar sejarah Nusantara.
Ternate dalam sejarah merupakan Kerajaan Islam tertua di Timur Nusantara di republic ini. Kesultanan Ternate berpusat di Pulau Ternate dan sekarang menjadi Kota Ternate – ibukota Provinsi Maluku Utara.
Saat kaki ku menjejak bumi Kesultanan itu, kehangatan bayu senja menyapa mesra kulit tubuh ku serasa membisiki “selamat datang di Bumi Kie Raha”. Mata ku menyapu tulisan yang terpampang di atas bukit “Airport Sultan Babulah”, demikian nama airportnya. Kaki ku menjejak tanah bersama yang lain memasuki bus kuning milik bandara yang telah menunggu beberapa meter di samping pesawat yang ku tumpangi lalu menghantar kami ke gedung airport yang terletak di atas bukit. Saat kaki ku menjejak, mata ku menyapa panorama tak bertara yang terhampar indah membentang nyiur melambai bersanding mesra rerumputan hijau di selingi rumah-rumah penduduk. Di penghujung tanah , buih-buih putih ombak sedang berkejaran tak berkesudahan membentang memisah Ternate dengan beberapa pulau dan gunung menjulang ke langit jingga – Gunung Tidore, demikian informasi teman perjalanan ku. Lalu yang disana?, Tanya ku menunjuk gunung lain di Pulau yang sedang ku jejaki…”Gunung berapi Gamalama, imbuh teman ku… tak terasa mata ku terbelalak mengetahui keberadaan ku di kota itu diapit 2 gunung berapi dan mungkin ada gunung-gunung berapi lain di sekitar situ?.
Hmmmm tak sempat berpikir lebih jauh, para sopir taxi bandara mulai menyapa dengan senyum ramah menawarkan taxi masing-masing. Aku hanya menggeleng pelan sambil menunjuk teman seperjalanan ku… memindahkan lobby dan negosiasi mereka ke teman ku … sambil diam mengamati orang-orang yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing… beberapa jemaah haji yang baru kembali disambut hangat keluarga dan handai taulan, menambah semaraknya senja pertama ku di kota Ternate. Tak lama berselang, bagasi kami tiba kemudian beralih ke sopir taxi yang telah disetujui teman ku untuk mengantar kami ke hotel. Dalam perjalanan bandara – hotel, si sopir dengan ramah menceritakan berbagai hal tentang daerahnya, termasuk gonjang-ganjing PILKADA di provinsi tersebut. Analisis dan kesimpulannya tentang siapa yang akan memenangkan pertarungan tersebut cukup meyakinkan – walau kemudian ternyata meleset jauh pada saat MK mengumumkan keputusannya tentang sengketa tersebut. Aku hanya tersenyum sendiri mendengar keputusan itu sambil mengingat ocehan si sopir taxi.
Saat taxi membelah kota, mata ku menyapu berbagai aktivitas penduduk di saat malam menjelang. Mulut ku htak berhenti bertanya ini dan itu…. Kadang tanpa ditanya pun sopir taxi telah bercerita dan menyediakan informasinya… termasuk informasi gedung Kesultanan, saat taxi memintas di depannya… terletak diam di atas bukit menghadap lautan membentang dijaraki halaman luas, jalan raya dan lapangan bola menghadirkan kesan taksim dan respek bagi yang lewat… berbagai bangunan baru berbentuk ruko juga sedang mengeliat di sela-sela rumah dan bangunan tua sepanjang jalan yang ku lalui bersama rombongan. Kota yang bersih, demikian kesan pertama yang ku peroleh sepanjang jalan… hingga tiba di hotel Corner yang menjadi tempat inap saya dan rombongan…
Esok hari saat sang surya menyapa jendela kamar, mata ku menatap kagum gunung berapi berselimut kabut yang terpampang garang tak bergeming… dihiasi kehijauan pepohonan rimba….ternyata penduduk kota itu hidup dalam pelukan sang gunung berapi… dari tahun ke tahun… kalau meletus, laharnya tidak ke arah kota… karena gunung tersebut terdiri atas beberapa lapisan…. Dimana yang kita lihat dari sini adalah lapisan terluarnya… demikian keterangan teman-teman ku di kota tersebut saat ku ajak ngobrol tentang gunung berapi tersebut….
Hari kedua hingga keempat ku di kota itu disibukan oleh urusan kantor… rapat sana rapat sini tiada henti kecuali untuk makan siang dan minum sore sejenak…
hari kelima di kota Ternate merupakan hari petualangan dan rekreasi… aku harus mengunjungi beberapa tempat untuk mengkofirmasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan teman-teman di kota tersebut. Mata ku tak henti mengagumi keindahan alam yang terbentang….
Tumpukan karang hitam muntahan sang gunung berapi tersebar di beberapa tempat sepanjang perjalanan hotel – desa yang akan dikunjungi… gelombang biru lautan yang saling berkejaran lalu menghempas buih-buih putih makin menguatkan lukisan alam itu… pulau berbentuk gunung yang sedang dijilati lidah-lidah ombak nan tegak di tengah samudra makin mengharu biru tatapan mataku…. Luar biasa, imbuh ku dalam hati… indah tak terperi… yang hanya bisa dilihat potongan kecilnya pada mata uang 1000 rupiah…
Setelah berkunjung dan berbicara dengan beberapa penduduk di 2 desa, teman-teman seperjalanan ku, mengajak singgah ke danau Tolero yang terbentuk dari hasil letusan gunung berapi di Pulau itu… dikeliling jurang dan pepohonan hijau… nafas ku serasa berhenti sejenak menikmati keindahan dan kesahduannya… mata ku hanya bisa memandang air danau berwarna hijau terang yang sedang direnangi beberapa ekor buaya nun jauh di bawah kaki ku… teman seperjalanan ku lalu mencari beberapa batu sekepalan tangan dan meminta ku melempar ke danau sambil hati ku membisiki sesuatu ke alam sekitar…’untuk buang sial dan dapat rejeki”, kata teman seperjalanan ku…. Tangan mengayun kuat melempar batu dalam genggaman sambil berbisik lirih ke semilir bayu dan gemulai dedaunan hijau… tak tahu ke mana batu itu mendarat…. Hanya sayup terdengar kecipakan air nun jauh di bawah…. Tak berapa lama… rombongan ku pun menapak masuk ke mobil tuk meneruskan perjalanan… teman-teman mengajak ku mengeliling pulau tersebut--- yang lingkar kelilingnya adalah 42 km, kata mereka…. Kalau belum kelilingi pulau… berarti belum datang ke Ternate… kata mereka…. Sambil tersenyum, ku iyakan saja ajakan mereka….
Setiba kembali di kota, kami mampir sejenak di suatu warung sambil menunggu teman yang akan Jumatan… sang pemilik warung tidak bisa melayani kami karena waktunya Jumatan… karena itu, kami yang tidak sembahyang Jumat, hanya duduk dan ngobrol di dalam rumah makan tersebut, sambil menunggu selesainya Jumatan sehingga kami bisa memesan makan dan minum mengganjal perut yang telah keroncongan… Setelah makan siang, rombongan kami lalu beranjak ke Pasar Gamalama di Kelurahan Gamalama dan Pasar Bastiong di Kelurahan Bastiong.
Di Gamalama, saya bertemu ngbrol dengan beberapa PKL yang terancam digusur pemerintah kota… beberapa kali upaya pergusuran itu dilakukan, termasuk dengan cara membakar keranjang-keranjang mereka, namun dengan gigih mereka berjuang untuk mendapatkan kompensasi yang adil… tentu saja perjuangan mereka mendapatkan dukungan dari lembaga teman-teman seperjalanan ku… dari Gamalama, kami beranjak ke Bastiong…
cerita di Gamalama, Bastiong, Tabangan dan Takome mengingatkan ku akan buku “Cerita Orang-Orang Kalah”…. Sejarah mereka di buku itu terwujut kembali di tempat-tempat yang ku kunjungi… walau selalu dikalahkan, namun mereka tak lelah berjuang untuk mengapai keadilan… demi sesuap nasi dan hari depan anak cucu mereka… aku hanya bisa medesah diam…. Merenungkan keindahan alam bumi yang sedang ku pijak bersanding kegelisahan orang-orang kecil, kaum yang terpinggirkan… tanpa terasa, waktu harus mengakhiri pertemuan kami… hanya ucapan penghiburan dan motivasi yang bisa ku sembahkan…
26 Januari 2008…
Hari terakhir ku di kota yang penuh keramahan itu… pesawat yang sama akan ku tumpangi ke Manado… kemudian berganti pesawat kembali ke hiruk pikuk dan pelukan polutan kota Jakarta… dengan cerita pergusuran yang sebangun, yang hangat saat ini adalah Barito… lalu akan menyusul pasar buku Kwitang… lalu yang lainnya…. Cerita mereka yang kalah itu akan terus berlanjut dan berenda dari satu ke yang lain… dari Jakarta hingga Ternate….
Aku, Sang Penjelajah#Langit itu ayahku#Bumi itu ibuku#Gunung-gunung itu kakaku#Lautan samudera itu adikku#Sungai ngarai itu sodaraku#Padang-padang itu sodariku#Hutan rimba belukar itu temanku#Tebing-tebing itu sobatku#Bintang-gemintang itu kekasihku#Mentari pagi itu pujaanku#Surya senja itu cintaku##Aku, Sang Penjelajah#Perjalanan itu ibadah#Berkelana itu doa#Mengasoh itu kidung##Aku, Sang Penjelajah#Tak terikat waktu#Tak terkurung ruang#Tak terpaku tempat##Aku, Sang Penjelajah#Akan ku daki..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur
1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...
-
Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama am...
-
Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali mel...
-
Kemah Tabor di Mataloko Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar